Professional Documents
Culture Documents
Tugas Refrat
Tugas Refrat
PEMBIMBING :
dr. Hari Krisdiyanto, Sp. An
DISUSUN OLEH :
Wilfridus Erik
NIM : 11.2015.215
1
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi adalah suatu tindakan menahan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ada beberapa anestesi
yang menyebabkan hilangnya kesadaran sedangkan jenis lain hanya menghilangkan nyeri dari
bagian tubuh tertentu dan pemakainya sadar.1 Anestesi umum adalah tindakan meniadakan
nyeri sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.2 Saat pasien akan dianestesi,
sangat penting untuk memantau keadaan umum, status generalis dan tanda-tanda vital pasien
karena sewaktu-waktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya.1
Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya
sebagian tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal,
modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Semua
obat anestetik baik abar (volatil) atau suntikan berpotensi mengganggu fungsi ginjal baik secara
langsung atau tidak langsung akibat perubahan tekanan darah sistemik, curah jantung, lepasan
hormon anti diuretik (ADH), jenis cairan infus yang sedang digunakan, gangguan sistem renin-
angiotensin-aldosteron.3
Referat ini akan mendiskusikan tentang pendekatan dan perhatian terhadap
penatalaksanaan anestesi umum pada pasien dengan gagal ginjal.
2
BAB II
PEMBAHASAN
GAGAL GINJAL
2.1. DEFINISI
Gagal ginjal akut merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal
yang terjadi secara mendadak yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen dan
non nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguria.4
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.4
Kriteria penyakit ginjal kronik:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan manifestasi :
a. Kelainan patologis
b. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan , dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
2.2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.4
3
2.3. KLASIFIKASI GAGAL GINJAL
Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.4
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
4
Penyakit Tipe Mayor
Penyakit Ginjal Diabetic Diabetes Tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal non 1. Penyakit glomerular (penyakit autoimun,
Diabetic infeksi sistemik, obat, neoplasma)
2. Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi, mikroangiopati)
3. Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik,
batu, obstruktif, keracunan obat)
4. Penyakit kistik
(ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
Kaslifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi. 4
5
2.4. ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL
Komponen vaskular
Arteriol aferen : membawa darah ke glomerolus
Glomerolus : suatu kuntum kapiler yang menyaring plasma bebas protein ke dalam
komponen tubulus
Arteriol eferen : membawa darah dari glomerolus
Kapiler peritubulus : mendarahi jaringan ginjal; terlibat dalam pertukaran dengan
cairan di lumen tubulus
Komponen tubular
Kapsula Bowman : mengumpulkan filtrat glomerolus
Tubulus proksimal : reabsorpsi dan sekresi tak terkontrol bahan-bahan tertentu
terjadi
Ansa Henle : membentuk gradien osmotik di medula ginjal yang penting bagi
kemampuan ginjal untuk menghasilkan urin dengan konsentrasi garam
Tubulus distal dan duktus koligentes : reabsorpsi terkontrol beragam Na+ dan H2O
serta sekresi K+ dan H+ terjadi disini; cairan yang meninggalkan duktus koligentes
adalah urin, yang masuk ke pelvis ginjal
6
Komponen kombinasi vaskular/tubular
7
Ginjal adalah organ ekskresi pada sebagian besar produk sisa metabolisme
termasuk beberapa agen anestesi. Homeostasis, bergantung pada ginjal lebih dari organ lain
di tubuh. Cairan, elektrolit, dan keseimbangan asam-basa berkaitan secara langsung dengan
fisiologi ginjal. Tiga proses dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi glomerolus, reabsorpsi
tubulus, dan sekresi tubulus.6
Filtrasi adalah tahap pertama pada pembentukan urin. Lebih dari 500 ml darah
masuk ke ginjal per menit memproduksi sekitar 120 ml filtrat per menit. Sebagian besar
filtrat dipengaruhi oleh tekanan darah glomerolus, kapiler, dan permeabilitas dinding
kapsula. Tiga perbedaan tekanan yang menentukan keefektifan tekanan filtrasi, yaitu
tekanan hidrostatik glomerolus, tekanan osmotik koloid darah, tekanan hidrostatik
kapsula.6
Tekanan osmotik koloid kapsula ketika terdapat penyakit ginjal mungkin menjadi
faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerolus yang memungkinkan molekul protein
difusi secara mudah dan masuk ke dalam kapsula Bowman’s. Tekanan hidrostatik
glomerolus juga dipengaruhi oleh perubahan tekanan darah sistemik akibat efek anestesi.
99% filtrat diabsorpsi melalui dinding tubulus yang berlekuk-lekuk, ansa Henle, dan duktus
kolektivus bagian distal. Air, glukosa, asam amino, sodium, klorida, bikarbonat, dan
partikel yang lainnya diabsorbsi. Osmosis, difusi dan transpot aktif terjadi pada fase ini.
Lebih dari 80% reabsorpsi berlangsung pada tubulus proksimal. 6
Regulasi dari keseimbangan asam-basa adalah fungsi penting dari ginjal. Ginjal
dapat mengubah permeabilitas dari sel tubulus untuk mensekresi hidrogen dan ammonia.
Hal ini mengubah keasaman urin yang berlangsung terutama di tubulus distal. Potassium
juga diekskresikan di tubulus distal. Obat-obatan seperti penicilin dan para-aminohippuric
acid (PAH) juga disekresikan oleh tubulus. Sekresi tubulus dapat dinilai dengan mengukur
jumlah PAH yang diekskresikan di urin.Volume urin yang diekskresikan ditentukan oleh
hormon ADH dan aldosteron. Hormon-hormon ini meregulasi sejumlah air yang diabsorpsi
oleh tubulus distal. 6
2.5. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
8
seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang
diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai
oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadinya kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi
keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemi,
gangguan keseimbangan elektolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.4
Tujuan dari persiapan preoperatif pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah untuk
mengidentifikasi kelainan yang sudah ada sebelumnya dalam rangka meminimalkan resiko dari
9
anestesi dan pembedahan. Hal ini memerlukan pendekatan yang melibatkan dokter anestesi,
dokter bedah dan dokter ahli ginjal. Karena gagal ginjal kronik melibatkan seluruh sistem
organ, maka penting untuk mengidentifikasi kelainan pada organ yang sudah ada sebelumnya.7
Beberapa hal yang harus di perhatikan pada preoperatif pasien dengan gagal ginjal
adalah:
Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus
dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya dibutuhkan.
Evaluasi fisik dan laboratorium harus difokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan.
Tanda–tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan
volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan
berat pasien sebelum dan sesudah dialisis mungkin membantu.
Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis.
Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status
asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.
EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau
hipokalimia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi.
Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien
dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi
dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan
abnormal pembuluh darah, dan cairan perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar
pada auskultasi pada pasien dengan efusi perikard.
Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia
berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi
diperkirakan.
Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan
regional anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat menentukan
keadekuatan dialisis.
Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi
insulin perioperatif.
Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada
beberapa pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk terjadinya aspirasi pada
perioperatif
10
Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal.
Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk
mencegah toksisitas obat.8
2.6.2. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi. Obat-obatan untuk premedikasi
antara lain:
1) Barbiturat
11
4) Opioid
Ikatan protein dengan morfin menurun sekitar 10% pada gagal ginjal. Masalah
ini tidak mengakibatkan suatu perubahan penting dalam fraksi bebas morfin, karena
biasanya ikatan protein hanya kecil (23-42%) dengan volume distribusi yang besar.
Morfin hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar menjadi bentuk inaktif yaitu
glukoronida, yang diekstresikan lewat urin.Sehingga pemberian pada pasien dengan
gagal ginjal terutama pada dosis analgesia tidak menyebabkan depresi yang
memanjang. Meskipun demikian, terdapat laporan depresi respirasi dan kardiovaskular
pada pasien dengan gagal ginjal pada pemberian morfin dosis tunggal 8 mg. Distribusi,
ikatan protein dan eksresi meperidin mirip dengan morfin. Akumulasi metabolit
normeperidin dapat menghasilkan efek eksitasi sistem syaraf pusat yaitu terjadinya
konvulsi. Fentanyl juga dimetabolisme dihepar, hanya 7 % dieksresi tanpa mengalami
perubahan diurin. Ikatan dengan protein plasma moderat (fraksi bebas, 19 persen) dan
volume distribusinya besar. Sehingga fentanyl cocok untuk premedikasi pada pasien
dengan gagal ginjal. Farmakokinetik dan farmakodinamik sufentanil dan alfentanil
tidak berbeda secara signifikan pada pasien dengan pengurangan fungsi ginjal
dibandingkan dengan individu normal.8
Promethazin, 12.5-25 mg intra muskular, berguna sebagai tambahan sedasi dan anti
emetika. Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual,
muntah atau perdarahan saluran cerna. Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat
intravena juga berguna dalam mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan
menurunkan resiko aspirasi. Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus
dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.9
2.6.3. Intraoperatif
Posisi
Posisi pasien untuk prosedur pembedahan sering merupakan kompromi antara
posisi yang dapat ditoleransi pasien, struktural serta fisiologi dan apa yang diperlukan
tim pembedahan untuk dapat mengakses target anatomi pembedahan. Tubuh memberi
respon terhadap perubahan posisi adalah berdasarkan respon terhadap gravitasi.
Sebagian besar perubahan yang berhubungan dengan gravitasi adalah pada darah dan
distribusinya didalam sistem vena, paru dan arteri. Terdapat efek penting pada mekanik
12
dan perfusi paru yang berhubungan dengan gravitasi. Beberapa kondisi khusus selama
operasi salah satunya adalah posisi pembedahan dapat menyebabkan kegagalan
pertukaran gas karena menurunkan cardiac output sehingga menyebabkan hipoventilasi
pada pasien yang bernafas spontan dan juga dapat mengurangi kapasitas residual
fungsional.8
Pada pasien nepherektomi posisi pasiennya adalah posisi Flank. Posisi flank
adalah posisi berbaring lateral dimana tungkai yang terletak dibawah di fleksikan dan
tungkai yang letak diatas flekstensikan. Pada pasien dengan nephrektomi kiri, posisi
pasien adalah dengan miring ke kanan dengan ekstremitas yang di fleksi lateral pada
pinggul adalah kanan.8
13
output sehingga menyebabkan perlunya pemantauan kardiovaskular selama pasien
dalam posisi seperti itu.10
Neuropati pada pleksus servikal, pleksus brachial, dan saraf peoneal umum
mungkin terjadi pada posisi lateral karena peregangan atau kompresi pada saraf ini.
Maka harus dihindari peregangan pada leher yang terlalu berlebihan dan posisi bahu
harus netral. Pasien sebaiknya diletakkan dimeja operasi dengan bantalan dipunggung
dan difiksasi untuk meyakinkan bahwa posisi pasien tidak berubah selama
pembedahan.10
14
Monitoring
Pemantauan rutin parameter kardiovaskular dan pernapasan sangat penting
karena risiko masalah terjadi karena posisi pasien saat operasi. Pemantauan invasif
tekanan darah dan tekanan vena sentral dapat digunakan. Keputusan ini tergantung pada
kondisi pre-operasi pasien dan risiko operasi.10
Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara
menyeluruh. Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada
pasien yang hipertensi yang tidak terkontrol. Monitoring invasif yang agresif
diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal berat yang sedang
menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini mungkin memiliki tingkat morbiditas 10
kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa penyakit ginjal.10
Induksi
Agen-agen volatile
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien-pasien dengan disfungsi renal
karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol
tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah
ginjal. Walaupun pasien dengan gangguan ginjal ringan dan sedang tidak menunjukkan
perubahan cepat atau distribusi, percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada
anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya
blood gas portion coefficient atau kurangnya MAC. Enflurane dan sevoflurane (dengan
<2 L/min aliran gas) disarankan tidak baik untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal
yang terjadi pada prosedur panjang karena potensi akumulasi fluoride.9
Nitrous Oxide
Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai
50% pada pasien-pasien dengan gagal ginjal dalam tujuan untuk meningkatkan
penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia. Rasionalisasi ini bisa dilihat hanya pada
pasien anemia berat (Hb <7 gr/dL), bahkan pada peningkatan O2 dissolved mungkin
terlihat persentasi yang signifikan dari O2 arteri terhadap perbedaan O2 vena.9
15
2) Obat-obat anastesi intravena
Barbiturat
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal sering terjadi peningkatan sensitivitas
terhadap barbiturat selama induksi walaupun profil farmakokinetik tidak berubah.
Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan
dengan protein yang berkurang. Asidosis bisa menyebabkan agen-agen ini lebih cepat
masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada obat.9
Ketamin
Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa
metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial
akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak
diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.9
Benzodiazepin
Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi
di urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa
terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan berhati-
hati pada gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit aktifnya.9
Opioid
Banyak opioid yang biasanya digunakan pada manajemen anestesi (morfin,
meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa
metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak
terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah, kecuali
morfin dan meferidin, akumulasi metabolit biasanya tidak terjadi pada agen-agen ini.
Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit meperidine pernah dilaporkan
memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal.
16
Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-
kejang. Farmakokinetik yang sering digunakan dari agonis-antagonis opioid
(butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal ginjal.9
Anastesi umum dengan pelumpuh otot biasa digunakan pada pembedahan ginjal
terbuka atau laparaskopi.
Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium
kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol
sebaiknya digunakan .Walaupun penurunan level pseudocholinesterase pernah dilaporkan
pada beberapa pasien uremik yang mengikuti dialisis, perlamaan signifikan dari blokade
neuromuscular jarang terlihat.9
Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-
60% dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Peningkatan efek pemanjangan
dilihat pada dosis berulang pada pasien-pasien dengan gangguan renal yang signifikan.
17
Dosis lebih rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan
agar pelumpuh otot optimal.9
Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi
dan harus dihindari penggunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.9
Pasien dengan penyakit ginjal biasanya hipertensi dan beresiko terjadi ketidak
stabilan kardiovaskular selama operasi. Hipertensi dapat menjadi masalah terutama
pada nephrektomi bilateral yang dapat menyebabkan hipertensi yang tidak terkontrol1.
Lebih dari 90 persen thiazid dan 70 persen furosemid dieksresi oleh ginjal dan
durasinya diperpanjang pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.8
18
pemberiannya dapat mengurangi kadar norepinephrin perifer tapi sentral tidak
terpengaruh, MAC tidak terpengaruhi juga.8
Pemberian dosis tunggal intravena labetolol 0,5 mg/ kg, volume distribusi,
klirens dan waktu paruh eliminasi sama pada pasien stadium terminal dengan orang
normal. Esmolol dimetabolime di sel darah merah yaitu oleh sitosol esterase.8
19
5) Obat-obat Psikotropik
Untuk mengendalikan nyeri kronik non maligna dan maligna melalui tekhnik
intervensi. Infus terus menurus opiat secara epidural menyebabkan fluktuasi kadar obat
dalam cairan serebrospinal minimal. Sebelum pemasangang cateter epidural, nyeri
harus ditangani secara agresif dengan morfin, methadon dan fentanyl transdermal.8
6) Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine &
pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal
ginjal memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas. Masalah-
20
masalah dengan tidak adekuatnya reversal dari blokade neuromuscular biasanya
dihubungkan dengan faktor-faktor lain.9
Pemeliharaan
Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan
efek minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan
kompensasi yang prinsipil dalam mekanisme anemia. Anestesi volatil, nitrous oxide,
fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang
memuaskan. Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan
karena mereka memiliki efek yang sedikit pada cardiac output. Nitrous oxide harus
digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang lemah dan jangan
digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL)
untuk pemberian 100% oksigen. Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena
akumulasi dari normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya
perlu diperhatikan.9
Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal.
Ventilasi spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat
menyebabkan asidosis respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah
ada, yang dapat menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan
konsentrasi kalium di darah yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak
karena mengeser kurva disosiasi hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia
yang telah ada, dan menurunkan aliran darah otak.9
Terapi Cairan
Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan
penggantian cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan
kehilangan cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang
isotonik, koloid, atau keduanya. Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien
hiperkalemia yang membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L),
normal saline dapat digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena intoleransi glukosa
yang berhubungan dengan uremia. Kehilangan darah diganti dengan packed red blood
cells. Transfusi darah tidak memiliki efek atau bisa berguna pada pasien gagal ginjal yang
21
hendak menjalani transplantasi karena transfusi mungkin dapat mengurangi
ketidakcocokan setelah transplantasi ginjal pada beberapa pasien.9
22
2.6.4. POSTOPERATIF
23
BAB III
PENUTUP
Ginjal adalah organ ekskresi pada sebagian besar produk sisa metabolisme
termasuk beberapa agen anestesi. Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama
anestesia yang setidaknya sebagian tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi.
Semua obat anestetik baik abar (volatil) atau suntikan berpotensi mengganggu fungsi
ginjal baik secara langsung atau tidak langsung akibat perubahan tekanan darah
sistemik, curah jantung, lepasan hormon anti diuretik (ADH), jenis cairan infus yang
kerusakan ginjal, modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. 4th ed. USA: McGraw
25