Professional Documents
Culture Documents
Difteri
Difteri
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteria.
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di
negara subtropis dan pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10
% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama
permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat
penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan
sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
1
Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan,
jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
1.3 Tujuan
2
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin
spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik
keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit,
sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan
kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan ditandai rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif,
timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit
bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa
seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)
2.2 Penyebab
3
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria. Berbentuk
batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type varian dari Corynebacterium diphtheria ini yaitu : type mitis,
typeintermedius dan type gravis.
4
kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang
berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah
disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini
bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang
5
memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada
disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat
mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai
jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan.
Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan
dapat timbul nefritis interstisial.
Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringea
karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas
ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan
kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronco pneumoni.
6
1. Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora,
tidak berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau
kedua ujung badan bacteri.
2. Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat
muda sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
3. Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien,
letanya bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya
terbuka atau sering di kenal sebagian Susunan sejajar / paralel / palisade /
sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan cina
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu
7
sedikit, pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik
koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada
permukaan.
2. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip
seperti karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni pada
Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
3. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna
hitam. batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang &
gelap, tidak adanya granula metakromatik. Penyakit : pertengahan pada
kaldu akan membentuk endapan.
Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat
biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari
tiga tipe dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi
toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-
masing.
Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain
intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit,dan mitis memiliki
waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo),tingkat
pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras
pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.
Klasifikasi
8
Gambar Bakteri Corynebacterium diphtheria
Klasifikasi
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Famili : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Spesies : C. diphtheria
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan
penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier . Caranya melalui
pernafasan atau droplet infection.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai
6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri
khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa
reaksiradang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel
darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran
9
putih keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah
berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini
mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis.
Penderita yang paling berat didapatkan pada
difteri fauncial dan faringeal (Depkes,2007).
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis
(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang
dirasakan pasien:
10
Gambar Difteri Hidung
11
Gambar Difteri Faring
12
Gambar Difteri Kutaneus
Diagnosis Banding
4. Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.
Manifestasi Klinis
13
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin),
dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria
mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah
beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan
keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan
klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa
manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan,
anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika
toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma,
dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan
penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas.
14
Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah
vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.
2.4 Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di
mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital
dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir
mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke
hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita
suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit
dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam
tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui
15
darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung
dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan
masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu
atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi.
Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
16
membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang
paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik.
Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan
kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang
menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah
tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai
dengan jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan,
oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini
bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-
bronchial atau laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau
abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena
membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran
rapuh, dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin
ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan
efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui
porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi
toxin lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah
terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada
miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria,
dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan
jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan
perivascular dibalut dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada
keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering
terlibat dan lebih berat.
2.5 Epidemiologi
17
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di
bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan
penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan
imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk
rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari
setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.
4. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber
dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan
Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih
rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
5. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai
system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan
berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
18
2.6 Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena
preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan
waktu beberapa hari.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
C. diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenitas secara in-vivo (marmot) dan in-vitro (tes Elek).
19
Pemeriksaan Shick Test bisa dilakukan untuk menentukan status
imunitas penderita.
Gejala Penyakit
1. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous
dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
20
2. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal
ke laring dan trachea.
3. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas.
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
berbau
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas
yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah
ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan
(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada
anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL
Depkes,2003).
2.7 Patogenesis
21
Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat
serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang
telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
22
jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang
bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa
laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya
terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi
hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema,
kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila
pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubular akut pada ginjal.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah, molekul dapat
terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak
mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke
dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD)
dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan
untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada
ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan
mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu
23
kompleks adenosin di fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek
nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam
tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui
darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung
dan saraf.
2.8 Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi
tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema
26
jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan
ginjal.
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane
difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan.
Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat
intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang
mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik
sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan
anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh
dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti.
27
Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti
blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi
ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau
akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan
keparahan mionekrosis.. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan
sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup
dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent; untuk
yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.
28
2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan
nafas
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut
menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab
gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan
kerusakan ginjal.
1. Prognosis
1. Isolasi Penderita
2. Imunisasi
1.Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4,
dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan
diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster
siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat
diberikan pada umur 4 tahun).
2.Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5
mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang
berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
30
4. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita
karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan
tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita
harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
2. Pengobatan
1. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-
3 minggu. Istirahat baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian
cairan serta diet yang adekuat Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas
tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
2. Pengobatan Khusus
32
2. Antibiotik
3. Kortikosteroid
4. Pengobatan Penyulit
33
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
5. Pengobatan Kontak
6. Pengobatan Karier
34
USAHA PD3I DIFTERI
Upaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
yang salah satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu
untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit difteri
yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :
1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan
alat suntik
4. Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk
menentukan prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6. Pelaksanaan sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif
berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan
35
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang
berumur 1 – 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun
berturut turut tidak mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF
tergolong dalam imunisasi tambahan diamana definisinya adalah kegiatan
imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan
atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan
kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu.
2. ORI (Outbreak Response Imunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada
daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya
adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar
KLB, sesaat setalah KLB terjadi.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system
kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan
vaksin difteria dengan jadwal yang sama.
37
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya
imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga
kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah
menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena
itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan
lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita
konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung
yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik
untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi
yang lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri
dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri.
Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi
seumur hidup.
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest :
2-3 minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah
dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat
dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih
muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang
terlambat.
Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias
dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya
masih positif dan imunisasi.
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum
(ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi
jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit. Sebelum
pemberian serum dilakukan sensitif test.
39
interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi diberikan tiga
kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri Pertusis )
merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak Sekolah Dasar
kelas 1 .
Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat
menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang
pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah
mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster setiap 10 tahun.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat
memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di
antaranya meliputi:
4. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah.
Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan
memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi
ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
2.8 Determinan
1. C a k u p a n i m u n i s a s i , a r t i n ya d i m a n a a d a b a yi ya n g k u r a n g
b a h k a n tidak mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan
penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan statusimunisasi DPT dan DT
yang tidak lengkap beresiko menderita difteri46.403 kali lebih besar dari
pada anak yang status imunisasi DPT danDT lengkap.
3. F a k t o r L i n g k u n g a n , a r t i n ya l i n g k u n g a n ya n g b u r u k d e n g a n
s a n i t a s i yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit Difteri. Letak
rumah yang berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria
bila ada sumber penularan.
41
BAB III
PENUTUP
3.1 Keimpulan
3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
42
4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
6. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai
6 bulan.
43
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :
1. Cakupan imunisasi
2. Kualitas vaksin
3. Lingkungan
44
DAFTAR PUSTAKA
Garna, Herry, dkk. 2002. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.
45
Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Vol.2 No.5 Profil, 2004.
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam: Jakarta.
Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Bag. IKA FK UI : Jakarta.
46