You are on page 1of 46

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious


disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae
yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil,
nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan
difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh
carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteria.
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di
negara subtropis dan pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10
% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama
permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat
penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan
sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,


Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman
ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian.

1
Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan,
jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.

Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.


Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit
difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak
untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri
pada tahun 2010 sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan
tiga kelurahan dan tidak ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011
mengalami penurunan kasus dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua
kecamatan dan tidak ditemukan adanya kematian dan mengalami peningkatan
kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya terdapat 1 kematian.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?

2. Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?

3. Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?

4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri

2
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri

3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri

4. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin
spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik
keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit,
sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan
kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.

Difteri hidung biasanya ringan dan ditandai rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif,
timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit
bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa
seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)

2.2 Penyebab

3
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria. Berbentuk
batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type varian dari Corynebacterium diphtheria ini yaitu : type mitis,
typeintermedius dan type gravis.

Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan


gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan
intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-
luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri.
Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya
menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan,
terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali
diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan
pemberian antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau
penisilin untuk membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa
dilakukan dengan vaksinasi dengan vaksin DPT.

Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil


aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan
formasi mirip huruf China. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya,
isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang
menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C.
diphtheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan
menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah
dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna
metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem.
Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan

4
kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis,


intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini
merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik.
Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai
kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini
dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian)
atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu
uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan
berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen
yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan
suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C. diphtheriae yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigene.

Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara


bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk
tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe
lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam
bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan
manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).

Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang
berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah
disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane).

Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini
bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang

5
memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada
disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat
mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai
jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan.
Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan
dapat timbul nefritis interstisial.

Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringea
karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas
ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan
kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronco pneumoni.

Gambar alur penyebaran penyakit difteria.

Morfologi Corynebacterium diphtheria

6
1. Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora,
tidak berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau
kedua ujung badan bacteri.
2. Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat
muda sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
3. Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien,
letanya bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya
terbuka atau sering di kenal sebagian Susunan sejajar / paralel / palisade /
sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan cina

Corynebacteria berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa mikrometer,


tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C.
diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh
pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai,
perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan-
perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius
tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan
terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah
dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan tidak teratur
pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam
batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-
granula yang dapat diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula
metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap
korinebakteria pada sediaan yang diwarnai cenderung terletak paralel atau
membentuk sudut lancip satu sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam
biakan.

Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu

1. Gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga


paling besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik

7
sedikit, pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik
koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada
permukaan.

2. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip
seperti karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni pada
Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.

3. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna
hitam. batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang &
gelap, tidak adanya granula metakromatik. Penyakit : pertengahan pada
kaldu akan membentuk endapan.

Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat
biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari
tiga tipe dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi
toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-
masing.

Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain
intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit,dan mitis memiliki
waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo),tingkat
pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras
pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.

Klasifikasi

8
Gambar Bakteri Corynebacterium diphtheria

Klasifikasi

Kerajaan : Bacteria

Filum : Actinobacteria

Ordo : Actinomycetales

Famili : Corynebacteriaceae

Genus : Corynebacterium

Spesies : C. diphtheria

2.3 Cara Penularan

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan
penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier . Caranya melalui
pernafasan atau droplet infection.

Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai
6 bulan.

Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri
khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa
reaksiradang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel
darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran

9
putih keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah
berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini
mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis.
Penderita yang paling berat didapatkan pada
difteri fauncial dan faringeal (Depkes,2007).

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung


dengan gejala hanya nyeri menelan.

2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring


(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.

3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis
(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang
dirasakan pasien:

1. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan


ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri.
Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber
utama penularan.

10
Gambar Difteri Hidung

2. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut


tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang
cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher.
Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu
abuan kotor didaerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut
(faring).

11
Gambar Difteri Faring

3. Difteri laring (l a r y n g o t r a c h e a l d i p h t h e r i a e ) dengan gejala tidak


bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat
celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher.
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam
nyawa penderita akibat gagal nafas.

Gambar Difteri Laring

4. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa


luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane
diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri,
luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.

12
Gambar Difteri Kutaneus

Diagnosis Banding

1. Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea


(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles
(lues congenital).

2. Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang


disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat),
mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis
herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.

3. Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat


menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup,
angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring.

4. Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.

Manifestasi Klinis

13
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin),
dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria
mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah
beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan
keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan
klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa
manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.

1. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung


mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi
kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di
lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi
antibiotik.

2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan,
anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika
toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma,
dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan
penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.

3. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring.


Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.

4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas.

14
Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah
vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh


pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling
sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung
yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi
pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf
motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan
diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.

Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena


obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk
difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%).
Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50
tahun terakhir.

2.4 Patofisiologi

1. Tahap Inkubasi

Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di
mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital
dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir
mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke
hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita
suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit
dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam
tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui

15
darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung
dan saraf.

Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan
masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu
atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi.
Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.

2. Tahap Penyakit Dini

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.


Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.
Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf
lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.
Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu
pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan
pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara
perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan
buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

3. Tahap Penyakit lanjut

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan


selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek
dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir
dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak
mengalami kesulitan bernafas.

Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan


invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada

16
membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang
paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik.
Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan
kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang
menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah
tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai
dengan jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan,
oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini
bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-
bronchial atau laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau
abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena
membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran
rapuh, dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin
ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan
efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui
porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi
toxin lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah
terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada
miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria,
dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan
jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan
perivascular dibalut dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada
keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering
terlibat dan lebih berat.

2.5 Epidemiologi
17
1. Person (Orang)

Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di
bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan
penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.

Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan
imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk
rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari
setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.

4. Place (Tempat)

Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber
dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan
Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih
rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

5. Time (Waktu)

Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai
system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan
berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.

18
2.6 Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena
preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan
waktu beberapa hari.

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
C. diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenitas secara in-vivo (marmot) dan in-vitro (tes Elek).

Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri,


karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi
perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.

Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan


pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus
ditegakakkan berdasarkan gejala klinik.
Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:

1. Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi


Corynebacterium diphtheriae.

2. Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung)


dapat di lakuka dengan Electrocardiogram (ECG).

Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi


hasilnya kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik.

19
Pemeriksaan Shick Test bisa dilakukan untuk menentukan status
imunitas penderita.

Gejala Penyakit

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :

1. Panas lebih dari 38 °C

2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil

3. Sakit waktu menelan

4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan


karena pembengkakan kelenjar leher.

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa


bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria,
virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium
diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk
umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring
yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang
untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit
diphtheria.

1. Diphtheria Hidung

Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous
dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.

20
2. Diphtheria Tonsil-Faring

Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal
ke laring dan trachea.

3. Diphtheria Laring

Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas.

4. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
berbau

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas
yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah
ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan
(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium.

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada
anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL
Depkes,2003).

2.7 Patogenesis

21
Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat
serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang
telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan


fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan
proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi
kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan
nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin
semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri
dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi
perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan


bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous
dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan
perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang
diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama

22
jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang
bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa
laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya
terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi
hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema,
kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila
pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubular akut pada ginjal.

Di alam, Corynebacterium diphtheria terdapat dalam saluran pernapasan,


dalam luka - luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang
membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu
yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet,
dan bakteri mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro
terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi
0,14 μg/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam
amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok.

Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah, molekul dapat
terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak
mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke
dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD)
dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan
untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada
ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan
mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu

23
kompleks adenosin di fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek
nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis

protein yang mendadak.

Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang


berbeda, yaitu :

1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan


proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme
kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa
jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.

2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel


eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin
bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif
mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses
penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.

Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan,


dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang
membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu
yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet,
dan bakteri mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro
terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi
0,14 μg/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam
amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat
terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak
24
mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke
dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD)
dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan
untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada
ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan
mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu
kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek
nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis
protein yang mendadakBiasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar
permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.
Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari
tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam
tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui
darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung
dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.


Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.
Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada
saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.
Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama
minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan
ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan


destruksi epitel dan respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami
25
nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga
terbentuk ”pseudomembran” yang berwarna kelabu –yang sering melapisi tonsil,
faring, atau laring. Setiap usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak
kapiler dan mengakibatkan pendarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher
membesar, dan dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher.

Corynebacterium diphtheria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara


aktif. Toksin ini diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat yang jauh,
khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati,
ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh pendarahan hebat. Toksin juga
mengakibatkan kerusakan syaraf yang sering mengakibatkan paralisis palatum
molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan


selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek
dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir
di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga
anak mengalami kesulitan bernafas.

Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan.


Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat
biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi
akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,
2003).

2.8 Komplikasi

Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi
tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema

26
jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan
ginjal.

Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala


kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan.
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi
terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan
streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih waspada
dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak.

Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane
difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan.
Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat
intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang
mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik
sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan
anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh
dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti.

Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri


dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara
dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua,
tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya
dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian
antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3
sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall
1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi
lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat
merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom.
Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada
elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim.

27
Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti
blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi
ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau
akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan
keparahan mionekrosis.. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan
sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup
dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent; untuk
yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.

Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi


primer dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah
mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle.
Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai,
menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena
aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan
paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,
pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1
hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit
motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai
menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal
pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma
dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah
mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan
hipotensi atau gagal jantung.

Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah


toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.

Komplikasi difteri terdiri dari :

1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus

28
2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan
nafas

3. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.

Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut
menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab
gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan
kerusakan ginjal.

1. Prognosis

Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran


membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum. (8) Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik,
lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara
lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri.

Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan


oleh karena :

1. Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,

2. Adanya miokarditis dan gagal jantung,

3. Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit


difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun
demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.

2.10 Pencegahan dan Pengobatan


29
1. Pencegahan

1. Isolasi Penderita

Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah


pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacterium diphtheriae.

2. Imunisasi

Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria,


pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-
anak usia sekolah dasar.

Rencana Imunisasi (Jadwal)

1.Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4,
dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan
diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster
siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat
diberikan pada umur 4 tahun).

2.Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5
mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang
berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.

3.Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.


Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun
harus mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5
mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah
umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin
mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6
tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.

30
4. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria

Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita
karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan
tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita
harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan


pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak
mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan
seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita
difteri ringan.

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,


kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan
batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu
DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;
preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya
superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang
lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.

2. Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang


belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
31
minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria.

1. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-
3 minggu. Istirahat baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian
cairan serta diet yang adekuat Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas
tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.

2. Pengobatan Khusus

1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.


Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6
menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum
pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.

32
2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan


untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan
untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G,
atau Penisilin prokain.

3. Kortikosteroid

Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai


gejala.

4. Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika


tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila

33
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

5. Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai


tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala
klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan
serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria.

6. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai


uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

34
USAHA PD3I DIFTERI
Upaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
yang salah satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu
untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit difteri
yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :
1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan
alat suntik
4. Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk
menentukan prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6. Pelaksanaan sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif
berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan

Seiring dengan ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka


pemerintah melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu
konsentrasi kegiatan difokuskan pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam
penanggulangan KLB. Terjadinya suatu KLB Difteri dapat mengindikasikan bahwa
Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk melindungi
terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai
usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai memasuki usia
sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat
imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu diberikan imunisasi tambahan untuk
menangani KLB Difteri yaitu dengan program BLF (Backlog Fighting) dan ORI
(Outbreak Response Imunization).

1. BLF (Back Log Fighting)

35
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang
berumur 1 – 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun
berturut turut tidak mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF
tergolong dalam imunisasi tambahan diamana definisinya adalah kegiatan
imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan
atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan
kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu.
2. ORI (Outbreak Response Imunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada
daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya
adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar
KLB, sesaat setalah KLB terjadi.

Mengingat Penyakit Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana


temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak
berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif untuk
mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus
dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar
sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai
penularan.
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi
tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada
kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat
kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun
kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak
selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat
secara aktif dengan imunisasi.

Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan


diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu,
imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia
2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid)
36
dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan
pada saat anak akan bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan
antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering
berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai
pada keadaan yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap
penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.

Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi


DPTdan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar
dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan
sumber penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak
ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang
imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi
dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan
dalam mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008).

Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus


dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan
selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan
kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam
waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri
dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi
perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT
sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah
imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT)
setiap 10 tahun sekali.

Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system
kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan
vaksin difteria dengan jadwal yang sama.

37
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya
imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga
kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah
menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena
itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan
lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita
konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung
yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik
untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi
yang lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri
dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri.
Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi
seumur hidup.

Perawatan bagi penyakit ini termasuk antitoksin difteri, yang melemahkan


toksin dan antibiotik. Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan bakteri
difteri dan menghentikan pengeluaran toksin. Selama sakit, penderita harus tiduran
di tempat tidur. Umumnya difteri dapat dicegah melalui vaksinasi dengan vaksin
DPT (vaksin Difteri, Pertusis, dan Tetanus) sejak bayi berumur 3 bulan. Untuk
pemberian kekebalan dasar perlu diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1 – 1,5
bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang kembali. Umumnya diberi Penisilin atau
antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah
infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit ini.
Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari,
maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian,
intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan
600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Melihat bahayanya, penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukan
gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segera
mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit untuk di
opname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah sakit akan
38
dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital penderit auntuk
mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita umumnya akan
diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).

Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest :
2-3 minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah
dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.

Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat
dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih
muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang
terlambat.

Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias
dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya
masih positif dan imunisasi.

Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan


membunuh basil dengan antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,
Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).

Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum
(ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi
jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit. Sebelum
pemberian serum dilakukan sensitif test.

Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3


hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-
40mg/KgBB/hari selama 14 hari.

Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus)


dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang
dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan
untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus,
diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan

39
interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi diberikan tiga
kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri Pertusis )
merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak Sekolah Dasar
kelas 1 .

Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat
menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang
pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah
mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster setiap 10 tahun.

Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran


sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan
hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang
meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.

Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat
memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di
antaranya meliputi:

1. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi


bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat
pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-
paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru sehingga
fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal napas.

2. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke


jantung dan menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis.
Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang
tidak teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.

3. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah


sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada
diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran
kemih dapat menjadi indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan
40
memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan membuat pasien tidak bisa
bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator.
Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala
atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita
difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan
untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.

4. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah.
Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan
memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi
ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.

2.8 Determinan

Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian Difteria


diantaranya :

1. C a k u p a n i m u n i s a s i , a r t i n ya d i m a n a a d a b a yi ya n g k u r a n g
b a h k a n tidak mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan
penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan statusimunisasi DPT dan DT
yang tidak lengkap beresiko menderita difteri46.403 kali lebih besar dari
pada anak yang status imunisasi DPT danDT lengkap.

2. Kualitas v a k s i n , a r t i n ya pada saat pros es pemberian


vaksinasi kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga
mempengaruhi kualitas vaksin.

3. F a k t o r L i n g k u n g a n , a r t i n ya l i n g k u n g a n ya n g b u r u k d e n g a n
s a n i t a s i yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit Difteri. Letak
rumah yang berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria
bila ada sumber penularan.

4. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu, dimana


p e n g e t a h u a n a k a n pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang
bisa mengenali secaradini gejala-gejala penyakit difteria.

41
BAB III

PENUTUP

3.1 Keimpulan

1. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium


diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman
penyebabnya.

2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:


Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.

3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.

42
4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :

1. Panas lebih dari 38 °C

2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc .

3. Sakit waktu menelan

4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan


karena pembengkakan kelenjar leher

5. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik


sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui
kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier.
Caranya melalui pernafasan dan difteri kulit yang mencemari tanah
sekitarnya.

6. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai
6 bulan.

7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian


imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan
dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling
sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat usia sekolah
dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan dengan
cara menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari kuman difteri
ini.

8. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan


umum yaitu dengan isolasi, bed rest 2-3 hari, intake makan : makanan
lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus
yang bertujuan menentralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika
( Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,
Klindamisin, Tetrasiklin).

43
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :

1. Cakupan imunisasi

2. Kualitas vaksin

3. Lingkungan

4. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga

5. Akses pelayanan kesehatan yang rendah

44
DAFTAR PUSTAKA

Arias, Kathleen. 2000. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas


Kesehatan. Jakarta : EGC

Aziz, hidayat. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba


medika.

Berham. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Volume 2. Jakarta; EGC.

Ditjen P2PL, Depkes RI, ,2007. Revisi Buku Pedoman Penyelidikan


dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman
Epidemiologi Penyakit), Jakarta.

Ditjen P2PL, Depkes RI, 2003. Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi


Penyakit,Jakarta,

Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,


2005,Jakarta

Garna, Herry, dkk. 2002. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.

Kadun, I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular.


CV. Infomedika, Jakarta

Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di

45
Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Vol.2 No.5 Profil, 2004.

Profil Kesehatan ,http://www.BankData/Depkes.go.id/

Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2012.

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam: Jakarta.

Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Bag. IKA FK UI : Jakarta.

Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan


Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.

46

You might also like