You are on page 1of 23

11

BAB 2

Landasan Teori

2.1. Kajian Teori

2.1.1 Manajemen
Robbins dan Coulter (2014, p7), manajemen melibatkan aktivitas-aktivitas
koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan
tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Manajemen juga berupaya
untuk menjadi efektif, dengan menyelesaikan tugas-tugas demi terwujudnya sasaran-
sasaran organisasi.
Griffin (2012, p7), manajemen adalah suatu rangkaian aktivitas (ternasuk
perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan
pengendalian) yang diarahkan pada sumber-sumber daya organisasi (manusia,
finansial, fisik dan informasi) dengan tujuan untuk mencapai organisasi yang efektif
dan efisien
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa organisasi, termasuk di
dalamnya lembaga pemerintah non kementerian, yang baik adalah organisasi yang
dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien. Efisien berarti
menggunakan sumber daya secara terorganisasi sehingga dapat menghasilkan sumber
daya yang berkualitas, sedangkan efektif berarti membuat keputusan yang tepat dan
mengimplemetasikannya dengan baik.

2.1.1.1 Fungsi-Fungsi Manajemen


Robbins dan Coulter (2014, p7), Fungsi manajemen terdiri dari empat
aktivitas dasar, yaitu perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan
pengendalian (yang penjelasanya adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah mendefinisikan sasaran-sasaran, menetapkan strategi, dan
mengembangkan rencana kerja untuk mengelola aktivitas-aktivitas.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasi adalah menentukan apa yang harus diselesaikan, bagaimana
caranya dan siapa yang akan mengerjakannya.
12

3. Kepemimpinan (Leading)
Kepemimpinan adalah memotivasi, memimpin dan tindakan tindakan lainya
yang melibatkan interaksi dengan orang-orang lain.
4. Pengendalian (Controlling)
Pengendalian adalah mengawasi aktivitas-aktivitas demi memastikan segala
sesuatunya terselesaikan sesuai dengan rencana.

2.1.2 Manajemen Sumber Daya Manusia


Marwansyah (2013, p3), Manajemen sumber daya manusia dapat diartikan
sebagai pendayagunaan sumber daya manusia di dalam organisasi, yang dilakukan
melalui fungsi-fungsi perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen dan seleksi,
pengembangan sumber daya manusia, perencanaan dan pengembangan karir,
pemberian kompensasi dan kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja, dan
hubungan industrial.
Mathis dan Jackson (2006, p3), sumber daya manusia sangat berhubungan
dengan perancangan suatu sistem formal dalam organisasi untuk memastikan
penggunaan suatu bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai suatu
tujuan. Sedangkan menurut Hasibuan (2011, p10), manajemen sumber daya manusia
adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan
efisien untuk membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat.
Menurut peneliti, Manajemen Sumber Daya Manusia adalah sumber dimana
tenaga kerja yang efektif mampu mewujudkan organisasi, termasuk di dalamnya
lembaga pemerintah non kementerian, mencapai suatu tujuan agar berjalan sesuai
dengan tujuan organisasi, dengan kemampuan yang ada pada dalam diri manusia
yaitu pegawai negeri sipil, dapat dimanfaatkan dalam kelangsungan hidup organisasi
dan di dalam manusia itu sendiri.

2.1.3 Pengertian Kepemimpinan


Sebagian besar definisi kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa
kepemimpinan berkaitan dengan proses yang disengaja dari seseorang untuk
menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk membimbing,
membuat struktur, memfasilitasi aktivitas dan hubungan di dalam kelompok atau
organisasi.
13

Yukl (2012, p6), Kepemimpinan dan manajemen adalah berbeda secara


kualitatif dan saling meniadakan. Beberapa perbedaan yang paling ekstrim
melibatkan asumsi bahwa manajemen dan kepemimpinan tidak mungkin terjadi pada
satu orang yang sama. Dengan kata lain, beberapa orang manajer dan orang lainya
adalah pemimpin. Definisi pemimpin dan manajer diasumsikan nilainya saling
bertentangan dan berbeda kepribadian. Manajer menghargai stabilitas, keteraturan
dan efisiensi, sementara pemimpin menghargai fleksibilitas, inovasi dan adaptasi.
Sedangkan menurut Kotler (1990), kepemimpinan berusaha untuk membuat
perubahan dalam organisasi dengan menyusun visi masa depan dan strategi untuk
membuat perubahan yang dibutuhkkan, mengkomunikasikan dan menjelaskan visi,
dan memotivasi dan memberi inspirasi kepada orang lain untuk mencapai visi itu.
Rost pada tahun 1991 mendefinisikan kepemimpinan sebagai hubungan pengaruh ke
berbagai arah antara pemimpin dan bawahannya yang mempunyai tujuan yang sama
dalam mencapai perubahan yang sebenarnya (Yukl, 2012, p7).
Yukl (2012, p20), Perbedaan penting lainnya di antara teori kepemimpinan
adalah seberapa besarnya tingkat deskriptif atau perspektif teori kepemimpinan itu.
Teori deskriptif menjelaskan tentang proses kepemimpinan, menjalankan aktivitas
kepemimpinan yang lazim dan menjelaskan mengapa perilaku tertentu terjadi dalam
situasi tertentu. Teori perspektif membahas apa yang harus dilakukan pemimpin agar
menjadi efektif dan mengidentifikasi berbagai kondisi yang dibutuhkan untuk
mengunakan jenis perilaku secara efektif.
Yukl (2012, p20), Teori universal menjelaskan berbagai aspek kepemimpinan
yang diterapkan pada seluruh jenis situasi. Teori universal bisa saja bersifat deskriptif
atau prekspektif. Teori universal yang deskriptif membahas sebagian fungsi yang
dilakukan oleh seluruh jenis pemimpin hingga batas tertentu, sementara teori
universal yang perspektif membahas seluruh fungsi yang harus dilakukan pemimpin
agar menjadi efektif.
Yukl (2012, p21), Teori kontingensi membahas berbagai aspek
kepemimpinan yang diharapkan pada situasi tertentu tetapi tidak untuk situasi yang
lain. Teori kontingensi juga dapat bersifat deskriptif atau perspektif. Teori
kontingensi yang dekriptif membahas tentang mengapa pemimpin berperilaku
berbeda antara satu situasi dengan situasi lainnya, sementara teori kontingensi yang
prespektif membahas perilaku yang paling efektif dalam setiap jenis situasi.
14

Susanto dan Putra (2010, p21), Pada tahun 1950an, para pakar manajemen
dari Ohio State University menerbitkan serangkaian studi untuk menentukan apakah
pemimpin seharusnya mengerjakan banyak tugas, ataukah lebih berorientasi pada
hubungan antar manusia. Penelitian tidak menyimpulkan mana gaya yang lebih baik,
tetapi merekomendasikan bahwa gaya kepemimpian perlu disesuaikan dengan
kondisi-kondisi. Inilah yang disebut kepemimpinan situasional atau (Situational
leadership).
Yukl (2012, p65), Program penelitian utama kedua mengenai perilaku
kepemimpinan telah dilakukan oleh para peneliti dari University of Michigan pada
waktu yang kira-kira sama dengan studi kepemimpinan dari Ohio State University.
Fokus penelitian Michigan adalah identifikasi hubungan di antara perilaku
pemimpin, proses kelompok, dan ukuran mengenai kinerja kelompok.
Pada studi ini para peneliti mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan
yang berbeda yaitu, Job-centered yang berarti berorientasi pada pekerjaan dan
employee-centered yang berarti berorientasi pada karyawan. Penjelasannya adalah
sebagai berikut:
1. Pemimpin yang berorentasi pada pekerjaan (Job-centered leader)
Pemimpin yang berorientasi pada pekerjaan adalah pemimpin yang berorentasi
pada tugas melalui penerapan pengawasan ketat sehingga bawahan melakukan
tugasnya dengan melakukan prosedur yang telah ditentukan.
2. Pemimpin yang berorentasi pada karyawan (Employee-centered leader)
Pemimpin yang berorientasi pada karyawan adalah pemimpin mendelegasikan
pengambilan keputusan pada bawahan dan membantu para pengikutnya dalam
memuaskan kebutuhan dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang suportif.
Kepemimpinan partisipatif dapat mengambil berbagai bentuk. Beberapa
bentuk prosedur pengambilan keputusan dapat digunakan untuk mengikutsertakan
orang lain dalam pengambilan keputusan. Sejumlah ahli teori kepemimpinan telah
mengajukan berbagai macam taksonomi mengenai prosedur pengambilan keputusan,
dan hingga kini tidak ada kesepakatan mengenai jumlah prosedur pengambilan
keputusan yang optimal atau cara terbaik untuk mendefinisikannya (Heller dan Yukl,
1969, Strauss 1977, Tannenbaum dan Schmidt, 1958, Vroom dan Yetton, 1973).
Namun demikian, menurut Yukl (2012, p99), kebanyakan ahli tersebut ingin
mengakui empat buah prosedur pengambilan keputusan berikut ini sebagai yang
khusus dan berarti:
15

1. Keputusan yang otokratis. Manajer membuat keputusan sendiri tanpa menanyakan


pendapat atau saran dari orang lain, dan orang-orang tidak mempunyai pengaruh
langsung terhadap keputusan itu, tidak ada partisipasi.
2. Keputusan yang konsultatif. Manajer menanyakan pendapat dan gagasan,
kemudian mengambil keputusannya sendiri setelah mempertimbangkan saran dan
perhatian mereka dengan serius.
3. Keputusan bersama. Manajer bertemu dengan orang lain, untuk mendiskusikan
masalah keputusan tersebut, dan mengambil keputusan bersama; manajer tidak
mempunyai pengaruh lagi terhadap keputusan terakhir seperti juga partisipan
lainnya.
4. Keputusan pendelegasian. Manajer memberikan otoritas dan tanggung jawab
membuat keputusan kepada seseorang atau kelompok; manajer biasanya
menyebutkan batas dimana pilihan akhir harus berada, dan persetujuan awal
mungkin atau mungkin tidak perlu diminta sebelum keputusan itu dapat
diimplementasikan.

2.1.3.1 Jenis-Jenis Gaya Kepemimpinan


Menurut Tohardi di kutip oleh Edy Sutrisno (2010, p242), menyatakan bahwa
gaya-gaya kepemimpinan yaitu:
1. Gaya persuasif
2. Gaya refresif
3. Gaya partisipatif
4. Gaya inovatif
5. Gaya insvetigatif
6. Gaya inspektif
7. Gaya motivatif
8. Gaya naratif
9. Gaya edukatif
10. Gaya retrogresif

Hasil di atas dapat di uraikan sebagai berikut:


1. Gaya persuasif
16

Yaitu gaya kepemimpinan dengan menggunakan pendekatan yang mengubah


perasaan, pikiran, atau dengan kata lain melakukan ajakan atau bujukan.
2. Gaya represif
Yaitu gaya kepemimpinan dengan cara memberikan tekanan-tekanan, ancaman-
ancaman sehingga bawahan merasa ketakutan
3. Gaya partisipatif
Yaitu gaya kepemimpinan dengan cara memberikan kesempatan kepada bawahan
untuk aktif baik menata spiritual, fisik maupun material dalam kiprahnya dalam
perusahaan.
4. Gaya inovatif
Yaitu gaya kepemimpinan yang selalu berusaha dengan keras untuk mewujudkan
usaha-usaha pembaruan di dalam segala bidang, baik bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya atau setiap produk terkait dengan kebutuhan manusia
5. Gaya investigatif
Yaitu gaya kepemimpinan yang selalu melakukan penelitian yang disertai dengan
rasa penuh kecurigaan terhadap bawahan nya menimbulkan kreatifitas, inovasi,
serta inisiatif dari bawahan kurang berkembang karena bawahan tacit kesalahan-
kesalahan.
6. Gaya inspektif
Yaitu gaya kepemimpinan yang suka melakukan acara-acara yang sifatnya
protokoler, kepemimpinan dengan gaya inspektif menuntut penghormatan
bawahan, atau pemimpin yang senang apabila dihormati
7. Gaya motivatif
Yaitu gaya kepemimpinan yang dapat menyampaikan informasi mengenai ide-
idenya, program-program dan kebijakan-kebijakan kepada bawahan dengan baik.
Komunikasi tersebut membuat segala ide bawahan-bawahan dan kebijakan di
pahami oleh bawahan sehingga bawahan mau bekerja keras.

8. Gaya naratif
Yaitu gaya kepemimpinan yang bergaya naratif merupakan pemimpin yang
banyak bicara namun tidak disesuaikan dengan apa yang ia kerjakan, atau dengan
kata lain pemimoun yang banyak bicara sedikit bekerja.
17

9. Gaya edukatif
Yaitu gaya kepemimpinan yang suka melakukan pengembangan bawahan dengan
cara memberikan pendidikan dan keterampilan kepada bawahan, sehingga
bawahan, sehingga bawahan menjadi menjadi memiliki wawasan dan pengalaman
yang lebih baik dari hari ke hari, sehingga seseorang pemimpin yang bergaya
edukatif tidak akan pernah menghalangi bawahan ingin mengembangan
pendidikan dan keterampilan.
10. Gaya restrogresif
Yaitu gaya kepemimpinan yang tidak suka melihat maju, apalagi melebihi dirinya.
Untuk itu pemimpin yang bergaya restrogresif selalu menghalangi bawahan untuk
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.

2.1.3.2 Indikator Gaya Kepemimpinan


Menurut Safaria (2006, p77), indikator-indikator kepemimpinan adalah sebagai
berikut:
1. Kepemimpinan secara suportif (Supportive leadership)
Digambarkan sebagai pemimpin yang menunjukkan perhatian besar kepada
kesejateraan dan pemenuhan kebutuhan bawahan. Perilaku dengan gaya ini
bersifat terbuka, bersahabat, dan dapat didekati dengan mudah.
2. Kepemimpinan yang direktif (Directive leadership)
Digambarkan sebagai pemimpin yang menunjukkan dominasi dalam
mengarahkan, mengawasi dan mengatur bawahan secara ketat. Perilaku pemimpin
ini lebih banyak membuat perencanaan, membuat jadwal kerja dan menetapkan
tujuan kinerja dan standar perilaku bawahan, serta menekankan pada pemenuhan
terhadap aturan dan peraturan yang ada dalam organisasi.
3. Kepemimpinan partisipatif (Partisipative leadership)
Digambarkan lebih banyak mengkonsultasikan dan mendiskusikan pada bawahan
sebelum membuat keputusan dan banyak berdikusi dengan bawahan di tempat
kerja.
4. Kepemimpinan berorientasi prestasi (Achievement-oriented leadership)
Digambarkan sebagai pemimpin dengan tujuan yang jelas dan mempunyai
tantangan yang besar terhadap bawahannya. Perilaku pemimpin ini juga percaya
18

kepada bawahannya dan memberikan bimbingan kepada mereka untuk mencapai


tujuan yang tinggi.

2.1.4 Budaya Organisasi


Di Indonesia, kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “buddhayah”
yang merupakan bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti akal, maksud dan
pandangan. Di samping itu, kata budaya sering disejajarkan dengan kata “Culture”
yang berarti mengelola atau mengerjakan. Dalam kehidupan sehari-hari tidak
terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat
yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis, maupun bangsa. Budaya
membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan
bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok
masyarakat menjadi satu kesatuan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau
bertindak. Budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan
manfaatnya dalam memberikan kontribusi bagi efektivitas organisasi secara
keseluruhan.
Pengertian budaya organisasi menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Robbins dan Judge (2008, p305), budaya organisasi merupakan sistem makna
bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi
dari organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati lebih seksama,
merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh suatu organisasi.
Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan mempersepsikan
karakteristik dari suatu budaya organisasi, bukan dengan jumlah para karyawan
menyukai budaya atau tidak.
b. Mangkunegara (2006) menyimpulkan bahwa, "budaya organisasi adalah
seperangkat atau asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang
dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku anggota-
anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
(Sembiring, 2012, p39).
c. Sembiring (2012, p39).Budaya organisasi merupakan karakteristik organisasi,
bukan individu anggotanya. Jika organisasi disamakan dengan manusia, maka
budaya organisasi merupakan personalitas atau kepribadian organisasi. Akan
19

tetapi budaya organisasi membentuk perilaku organisasi anggotanya. Bahkan


tidak jarang perilaku anggota organisasi sebagai individu.
d. Schein (2010, p17) memberikan definisi bahwa, budaya kelompok sekarang dapat
didefinisikan sebagai sebuah pola bersama asumsi yang dipelajari oleh kelompok
seperti memecahkan masalah adaptasi integrasi eksternal dan internal yang
bekerja cukup baik untuk dianggap sah dan oleh karena itu, diajarkan untuk
anggota baru sebagai cara yang benar untuk merasakan, berpikir, dan merasa
terkait dengan masalah tersebut.
Selanjutnya menurut Mazhab Adaptasionis (adaptationist), terangkai budaya
organisasi dari apa yang dapat diobservasi baik dari bangunan kegiatan maupun dari
orang-orang yang terlibat di dalamnya seperti cara mereka berkomunikasi dan
berperilaku. Pendek kata, mazhab adaptasionis merangkai budaya dari kulit luar
organisasi. Davis penganut mazhab adaptasionis pada Sobirin (2007) mengemukakan
defenisi budaya kegiatan sebagai berikut: "budaya perusahaan adalah pola
kepercayaan berbagi dengan aturan untuk membentuk perilaku dalam organisasi
mereka" (budaya perusahaan adalah wujud dan nilai bersama yang memberikan
makna bagi semua anggota institusi dan menjadikan wujud dan nilai tersebut sebagai
aturan/ pedoman berperilaku di dalam organisasi). Dengan demikian, berdasarkan
mazhab adaptasionis, budaya diartikan sebagai pandangan hidup, atau cara pandang
sebagai dasar bertindak, yang menekankan pada pentingnya memahami budaya dari
aspek perilaku manusia (Sembiring, 2012, p44).
Dari pandangan beberapa ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa budaya
organisasi adalah nilai, keyakinan, norma, filosofi dan peraturan yang diterapkan di
dalam sebuah organisasi, di mana organisasi dijalankan dan ditaati oleh semua
anggota organisasi guna untuk mencapai tujuan bersama.

2.1.4.1 Ciri-Ciri Budaya Organisasi


Robbins dan Judge (2008, p289) menyatakan bahwa ciri-ciri budaya
organisasi terbagi atas 7 karakteristik tahapan yang terdiri dari:
1. Inovasi dan pengambilan resiko
Yaitu dimana karyawan di dukung untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail
20

Yaitu sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis, dan


perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil
Yaitu sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil, bukannya pada teknik dan
proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi orang
Yaitu sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang
di dalam organisasi tersebut.
5. Orientasi tim
Yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim dan ukurannya
kepada individu.
6. Keagresifan
Yaitu sejauh mana diukur nya keagresifan karyawan terhadap suatu pekerjaannya.
7. Kemantapan
Yaitu sejauh mana organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang
sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh
gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk
perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu,
bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku.

2.1.4.2 Indikator Budaya Organisasi


Yang menjadi indikator budaya organisasi menurut Luthans (2008, p123)
adalah:
1. Aturan perilaku yang diamati
Ketika anggota organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka menggunakan
bahasa, istilah, dan ritual umum yang berkaitan dengan rasa hormat dan cara
berperilaku.
2. Norma
Ada standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa banyak pekerjaan
yang dilakukan, yang dalam perusahaan menjadi "jangan melakukan terlalu
banyak, jangan terlalu sedikit".
3. Nilai dominan
21

Organisasi mendukung dan berharap peserta membagikan nilai-nilai utama.


4. Filosofi
Terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi mengenai bagaimana
karyawan dan atau pelanggan diperlakukan.
5. Aturan
Terdapat pedoman berkaitan dengan percapaian perusahaan. Pendatang baru harus
mempelajari teknik dan prosedur yang ada agar diterima sebagai anggota
kelompok yang berkembang.
6. Iklim Organisasi
Ini merupakan keseluruhan "perasaan" yang disampaikan dengan pengaturan yang
bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan cara anggota organisasi berhubungan
dengan pelanggan dan individu dari luar.

2.1.5 Pengertian Motivasi


Robbins dan Judge (2008, p208), motivasi adalah kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan
oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual.
Robbins dan Judge (2012, p222), berpendapat bahwa motivasi sebagai proses
yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai
tujuannya. Sementara motivasi umumnya berkaitan dengan usaha mencapai suatu
tujuan, namun pada pembahasannya dipersempit dan berfokus pada tujuan-tujuan
pencapaian organisasi untuk mencerminkan minat kita terhadap perilaku yang
berhubungan dengan pekerjaan.
Mitchell (2006, p15), motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang
menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan
sukarela yang diarahkan ke tujuan tertentu. Motivasi penting karena motivasi adalah
hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia supaya mau
bekerja giat dan antusias dalam mencapai hasil yang optimal.
Hasibuan (2010, p141), motivasi semakin penting karena atasan membagikan
pekerjaan pada bawahannya untuk dikerjakan dengan baik menuju tujuan yang
diinginkan. Jadi motivasi merupakan semangat keinginan dan dorongan dalam
bekerja untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan memberikaan suatu energi yang
22

positif dan menjadikan manusia atau pekerjanya mau bekerjasama untuk mencapai
hasil yang optimal.

2.1.5.1 Teori Motivasi


1. Teori Hirarki Kebutuhan menurut Maslow
Menurut Maslow (2012, p85), Teori hirarki kebutuhan menurut Abraham
Maslow (Maslow’s Hierarchy of Needs) mengikuti teori jamak yakni seseorang
berperilaku atau bekerja, karena adanya dorongan untuk memenuhi bermacam-
macam kebutuhan. Maslow berpendapat, kebutuhan yang diinginkan seseorang itu
berjenjang. Artinya bila kebutuhan pertama telah terpenuhi, kebutuhan tingkat kedua
akan muncul menjadi yang utama. Abraham Maslow adalah seorang pakar psikologi
yang menyatakan bahwa dalam setiap orang terdapat lima jenjang kebutuhan pokok
yaitu:
1. Kebutuhan Fisiologi (Physiological needs) adalah yang terkait dengan kebutuhan
primer untuk mempertahankan hidup, seperti sandang, pangan, dan papan.
2. Kebutuhan akan Rasa Aman (Safety needs) adalah kebutuhan seseorang yang
difokuskan dalam hal-hal seperti keamanan jiwa dan harta dari bahaya atau
ancaman, perlakuan yang adil, serta pensiun dan jaminan hari tua.
3. Kebutuhan Sosial (Love/Belonging needs) adalah kebutuhan seseorang yang
meliputi kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dan kebutuhan untuk
ikut terlibat dalam kegiatan kelompok.
4. Kebutuhan Penghargaan (Esteem needs) adalah kebutuhan seseorang yang
menitikberatkan pada hal-hal seperti gengsi, reputasi, dan status. Manifestasinya
dalam bentuk kepemilikan atas harta benda mewah (mobil mewah, rumah seperti
istana) serta penguasaan atas segala hal yang mencerminkan status.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-actualization Needs) adalah kebutuhan
seseorang untuk dikenal sebagai pribadi yang berguna bagi masyarakat, baik
melalui karya dan prestasi yang diraih atai melalui harta dan ilmu yang
diamalkan.

Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu sebagai tingkatan tinggi dan


tingkatan rendah. Kebutuhan fisiologi dan kebutuhan akan keamanan digambarkan
sebagai kebutuhan tingkat rendah dan kebutuhan sosial, kebutuhan akan
penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat tinggi. Perbedaan antara
kedua tingkat itu berdasarkan alasan bahwa kebutuhan tingkat tinggi dipenuhi secara
23

internal yaitu dalam diri orang itu sendiri, sedangkan kebutuhan tingkat rendah
terutama dipenuhi secara eksternal melalui upah, kontrak, dan masa kerja.
2. Teori X dan Teori Y
Menurut Sahin (2012, p59-174), Douglas McGregor mengemukakan dua
pandangan yang berbeda mengenai manusia, pada dasarnya satu negatif, yang
ditandai sebagai Teori X, dan yang lain positif, yang ditandai dengan Teori Y. Setelah
memandang cara para manajer menangani karyawan, McGregor menyimpulkan
bahwa pandangan seorang manajer mengenai kodrat manusia didasarkan pada suatu
pengelompokan pengandaian-pengandaian tertentu dan bahwa manajer cenderung
mencetak perilakunya terhadap bawahannya menurut pengandaian-pengandaian.
Ada empat pengandaian yang dipegang para manajer yang dinyatakan
menurut Teori X karyawan digambarkan secara negatif sebagai berikut:
a. Karyawan secara intern tidak menyukai kerja, bilamana dimungkinkan akan
mencoba menghindarinya.
b. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
c. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal
bilamana dimungkinkan.
d. Kebanyakan karyawan menaruh keamanan di atas semua faktor lain yang
dikaitkan dengan kerja dan akan menunjukkan sedikit ambisi.

Sedangkan ada empat pengandaian positif menurut Teori Y yaitu:


a. Karyawan dapat memandang kerja sama wajarnya seperti istirahat atau
bermain.
b. Orang-orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika
mereka komit pada sasaran.
c. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan
tanggung jawab.
d. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif tersebar meluas dalam
populasi dan tidak hanya milik dari mereka yang berada dalam posisi
manajemen.

3. Teori Dua Faktor (Dual Factor Theory)


Menurut Herzberg, Mausner dan Snyderman (2012, p17), Teori Dual Faktor
kadang-kadang disebut juga sebagai Teori Motivasi-Higiene dikemukakan oleh
psikolog Frederick Herzberg. Teori dual faktor membahas faktor-faktor intrinsik
yang berhubungan dengan kepuasan kerja, sementara faktor-faktor ekstrinsik yang
dihubungkan dengan ketidakpuasaan. Dalam keyakinannya bahwa hubungan seorang
24

individu dengan pekerjanya merupakan suatu hubungan dasar dan bahwa sikapnya
terhadap kerja sangat menentukan sukses atau gagal individu itu. Menurut Herzberg,
bahwa lawan dari kepuasan bukanlah ketidakpuasan, seperti yang diyakini orang
secara tradisional. Menyingkirkan karakteristik yang tidak memuaskan dari dalam
suatu pekerjaan tidak harus menyebabkan pekerjaan itu memuaskan.
Menurut Herzberg, faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja terpisah
dan berbeda dari faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Oleh larena
itu manajer yang berusaha menghilangkan faktor-faktor yang menciptakan
ketidakpuasan kerja dapat membawa ketentraman, tetapi belum tentu motivasi.
Mereka akan menentramkan angkatan kerja bukannya memotivasi mereka. Jika ingin
memotivasi orang pada pekerjaanya, Herzberg menyarankan untuk menekankan
prestasi, pengakuan, kerja itu sendiri, tanggung jawab dan pertumbuhan.

4. Teori ERG
Alderfer (2010, p7) berargumen bahwa ada tiga kelompok kebutuhan inti
yaitu :
1. Eksistensi (Existence), Kelompok Eksistensi mempedulikan pemberian
persyaratan eksistensi material dasar, mencakup butiran-butiran yang oleh
Maslow dianggap sebagai kebutuhan faali dan keamanan
2. Hubungan (Relatedness), Kelompok Hubungan adalah hasrat yang dimiliki
untuk memelihara hubungan antar pribadi yang penting. Hasrat sosial dan
status menuntut interaksi dengan orang-orang lain agar dipuaskan, dan hasrat
ini segaris dengan kebutuhan sosial Maslow.
3. Pertumbuhan (Growth), Suatu hasrat intrinsik untuk perkembangan pribadi,
mancakup komponen intrinsik dari kategori penghargaan Maslow dan
karakteristik yang mencakup kepada aktualisasi diri.

Hirarki kebutuhan Maslow mengikuti kemajuan yang bertingkat-tingkat dan


kaku. Sedangkan teori ERG tidak mengandaikan suatu hirarki yang kaku dimana
kebutuhan yang lebih rendah harus lebih dahulu cukup banyak dipuaskan sebelum
orang dapat maju terus. Teori ERG lebih konsisten dengan pengetahuan mengenai
perbedaan individual di antara orang-orang. Variabel seperti pendidikan, latar
belakang keluarga, dan lingkungan budaya dapat mengubah pentingnya atau
kekuatan dorong yang dipegang sekelompok kebutuhan untuk seorang individu
tertentu.
5. Teori kebutuhan McClelland
25

Menurut McClelland dan Burnham (2013, p212), Teori Kebutuhan McClelland


(McClelland’s Theory of Needs) dikemukakan oleh David McClelland dan kawan-
kawannya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan : prestasi (achievement),
kekuasaan (power), dan afiliasi ( pertalian). Kebutuhan ini ditetapkan sebagai
berikut :
a. Kebutuhan akan prestasi: Dorongan untuk mengungguli, berprestasi
sehubungan dengan seperangkat standar, berusaha keras untuk sukses.
b. Kebutuhan akan kekuasaan: Kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku
dalam suatu cara yang orang-orang itu (tanpa paksa) tidak akan berperilaku
demikian.
c. Kebutuhan akan afiliasi: Hasrat untuk hubungan antar pribadi yang ramah dan
akrab.

2.1.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi


Motivasi adalah satu dari beberapa faktor yang dapat menentukan prestasi
dan kinerja pegawai yang akan berdampak pada seberapa besar komitmen kerja
pegawai kepada lembaga pemerintah, motivasi itu melibatkan faktor-faktor individu
dan organisasi.
Mangkunegara (2006, p74) Adapun faktor yang mempengaruhi motivasi
sebagai berikut:
a. Perbedaan karisteristik individu meliputi kebutuhan, minat, sikap, dan nilai
b. Perbedaan karakteristik pekerjaan. Hal ini berhubungan dengan persyaratan
jabatan untuk setiap pekerjaan.
Ambrose dan Kulik (2006, p231-292), berpendapat ada faktor-faktor lainnya
yang mempengaruhi motivasi, yaitu :
1. Kreativitas (Creativity)
Organisasi di lingkungan kerja dapat mengukur dan mempengaruhi kreativitas
yang berhubungan dengan motivasi yang merupakan gabungan antara motivasi
dan kreativitas. Organisasi dapat mengukur dan mempengaruhi kreativitas dan
motivasi secara serentak, misalnya membolehkan pegawai untuk bersikap kreatif
dengan tugas (Jobs/Tasks) yang menantang akan menumbuhkan kreativitas.
2. Kelompok dan Tim (Groups and Teams)
Ketika tempat kerja berubah mengarah ke sistem berdasarkan kelompok (Group-
based system), beberapa riset melaporkan bahwa: a) kelompok semi otonom
akan meningkatkan kepuasan kerja, kepuasan ekstrinsik, dan komitmen
26

organisasi, dan b) tim yang telah mapan akan mempunyai motivasi dan inovasi
yang lebih tinggi.
3. Budaya (Culture)
Budaya organisasi dapat dibagi ke dalam 3 kelompok : Kuat (Strong), Cocok
secara Strategis (Strategically appropriate), dan Adaptif (Adaptive). Ketiganya
merupakan ciri organisasi berkinerja tinggi dan mempunyai pengaruh terhadap
peningkatan motivasi di lingkungan kerja.
Budaya ini meliputi beberapa hal, yaitu :
a. Kekuatan (Strengths)
b. Kecocokan Strategi (Strategic appropriateness)
c. Kemampuan beradaptasi (Adaptability)
d. Kerangka Nilai Kompetisi (Competing value framework)
Yang memiliki 4 kuadran yaitu : Clan, Adhocracy, Market, dan Hierarchy.

2.1.5.3 Tujuan Motivasi Kerja


Hasibuan (2010, p97), terdapat beberapa tujuan dari pemberian motivasi kerja
terhadap karyawan, yaitu:
1. Mendorong gairah dan semangat kerja karyawan.
2. Meningkatkan moral dan motivasi karyawan.
3. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan.
4. Mempertahankan loyalitas dan kestabilan karyawan.
5. Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi karyawan
6. Mengefektifkan pengadaan karyawan,

2.1.5.4 Meningkatkan Motivasi Kerja


Munandar (2008, 342), Adapun beberapa cara untuk meningkatkan motivasi kerja
antara lain :
1. Peran pemimpin
Ada dua cara untuk meningkatkan motivasi kerja, yaitu bersikap keras
(dengan memaksakan tenaga kerja untuk bekerja keras atau dengan
memberikan ancaman) dan memberikan tujuan yang bermakna (bersama-
sama dengan tenaga kerja yang bersangkutan ditemukan tujuan-tujuan yang
bermakna, sesuai dengan kemampuannya, yang dapat dicapai melalui prestasi
kerja yang tinggi).
2. Peran diri-sendiri
Dari dalam diri-sendiri perlu mengubah diri menjadi tenaga kerja dengan
motivasi kerja yang proaktif.
3. Peran organisasi
27

Berbagai kebijakan dan peraturan perusahaan yang dapat mendorong


motivasi kerja seorang karyawan. Seperti memberi gaji atau upah tambahan
apabila kinerja karyawan tersebut meningkat.

2.1.6 Komitmen Organisasi


Mathis dan Jackson (2006, p122), Komitmen pada organisasi dapat
didefinisikan sebagai sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak
pada suatu organisasi tertentu yang mempunyai tujuan-tujuan serta berpartisipasi
dalam memelihara keanggotaan dalam organisasi. Komitmen organisasi adalah
tingkatan sampai sejauh mana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasi, serta
berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi tersebut. Perluasan komitmen
organisasi yang logis khususnya yang berfokus pada faktor-faktor komitmen yang
mengungkapkan bahwa keputusan untuk tinggal bersama atau meninggalkan
perusahaan pada akhirnya akan tercermin dalam ketidakhadiran dan angka
perputaran pegawai. Pegawai yang tidak puas dengan pekerjaan atau yang tidak
berkomitmen terhadap organisasi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
meninggalkan organisasi lewat ketidakhadiran atau perputaran pegawai.
Robbins dan Judge (2008, p100), komitmen organisasi adalah tingkat dimana
seorang karyawan memihak pada suatu organisasi serta tujuan-tujuan keinginan
untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tertentu.
Ivancevich (2006, p234), komtimen organisasi adalah perasaan identifikasi,
keterlibatan, dan kesetiaan yang diekspresikan oleh pegawai terhadap organisasi.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diidentifikasi bahwa komitmen terhadap
organisasi melibatkan tiga sikap yaitu, rasa identifikasi dengan tujuan organisasi,
perasaan terlibat dalam tugas-tugas organisasi, dan perasaan setia terhadap
organisasi. Bukti penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya komitmen organisasi
dapat mengurangi efektivitas organisasi.
Dari uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa komitmen
organisasi adalah sebuah loyalitas yang tinggi dari karyawan kepada perusahaan
dengan memberikan semua kemampuan yang dimilikinya untuk memajukan dan
mencapai tujuan organisasi tempatnya bekerja.

2.1.6.1 Dimensi Komitmen Organisasi


28

Luthans (2006, p249), komitmen organisasi bersifat multidimensi, maka terdapat


perkembangan dukungan untuk tiga model komponen yang diajukan oleh Meyer dan
Allen yaitu:
1. Komitmen afektif: merupakan perasaan emosional untuk organisasi dan
keyakinan dalam nilai-nilainya. Sebagai contoh, seorang karyawan mungkin
memiliki komitmen aktif untuk perusahaan karena keterlibatan dengan hewan-
hewan.
2. Komitmen kelanjutan: merupakan nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam
suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut.
Seorang karyawan mungkin akan berkomitmen kepada seorang pemberi kerja
karena ia dibayar tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan
menghancurkan keluarganya.
3. Komitmen normatif: merupakan kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk
alasan-alasan moral atau etis. Sebagai contoh, seorang karyawan yang
memelopori sebuah inisiatif baru mungkin bertahan dengan seorang pemberi kerja
karena ia merasa "meninggalkan seseorang dalam keadaan yang sulit" bila ia
pergi.
Dalam hal ini tampak melalui kesediaan dalam bekerja melebihi apa yang
diharapkan agar organisasi dapat maju. Pegawai dengan komitmen tinggi, akan ikut
memperhatikan nasib organisasi, juga mempunyai kehendak untuk tetap berada
dalam organisasi. Pada pegawai yang memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan
untuk keluar dari organisasi dan berkeinginan untuk bergabung terus dengan
organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu yang lama.

2.1.6.2 Cara Meningkatkan Komitmen Organisasi


Ivancevich (2006, p,169-177), Berikut adalah tinjauan yang berguna
mengenai tindakan yang diperlukan untuk memenangkan komitmen dan bagaimana
mengimplemetasikan komitmen sebagai berikut:
1. Memperjelas dan mengomunikasikan misi
Komitmen dalam sebuah komunitas diciptakan dengan menciptakan hubungan
yang kuat antara misi dan ideologi di satu sisi dan pemahaman seseorang
mengenai bagaimana perannya dalam komunitas sesuai dengan misi yang
lainnya.
a. Menjelaskan misi dan ideologi
29

Suatu misi dan ideologi yang jelas menyediakan keuntungan ganda: misi
menyediakan fokus dimana karyawan dapat berkomitmen, sementara nilai
membentuk ideologi perusahaan yang memberikan pedoman yang
terinternalisasi dalam perilaku mereka.
b. Menjadikannya karismatik
Menciptakan suatu misi yang membangkitkan panggilan karismatik yang
lebih tinggi yang dapat didukung oleh karyawan.
c. Menggunakan praktik penerimaan pekerja berdasarkan nilai
Proses menghubungkan karyawan dengan ideologi dimulai sebelum pekerja
dipekerjakan, dengan praktik penerimaan pegawai berdasarkan nilai. Mula-
mula menjelaskan nilai dasar, kemudian menetapkan prosedur untuk
menyeleksi karyawan baru.
d. Orientasi dan pelatihan berdasarkan stres
Proses orientasi yang bertujuan menyatukan karyawan baru ke dalam nilai
dan budaya organisasi. Dikombinasikan dengan pelatihan yang berorientasi
pada tim dan kualitas yang terus-menerus.
e. Membangun tradisi
Membangun tradisi, cerita, tatacara, dan upacara yang dapat meningkatkan
konversi karyawan menjadi penganut budaya.
2. Menjamin keadilan organisasi
Menciptakan prosedur dan proses yang adil dan ditaati.
a. Memiliki prosedur keluhan yang komprehensif.
b. Menyedikan komunikasi dua-arah yang ekstensif.
Menyediakan banyak kesempatan untuk terciptanya komunikasi dua arah
merupakan cara lain untuk menciptakan komitmen.
3. Menciptakan rasa komunitas
Dengan jalan:
a. Membangun homogenitas berdasarkan nilai
b. Saling memiliki dan memiliki hal yang sama
c. Menekankan gotong-royong.
d. Saling mengambil manfaat dan kerja sama tim.
e. Berkumpul bersama.

4. Mendukung pengembangan karyawan


Dilakukan dengan cara:
a. Berkomitmen terhadap aktualisasi
Pemberi kerja berusaha untuk mengaktualisasikan karyawan mereka
sehingga mereka harus mulai dengan berkomitmen untuk melakukan hal
tersebut, dan kemudian mengingat komitmen tersebut dalam literatur dan
pelatihan manajemen mereka.
b. Memperkaya dan memberdayakan
30

Pemerkayaan pekerjaan dengan meningkatkan kedalaman tanggung


jawab dan manajemen diri dalam pekerjaan sebagai suatu cara untuk
menarik kebutuhan karyawan.
c. Mempromosikan dari dalam
Manajer dapat melakukan beberapa hal untuk menciptakan praktik
promosi dari dalam yang lebih berarti. Penilaian yang berorientasi pada
karir merupakan salah satu komponennya.
d. Menyediakan aktivitas pengembangan; dan menyediakan keamanan kerja
meski tanpa jaminan.

5. Berkomitmen pada nilai people first


Proses pembangunan komitmen, yang meliputi: menjelaskan dan
mengomunikasikan suatu misi, menjamin keadilan organisasional,
menciptakan suatu rasa komunitas, dan mendukung perkembangan karyawan;
semua bergantung pada satu fondasi, yaitu komitmen pemberi kerja terhadap
nilai yang mendahulukan kepentingan karyawan.
a. Mempekerjakan manajer yang tepat
Menerapkan nilai people first dalam perusahaan berarti bahwa manajer
harus menginternalisasikan dan berkomitmen terhadap nilai-nilai
tersebut.
b. Penuhi janji.
Kerangka pemikiran untuk penelitian skripsi ini dapat dilihat pada gambar 2.1 di
halaman berikut ini
31

2.2 Kerangka Pemikiran

Gaya Kepemimpinan (X1)


1.Keputusan yang otokratis
2.Keputusan yang inovatif
3.Keputusan yang partisipatif

Komitmen Pegawai
(Y)
Budaya Organisasi (X2)
1.Aturan prilaku yang di amati 1.Afektif
2.Perhatian terhadap detail 2. Normatif
3.Orientasi team 3. Berkelanjutan

Motivasi (X3)
1.Kebutuhan fisiologi
2.Kebutuhan akan rasa aman
3.Kebutuhan sosial
4.Kebutuhan penghargaan
5.Kebutuhan aktualisasi diri

Keterangan
: Pengaruh secara simultan

: Pengaruh secara individu

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran


32

2.3 Hipotesis
Creswell (2013, p7) memberikan definisi, "hipotesis adalah pernyataan dalam
penelitian kuantitatif yang dibuat oleh penyidik dalam rangka membuat prediksi atau
dugaan tentang hasil hubungan antara atribut atau karakteristik".
Hipotesis-hipotesis yang diajukan oleh Penulis dalam penelitian skripsi ini
adalah sebagai berikut :

Tujuan 1: Mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan (X1) terhadap komitmen


organisasi pegawai (Y) pada Bagian Perencanaan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (BPPT)
H0 : Gaya kepemimpinan (X1) tidak berpengaruh terhadap komitmen
organisasi pegawai (Y) pada Bagian Perencanaan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (BPPT)
H1 : Gaya kepemimpinan (X1) berpengaruh terhadap komitmen organisasi
pegawai (Y) pada Bagian Perencanaan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia (BPPT)

Tujuan 2: Mengetahui pengaruh budaya organisasi (X2) terhadap komitmen


organisasi pegawai (Y) pada Bagian Perencanaan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (BPPT)
H0 : Budaya organisasi (X2) tidak berpengaruh terhadap komitmen
organisasi pegawai (Y) pada Bagian Perencanaan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (BPPT)
H1 : Budaya organisasi (X2) berpengaruh terhadap komitmen organisasi
pegawai (Y) pada Bagian Perencanaan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia (BPPT)

Tujuan 3: Mengetahui pengaruh motivasi (X3) terhadap komitmen organisasi


pegawai (Y) pada Bagian Perencanaan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia (BPPT)
H0 : Motivasi (X3) tidak berpengaruh terhadap komitmen organisasi
pegawai (Y) pada Bagian Perencanaan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia (BPPT)
33

H1 : Motivasi (X3) berpengaruh terhadap komitmen organisasi pegawai (Y)


pada Bagian Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(BPPT)

Tujuan 4: Mengetahui Pengaruh gaya kepemimpinan (X1), budaya organisasi


(X2), motivasi (X3) terhadap komitmen organisasi pegawai (Y) pada
Bagian Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPPT)
H0 : Gaya kepemimpinan (X1), budaya organisasi (X2), motivasi (X3) tidak
berpengaruh terhadap komitmen organisasi pegawai (Y) pada Bagian
Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPPT)
H1 : Gaya kepemimpinan (X1), budaya organisasi (X2), motivasi (X3)
berpengaruh terhadap komitmen organisasi pegawai (Y) pada pegawai
Bagian Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPPT)

You might also like