You are on page 1of 38

LAPORAN KASUS BEDAH

Peritonitis Generalis e.c Appendicitis Perforasi

Disusun Oleh :
dr. Rino Setiady

Pembimbing :
dr. Putu Ayu Indra Shanti, Sp.B FINacs
dr. Jong Lian

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MIMIKA


2018
LAPORAN KASUS BEDAH

a. Identitas Pasien :
1. Nama : Tn. M
2. Umur : 35 tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Alamat : Jl. Cendrawasih. Timika, Papua
5. Pekerjaan : Pegawai Swasta
6. Status Pernikahan : Sudah menikah
7. No. Rekam Medis : 177927
8. Bangsal : Mambruk
9. Status : BPJS
b. Nama Dokter : dr. Putu Ayu Indra Shanti, Sp.B FINacs
c. Tanggal Perawatan : 9 February 2018
e. Tanggal Operasi : 9 February 2018

I. Anamnesis (autoanamnesa) :
Tempat & tanggal : IGD RSUD Mimika, pukul 08.00, 9 February 2018
• Keluhan utama :
Pasien mengeluhkan ada nyeri pada bagian perut kanan bawah
• Keluhan tambahan : -
• Riw. Penyakit Sekarang :
▫ Pasien merasakan nyeri perut sejak kemarin sore. Nyeri dirasakan semakin lama
semakin bertambah. Nyeri dirasakan pertama pada bagian kanan bawah kemudian
semakin lama menyebar ke seluruh perut. Nyeri bertambah hebat dengan
mengejan, batuk dan penekanan.
▫ Mual, muntah 2x pada pagi hari isi makanan. Pasian mengeluh selera makan
menurun. Sebelum sakit selera makan seperti biasa 3x sehari, sebelumnya pasien
makan nasi dengan ayam dan sayur.
▫ Pasien mengalami demam dirasakan sejak malam hari. Batuk pilek disangkal
▫ Bab 2x cair sejak sore kemarin, warna kuning tidak ada darah.
▫ Bak jernih, Tidak nyeri saat berkemih, terakhir bak pagi hari.
• Riw. Penyakit Dahulu :
▫ Sebelumnya pasien tidak pernah memiliki keluhan seperti ini.
▫ Riwayat Hypertensi, DM dan Asma disangkal
• Riw. Pengobatan :
▫ Belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya
• Riw. Penyakit Keluarga :
▫ Tidak ada riwayat penyakit di keluarga (Dm, HT, Hypertensi)
• Riw. Pernikahan :
▫ Pasien telah menikah dan memiliki seorang anak kelas 2 SD.

II. Pemeriksaan Fisik :


Tempat & tanggal : IGD RSUD Mimika, pukul 08.00, 9 February 2018
Status Generalis :
• Kondisi umum : baik
• Kesadaran : compos mentis
• Tanda-tanda vital : Tekanan darah 116/69 mmHg, suhu axilla 37,5oC, frekuensi
nadi 63x/menit , frekuensi pernapasan 24x/menit
1. Pemeriksaan Fisik :
• Kulit : Sawo Matang
• Kepala : Normochepal (+)
• Rambut : Warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut
• Mata: Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
• Hidung : Simetris, sekret -/-, deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-)
• Telinga : Normotia, sekret -/-
• Tenggorokan : Arkus faring hiperemis, Simetris, tonsil T1-T1
• Leher : Deviasi trachea (-), kaku kuduk (-)
• Kel. Getah Bening : Tidak ada pembesaran KGB pada axilla, supraclavicular,
infraclavicular
• Paru
Inspeksi : simetris statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-) dan wheezing(-/-)
• Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di 1 jari medial ICS V, Linea Mid Clavicula
Sinistra
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur & gallop (-)
• Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : nyeri tekan (+) 4 quadrant abd, Nyeri lepas (+) 4 quadrant abd, defans
muskular (+), turgor cukup, hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness tidak ada
Auskultasi : bising usus menurun
Obturator Sign (+), Psoas sign (+)
Mantrels score : 9
• Ekstremitas:
Superior : Edema (-/-), Akral dingin (-/-), Sianosis (-/-)
Inferior: Edema (-/-), Akral dingin (-/-), Sianosis (-/-)
CRT < 2 detik
III. Initial Plan Diagnosis :
• Darah rutin :
Tanggal Pemeriksaan 09 – 02– 2018
Hb 12,0 g/dl
Hematokrit 34,6%
Eritrosit 4.50 juta/mm3
Leukosit 11.600/mm3
Trombosit 204.000/mm3
DDR Negative

• Elektrolit

Tanggal Pemeriksaan 09 – 02– 2018


Na 135.2 mmol/L
K 4.02 mmol/L
Cl 106.9 mmol/L

IV. Diagnosa Kerja :


Peritonitis Generalisata e.c Appendicitis Gangren Perforasi

V. Diagnosa Banding :
• Pielonefritis
• Kolitis ulserosa
• Divertikulitis
• Pankreatitis
VI. Initial Plan Monitoring :
• Keadaan umum
Tampak sakit sedang VAS 7
Abdoment Inspeksi : datar
Palpasi : nyeri tekan (+) 4 quadrant abd, Nyeri lepas (+) 4 quadrant abd,
defans muskular (+), turgor cukup, hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness tidak ada
Auskultasi : bising usus menurun
Obturator Sign (+), Psoas sign (+)
Mantrels score : 9

• Tanda-tanda vital
N: 22 TD : 110/60 SpO2 : 98 %
T: 36,5 RR: 20 x/m

VII. Initial Plan Treatment :


• Pre Operatif
▫ Inform consent
▫ Pemeriksaan Laboratorium (darah lengkap), pt, aptt
▫ Infus RL 20 tpm
▫ Inj. ceftriaxone 1g iv / 12 jam
▫ Ranitidine 50 mg iv / 8 jam
▫ Antrain 1 g iv/ 8 jam
▫ Ondansetron 4 mg iv/ 8 jam
▫ Puasa 6 jam sebelum operasi
• Operatif
▫ Laparatomy Appendectomy
• Post Operatif
▫ Ciftriaxon 1 g iv / 8 jam
▫ Metronidazole 3x500 mg
▫ Ranitidine 50 mg iv / 8 jam
▫ Observasi VS
▫ Alirkan drain dan obs produksi drain
▫ Balance cairan
▫ Ranap ruang obs bedah

VIII. Initial Plan Education :


• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita oleh pasien yaitu
penyakit usus buntu
• Menjelaskan perlunya dilakukan tindakan operasi terhadap pasien untuk penanganan terhadap
penyakit yang di derita pasien
• Menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi setelah tindakan operasi.

IX. Prognosis :
▫ Quo ad vitam : dubia at bonam
▫ Quo ad sanationam : dubia at bonam
▫ Quo ad functionam : dubia at bonam

X. Komplikasi yang dapat terjadi :


▫ Nyeri luka operasi
▫ Perdarahan pasca operasi
▫ Infeksi luka operasi
XI. Catatan Perkembangan Post Oprasi

10 / 2 / 2018

S : Flatus (-), Nyeri perut berkurang


O : TD : 110/60, HR 60 x/m, RR 20x/m, SpO2 96 % tanpa O2, T
36.2 VAS 2. Drain abd 30 ml (serous), U/O kesan cukup
kepala: CA -/-, SI -/-, Thorax Rh -/-, Wh -/-,
Abdomen BU (+) lemah, NT (+) daerah op, Luka terawatt
A : Post Laparatomy Appendectomy
P : IVFD & Analgetik (Anestesi), Ceftriaxon 3x1g iv,
Metronidazole 3x500 mg iv, Ranitidine 3x50mg iv, D5% 10
ml/4 jam, mobilisasi mika-miki
TINJAUAN PUSTAKA

PERITONITIS

DEFINISI

Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga
abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan
kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat
perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi,
misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada
perforasi kandung empedu. Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi
atau ruptur ovarium.

ANATOMI

Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling komleks yang terdapat
dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup (coelom) dengan
batas-batas:

* anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen

* posterior : retroperitoneum

* inferior : struktur ekstraperitoneal di pelvis

* superior : bagian bawah dari diafragma

Peritoneum dibagi atas :

• peritoneum parietal
• peritoneum viseral
• peritoneum penghubung yaitu mesenterium, mesogastrin, mesocolon, mesosigmidem, dan
mesosalphinx.
• peritoneum bebas yaitu omentum
Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ-organ viscera membentuk
peritoneum visera, dengan demikian menciptakan suatu potensi ruang diantara kedua lapisan
yang disebut rongga peritoneal.

Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml. Cairan peritoneal terdiri atas
plasma ultrafiltrasi dengan elektrolit serta mempunyai kadar protein kurang dari 30 g/L, juga
mempunyai sejumlah kecil sel mesotelial deskuamasi dan bermacam sel imun.

KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI

Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:

1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik


terganggu
2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi vena
porta pada sirosis hati, malignitas.
3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus alienum,
misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang, trauma
4. Radang, yaitu pada peritonitis

Peritonitis diklasifikasikan menjadi:

A. Menurut agens
1. Peritonitis kimia,
misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu,
cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.

2. Peritonitis septik,
merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada perforasi usus,
sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan peradangan.
B. Menurut sumber kuman

1. Peritonitis primer

Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran secara


hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP).
Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau
nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial pada
rongga peritoneum.

Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif (
E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif (
streptococcus pneumonia, staphylococcus).

Peritonitis primer dibedakan menjadi:

*Spesifik

Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman


tuberkulosa.

* Non- spesifik

Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik, misalnya kuman
penyebab pneumonia yang tidak spesifik.

2. Peritonitis sekunder

Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya


adalah:

• invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau


traktus genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi
appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker,
strangulasi usus, dan luka tusuk.
• Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
• Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters

Terapi dilakukan dengan pembedahan untuk menghilangkan penyebab infeksi (usus,


appendiks, abses), antibiotik, analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri, dan cairan intravena
untuk mengganti kehilangan cairan.

Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif

• secara non operatif


dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan efektif
sebagai terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai kelainan dari
organ visera akibat infeksi intra-abdomen

• cara operatif
dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera akibat infeksi
intra abdomen

Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok septik,
abses, perlengketan intraperitoneal.

3. Peritonitis tersier
biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab biasanya
organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus,
gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah
dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon,
dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam
peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe kuman yang didapat pada
tes laboratorium.

Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis


berulang,absesintraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya kateter
dialisis dilepaskan.

FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis, yaitu:

• penyakit hati dengan ascites


• kerusakan ginjal
• compromised immune system
• pelvic inflammatory disease
• appendisitis
• ulkus gaster
• infeksi kandung empedu
• colitis ulseratif / chron’s disease
• trauma
• CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
• pankreatitis

PATOFISIOLOGI

Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen,


ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh
bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara
perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat
terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan
melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir
dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan
organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya
perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik.
Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi
dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh
darah.

GEJALA KLINIS

Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan
terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh
abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita bergerak.

Gejala lainnya meliputi:

• Demam
Temperatur lebih dari 380 C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia

• Mual dan muntah


Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi peritoneum

• Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma mengakibatkan


kesulitan bernafas.

Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan hipovolemik
intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin dan syok.

• Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising usus
• Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat kontraksi otot dinding
abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding
abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
• Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
• Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
• Tidak dapat BAB/buang angin.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik pada peritonitis dilakukan dengan cara yang sama seperti pemeriksaan
fisik lainnya yaitu dengan:

1. inspeksi
 pasien tampak dalam mimik menderita
 tulang pipi tampak menonjol dengan pipi yang cekung, mata cekung
 lidah sering tampak kotor tertutup kerak putih, kadang putih kecoklatan
 pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal tidak tampak karena
dengan pernafasan abdominal akan terasa nyeri akibat perangsangan peritoneum.
 Distensi perut
2. palpasi
* nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler positif

3. auskultasi

* suara bising usus berkurang sampai hilang

4. perkusi

* nyeri ketok positif

* hipertimpani akibat dari perut yang kembung

* redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara sehingga udara akan
mengisi rongga peritoneal, pada perkusi hepar terjadi perubahan suara redup menjadi
timpani. Pada rectal touche akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus sfingter
ani menurun dan ampula recti berisi udara.
DIAGNOSA

Anamnesa yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostik tambahan sangat
diperlukan untuk membuat suatu diagnosis yang tepat sehingga pasien dapat di terapi dengan
benar.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan laboratorium didapat:

 lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/...L ) dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
Pada pasien dengan sepsis berat, pasien imunokompromais dapat terjasi lekopenia.
 Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.

Pada foto polos abdomen didapatkan:

 Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang


 Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, berbeda dengan gambaran ileus
obstruksi
 Penebalan dinding usus akibat edema
 Tampak gambaran udara bebas
 Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga pasien perlu dikoreksi cairan,
elektrolit, dan asam basanya agar tidak terjadi syok hipovolemik

Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen, CT scan, dan
MRI.

Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)

Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera intra abdomen setelah
trauma tumpul yang disertai dengan kondisi:

Hilangnya kesadaran, intoksikasi alkohol, perubahan sensori, misalnya pada cedera medula
spinalis, cedera pada costae atau processus transversus vertebra.
Tehnik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan rongga perut dengan memasukkan
cairan garam fisiologis sampai 1.000 ml melalui kanul, setelah sebelumnya pada pengisapan
tidak ditemukan darah atau cairan.

Pada DPL dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif, hal-hal yang perlu
dianalisis antara lain: kadar pH, glukosa, protein, LDH, hitung sel, gram stain, serta kultur
kuman aerob dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis, cairan peritonealnya menunjukkan kadar
pH ≤ 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL dengan kadar protein dan LDH yang meningkat.

Tehnik ini dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati dan hematom


yang signifikan dengan dinding abdomen.

TERAPI

Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan pengobatan
medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra abdomen adalah:

1. mengkontrol sumber infeksi


2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi

Terapi terbagi menjadi:

 Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk mengontrol infeksi,


perawatan intensif mempertahankan hemodinamik tubuh misalnya pemberian cairan
intravena untuk mencegah dehidrasi, pengawasan nutrisi dan ikkeadaan metabolik,
pengobatan terhadap komplikasi dari peritonitis (misalnya insufisiensi respiratorik atau
ginjal), serta terapi terhadap inflamasi yang terjadi.
 Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses percutaneus dan percutaneus
and endoscopic stent placement.
 Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi sumber infeksi, misalnya
apendisitis, ruptur organ intra-abomen
Bila semua langkah-langkah terapi di atas telah dilaksanakan, pemberian suplemen,
antara lain glutamine, arginine, asam lemak omega-3 dan omega-6, vitamin A, E dan C, Zinc
dapat digunakan sebagai tambahan untuk mempercepat proses penyembuhan.

TERAPI ANTIBIOTIK

Pada SBP (Spontaneus Bacterial Peritonitis), pemberian antibiotik terutama adalah


dengan Sefalosporin gen-3, kemudian diberikan antibiotik sesuai dengan hasil kultur.
Penggunaan aminolikosida sebaiknya dihindarkan terutama pada pasien dengan gangguan ginjal
kronik karena efeknya yang nefrotoksik. Lama pemberian terapi biasanya 5-10 hari.

Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik sistemik ada pada urutan ke-dua.
Untuk infeksi yang berkepanjangan, antibiotik sistemik tidak efektif lagi, namun lebih berguna
pada infeksi akut.

Pada infeksi inta-abdominal berat, pemberian imipenem, piperacilin/tazobactam dan


kombinasi metronidazol dengan aminoglikosida.

INTERVENSI NON-OPERATIF

Dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan ekstraperitoneal. Keefektifan


teknik ini dapat menunda pembedahan sampai proses akut dan sepsis telah teratasi, sehingga
pembedahan dapat dilakukan secara elektif. Hal-hal yang menjadi alasan ketidakberhasilan
intervensi non-operatif ini antara lain fistula enteris, keterlibatan pankreas, abses multipel. Terapi
intervensi non-operatif ini umumnya berhasil pada pasien dengan abses peritoneal yang
disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis, divertikulitis).

Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses melalui drainase
percutaneus dan tidak ada gangguan patologis dari organ intraabdomen lain yang memerlukan
pembedahan, maka drainase perkutaneus ini dapat digunakan dengan aman dan efektif sebagai
terapi utama. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, luka dan erosi, fistula.

TERAPI OPERATIF

Cara ini adalah yang paling efektif. Pembedahan dilakukan dengan dua cara, pertama,
bedah terbuka, dan kedua, laparoskopi.

PROGNOSA

Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan terapi. Prognosa
baik pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa buruk pada peritonitis general.
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDISITIS

A. Anatomi
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar
pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden appendisitis pada usia tua. Pada 65% kasus, appendiks terletak di
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoappendiks penggantungnya.

Gambar 1. Anatomi appendiks


Pada kasus selebihnya, appendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis
appendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang
N.Vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari N.Torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
appendisitis bermula di sekitar umbilikus.

B. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Limphoid
Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah IgA.
Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apepndiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh, karena jumlah jaringan
limfoid disini kecil sekali jika dibandingkan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh
tubuh.

C. Insidens
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendisitis lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa
Kaukasia lebih sering terkena dibandingkan kelompok ras lainnya. Appendisitis akut
lebih sering terjadi selama musim panas. Insidensi Appendisitis akut di negara maju lebih
tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan
berserat dalam menu sehari-hari. Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya
pada anak-anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki
dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi pada laki-
laki lebih tinggi.

D. Etiologi
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks, sehingga
terjadi kongesti vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendisitis
umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebabnya obstruksi yang paling sering adalah
fekalit. Fekalit ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendisitis. Penyebab lain dari
obstruksi appendisitis meliputi :
1. Hiperplasi folikel limfoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (biji-bijian)
4. Kadang parasit

Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis adalah ulserasi mukosa


appendiks oleh parasit E.histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi dari
pasien appendisitis yaitu :

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

Escherichia Coli Bacteroides fragilis

Viridans streptoccoci Peptostreptoccocus micros

Pseudomonas aeruginosa Bilophila species

Enteroccocus Lactobacillus species

E. Patogenesis
Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-
36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abses setelah 2-3
hari. Appendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi
oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurusvermicularis), akan
tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah
penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan appendisitis akut dan 30-40% pada anak
dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan
obstruksi lumen.
Insidensi terjadinya appendisitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid
yang hiperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya
akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella, atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti
measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki
peningkatan insidensi appendisitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Tumor
karsinoid juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi
di proksimal. Selama lebih dari 20 tahun, benda asing seperti biji-bijian dilibatkan dalam
terjadinya appendisitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi
terjadinya appendisitis. Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan
seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendisitis, khususnya
pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf viseral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam,
tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah
timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri
untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfoid, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan
menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan
gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks, diikuti demam,
takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan
yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan
peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan
lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney. Nyeri jarang timbul hanya
pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri viseral sebelumnya. Pada appendiks
retrocaecal atau pelvic, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak
mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks
pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi
ureter atau vesica urinaria pada appendisitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,
atau nyeri seperti terjadi retensi urin.
Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks
mencakup peningkatan suhu melebihi 38,6 oC, leukositosis >14.000, dan gejala
peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi,
dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama
gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering
dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua
atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya absses yang dapat diketahui dari
adanya massa pada pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering
dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat
iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abcess
pelvis.

F. Gambaran Klinis
Gejala awal yang merupakan gejala klasik appendisitis adalah nyeri samar-samar
dan tumpul di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
sering disertai rasa mual dan kadang ada muntah. Pada umumnya nafsu makan menurun.
Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kuadran kanan bawah, ke titik
Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan
nyeri somatik setempat. Namun terkadang tidak dirasakan nyeri di daerah epigastrium,
tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.
Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila
terdapat rangsangan peritoneum, biasanya penderita mengeluh sakit perut bila berjalan
atau batuk. Appendisitis juga dapat disertai dengan demam ringan, dengan suhu sekitar
37,5 -38,5o C.
Timbulnya gejala peradangan appendiks tergantung dari letak appendiksnya. Bila
letak appendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh
caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat
melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini
timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. Bila
appendiks terletak di rongga pelvis dan terletak di dekat atau menempel pada rektum,
akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika appendiks
terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi
kemih, karena rangsangan dindingnya.
Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani tepat pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada orang berusia lanjut
yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga sering baru dapat didiagnosis setelah
perforasi. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester pertama, gejala apendisitis
berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa
timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi
lebih ke regio lumbal kanan.

Gejala Appendisitis akut

Gejala appendisitis Akut Frekuensi (%)

Nyeri perut 100

Anoreksia 100

Mual 90
Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian


anorexia/ mual/ muntah kemudian nyeri berpindah ke
50
RLQ kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)

*_ _ onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

G. Diagnosis
Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan
fisik (inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi). Bila diperlukan dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, Foto polos abdomen, USG
ataupun CT-Scan, dan sebagainya.
Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi : Pada appendisitis akut biasanya ditemukan distensi perut.
• Palpasi : pada regio iliaka kanan (pada titik Mc Burney) apabila ditekan akan terasa
nyeri (nyeri tekan Mc Burney) dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (nyeri
lepas Mc Burney). Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah (Nyeri tekan merupakan kunci diagnosis
dari appendisitis). Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut
kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di
perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang
disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). Khusus untuk appendisitis kronis tipe
Reccurent/Interval Appendisitis terdapat nyeri di titik Mc Burney tetapi tidak ada
defans muscular sedangkan untuk yang tipe Reccurent Appendicular Colic
ditemukan nyeri tekan di appendiks.
• Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan
otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di
m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah appendiks yang meradang, kontak
dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
appendisitis pelvika.
• Pemeriksaan colok dubur : Jika daerah infeksi dapat dicapai saat dilakukan
pemeriksaan ini, akan memberikan rasa nyeri pada arah jam 9 sampai jam 12. Maka
kemungkinan appendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pada appendisitis
pelvika kunci diagnosis adalah nyeri terbatas pada saat dilakukan colok dubur.
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
appendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih
sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada
perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan yang mirip
appendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang
di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis
appendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan
pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan
laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis pada kasus yang meragukan.

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal
keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apenddicitis akut.
Pada pasien dengan appendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan
neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit
infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium
yang terkadang sulit dibedakan dengan appendisitis akut Pemeriksaan laboratorium
merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari
jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler,
neurologik, humoral dan seluler. Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik
yang karakteristik appendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya
lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan
pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka
umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Pada metode lain dikatakan
penderita appendisitis akut bila ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3
dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3.
Ada juga metode yang menyatakan bahwa kombinasi antara kenaikan angka lekosit
dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendisitis
akut.
Tes laboratorium untuk appendisitis bersifat kurang spesifik, sehingga hasilnya
juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkan diagnosa. Jumlah lekosit
untuk appendisitis akut adalah >10.000/mm3 dengan pergeseran kekiri pada
hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan
granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendisitis akut. Kontroversinya adalah
beberapa penderita dengan appendisitis akut memiliki jumlah lekosit dan granulosit
tetap normal.
Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis appendisitis akut
adalah C-reactive protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut (acute phase
response) dengan menggunakan CRR telah secara luas digunakan di negara maju.
Pada appendisitis ditemukan kadar CRP yang meningkat yaitu > 1 mg/dl. Nilai
senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80-90% dan lebih dari 90%.
Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan
waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada
anak dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan
kemungkinan infeksi saluran kencing. Appendiks yang mengalami inflamasi akut dan
menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan
jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang.
2. Foto Polos abdomen
Pada appendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu.
Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai
dengan lokasi appendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus. Kalau
peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah
akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah
kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke
pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi
otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita
appendisitis akut. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan
tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit
sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya. Untuk appendisitis kronis dapat
dilakukan appendikogram, dimana hasil positif bisa berupa Filling defect, Non
Filling defect, Parsial, Irreguler, mouse tail.
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong
pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang
sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal
menghilang, pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi
mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid
level) yang menunjukkan adanya obstruksi. Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi
adanya fekalit (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang
polong yang menyumbat pembukaan appendiks) yang dapat menyebabkan
appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada
abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada
posisi berdiri/LLD (decubitus), kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer
mukokel yang asalnya dari appendiks. Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah
perlu diperiksa untuk mencari appendikolit: kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada
kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat
menentukan penyakit lain yang menyertai appendisitis. Barium enema adalah suatu
pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk
memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar
appendiks dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon. Impresi
ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya
barium memasuki appendiks (20% tak terisi). Terisinya sebagian dengan distorsi
bentuk kalibernya tanda appendisitis akut, terutama bila ada impresi sekum.
Sebaliknya lumen appendiks yang paten menyingkirkan diagnosa appendisitis akut.
Bila barium mengisi ujung appendiks yang bundar dan ada kompresi dari luar yang
besar di basis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya appendiks tanda abses
appendiks. Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah intestinal
lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chron, inverted appendicel
stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis appendisitis akut maupun
appendisitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis appendisitis akut diperlukan
keahlian, ketelitian, dan sedikit penekanan transduser pada abdomen. Appendiks yang
normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Appendiks yang meradang tampak
sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada
penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan transversal.
Keadaan awal appendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan
appendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 – 11 mm. Keadaan appendiks supurasi
atau gangren ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding
appendiks dengan atau tanpa appendikolit. Keadaan appendiks perforasi ditandai
dengan tebal dinding appendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses
tunggal atau multipel.
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan
pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 –94%, dengan nilai
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92%. Pemeriksaan dengan Ultrasonografi
(USG) pada appendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter
appendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding appendiks lebih dari 2 mm dan
pengumpulan cairan perisekal. Apabila appendiks mengalami ruptur atau perforasi
maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses appendiks dapat
diidentifikasi.
USG dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun
begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis.
Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya appendiks selama USG tidak menyingkirkan
adanya appendisitis. USG juga berguna pada wanita sebab dapat menyingkirkan
adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba falopi dan uterus yang gejalanya
menyerupai appendisitis. Hasil USG dapat dikatagorikan menjadi normal, non
spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil
USG yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil
USG dikatakan kemungkinan appendiks jika ada pernyataan curiga atau jika
ditemukan dilatasi appendiks di daerah fossa iliaka kanan, atau dimana USG di
konfirmasikan dengan gejala klinik dimana kecurigaan appendisitis.
4. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pada keadaan normal appendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan ini.
Gambaran penebalan dinding appendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat,
mendukung keadaan appendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90–100% dan 96–97%, serta akurasi 94–100%. CT-Scan
sangat baik untuk mendeteksi appendiks dengan abses atau flegmon. Pada pasien
yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk mendiagnosis
appendisitis dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya penyakit
lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai appendisitis.

5. Laparoskopi (Laparoscopy)
Meskipun laparoskopi mulai ada sejak awal abad 20, namun penggunaanya untuk
kelainan intraabdominal baru berkembang sejak tahun 1970-an. Dibidang bedah,
laparoskopi dapat berfungsi sebagai alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat
mendiagnosis appendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digunakan untuk
melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama
pada pasien wanita. Pada appendisitis akut laparoskopi diagnostik biasanya
dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi.
6. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran
histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa
belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendisitis akut secara universal dan
tidak ada gambaran histopatologi appendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan
operasi. Dari hasil penelitian variasi diagnosis histopatologi appendisitis akut
diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan adanya komunikasi antara ahli patologi dan
antara ahli patologi dengan ahli bedahnya.
Definisi histopatologi appendisitis akut:
▪ Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.
▪ Abses pada kripte dengan sel granulosit di lapisan epitel.
▪ Sel granulosit dalam lumen appendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan
epitel.
▪ Sel granulosit di atas lapisan serosa appendiks dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukosa.
▪ Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan appendisitis akut tetapi periappendisitis.
7. Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan >6. Selanjutnya dilakukan
appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan
appendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan
radang bukan akut.
Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi Skor

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Laboratorium Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan :
0-4 : kemungkinan appendisitis kecil
5-6 : bukan diagnosis appendisitis
7-8 : kemungkinan besar appendisitis
9-10 :hampir pasti menderita appendisitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya di lakukan.

H. Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis
Pada penyakit ini ditemukan mual, muntah dan diare, gejala yang sama akan
ditunjukkan pada peradangan appendiks yang terletak pelvikal. Pada anamnesis akan
ditemukan mual muntah mendahului rasa sakit (berlawanan dengan appendisitis
akut) juga pada gastroenteritis sakit perut lebih ringan. Panas dan lekositosis kurang
menonjol jika dibandingkan appendisitis akut. Pada pemeriksaan colok dubur
appendisitis akut letak pelvikal akan memberikan rasa nyeri, sedangkan
gastroenteritis tidak.
2. Demam dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis, disini didapatkan hasil tes positip
untuk Rumpel Leede, trombositopeni dan hematokrit yang meningkat.
3. Limfadenitis mesenterika
Ditandai dengan rasa nyeri perut terutama kanan, disertai mual dan nyeri tekan perut
yang samar. Pada anamnesa akan ditemukan mual dan muntah yang mendahului rasa
sakit (pada appendisitis akut mual dan muntah timbul setelah rasa sakit)
4. Gangguan genitalia wanita
Ovulasi dari ovarium kanan dapat memberikan rasa sakit yang mirip dengan
appendisitis akut. Pada anamnesa akan ditemukan keluhan nyeri yang sama
sebelumnya dan rasa nyeri akan berlangsung saat ovulasi terjadi, yaitu sekitar 12-14
hari setelah haid pertama haid terakhir. Pada ovulasi tanda radang tidak ada, dan
nyeri biasanya menghilang kurang dari dua hari.
5. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan appendisitis akut. Temperatur
biasanya lebih tinggi, dan nyeri lebih difus. Pada wanita biasanya disertai dengan
keputihan.
6. Kehamilan ektopik
Pada appendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan servik uteri tidak
seberapa nyata seperti yang ditemukan pada kehamilan ektopik. Nyeri perut bagian
bawah pada appendisitis terletak pada titik McBurney.
7. Kista ovarium yang terpuntir
Nyeri timbul mendadak dengan intensitas yang tinggi serta teraba massa dalam
rongga pelvis, tidak ada demam.
8. Endometriosis eksterna
Nyeri didapatkan ditempat endometriosis berlangsung, nyeri pada saat menstruasi
karena darah tidak dapat keluar.
9. Gangguan traktus urinarius
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas pada batu ureter atau batu ginjal kanan, juga ditemukan
eritrosuria. Pada pielonefritis sering disertai demam tinggi menggigil, nyeri
kostovertebral disebelah kanan dan piuria.
10. Penyakit lain
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan diperut seperti divertikulitis
Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistisis akut, pankreatitis,
divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis.

I. Terapi
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah.
1. Appendiktomi (Laparoskopi appendektomi dan open appendektomi)
a. Cito  akut, abses & perforasi
b. Elektif  kronik
2. Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat)  biasanya setelah 3 bulan
konservatif baru dilakukan operasi
3. Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)
4. Diet rendah serat
5. Antibiotika spektrum luas
6. Metronidazol
7. Monitor  Infiltrat, tanda2 peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED, bila baik
mobilisasi pulang.

Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi ringan. Pipa
nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya
muntah pada waktu induksi anestesi. Pada appendisitis akut dengan komplikasi berupa
peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya
keadaan anak sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi
cairan dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan intensif
sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang
untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah
muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik maka diberikan cairan ringer laktat
20 ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena, kemudian diikuti dengan
pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena
sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan. Sebelum pembedahan,
anak harus memiliki urin output sebanyak 1 ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam
diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 380C pada
saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol
demam.
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan appendisitis,
antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi appendisitis. Pemberian
antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas
diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi
anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi appendisitis. Antibiotika diberikan
selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi
antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan
sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100mg/kg), gentamisin
(7,5mg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif
untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi appendisitis perforasi.
Metronidazol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke
cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti
klindamisin.
Open appendektomi ini merupakan prosedur yang sudah lama menjadi standar
untuk operasi appendisitis. Pada metode ini, ahli bedah melakukan tindakan operasi
dengan melakukan insisi pada perut kanan bawah, dengan panjang luka kurang lebih 5
cm. Belakangan ini metode open appendiktomi yang menggunakan insisi Mc Burney ini
sudah banyak ditinggalkan karena luasnya insisi sehingga akan menimbulkan jaringan
parut yang cukup luas penyembuhan luka yang lama sehingga tidak baik untuk kosmetik.
Pada teknik laparoskopi appendektomi beberapa incisi kecil dibuat di abdomen (biasanya
3 irisan). Pada salah satu insisi, laparoskopi dimasukkan. Laparoskopi mempunyai lensa
kecil (sebagai kamera) yang berhubungan dengan monitor TV. Appendektomi dilakukan
oleh ahli bedah sambil melihat ke monitor TV. Instrumen kecil dimasukkan ke dalam
insisi lainnya dan digunakan untuk mengambil appendiks.

J. Komplikasi
1. Luka infeksi
2. Obstruksi saluran cerna
3. Abses abdominal/pelvis
4. Stump appendicitis  walaupun jarang terjadi, namun ada sekitar 36 kasus
appendicitis yang dilaporkan berasal dari jaringan apendiks sisa operasi
appendektomi sebelumnya.
5. Peritonitis
6. Kematian (namun jarang).

K. Prognosis
Dengan diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Angka kematian lebih tinggi pada anak dan orang tua. Apabila
appendiks tidak diangkat, dapat terjadi serangan berulang.
BAB III
KESIMPULAN

1. Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendiks vermiformis.


2. Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks, sehingga terjadi
kongesti vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
3. Gejala awal yang merupakan gejala klasik appendisitis adalah nyeri samar-samar dan
tumpul di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
4. Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik
(inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi). Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, Foto polos abdomen, USG ataupun CT-Scan.
5. Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

You might also like