You are on page 1of 18

DINAMIKA POPULASI HAMA DAN KERUSAKAN YANG DITIMBULKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ekosistem menurut Tandjung (2003) adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang
merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Jadi, di dalam ekosistem
terjadi proses interaksi antar berbagai komponen yang menyusun ekosistem tersebut, baik
antar sesama komponen hayati (biotik) maupun komponen hayati dengan lingkungan non
hayatinya. Komponen hayati dari suatu ekosistem dapat dibedakan menjadi produsen dan
konsumen. Dalam hal ini tumbuhan berperan sebagai organisme produsen, dan berbagai
jenis binatang berperan sebagai konsumen.
Banyak buku yang ditulis oleh para ahli menjelaskan bahwa interaksi organisme
terjadi dalam banyak cara, ada yang bersifat menguntungkan (mutualisme), merugikan
atau antagonistik (parasitasi, predasi atau pemangsaan, dan kompetisi), dan ada yang
netral. Predasi yang terjadi dalam food web (jaring-jaring makanan) merupakan salah satu
contoh interaksi yang bersifat antagonistik. Kestabilan food web sangat penting bagi
kestabilan suatu ekosistem. Ekosistem yang stabil akan mengatur populasi organisme yang
terlibat dalam food web dalam taraf yang seimbang secara alami.
Interaksi dalam food web terjadi dalam suatu sistem, yang menunjukkan
ketergantungan (interdependency) yang terjadi karena faktor-faktor makanan, ruang,
habitat, serta seleksi. Pada sistem stabil, gangguan kecil (perturbasi) yang dialaminya
dapat diserap oleh sistem itu sendiri, tanpa menyebabkan gejolak atau perubahan dari
keadaan aslinya. Sistem yang keseimbangannya tidak stabil apabila mengalami perturbasi
akan semakin menjauhi keadaan seimbang dan berakibat punahnya salah satu komponen
sistem dan selanjutnya meluruhkan seluruh sistemnya Pertumbuhan populasi organisme di
alam mendekati model pertumbuhan logistik. Pada umumnya populasi organsime yang
diamati memang telah bermukim di habitatnya selama jangka waktu yang lama dan
menunjukkan perkembangan turun naik (fluktuasi), dengan rata-rata yang agak konstan.
Oleh karena itu, suatu makhluk hidup pada umumnya tidak begitu saja punah ataupun
berkembang sedemikian rupa sehingga mendominasi spesies-spesies lain. Kepunahan
spesies dari suatu habitat tertentu sewaktu-waktu mungkin terjadi karena pengaruh
perubahan yang ekstrim dari salah satu atau beberapa faktor lingkungan, tetapi hal ini
tergolong katastrof (bencana). Populasi spesies secara tiba-tiba dapat pula melonjak
sewaktu-waktu (outbreak) yang disebut sebagai ledakan populasi, yaitu peningkatan
fluktuasi populasi dalam keadaan yang jauh menyimpang dari keadaan keseimbangan dan
akan menurun kembali setelah beberapa waktu. Sebagian besar populasi dari suatu
komunitas ekosistem tidak menunjukkan gejala ledakan. Perkembangan populasinya
berjalan naik turun tetapi tidak atau jarang terjadi gejolak.
Pada kasus populasi serangga, menurut Teori Aliran Biotik, faktor utama yang
mengatur atau mengendalikan turun naiknya populasi dan mempertahankan kerapatan
rata-rata populasi untuk jangka waktu yang panjang adalah musuh alami yang berupa
parasitoid, yang disebut sebagai faktor pengendali fluktuatif. Keadaan fisik lingkungan,
misalnya cuaca yang ekstrim hanya merupakan katastrof yang bersifat sangat sementara
dan segera setelah itu populasi akan pulih kembali kepada keadaan seimbang. Burung dan
predator lain, karena populasinya selalu dalam keadan konstan dan memangsa dalam
proporsi yang tetap, sehingga bukan merupakan pengendali yang efektif. Faktor penyakit
hanya kadang-kadang saja berperan, yaitu pada tingkat kerapatan tinggi, sedangkan faktor
kelaparan tidak berarti.
Pengetahuan tentang populasi sebagai bagian dari pengetahuan ekologi telah
berkembang menjadi semakin luas. Dinamika populasi tampaknya telah berkembang
menjadi pengetahuan yang dapat berdiri sendiri. Dalam perkembangannya pengetahuan itu
banyak mengembangkan kaidah-kaidah matematika terutama dalam pembahasan
kepadatan dan pertumbuhan populasi.
Pengembangan kaidah-kaidah matematika itu sangat berguna untuk menentukan dan
memprediksikan pertumbuhan populasi organisme di masa yang akan datang. Penggunaan
kaidah matematika itu tidak hanya memperhatikan pertumbuhan populasi dari satu sisi
yaitu jenis organisme yang di pelajari, tetapi juga memperhatikan adanya pengaruh dari
faktor-faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Pengetahuan tentang dinamika
populasi menyadarkan orang untuk mengendalikan populasi dari pertumbuhan meledak
ataupun punah.
1.1 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Faktor apa saja yang mempengaruhi ledakan populasi hama ?
2. Bagaimana pengelompokkan hama berdasarkan jenis dan menurut kisaran bahaya yang
ditimbulkannya ?
3. Bagaimana perkembangan /pertumbuhan populasi hama serta table kehidupan
perkembangan hama ?
4. Bagaimana serangga hama mempertahankan kedudukan keseimbangan alami sebagai
umpan balik negaif di ekosistem ?
1.3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi ledakan populasi hama !
2. Untuk mengetahui bagaimana pengelompokkan hama berdasarkan jenis dan menurut
kisaran bahaya yang ditimbulkannya !
3. Untuk mengetahui perkembangan /pertumbuhan populasi hama serta table kehidupan
perkembangan hama !
4. Untuk mengetahui bagaimana serangga hama mempertahankan kedudukan
keseimbangan alami sebagai umpan balik negaif di ekosistem !
1.4. Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan mengenai dampak ledakan populasi hama
2. Sebagai bahan informasi mengenai dampak ledakan populasi hama, bahaya yang
ditimbulkan serta bagaimana hama mempertahankan kedudukan keseimbangan alami
negative diekosistem.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor yang mempengaruhi ledakan serangan hama


Menurut Ramadhani, (2014) beberapa faktor yang mempengaruhi
ledakan populasi hama yaitu:
1. Pemindahan Tanaman ke Daerah yang Berbeda Iklim (Perubahan Iklim)
Populasi hama sifatnya dinamis. Jumlah tersebut bisa naik, bisa turun, atau
tetap seimbang, tergantung keadaan lingkungannya. Bila suatu tanaman
dipindahan ke daerah lain yang berbeda iklim dengan kondisi lingkungan cocok,
populasi hama berkembang pesat. Pada suhu optimum, kemampuan hama untuk
berkembang biak sangat besar dan kematian amat sedikit, menyebabkan terjadi
peledakan hama. Begitu juga dengan kelembaban, bila kelembaban sesuai dengan
kebutuhan hidup hama, hama tersebut cenderung tahan terhadap suhu-suhu
ekstrem dan menyebabkan perkembangan telur menjadi lebih cepat. Untuk curah
hujan, apabila berlebihan menimbulkan dampak negatif bagi hama itu sendiri
karena dapat menghalangi perkembangbiakan dan pertumbuhan organisme hama.
Selain itu angin juga berpengaruh terhadap perkembangan hama terutama dalam
proses penyebaran hama tanaman. Misalnya kutu daun (Aphid).
Pada kondisi iklim ekstrim, hama penyakit tanaman pertanian bisa jadi
akan terjadi outbreak (ledakan hama atau penyakit) atau justru akan berkurang
serangannya. Secara umum, pada kondisi suhu yang tinggi seperti kondisi saat ini
(El Nino), akan memengaruhi meningkatnya serangan hama, sedangkan pada
kelembaban yang tinggi seperti pada musim hujan lebat (La Nina), perkembangan
dan persebaran penyakit-penyakit tanaman akan jauh lebih cepat dibandingkan
kondisi iklim normal.
Sebenarnya kita tidak bisa mengatakan bahwa fenomena El Nino berakibat
munculnya ledakan serangan hama pada semua sektor pertanian. Memang secara
bioekologi, hama akan berkembang baik pada kondisi optimum, yakni pada
kondisi temperatur yang hangat. Termperatur merupakan satu dari tiga komponen
epidemiologi penyakit, yakni faktor inang (tanaman), hama, dan lingkungan.
Pada sektor pertanian tanaman perkebunan, seperti : perkebunan kelapa
sawit, tebu, kakao, teh, kopi dan lainnya, kondisi cuaca kering seperti sekarang ini
berdampak meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Dilaporkan hama penghisap daun teh (Helopeltis sp), penggulung daun teh
(Homona sp), ulat api pada kelapa sawit (Setora sp), ulat pemakan daun kelapa
sawit (Setothosa asignadanMahasena corbetii), tikus, dan hama perkebunan
lainnya cenderung merusak pada suhu hangat sampai panas. Kondisi ini
disebabkan karena tersedianya makanan bagi OPT dan optimumnya temperatur
lingkungan. Temperatur yang hangat akan meningkatkan keperidian telur hama.
Selain hama, penyakit tanaman perkebunan juga berkembang dengan cukup pesat
meskipun secara penularannya tidak seganas pada musim-musim penghujan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rauf (1999) tentang perkembangan
populasi Ulat grayak bawang (Spodoptera exigua) pada pertanaman bawang
merah didataran rendah. Selama penelitian musim kemarau (Agustus –Oktober
1995) terjadi ledakan populasi dengan puncak populasi telur mencapai 0,8
kelompok telur dan larva 23 ekor per rumpun, yang menyebabkan seluruh rumpun
terserang berat. Namun, pada musim hujan (Desember 1995- Februari 1996)
kelompok telur dan larva sulit ditemukan.
2. Hasil Pemuliaan Tanaman
Dengan adanya berbagai pengembangan tumbuhan seperti persilangan
hingga rekayasa genetika sebenarnya telah merubah mekanisme ketahanan alami
pada tumbuhan itu sendiri. Tanaman hasil rekayasa genetika cenderung resisten
terhadap hama karena adanya gen-gen yang disisipkan dan memungkinkan
tanaman terhindar, mempunyai daya tahan atau daya sembuh dari serangan
serangga dalam kondisi yang akan menyebabkan kerusakan lebih besar pada
tanaman lain dari spesies yang sama. Tetapi ada pula kondisi dimana tanaman
hasil pemuliaan tersebut rentan terhadap hama yang menyerang dan tidak adanya
musuh alami sehingga perkembangbiakan hama tidak dapat dihentikan dan
terjadilah peledakan populasi hama. Apalagi daya tahan suatu varietas unggul
yang berhasil dirakit sampai sekarang terbatas menghadapi beberapa spesies hama
saja.
3. Berkurangnya Keragaman Genetik
Berkurangnya keragaman genetik pada tanaman tertentu menyebabkan
cara tanam yang cenderung sama setiap waktu (monokultur). Dengan cara tanam
tersebut berakibat tanaman menjadi rentan terhadap serangan hama dan terjadilah
peledakan populasi hama apabila tidak dikendalikan dengan benar.
4. Jarak Tanam
Jarak tanam yang tidak teratur memberikan dampak yang kurang baik
terhadap pertumbuhan dan hasil suatu tanaman yang diproduksi terutama
berkaitan dengan hama yang menyerang tanaman tersebut. Apabila jarak tanaman
terlalu rapat mengakibatkan perkembangbiakan dan perpindahan hama dari satu
tanaman ke tanaman yang lain semakin cepat.
5. Penanaman Terus Menerus
Penanaman terus-menerus di suatu lahan produksi akan mengakibatkan
meledaknya populasi hama terutama karena makanan untuk hama tersedia
sepanjang waktu. Terlebih jika tanaman tersebut tidak diselingi oleh tanaman lain
yang resisten terhadap serangan hama, maka perkembangbiakan hama menjadi
pesat.
6. Unsur Hara Tanah
Struktur dan kelembaban tanah berpengaruh besar terhadap kehidupan
hama, begitu pula unsur hara. Apabila dalam suatu tanah berstruktur gembur
dengan kandungan bahan organik tinggi, kelembaban cukup, serta tersedianya
unsur hara yang juga diperlukan bagi hama (khususnya hama yang seluruh atau
sebagian hidupnya di dalam tanah) maka mendukung perkembangbiakan hama
dengan pesat dan terjadilah peledakan populasi hama.
7. Masa Tanam
Masa tanam pun perlu diperhatikan dalam melakukan usahatani tetentu,
karena apabila menanam tanpa diatur masa tanam ataupun jangka waktunya,
menyebabkan terjadinya gangguan akibat serangan hama. Serangan hama yang
lebih banyak terjadi sewaktu musim kemarau terjadi pada tanaman kubis.Untuk
tanaman padi, masa tanam pertama cenderung bagus, baik hasil maupun tanaman,
sebab pada masa tanam pertama, tanah yang kering pada musim kemarau,
membuat virus penyakit dan hama tanaman padi mati. Sedangkan untuk masa
tanam kedua, tanaman padi tidak sebagus masa tanam pertama karena kondisi
tanah maupun cara pemupukan membuat virus penyakit kembali berkembang.
8. Asosiasi Antara Tanaman dan Hama
Asosiasi antara tanaman dan hama dapat terjadi antara tanaman inang dan
hama. Tanaman inang adalah tanaman yang menjadi makanan dan tempat tinggal
organisme hama. Bila tanaman yang disukai terdapat dalam jumlah banyak,
populasi hama meningkat cepat. Sebaliknya bila makanan kurang populasi hama
akan menurun. Bagian-bagian tumbuhan yang digunakan sebagai makanan adalah
daun, tangkai, bunga, buah, akar, cairan tumbuhan dan madu.
9. Pestisida Yang Merubah Fisiologi Tanaman
Pengendalian terhadap hama seringkali menggunakan pemakaian pestisida
yang harus diperhatikan ketepatan dosisnya. Kelebihan atau kekurangan dosis
dapat berakibat merugikan manusia. Bila terjadi kelebihan dosis, hama atau
penyakit memang akan musnah, tetapi tanaman juga akan musnah. Sedangkan
bila kekurangan dosis, akan menyebabkan hama atau penyakit bertambah kebal
dan dan keturunannya pun akan bertambah kebal pula, sehingga terjadilah
peledakan populasi hama apabila penanganannya tidak tepat.
Menurut Mahopo (2012), faktor yang menyebabkan tingginya populasi
walang sangit pada pertanaman padi di tiap Kecamatan, Kabupaten Minahasa
Tenggara salah satunya karena kebiasaan petani memberikan dosis insektisida
yang berlebihan dalam kurun waktu yang lama sehingga menyebabkan matinya
musuh-musuh alami, terjadi resurgensi serta timbulnya resistensi terhadap hama
walang sangit.
Pestisida juga dapat merubah fisiologi tanaman misalnya ada jenis
pestisida yang merangsang pertumbuhan kuncup dan bunga menyebabkan
berkembabiaknya hama tanaman tertentu.
Adapun faktor lainnya penyebab ledakan hama menurut Pimentel tahun
1982 (dalam Anggiah, 2012) diantaranya adalah disebabkan oleh adanya
pemasukan spesies tanaman baru dan pemasukan spesies hama baru.
Pemasukan spesies tanaman baru yang sebelumnya tidak ada di daerah
tersebut, sering menciptakan kondisi yang sesuai untuk peningkatan populasi serangga
hama. Jenis tanaman baru tidak dapat menahan serangan organisme-organisme
yang asli di ekosistem tersebut. Begitu pula dengan hama baru, sering terjadi
pemasukan spesies hewan pada suatu daerah dan akhirnya menjadi hama didaerah
baru tersebut, hal ini karena pemasukan spesies baru tidak disertai dengan musuh
alami nya ataupun pengendalian alami hama baru tersebut masih belum
berkembang di daerah tersebut.
Ketika hama bermigrasi ke tempat yang baru, populasi musuh alaminya
tidak dalam populasi yang cukup untuk menekan populasi hama, bahkan musuh
alami ditempat yang baru tidak ada serta musuh alami di tempat asal tidak ikut
terbawa, sehingga tidak ada musuh alami yang membatasi perkembangan hama
tersebut.
Pemasukan hama dari luar negeri yang populasinya kemudian meledak di
Indonesia, pernah terjadi pada kutu loncat Heteropsylla sp. yang menyerang
tanaman lamtoro gung. Akibat serangannya memaksa Indonesia mengimpor
predator dari Hawai, yaitu kumbang Curinus coeruleus untuk menekan populasi
hama ini.
B. Pengelompokkan hama berdasarkan jenis dan menurut kisaran bahaya
yang ditimbulkannya
Herbivora atau pemakan tanaman menempati aras trofi kedua atau sebagai
konsumen pertama. Berbeda dengan herbivora lainnya, keberadaan herbivora
yang memakan tanaman yang dibudidayakan yang umumnya tidak dikehendaki
karena dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan atau kerugian bagi manusia.
Herbivora yag merugikan dikelompokan sebagai hama. Karena itu istilah hama
merupakan istilah yang berorientasi pada kepentingan manusia atau istilah yang
atntropogenik, bukan istilah ekologik. Dari pengertian tersebut dapat dipahami
bahwa tidak semua herbivora di agroekosistem merupakan hama.
Binatang atau serangga karivora yanag memakan hama menenmpati aras
ketiga atau predator atau parasitoid. Pemangsa atau predator memangsa herbivora,
tetapi karnivora yang hidupnya didalam atau diluar tubuh inang untuk kurun
waktu tertentu dinamakan parasitoid. Pada kenyataannya hama merupakan
kumpulan organisme yang hidup diekosistem bersama manusia dan melaksanakan
fungsi kehidupannya, antara lain makan dan berkembang biak. Sebagai bagian
ekosistem hama juga berperan dalam menjaga stabiitas ekosistem.
Populasi hama meningkat dan menjadi sangat tinggi karena ketersedian
makanan hama yang sesuai sebagai akibat kegiatan manusia membudidayakan
tanaman tertentu pada areal luas dan dilakukan secara terus-menerus. Tujuan
pengelolaan hama adalah mengelola ekosistem sedemikian rupa sehingga
keberadaan hama di pertanaman tidak memberikan dampak yang merugikan.
Pada ekosistem pertanian dijumpai komunitas serangga yang terdiri atas
banyak jenis serangga, dan masing-masing jenis memperlihatkan sifat populasi
yang khas. Tidak semua jenis serangga dalam agroekosistem merupakan serangga
hama. Sebagian besar jenis hama bukan hama yang merugikan tetapi merupakan
musuh alami (predator, parasitoid), serangga penyerbuk bunga dan serangga
penghancur sisa-sisa bahan organik yang sangant bermanfaat. Banyak jenis
serangga yang tertangkap pada suatu tempat kebetulan berada dipertanaman
tersebut untuk beristirahat atau akan pindah ke tempat lain. Mungkin ada
serangga-serangga yang menetap sementara di suatu tempat untuk memasuki dan
melampaui fase pupa. Pengelompokan hama yang sering digunakan adalah
membagi jenis-jenis hama menurut kisaran bahaya yang di akibatkanya,
pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hama Utama atau Hama Kunci
Merupakan satu atau beberapa jenis hama yang dalam kurun waktu lama
(sekitar 5 tahun) selalu merusak pertanaman di suatu daerah yang luas dengan
intesitas serangan berat. Tanpa usaha pengendalian hama utama dapat
mendatangkan kerugian ekonomi besar bagi petani. Biasanya pada suatu
agroekosistem ada satu atau dua jenis hama yang termasuk dalam kategori hama
yang lain. Penerapan dan pengembagan PHT lebih dahulu ditujukan pada ham-
hama utama pada suatu daerah. Jenis hama utama pada suatu daerah tidak selalu
tetap, dapat berubah tergantung pada perubahan agroekosistem yang terjadi.
2. Hama Minor atau Kadangkala
Merupakan hama-hama yang relatif kurang penting karena kerusakn yang
diakibatkan masih dapat ditoleransikan baik oleh tanaman maupun oleh petani.
Kadang-kadang populasi hama monir pada suatu saat meningkat melebihi aras
toleransi ekonomi tanaman. Peningkatan populasi ini mungkin disebabkan karena
ganguan pada proses pengendalian alami, keadaan ikli yang tidak menetu, atau
kesalahan pengelolaan oleh manusia. Hama minor disebut juga hama kadang-
kadang, atau hama kadangkal (occasional pests). Kelompok hama ini seringkali
peka terhadap perlakuan pengendalian yang ditujuka pada hama utama, oleh
karena itu mereka juga perlu diawasi agar tidak menimbulkan apa yang disebut
letusan hama kedua. Banyak faktor yang memungkinkan hama minor dapat
berubah statusnya menjadi ham utama atau sebaliknya.
3. Hama Potensial
Merupakan sebagian besar jenis serangga herbivora yang berada di ekosistem
yang saling berkompetisi dalam memperoleh makanan dan tempat hidup.
Organisme-organisme tersebut yang tidak pernah mendatangkan kerugian bearti
dalam kondisi pengelolaan agroekosistem yang normal. Namun, karena
kedudukannya tertentu dalam rantai makanan, mereka mempunyai potensi
menjadi hama yang membahayakan karena terjadinya perubahan cara pengelolaan
ekosistem tertentu oleh manusia.
4. Hama Migran
Merupakan jenis hama tertentu yang tidak berasal agroekosistem setempat,
tetapi mereka datang dari luar karena sifatnya yang berpindah-pindah (migran)
misalnya belalang kembara, ulat grayak, dan burung. Hama ini apabila
mendatangi pada suatu tempat dapat menimbulkan kerusakan yang bearti. Tetapi
kerusakan pertanaman hanya terjadi dalam jangka waktu pendek karena mereka
kemudian segera pindah ke daerah lainnya.
Kecuali pembagian dalam 4 kelompok tersebut, ada pakar yang menambah
satu kelompok hama yaitu kelompok hama sekunder atau hama sporadis.
Kelompok hama ini dalam keadaan normal selalu dapt dikendalikan oleh musuh
alaminya sehingga tidak membahayakan. Kelompok ini baru menjadi masalah bila
populasi musuh alami berkurang karena sebab-sebab tertentu. Kelompok hama
sekunder dapat juga kita masukan dalam kelompok minor.
C. Perkembangan/pertumbuhan populasi hama serta table kehidupan
perkembangan hama
Pertumbuhan populasi organisme terbagi menjadi 5 tingkat (I sampai V) yang
rinciannya sebagai berikut:
1. Tingkat I merupakan periode peningkatan populasi yang tumbuh secara
sigmoid. Tingkat ini terdiri atas 3 tahap yaitu pembentukan populasi (A),
perumbuhan cepat secara eksponensional (B), serta pertumbuhan menuju
ke keseimbangan (C).
2. Tingkat II merupakan periode pencapaian aras atau letak keseimbangan
populasi yang merupaka garis asimtot kurve sigmoid. Pada tahap ini
populasi telah mencapai statibilitas numerik.
3. Tingkat III merupakan tahap oskilasi dan fluktuasi populasi. Oskilasi
populasi adalah penyimpangan populasi sekitar aras keseimbangan yang
tidak simetris. Tingkat III berjalan dalam waktu lama tergantung pada
berfungsinya mekanisme umpan balik negatif yang berkerja.
4. Apabila mekanisme umpan balik oleh sebab-sebab tertentu menjadi tidak
berfungsi, terjadilah tingkat IV yang merupakan periode penurunan
populasi atau pertumbuhan negatif.
5. Apabila periode IV terus berlanjut akan menjadi tingkat terakhir
pertumbuan populasi yaitu tingkat V yang merupakan periode akhir
populasi.

Tingkat IA, IB, IC dapat terjadi pada masa tanam sampai masa pertumbuhan
tananaman vegetatif muda. Tingkat II (menuju ke garis keseimbangan) dan tingkat
III (fluktuasi dan oskilasi populasi) terjadi pada periode tumbuh tanaman vegetatif
tua dan generatif. Sedangkan tingkat IV (penurunan) dan tingkat V (kepunahan)
terjadi sewaktu tanaman sedang dan sudah dipanen.
Untuk menghitung jumlah pertumbuhan populasi pada suatu periode waktu
dan tempat tertentu dapat digunakan rumus sederhana sebagai berikut:
P2 : P1 + N – M + I – E
P2 : populasi akhir
P1 : populasi permulaan
N : natalitas atau jumlah kelahiran
M : mortalitas atau jumlah kematian
I : jumlah individu yang masuk/melakukan imigrasi
E : jumlah individu yang keluar/melakukan emigrasi
(I-E) : D atau dispersal, merupakan ukuran penyebaran individu
Pertumbuhan populasi positif terjadi apabila jumlah kelahiran dan jumlah
imigrasi lebih besar daripada jumlah kematian dan jumlah emigrasi, serta
sebaliknya pertumbuhan negatif terjadi apabila jumlah kelahiran dan jumlah
imigrasi lebih kecil daripada jumlah kematian di tambah jumlah emigrasi.
Penyusunan tabel kehidupan adalah menunjukan gambaran menyeluruh
tentang faktor-faktor mortalitas yang berpengaruh sepnjang daur hidup suatu
spesies organisme. Dikenal tabel kehidupan khas umur atau tabel kehidupan
horisontal dan tabel kehidupan khas waktu atau tabel kehidupan vertikal. Tabel
kehidupan khas umur penyusunannya dilakukan dengan mengikuti perkembangan
satu kelompok induk (pasangan betina dan jantan) yang disebut kohort dari
permulaan suatu generasi tertentu sampai satu generasi berikutnya.
Beberapa notasi yang sering digunakan dalam suatu tabel kehidupan adalah:
x : interval umur (telur, larva, pupa, imago)
1x : jumlah individu yang hidup pada permulaan interval umur x
dx : jumlah individu yang mati selama interval umur x
dxF : faktor mortalitas yang menyebabkan dx
100qx : persen (%) mortalitas pada umur x
D. Mekanisme Keseimbangan Alami

Kemampuan serangga mempertahankan kedudukan keseimbangan karena


berkerja mekanisme umpan balik negatif di ekosistem.
1. Mekanisme Umpan Balik Negatif
Mekanisme umpan balik yang hasilnya membawa sistem menuju keadaan
ideal adalah mekanisme umpan balik negatif, sedangkan mekanisme yang
membawa sistem semakin menjauh dari keadaan ideal adalah mekanisme umpan
balik yang positif. Jadi mekanisme umpan balik negatif membawa sistem selalu
dalam keadaan yang stabil dan ideal, sedangkan umpan balik positif membawa
sistem menuju ke kerusakan atau kematian.
2. Mekanisme Pengendalian Populasi dalam Ekosistem
Naik turunya populasi ornganisme ditentukan oleh dua kekuatan di ekosistem
yaitu kemampuan hayati atau potensi biotik dan hambatan lingkungan.potensi
hayati merupakan kemampuan organisme untuk berkembang biak dalam kondisi
yang optimal. Secara teoritik populasi suatu organisme tanpa adanya hambatan
dapat meningkat secara cepat sehingga dalam waktu singkat populasi tersebut
dapat menutupi seluruh muka bumi ini. Tetapi kenyataannya di alam tidak terjadi
demikian sebab ada berbagai bentuk dan faktor penghambat yang disebut
hambatan lingkungan. Hambatan lingkungan adalah berbagai faktor biotik dan
abiotik di ekosistem yang cenderung menurunkan fertilitas dan kelangsungan
hidup individu-individu dalam populasi organisme.
Dilihat dari asalnya hambatan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi dua
faktor yaitu faktor yang beraal dari luar populasi atau faktor ekstrinsik dan faktor
yang berasal dari dalam populasi atau faktor intrinsik. Faktor-faktor ekstrinsik
dapat terdiri dari faktor biotik seperti makanan, predasi, kompetisi, dll, dan faktor
abiotik seperti iklim, tanah, air, dll. Sedangkan faktor intrinsik misalkan berupa
persaingan interspesifik dalam bentuk teritorialitas dan tekanan sosial.
FAKTOR TERGANTUNG KEPADATAN DAN FAKTOR BEBAS
KEPADATAN

Dilihat dari proses pengendalian dan pengaturan populasi organisme, maka


berbagai faktor hambatan lingkungan dapat dikelompokan menjadi faktor
tergantung kepadatan populasi (FTK) atau “Density Dependent Factors” dan
Faktor Bebas Kepadatan Populasi (FBK) atau “Density Independent Factor”.
1. Faktor Tergantung Kepadatan

Faktor tergantung kepadatan adalah faktor pengendali alami yang mempunyai


sifat penekanan terhadap populasi organisme yang semakin meningkat pada waktu
populasi semakin tinggi, dan sebaliknya penekan lebih longgar pada waktu
populasi semakin rendah
FTK yang timbal balik terutama adalah musuh alami hama seperti predator,
parasitoid, dan patogen. Timbal balik di sini berarti bahwa hubungan antara
populasi dan mortalitas oleh FTK dapat berjalan dari kedua arah.
FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruangan, jumlahnya
terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk
makan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai berikut:
bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar individu untuk memeproleh
makanan dan ruang semakin kuat sehingga mortalitas A menjadi meningkat, dan
demikian juga sebaliknya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa apabila populasi A
meningkat keudian jumlah makanan menjadi meningkat, atau jumlah populasi A
menurun dan jumlah makanan menurun. Berbeda denga kelompok musuh alami,
hambatan lingkungan berupa makanan, ruangan, dan teritolialitas termasuk dalam
FTK yang tidak timbal balik.
2. Faktor Bebas Kepadatan

Faktor bebas kepadatan (FBK) atau “destity Independent Fakctor” merupakan


faktor motalitas yang daya penekannya terhada populasi organisme tidak
terganung pada kepadatan populasi organisme tersebut. Faktor abiotik seperti
suhu, kebahsahn, angin, dan lain-lainnya merupakan FBK penting.
Dalam proses pengaturan populasi secara alami FTK yang paling berperan
dalam mempertahankan populasi untuk tetap berada disekitar aras keseimbangan
populasi. Dalam kondisi tertentu FBK dapat membawa populasi menjauh (lebih
atau kurang) dari aras keseimbangan.
Misal bila keadaan suhu tidak sesuai bagi kehidupan serangga dapat
mengakibatkan populasi serangga menurun menjauhi garis keseimbangan. Setelah
hal itu terjadi faktor FBK akan bekerja mengangkat kembali populasi ke aras
keseimbangan. Bila keadaan cuaca sangat menguntungkan bagi kehisupan dan
perkembang biakan suatu hama, dapat mendorong populasi hama tersebut
meningkat cepat menjauhi aras keseimbangannya. Namun, peningkatan populasi
tersebut juga tidak akan berjalan terus, karena FTK seperti musuh alami akan
mengencangkan penekannya sehingga populasi kembali lagi ke aras
keseimbangannya.
Aras keseimbanagan populasi hama dapat meningkat antara lain dengan
penggunaan pestisida yang berlebihan dan kurang tepat, sehingga dapat
membunuh musuh alami. Penggunaan pestisida secara terus-menerus dapat
menakibatkan aras keseimbangan hama tersebut meningkat melebihi aras
keseimbanagan sebelumnya.
Peningkatan aras keseimbangan populasi hama dapat juga terjadi sebagai
akibat tersediannya makanan hama secara luas dan terus-menerus. Demikian juga
jika varietas tanaman yang ditanam adalah varietas peka, lambat laun aras
keseimbangan populasi hama akan meningkat.
Aras keseimbangan populasi hama dapat juga diturunkan apabila dilakukan
peningkatan dan konservasi musuh alami. Tindakan demikian ini akan mendorong
berkerjanya proses pengendalian alami di daerah tersebut, yang dalam jangka
panjang dapat menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga berada di
bawah ambang pengendalian
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dari pembuatan makalah ini dapat disimpulkan
bahwa factor yag mempengaruhi populasi ledakan hama dan pengelompokkan
hama berdasarkan tingkat bahayanya adalah sebagai berikut:
1. Pemindahan Tanaman ke Daerah yang Berbeda Iklim (Perubahan Iklim),
hasil pemuliaan tanaman, berkurangnya keragaman genetic, jarak tanam,
penanaman terus menerus, unsur hara tanah, masa tanam, asosiasi antara
tanaman dan hama, pestisida yang merubah fisiologi tanaman, pemasukan
spesies tanaman dan spesies hama baru.
2. Pengelompokkan hama berdasarkan jenis dan menurut kisaran bahaya yang
ditimbulkannya yaitu :hama utama atau hama kunci, hama minor atau
kadangkala, hama potensial dan hama migran
DAFTAR PUSTAKA

Anggiah. 2012. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Diakses dalam


http://blog.ub.ac.id/anggiah/2012/02/24/opt. pada tanggal 03 Oktober
2016.

Anonim. 2011. Tanggap Ledakan Hama Penting Tanaman Perkebunan.


Kementerian Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Manopo R, Christina L S dkk. 2012. Padat Populasi dan Intensitas Serangan


Hama Walang Sangit pada Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Minahasa
Tenggara. Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi.

Rauf A. 1999. Dinamika Populasi Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera:


Noctuidae) pada Pertanaman Bawang Merah di Dataran Rendah. Buletin
HPT. Vol. 11.

Rizki Rahmadhani. 2014. Faktor Peledakan Populasi Hama. Diakses dalam


https://justkie.wordpress.com/2014/03/19/faktor-peledakan-populasi-
hama/. Pada tanggal 02 Oktober 2016.

Tanjdung, S.D. (2003). Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Laboratorium Ekologi


Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

You might also like