You are on page 1of 23

LO.1.

MM Anatomi ginjal
LO.1.1. Makroskopis
GINJAL
 Berjumlah 2 buah

 Bentuk seperti biji kacang tanah

 Berwarna coklat kemerahan

 Ukuran normal 12 x 6 x2 cm

 Berat 1 ginjal 130 gr

 Terdapat pada dinding posterior abdomen di sebelah kanan dan kiri columna vertebralis
Terletak Retroperitoneal

 Ginjal kiri lebih tinggi dari yang kanan (+ ½ vertebra)

 Pada kutub atas kedua ginjal terdapat Glandula Suprarenalis

 Ginjal dibungkus oleh Fascia Renalis, terdiri dari 2 lamina : Lamina anterior & Lamina
posterior.

 Selubung yang langsung membungkus dan melekat erat cortex renalis disebut Capsula
fibrosa, dan yang tidak langsung membungkus disebut Capsula adiposa

PROYEKSI GINJAL PADA DINDING


 BELAKANG ABDOMEN

 Batas atas

ginjal kanan : setinggi Vert.Thoracal 12


ginjal kiri : setinggi Vert.Thoracal 11
 Batas bawah

ginjal kanan : setinggi Vert.Lumbal 3


ginjal kiri : setinggi antara Vert.Lumbal 2-3
BATAS – BATAS
Ginjal dextra
 Anterior : Flexura coli dextra, Colon ascendens, Duodenum (II), Hepar
(lob.dextra),Mesocolon transversum
 Posterior : m.psoas dextra, m.quadratus lumborum dextra, m.transversus abdominis
dex, n.subcostalis (Ver.th.12) dex,n.ileohypogastricus
dextra,n.ileoinguinalis(VL.1)dextra,Costae 12 dextra.

 Ginjal sinistra

 Anterior : Flexura coli sinistra, Colon descendens, Pancreas, Pangkal mesocolon


transversum, Lien, Gaster.

 Posterior : m.psoas sinistra, m.quadratus lumborum sin, m.transversus abdominis sin,


n.subcostalis (VT.12) sinistra, n.ileohypogastricus sinistra, n.ileoinguinalis(VL.1)
sinistra, Pertengahan Costae 11 & 12 sin.

URETER
 Adalah saluran tractus urinarius yang mengalirkan urin dari ginjal ke vesica urinarius

 Panjangnya + 25 cm

 Terbagi 2 :

1. Ureter pars abdominalis


2. Ureter pars pelvica

Cortex
renalis

Basis renalis Medulla


renalis
Sinus
renalis
Calices renales
Pyramides minores
renales
Calices renales
Papillae majores
renales

Columnae
renales

Ureter

Vaskularisasi Ginjal
Vaskularisasi ginjal terbagi 2 yaitu :
Medula Cortex

Aorta abdominalis A. Efferen


↓ ↓
A. renalis Dextra & sinistra V. Interlobularis
↓ ↓
A. Segmentalis (A. Lobaris) V. Arquata
↓ ↓
A. Interlobaris V. Interlobaris
↓ ↓
A. Arquata V. V. Segmentalis (V. Lobaris)
↓ ↓
A. Interlobularis V. Renalis Dextra & sinistra
↓ ↓
A. afferen V. Cava Superior
↓ ↓
Cortex renalis Atrium Dextra
ke dalam glomerulus
(capsula bowman)

Filtrasi darah

Medulla : Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis
II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan
garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
lobaris kemudian arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk
arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam
korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus
Cortex : Arteri efferent berhubungan dengan Vena interlobularis bermuara ke vena arcuate
kemudian vena interlobaris lalu vena lobaris dan bermuara ke vena renalis lalu ke vena cava
inferior.
Persarafan Ginjal
Dilakukan oleh plexus symphaticus renalis dan serabut afferent melalui plexus renalis menuju
medulla spinalis N. Thoracalis X,XI,XII.
PELVIS
Berbentuk corong dan keluar dari ginjal melalui hillus renalis dan menerima dari calix major.
Perdarahan : diperdarahi oleh Arteri renalis cabang aorta abdominalis, Arteri Testicularis
cabang aorta abdominalis, Arteri Vesicalis superior cabang dari A. Illiaca interna.
Persarafan : dipersarafi oleh plexus renalis, Nervus Testicularis, Nervus Hypogastricus
LO.1.2. Mikroskopis

 Glomerulus
Glomerulus adalah massa kapiler yang berbelit-belit terdapat sepanjang perjalanan arteriol,
dengan sebuah arteriol aferen memasuki glomerulus dan sebuah arteriol eferen meninggalkan
glomerulus. Epitel parietal, yaitu podosit, mengelilingi sekelompok kecil kapiler dan di antara
ansa kapiler dekat arteriol aferen dan eferen terdapat tangkai dengan daerah bersisian dengan
lamina basal kapiler yang tidak dilapisi endotel. Dalam daerah seperti itu terletak sel mesengial.
Sel mesangial ini dapat berkerut jika dirangsang oleh angiotensin, dengan akibat berkurangnya
aliran darah dalam kapiler glomerulus. Selain itu, sel mesangial dianggap bersifat fagositik dan
akan bermitosis untuk proliferasi pada beberapa penyakit ginjal. Berdekatan dengan
glomerulus, sel-sel otot polos dalam tunika media arteriol aferen bersifat epiteloid. Intinya
bulat dan sitoplasmanya mengandung granula. Sel-sel ini adalah sel Juksta-glomerular (JG).
Sel jukstaglomerular berespons terhadap peregangan di dinding arteriol afferen, suatu
baroreseptor. Pada penurunan tekanan darah, sel jukstaglomerular melepaskan enzim renin.
Makula densa, suatu bagian khusus tubulus kontortus distal yang terdapat di antara arteriol
aferen dan eferen. Makula densa tidak mempunyai lamina basal. Makula densa berespons pada
perubahan NaCl di filtrat glomerular.

◄Gambar 1-6. Glomerulus: arteri aferen (AA), sel Juxtaglomerulus (JC), makula densa (MD),
tanda panah menunjukkan granula yang mungkin merupakan renin yang dihasilkan oleh JC.
Tanda bintang merupakan nulcei dari sel-sel endotelial arteriole aferen glomerulus
Apparatus Juksta Glomerularis
Apparatus juksta glomerularis berfungsi mengatur sekresi renin
dan terletak di polus vascularis. Apparatus juksta glomerularis
terdiri dari:
Macula Densa
Sel dinding tubulus distal yang berada dekat dengan glomerulus berubah menjadi lebih tinggi
dan tersusun lebih rapat. Fungsi: atur kecepatan filtrasi glomerulus
Sel Juksta Glomerularis
Merupakan perubahan sel otot polos tunika media dinding arteriol
afferen menjadi sel sekretorik besar bergranula. Granula sel ini berisikan
rennin

Sel Polkissen/Lacis/Mesangial Extra Glomerularis


a) Terdapat diantara makula densa, vas afferen dan vas efferent
b) Bentuk gepeng, panjang, banyak prosesus sitoplasma halus dengan
jalinan mesangial.
c) Berasal dari mesenchyme, mempunyai kemampuan fagositosis

 Kapsul Bowman
Kapsul Bowman, pelebaran nefron yang dibatasi epitel, diinvaginasi oleh jumbai kapiler
glomerulus sampai mendapatkan bentuk seperti cangkir yang berdinding ganda. Terdapat
rongga berupa celah yang sempit, rongga kapsula, di antara lapisan luar atau parietal (epitel
selapis gepeng) dan lapisan dalam atau viseral (sel besar yaitu podosit) yang melekat erat pada
jumbai kapiler. Podosit memiliki pedicle /foot processes. Di anatara pedikit terdapat flitration
slit membrane. Sel endotelial kapiler memiliki fenstra pada sitoplasma. Berguna untuk hasil
fenestrasi.
 Tubulus Proksimal

Tubulus proksimal di korteks ginjal mempunyai bagian berkelok-


kelok (pars contortus) dan bagian yang lurus (pars rectus), sedangakan
di medulla menjadi ansa henle segmen tebal pars descendens. Tubulus
proksimal berfungsi untuk reabsorbsi. Semua glukosa, protein, dan
asam amino, hampir semua karbohidrat dan 75-85% air di reabsorbsi
disini. Dinding tubulus proksimal disusun oleh epitel selapis kuboid,
sitoplasma bersifat asidofili, batas antar sel tidak jelas,terdapat
mikrofili yang membentuk gambaran brush border.
 Tubulus Distal
Tubulus proksimal di korteks ginjal mempunyai bagian berkelok-kelok
(pars contortus) dan bagian yang lurus (pars rectus), sedangakan di
medulla menjadi ansa henle segmen tebal pars ascendens. Tubulus
kontortus distal lebih pendek dibandingkan dengan tubulus kontortus
proksimal. Dinding tubulus dilapisi epitel selapis kuboid, sitoplasma
bersifat basofilik, inti gelap, dan tidak ada brush border. Tubulus
kontortus distal mengabsorpsi NaCl dengan air, meningkatkan volume
dan tekanan darah.
 Ansa Henle
Segmen tipis. Peralihan dari pars descendens yang tebal (tubulus proximal pars rekta) ke
segmen tipis biasanya mendadak, berselang beberapa sel dengan perubahan epitel kuboid dan
torak rendah ke gepeng. Diameter luar segmen tipis hanya 12-15 μm, dengan diameter lumen
relatif besar, sedangkan tinggi epitel hanya 1-2 μm.
Segmen tebal. Pars descendens segmen tebal dindingnya mirip tubulus kontortus proksimal
tetapi lebih kecil. Sedangkan, pars ascendens segmen tebal mirip dengan tubulus kontortus
distal.
 Duktus Koligen
Duktus koligen atau duktus eksretorius bukan merupakan
bagian dari nefron. Setiap tubulus kontortus distal
berhubungan dengan duktus koligens melalui sebuah cabang
sampai duktus koligen yang pendek yang terdapat dalam
berkas medular; terdapat beberapa cabang seperti itu.
Duktus koligen berjalan dalam berkas medula menuju
medula. Di bagian medula yang lebih ke tengah, beberapa
duktus koligens bersatu untuk membentuk duktus yang
besar yang bermuara ke apeks papila. Saluran ini disebut
duktus papilaris (Bellini) dengan diameter 100-200 μm
atau lebih. Muara ke permukaan papila sangat besar, sangat
banyak dan sangat rapat, sehingga papila tampak seperti
sebuah tapisan (area cribrosa).
Sel-sel yang yang melapisi saluran ekskretorius ini
bervariasi ukurannya, mulai dari kuboid rendah di bagian
proximal sampai silindris tinggi di duktus papilaris utama.
Batas sel teratur dengan sedikit interdigitasi dan umumnya
sel tampak pucat dengan beberapa organel. Duktus koligen
menyalurkan kemih dari nefron ke pelvis ureter dengan
sedikit absorpsi air yang dipengaruhi oleh hormon anti-
diuretik (ADH).
LO.2. MM Fisiologi Ginjal
LO.2.1. Pembentukan Urin

FILTRASI GLOMERULUS
Cairan yang difiltrasi glomerulus ke dalam kapsula bowman harus melewati tiga lapisan
membrana glomerulus:

 Dinding kapiler glomerulus


 Membran basal
 Lapisan dalam kapsula bowman
Secara kolektif, lapisan tersebut menahan eritrosit dan protein plasma tetapi membolehkan
H2O dan zat terlarut ukuran molekul kecil lewat. Membran basal terbentuk dari kolagen dan
glikoprotein. Glikoprotein ini bermuatan negatif sehingga menolak albumin dan protein
plasma lain, yang juga bermuatan negatif. Sehingga, protein plasma hampir tidak terdapat
pada filtrat. Rute yang dilewati bahan terfiltrasi berawal dari melalui pori kapiler, kemudian
membrana basal aselular, akhirnya melewati celah filtrasi yang dibentuk sel podosit. Sebagian
penyakit ginjal disebabkan gangguan muatan negatif di membran basal, yang menyebabkan
glomerulus lebih permeabel meski ukuran pori kapiler tidak berubah.

Filtrasi glomerulus dilakukan oleh gaya fisik pasif untuk mendorong sebagian plasma
menembus lubang di membran glomerulus. Tiga gaya fisik dalam filtrasi glomerulus:
1. Tekanan darah kapiler glomerulus (55 mmHg)
Tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan kapiler
glomerulus lebih tinggi dibandingkan di tempat lain, karena garis tengah arteriol aferen
lebih besar daripada arteriol eferen. Selain itu, karena tingginya resistensi yang dihasilkan
arteril eferen sehingga tekanan darah tidak memiliki kecendurungan untuk turun.
Tekanan darah yang tinggi dan cenderung tidak turun ini yang mendorong cairan keluar
glomerulus menuju kapsul Bowman dan merupakan gaya utama filtrasi glomerulus. Dua
gaya lainnya, gaya onkotik dan gaya hidrostatik melawan filtrasi.
2. Tekanan osmotik kolid plasma (30 mmHg)
Protein plasma tidak dapat difiltrasi sehingga tetap berada di dalam kapiler. Hal ini
menimbulkan konsentrasi H2O lebih tinggi di dalam kapsul Bowman. Timbul
kecenderungan H2O berpindah melalui osmosis menuruni gradien konsentrasinya sendiri
dari kapsul Bowman ke glomerulus melawan filtrasi.
3. Tekanan hidrostatik kapsula bowman (15 mmHg)
Tekanan yang ditimbulkan oleh cairan di bagian awal tubulus. Cenderung mendorong
cairan ke glomerulus.
Gaya total yang mendorong filtrasi adalah 55mmHg, sedangkan dua gaya melawannya adalah
45mmHg. Perbedaan netto yang mendorong filtrasi (10mmHg) disebut tekanan filtrasi netto.
Laju filtrasi sebenarnya, laju filtrasi glomerulus (LFG) selain bergantung pada tekanan filtrasi
netto namun juga terhadap luas permukaan glomerulus dan tingkat permeabel membran
glomerulus. Pada pria dihasilkan 180 liter filtrat glomerulus setiap hari untuk LFG rerata 125
ml/mnt. 160 liter filtrat perhari pada LFG rerata 115 ml/mnt pada wanita. Tekanan onkotik
yang rendah dapat meningkatkan LFG, begitu pula sebaliknya pada pasien luka bakar luas
dengan kurangnya protein plasma sehingga tekanan onkotik meningkat dan LFG turun.
Perubahan tekanan hidrostatik kapsul bowman dapat terjadi pada pembendungan cairan
akibat obstruksi saluran kemih atau prostat.

Jumlah aliran ke dalam glomerulus diatur oleh tekanan darah arteri sistemik rata-rata dan
resistensi arteriol aferen. Terdapat dua mekanisme kontrol pengatur LFG, keduanya untuk
penyesuaian aliran darah glomerulus dengan pengaturan jari-jari dan resistensi arteriol
aferen. Mekanisme ini adalah
1. Mekanisme otoregulasi, untuk mencegah perubahan spontan LFG
Tekanan darah arteri akan berbanding lurus dengan tekanan kapiler glomerulus dan LFG
selama faktor lain tidak berubah. Otoregulasi adalah mekanisme regulasi dari ginjal
sendiri. Ginjal melakukannya dengan mengubah resistensi arteriol aferen pada berbagai
keadaan tekanan arteri yang tinggi maupun rendah. Jika LFG meningkat akibat
peningkatan tekanan arteri, arteriol aferen akan berkonstriksi untuk mengurangi aliran
darah sehingga tekanan filtrasi netto dan LFG akan berkurang. Begitu pula sebaliknya.
Terdapat dua mekanisme intrarenal yang ikut berperan:
a. Mekanisme miogenik, berespon inheren terhadap perubahan tekanan di dalam
vaskular nefron untuk gerak otot polos yang dilakukan langsung oleh pembuluh darah
b. Mekanisme umpan balik tubuloglomerulus, mendeteksi kadar garam di cairan yang
mengalir melalui tubular nefron yang dilakukan oleh makula densa. Jika LFG
meningkat maka cairan yang difiltrasi dan melalui tubulus distal akan lebih besar.
Sehingga makula densa mendeteksi adanya peningkatan penyaluran garam ke
tubulus, sel ini mengeluarkan adenosin dan menyebabkan arteriol aferen
berkonstriksi. Begitupun sebaliknya.
2. Mekanisme kontrol simpatis ekstrinsik
LFG dapat dirubah secara sengaja meski tekanan arteri berada dalam kisaran otoregulasi
oleh mekanisme ini. Kontrol ekstrinsik LFG dipengaruhi sinyal sistem saraf simpatis ke
arteriol aferen, sedangkan parasimpatis tidak berpengaruh apapun pada ginjal.
Bagan 2.1 Refleks baroreseptor mempengaruhi LFG

REABSORBSI TUBULUS

Gambar 2.1 Tahap transpor transepitel


Terdapat lima sawar terpisah yang harus dilewati suatu bahan yang akan direabsorpsi, tahap
ini merupakan tahapan transpor transepitel
Tahap 1 : dari cairan tubulus melewati membran luminal sel tubulus
Tahap 2 : melewati sitosol dari satu sisi sel tubulus ke sisi lainnya
Tahap 3 : bahan harus melewati membran basolateral sel tubulus ke cairan interstitial
Tahap 4 : difusi melalui cairan interstitium
Tahap 5 : menembus dinding kapiler untuk masuk ke plasma darah
Terdapat dua jenis reabsorbsi tubular. Pertama, reabsorpsi pasif yang mengikuti gradien
elektrokimia atau osmotik. Kedua, reabsorpsi aktif yang melawan gradien elektrokimia.

Peran reabsorpsi natrium pada masing-masing segmen

- Rebsorpsi natrium di tubulus proksimal, berperan dalam reabsorpsi glukosa, asam


amino, H2O, Cl-, dan urea
- Reabsorpsi natrium di pars ascendens ansa Henle, bersama dengan reabsorpsi Cl-,
berperan penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan urin dengan konsentrasi
dan volume bervariasi, bergantung pada kebutuhan tubuh untuk menghemat atau
mengeluarkan H2O
- Reabsorbsi natrium di tubulus distal dan koligens bervariasi dan berada di bawah
kontrol hormon. Reabsorpsi ini sebagai kunci dalam mengatur vollume CES, yang
penting dalam kontrol jangka panjang tekanan darah arteri, dan juga sebagaian
berkaitan dengan sekresi K+ dan sekresi H+.
Transpor Na+ dari lumen tubulus ke sel tubulus terjadi secara pasif melalui saluran natrium,
ketika akan berpindah dari sel tubulus ke ruang lateral cairan intrastitial natrium dikeluarkan
secara aktif melalui pompa Na+-K+ basolateral. Setelah itu natrium akan menuruni
konsentrasinya yang tinggi di interstitial menuju ke gradian konsentrasi rendah di plasma,
proses ini berlangsung secara difusi pasif.

Sistem hormon yang paaling penting terlibat dalam regulasi Na+ adalah sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS). Sel granular aparatus jukstaglomerulat mengeluarkan suatu
hormon enzimatik, renin ke dalam darah sebagai respon terhadap penurunan NaCl/Volume
CES/tekanan darah. Fungsi ini sebagai peran tambahan terhadap peran makula densa dalam
otoregulasi. Sel granular meningkatkan sekresi renin:

1. Sel granular sendiri sebagai baroreseptor intrarenal. Ketika mendeteksi penurunan


tekanan darah arteriol aferen, sel granular mengeluarkan lebih banyak renin
2. Sel makula densa yang memberi sinyal jika terjadi penurunan NaCl melalui tubulus,
sehingga memicu sel granular mengeluarkan banyak renin
3. Sel granular disarafi oleh sistem saraf simpatis. Ketika tekanan darah turun refleks
baroreseptor meningkatkan aktivitas simpatis. Peningkatan ini merangsang sel
granular mengeluarkan lebih banyak renin
Melalui proses yang melibatkan RAAS, peningkatan sekresi renin menyebabkan peningkatan
reabsorbsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes. Clorida secara pasif mengikuti Na. Manfaat
akhir dari retensi garam adalah mendorong retensi H2O secara osmotis, yang membantu
memulihkan volume plasma sehingga penting dalam kontrol jangja panjang tekanan darah.
REABSORPSI GLUKOSA DAN ASAM AMINO
Glukosa dan asam amino dipindahkan dari tubulus ke plasma melalui transpor aktif sekunder.
Dimana glukosa dan asam amino membutuhkan Na+ untuk melewati pembawa kotransporter
khusus yang hanya terdapat di membran tubulus proksimal. Pada hakikatnya, glukosa dan
asam amino mendapat “tumpangan gratis” dengan menggunakan energi yang telah
digunakan dalam reabsorpsi Na+. Setelah diangkut ke dalam sel tubulus dari lumennya,
glukosa dan asam amino akan berdifusi secara pasif menuruni gradien konsentrasi menembus
membran basolateral sel tubulus untuk masuk ke dalam plasma. Sebagai catatan, pembawa
kotranspor glukosa tidak dapat membawa asam amino, begitu pula sebaliknya bekerja secara
spesifik.

Laju reabsorpsi maksimal tercapai jika semua pembawa kotransporter yang spesifik untuk
suatu bahan ditempati atau jenuh sehingga pembawa-pembawa tidak lagi menangani
penumpang tambahan pada saat itu. Transpor maksimal ini disebut maksimum tubulus (Tm),
meskipun pembawa Na+ dapat mengalami kejenuhan namun tubulus secara keseluruhan
tidak memperlihatkan maksimum tubulus untuk Na+, karena aldosteron mendorong sintesis
pembawa Na+-K+ yang lebih aktif di tubulus distal dan koligentes.

Tm untuk glukosa sekitar 375 mg/mnt; yaitu reabsorpsi dapat mencapai 375 mg glukosa per
menit sebelum mencapat kemampuan transpor maksimal. Konsentrasi plasma dimana Tm
suatu bahan tercapai dan bahan mulai muncul di urin disebut ambang ginjal. Pada Tm 375
mg/mnt dan LFG 125 ml/mnt, ambang ginjal untuk glukosa adalah 300 mg/ml. Hal ini karena
glukosa sering diekskresikan sebelum ambang rerata ginjal, disebabkan oleh; (1)tidak semua
nefron memiliki Tm yang sama sehingga sebagian nefron mungkin telah melampaui Tm
mereka dan mengeksresikan glukosa, (2) efisiensi pembawa kotranspor glukosa mungkin
tidak bekerja pada kapasitas maksimalnya pada nilai yang meningkat tetapi kurang dari nilai
Tm.

Glukosa adalah bahan yang memiliki Tm tetapi tidak diatur oleh ginjal. Sedangkan fosfat,
bahan dengan Tm yang diatur oleh ginjal. Ginjal tidak mengatur glukosa karena ginjal tidak
mempertahankan glukosa pada konsentrasi plasma tertentu. Konsentrasi ini diatur oleh
mekanisme endokrin dan hati, ginjal hanya mempertahankan berapapun konsentrasi glukosa
yang ditetapkan. (ginjal hanya mengatur sesuai ambangnya tetapi ambangnya tidak sama
dengan konsentrasi plasma normalnya seperti di reabsorpsi fosfat)

REABSORPSI FOSFAT
Fosfat adalah contoh bahan yang direabsorpsi secara aktif dan diatur ginjal. Ambang ginjal
untuk ion-ion inorganik seperti fosfat dan kalsium sama dengan konsentrasi plasma
normalnya. Pembawa transpor untuk elektrolit ini terletak di tubulus proksimal. Kelebihan
fosfat yang masuk akan cepat dikeluarkan ke dalam urin karena mekanisme ginjal yang dapat
memreabsorpsi fosfat setara dengan konsentrasi plasma. Reabsorpsi fosfat juga dibawah
kontrol hormon yaitu paratiroid yang mengubah ambang ginjal untuk fosfat dan kalsium.

REABSORPSI KLORIDA
Ion muatan negatif ini direabsorpsi secara pasif menuruni gradien listrik akibat transpor aktif
natrium yang bermuatan positif. Umumnya clorida mengalir di antara, bukan menembus sel
tubulus. Reabsorpsinya bergantung laju reabsorpsi aktif Na.

REABSORPSI AIR
Air direabsorpsi secara pasif diseluruh panjang tubulis karena H2O secara osmotis mengikuti
natrium. Pada reabsorbsi 80% di tubulus proksimal dan ansa henle tidak ada peran hormonal,
sisanya 20% direabsorpsi di tubulus distal dan kolingentes di bawah pengaruh hormonal
tergantung hidrasi tubuh. Selama direabsorpsi H2O melewati akuaporin atau saluran air yang
terbentuk oleh protein-protein membran plasma spesifik di sel tubulus. Di bagian tubulus
proksimal, saluran ini selalu terbuka sehingga permeabel air. Namun, di tubulus distal diatur
hormon vasopresin sehingga reabsorpsinya berubah-ubah.

Akibat konsentrasi natrium di ruang lateral meningkat, mengakibatkan aliran pasif H2O dari
lumen ke ruang lateral atau melalui tight-junction antar sel. Akumulasi cairan ini
meningkatkan tekanan hidrostatik yang mendorong H2O keluar ruang lateral menuju
interstitium dan akhirnya ke dalam kapiler peritubular. Protein plasma yang tidak terfiltrasi
akan terangkut ke dalam kapiler peritubular sehingga menyebabkan tekanan onkotik di dalam
kapiler yang menarik air secara pasif ke dalam plasma.

REABSORPSI UREA
Urea merupakan bentuk pecahan protein. Akibat reabsorpsi air yang banyak pada tubulus
proksimal menyebabkan konsentrasi air lebih tinggi di dalam interstitial dibandingkan di
tubulus. Hal ini membuat cairan di dalam tubulus menjadi lebih pekat, urea merukapan salah
satu di dalam cairan tersebut. Hal ini membuat urea melakukan difusi pasif ke dalam plasma
melalui interstitial pada akhir membran tubulus proksimal yang agak permiabel terhadap
urea.
Produk seperti fenol dan kreatinin tidak direbsorbsi karena tidak dapat menembus dinding
tubulus dan tidak dibawah kontrol fisiologik.

SEKRESI TUBULUS
Sekresi merupakan proses berkebalikan absorpsi, yaitu pemindahan sekret dari kapiler
peritubular menuju tubulus. Bahan penting yang disekresi tubulus adalah ion hidrogen, ion
kalium, serta anion dan kation organik.

Sekresi ion hidrogen penting dalam keseimbangan asam basa. Ketika cairan tubuh terlalu
asam maka sekresi H+ meningkat, begitu pula sebaliknya. Sekresi ion ini dapat terjadi di
tubulus proksimal, distal, koligentes.

Ion kalium secara aktif direabsorbsi di tubulus proksimal dan secara aktif disekresi di tubulus
distal dan koligentes. Lokasi saluran K+ pasif berbeda-beda di setiap tubulus. Di tubulus distal
dan koligentes, saluran K+ terkonsentrasi di membran luminal, menyediakan rute bagi K+
yang dipompa ke dalam sel untuk keluar ke dalam lumen (disekresi). Di segmen tubulus
lainnya, saluran K+ terutama terletak di membran asolateral. Akibatnya, K+ yang dipompa ke
dalam sel dari ruang lateral oleh pompa Na+-K+ mengalir balik ke ruang lateral melalui
saluran-saluran ini. Sehingga daur ini memungkinkan pompa Na+-K+ terus-menerus
melakukan reabsorpsi Na tanpa efek lokal netto pada K+.

Peningkatan ion kalium di plasma dapat merangsang korteks adrenal untuk merangsang
aldosteron untuk meningkatkan sekresi kalium. Peningkatan K+ plasma secara langsung
merangsang sekresi aldostero, sementara penurunan konsentrasi Na+ merangsang
aldosteron melalui lajur kompleks RAAS. Karena itu, aldosteron dapat dirangsang oleh dua
proses berbeda. Apapun perangsangnya, efek aldosteron selalu mendorong reabsorbsi Na+
dan sekresi K+. Karena itu sekresi K+, dapat secara tidak sengaja diakibatkan oleh deplesi Na+,
penurunan volume CES, atau penurunan tekanan arteri yang sama sekali tidak berkaitan
dengan keseimbangan K+.

Faktor lain yang dapat secara tidak sengaja mengubah tingkat sekresi K+ adalah status asam
basa tubuh. Pompa basolateral di bagian distal nefron dapat mensekresikan K+ dan H+ untuk
dipertukarkan dengan Na+ yang direabsorpsi. Dalam keadaan normal, ginjal cenderung
mensekresikan K+ tetapi jika cairan tubuh terlalu asam dan sekresi H+ ditingkatkan sebagai
tindakan kompensasi, maka sekresi K+ berkurang. Penurunan sekresi ini menyebabkan
retensi K+ yang tidak sesuai di cairan tubuh.
LO.2.2. Homeostasis
Ginjal berperan dalam homeostasis melalui cara-cara spesifik berikut:
FUNGSI REGULASI

 Ginjal mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar elektrolit CES, termasuk yang
penting dalam mempertahankan eksitabilitas saraf dan otot
 Ginjal membantu mempertahankan pH yang sesuai dengan membuang kelebihan H+
(asam) atau HCO3- (basa) di urin
 Mempertahankan volume plasma yang sesuai, penting dalam regulasi jangka panjang
tekanan darah arteri, dengan mengontrol keseimbangan garam tubuh. Volume CES,
termasuk volume plasma, mencerminkan jumlah garam total di CES, karena Na+ dan
anion penyertanya, Cl-, berperan dalam lebih dari 90% aktivitas osmotik (menahan
air) CES.
 Ginjal mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh, yang penting dalam
memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) CES. Peran ini penting dalam
mempertahankan stabilitas volume sel dengan menjaga air agar tidak berpindah
secara osmosis masuk atau keluar sel sehingga sel tidak membengkak atau menciut.
FUNGSI EKSKRESI

 Ginjal mengekskresi produk sisa metabolisme di urin. Jika dibiarkan di dalam tubuh
maka bisa menjadi toksik
 Ginjal juga mengeluarkan banyak senyawa asing yang masuk tubuh
FUNGSI HORMON
 Ginjal menghasilkan eritropoietin, hormon yang menrangsang sumsum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Efek ini berperan dalam homeostasis dengan
membantu mempertahankan kandungan optimal O2 darah. Lebih dari 98% O2 di
darah terikat hemoglobin di dalam sel darah merah
 Ginjal juga menghasilkan renin, hormon yang memicu jalur RAAS untuk mengontrol
reabsorpsi Na+ di tubulus ginjal, yang penting dalam pemelihataan jangka panjang
volume plasma dan tekanan darah arteri
FUNGSI METABOLIT
 Ginjal membantu mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya. Vitamin D esensial
untuk menyerap Ca+ dari saluran cerna. Kalsium, sebaliknya, memiliki beragam fungsi
homeostatik.
Gambar 2.3 sistem RAAS

Setelah dikeluarkan ke dalam darah, renin bekerja sebagai enzim untuk mengaktifkan protein
plasma yang disintesis hati yaitu, angiotensinogen, menjadi angiotensin I. Setelah melewati
sirkulasi paru, angiotensin I dirubah oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) menjadi
angiotensin II yang berperan merangsang sekresi hormon aldosteron. Hormon ini
meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes. Selain itu, angiotensin II juga
merangsang rasa haus (meningkatkan asupan cairan) dan merangsang vasopresin (suatu
hormon yang meningkatkan retensi H2O oleh ginjal), dimana keduanya berperan dalam
menambah volume plasma dan meningkatkan tekanan arteri.

LO.3. MM Glomerulonefritis akut


LI.3.1. Definisi
Glomerulonefritis adalah penyakit inflamasi atau non-inflamasi pada glomerulus yang
menyebabkan perubahan permeabilitas, perubahan struktur, dan fungsi glomerulus. Data
imunopatologik dan eksperimental menyokong bahwa kerusakan glomerulus pada GN
merupakan mekanisme imunologik. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)

LI.3.2. Epidemiologi
Data epidemiologi GN yang bersifat nasional belum ada dan laporan dari berbagai pusat ginjal
dan hipertensi masih terbatas. Hal ini disebabkan biopsi ginjal tidak selalu adpat dilakukan
dalam menegakkan diagnosis etiologi GN. Data perhimpunan nefrologi indonesia
(PERNEFRI) menunjukan bahwa GN sebagai penyebab PGTA yang menjalani hemodialisis
mencapai 39% pada tahun 2000.
Sidabutar RP dan kawan melaporkan 177 kasus yang lengkap dengan biopsi ginjal dari 459
kasus rawat inap yang dikumpulkan dari 5 Rumah Sakit selama 5 tahun. Data tersebut didapat
35,6% menunjukan manifestasi kinik sindrom nefrotik, 19,2% sindrom nefrotik akut, 3.9%
Gnprogresif cepat, 15,3% dengan hematuria, 19,3% proteinuria, dan 6,8% hipertensi. (Wiguno
Prodjosudjadi, IPD)

LI.3.3. Etiologi
Sebagian besar etiologi GN tidak diketahui kecuali yang disebabkan oleh infeksi beta
streptokokus pada GN pasca infeksi streptokokus ata akibat virus hepatitis C. Faktor presipitasi
misalnya infeksi dan pengaruh obat dan pajanan toksin dapat menginisiasi terjadinya respon
imun serupa yang menyebabkan GN dengan mekanisme sama. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)

LI.3.4. Klasifikasi
Klasifikasi GN ditentukan berdasarkan gambaran histopatologik glomerulus yang terlihat pada
biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskopik cahaya (MC), mikroskop imunofluoresen
(MIF) dan mikroskop elektron (ME). Klasifikasi ini tidak ideal karena satu kelainan histologik
tidak menunjukan etiologi dan manifestasi klinis yang tertentu. Klasifikasi histopatologi GN
primer sangat bervariasi umumnya dibedakan berdasarkan perubahan yang bersifat proliferatif
dan non-prolifertis.

 GN NON-PROLIFERATIF

Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)


Merupakan salah satu benuk yang sering dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan
disebut pula sebagai nefrosis lupoid. Pada pemeriksaan MC menunjukan gambaran
glomerulus yang normal. Endapan Ig atau komplemen tidak ditemukan pada
pemeriksaan M sedangkan pada pemeriksaan ME menunjukan fusi atau hilangnya
foot processes sel epitel viseral glomerulus.

Glomerulosklerosis fokal dan segmental (GSFS)


Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik dengan gejala proteinuria
masif, hipertensi, hematuria, dan sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan
MC menunjukan sklerosis glomerulus yang mengenai bagian atau segmen tertentu.
Obliterasi kapiler glomerulus terjadi pada segmen glomerulus dan dinding kapiler
mengalami koplaps. Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari IgM dan
komplemen C3. Glomerulus yang lain dapat normal atau membesar dan pada sebagian
kasus ditemukan penambahan sel.

Glomerulonefritis membranosa (GNMN)


GNMN atau nefropati membranosa sering merupakan penyebab sindrom nefrotik.
Sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) sedangkan yang lain
dikaitkan dengan LES (lupus eritromatosus sistemik), infeksi hepatitis virus B atau C,
tumor ganas, atau akibat obat misalnya preparat emas, penisilinamin, obat
antiinflamasi non-steroid. Pemeriksaan MC tidak menunjukan kelainan berarti dan
pemeriksaan MIF menunjukan deposit IgG dan komplemen C3 berbentuk granular
pada dinding kapiler glomerulus. Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi spike
–like pada MBG. Gambaran histopatologi pada pemeriksaan MC, MIF dan ME sangat
tergantung pada stadium penyakit.

 GN PROLIFERATIF

Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)


GNMP dibagi menjadi primer yang penyebabnya tidak diketahui atau idiopatik dan
sekunder akibat infeksi kronik, krioglobulinemia, dan penyakit autoimun sistemik.
GNMP atau GN mesangio-kapiler dapat bemanifestasi klinis SN dan atau sindrom
nefrotik akut. Pada pemeriksaan serologi ditemukan kadar komplemen rendah atau
hipokomplemenemia. Pemeriksaan MC menunjukan penebalan dinding kapiler dan
penambahan matrik mesangial. Pulasan periodic acid shift (PAS) ditemukan MBG
yang terbelah (splitting) disebut double counte atau tram-track appearance. Pada
pemeriksaan MIF memperlihatkan endapan C3, biasanya disertai properdin, C1q, C4
dan C2. Endapan IgG dan IgM dapat pula ditemukan dan endapan IgA sewaktu –
waktu.

Glomerulonefritis progresif cepat (GNPC)


GN ini mempunya etiologi dan patogenesis yang berbeda tergantung penyebab
msalnya GN pasca infeksi streptokokus, sindrom goodpasture, lupus nefritis,
vaskulitis, krioglobulinemia atau idiopatik. Gambaran hisopatologik secara khas
ditemukan kresen selular pada sebagian besar glomerulus. Kresen berasal dari
proliferasi sel epitel parietal dan viseral glomerulus, infiltrasi fibroblas, limfosit dan
monosit, serta endapan fibrin.
Nefropati IgA dan nefropati IgM juga dikelompokan alam GN proliferatif. Nefropati
IgA merupakan bntuk yang sering ditemukan pada GN mesangio-proliferatif dan juga
penyebab hematuria asimtomatik. Gambaran histopatologi pada pemeriksaan MC
bervariasi mulai dari ringan hingga krronik lanjutan. Pemeriksaan MIF menunjukan
endapan IgA terutama ditemukan pada mesangium dan sedikit pada dinding kapiler
glomerulus. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)

LI.3.5. Patofisiologi
PATOGENESIS
Kerusakan yang terjadi pada glomerulus tidak hanya tergantung respon imunologik awal tetapi
juga ditentukan seberapa besar pengaruh terhadap timbulnya kelainan. Inflamasi juga
berpengaruh terhadap terjadinya kelainan pada glomerulus. Kelainan yang terjadi dapat berupa
fibrosis, kelainan dekstruktif atau mungkin berkembang menjadi glomerulosklerosis dan
fibrosis interstitial.
Imunopatogenesis GN
Glomerulonefitis merupakan penyakit glomerulus akibat respon imunologik dan hanya
jenis tertentu yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh
faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana individu merespon terhadap sesuatu
kejadian.
Secara garis besar 2 mekanisme GN yaitu circulating immune complex (CIC) dan
terbentuknya deposi komplek imun in-situ. Pada CIC, antigen (Ag) eksogen memicu
terbentuknya antibodi (Ab) spesifik, kemudian membentuk kompleks imun (Ag-Ab)
dalam sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen dan selanjutnya
komplemen berikatan dengan Ag-Ab. Dalam keadaan normal ikatan (komplemen dengan
Ag-Ab) bertujuan untuk membersihkan kompleks imun dari sirkulasi melalui reseptor
C3b yang terdapat pada eritrosit. Kompleks imun akn mengalami degradasi dan
dibersihkan dari sirkulasi pada saat eritrosit melewati hati dan limpa. Apabila
antigenemia menetap dan bersihan kompleks imun terganggu, maka kompleks imun akan
menetap akan menetap di sirkulasi. Kompleks imun kemudian akan terjebak di
glomerulus melalui dengan ikatan reseptor-Fc yang terdapat pada sel mesangial atau
mengendap secara pasif dimesangium atau di sub-endotel. Aktivasi sistem komplemen
akan terus berjalan setelah terjadi pngendapan kompleks imun pada glomerulus.
Mekanisme pembentukan endapan komplek imun dapat terjadi secara in-situ apabila Ab
secara lansgung berikatan dengan Ag yang merupakan komponen dari membran basal
glomerulus (fixed- Ag) atau Ag dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen)
alternatif lain apabila Ag non-glomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anion
dari glomerulus, diikuti pengendapan Ab dan aktivasi komplemen secara lokal.
Selain dari kedua mekanisme tersebut GN dapat dimediasi oleh imunitas selular (cell-
mediated immunity). Beberapa studi penelitian membuktikan bahwa sel Tdapat berperan
langsung terhadap timbulnya proteinuria dan terbentuknya kresen pada GN kresentik.
Sel T yang tersensitisasi oleh Ag eksogen dan Ag endogen yang terdapat pada glomerulus
akan mengaktifkan makrofag dan menghasilkan reaksi lokal hipersensitisasi tipe lambat
(delayed type).
Kerusakan glomerulus pada GN
Kerukasan glomerulus tidak secara langsung disebabkan oleh endapan komplek imun.
Beberapa faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi, dan
komplemen berperan pada kerusakan glomerulus. Kerusakan glomerulus dapat terjadi
dengan melibatkan dan sel inflamasi, melibatkan komplemen tanpa sel inflamasi, dan
melibatkan sel inflamasi tanpa sistem komplemen. Kerusakan glomerulus dapat pula
terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular melalui sl T yang ersensitasi.
Pad sebagian GN, endapan komplek imun akan memicu proses inflamasi dalam
glomerulus dan memyebabkan proliferasi sel. Pada GN non-proliferatis dan tipe
sklerosing seperti GN membranosa (GNMN) atau sklerosis fokal segmental (GSFS)
tidak melibatkan sel inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologi yang mendasari
terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan, komposisi dan jumlah endapan, serta jenis Ab
berpengaruh terhadap kerusakan glomerulus.
Proses inflamasi pada kerusakan glomerulus
Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu oleh
edapan komplek imun. Proses inflamasi melibatkan sel inflamasi, molekul adhesi dan
kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik. Proses inflamasi diawali
dengan melekat dan bergulingnya sel inflamasi pada permukaan sel endotel (tethering
and rolling). Proses ini dimediasi oleh oleh molekul adhesi selektin L,E, dan P ang secara
berturut-turut berada dalam permukaannleukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD31
atau PECAM-1 yang dilepaskan oleh sel endotel akan merangsang aktivasi sel inflamasi.
Reaksi ini menyebabkan ekspresi molekul adhesi integrin pada permukaan sel inflamasi
meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan sel endotel semakin kuat. Perlekatan ini
dimediasi oleh VLA-4 pada permukaan sel inflamasi dan VCAM-1 pada sel endotel yang
teraktivasi. Ikatan antara LFA-1 pada permukaan sel inflamasi dan ICAM-1 pada sel
endotel akan lebih memperkuat perlekatan tersebut. Proses selanjutnya migrasi sel
inflamasi melalui celah antar sel endotel.
Kemokin mempunyai efek kemotaktin yaitu kemampuan menarik sel inflamasi keluar
dari pembuluh darah menuju jaringan. Secara garis besar kemokin dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu kemokin-alfa dan kemokin-beta mempunyai efek kemotakik terhadap
leukosit dan monosit atau limfosit dan menyebabkan semakin banyaknya sel inflamasi
untuk bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi menjadi lebih berat. (Wiguno
Prodjosudjadi, IPD)
LANJUT PATOLOGI ANATOMI DI ROBIN untuk menjelaskan proses abnormal
faalnya.

LI.3.6. Manifestasi Klinis


Merupakan kumpulan gejala atau sindrom klinik yang terdiri kelainan unrin asimptomatik,
hematuri makroskopis, sindrom nefrotik, sindrom nefritik, GN progresif cepat dan GN kronik.
Gejala dan tanda misalnya proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, perubahan ekskresi
garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah, dan hipertensi mungkin dapat ditemukan.
(Wiguno Prodjosudjadi, IPD)
Manifestasi klinis GNPS umumnya hematuria (makroskopis pada 65%), edema (75%), dan
hipertensi (50%)insufisiensi ginjal akut un dapat terjadi. Gejala klinis tersebut dapat timbul
dalam 5-21 hari (rerata 10 hari) setelah terinfeksi streptokokus nefritogenik. Sebagian anak
masih menderita infeksi aktif saat manifestasi klinis GNPS timbul. LFG turun akan memicu
peningkatan rearbsoprsi Natrium di tubulus distal, peningkatan volume plasma, supresi renin.
Oligourea insufisiensi ginjal dan hipertensi dapat menyebabkn timbul komplikasi gagal
jantung, kejang dan enselopati. (Karen J. Marcdante. Etc, Nelson ilmu kesehatan anak)

LI.3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Menegakan diagnosis GN diperlukan :

 Anamnesis
Untuk mengetahui riwayat penyakit, informasi tentang riwayat GN dalam keluarga,
penggunaan obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas organik, heroin, imunosupresif
seperti siklosporin atau takrolimus, dan riwayat infeksi streptokokus, endokarditis atau
infeksi virus diperlukan untuk menelusuri penyakit GN. Berbagai keganasan misalnya
paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit hodkin dan limpoma non-hodkin, serta
penyakit multisistem misalnya diabetes, amiloidosis, lupus dan vaskulitis juga
diasosiasikan dengan GN

 Pemeriksaan fisik
Edema tungkai disertai edema periorbita sering merupakan gejala klinik awal GN. Edema
periorbital sampai ke dinding perut dan genital disertai penumpukan cairan dirongga
abdomen (asites) atau pleura (efusi pleura) biasanya ditemukan pada sindrom nefrotik.
Akibat hipoalbuminemia kronik sering kali didapatkan tampilan kuku terlihat pucat dan
membentuk pita berwarna putih, dan ditemukan “Xantelasma” dikaitkan dengan
hiperlipidemia. Kemungkinan lain penyebab timbulnya edema misalnya penyakit
jantung atau sirosis hati juga perlu disingkirkan.

 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan urinalisis sangat pening untuk menegakan diagnosis GN. Ditemukan
hematuria dan silinder eritrosit membuat kecurigaankearah GN semakin besar.
Morfologi eritrosit dalam urin dapat menggambarkan darimana eritrosi berasal. Eritrosit
urin dismorfik lebih dari 60% menunjukan eritosit berasal dari glomerulus. Proteinuria
ditemukan >1 g/24 jam apat disimpulkan juga dari glomerulus. Pemeriksaan biokimiawi
misalnya gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal diperlukan untuk
membantu diagnosis GN. Pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-
dsDNA, antibodi anti-GMB (glomerular basement membrane). ANCA diperlukan untuk
menegakan diagnosis GN dan membedakan GN primer dan sekunder. Apabila ada
kecurigaan, pemeriksaan untuk menegakan infeksi bakteri, HIV, virus hepatitis B dan C
diperlukan.
Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan
kelainan lain seperti obstruksi sistem pelvokalises oleh karena batu ginjal. Biopsi ginjal
diperlukanuntuk menegakan diagnosis histopatologi yang dapat digunakan sebagai
pedoman pengobatan.biopsi ginjal terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan
anastesi umum sedangkan biopsi jarum perkutan dilakukan dengan anastesi lokal. Biopsi
ginjal tidak diperlukan apabila ukuran ginjal < dari 9 cm yang menggambarkan proses
kronik. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)

LI.3.8. Tatalaksana (Pencegahan)

LI.3.9. Komplikasi
Pada GN dengan gejala SN yang disertai proteinuria masif sehingga menyebabkan
hipoalbuminemia dan kolestrol yang tinggi dalam darah merupakan faktor penyebab timbulnya
komplikasi. Hiperkoagulasi dengan berbagai akibatnya dapat juga ditemukan pada SN yang
disebabkan oleh GN tertentu. Gangguan fungsi ginjal dapat timbul pada GN yang disertai SN
berat. Pengobatan imunosupresi yang tidak berhasil mencegah progresivitas GN dapat
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal jarang terjadi pada GNLM dan
lebih sering ditemukan pada GSFS dan GNMN yang dapat berkembang menuju ke PGTA.
Kerentanan terhadap timbulnya infeksi sebagai komplikasi akibat penggunaan imunosupresi
pada pengobatan GN perlu untuk diperhatikan. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)

LI.3.10. Prognosis
Jejas glomerulus yang terjadi pada GN sering tidak dapat pulih kembali sehingga menyebabkan
fibrosisglomerulus akibat proses inflamasi. Pada GN bentuk akut biasanya membaik dengan
sedikit atau tanpa kerusakan ginjal yang permanen. Kekambuhan seing terjadi pada GNLM
walaupun tidak sesering pada anak-anak walaupun biasanya fungsi ginjal masih dalam keadaan
normal. Pada GSFS dalam waktu 5 sampai 20 tahun dapat terjadi progresivitas penyakit
menuju PGTA. Suatu laporan menyebutkan 50% kasus GSFS berkembang menjadi PGTA
dalam waktu 5 tahun. Perbaikan spontan dapat terjadi pada sebagian GNMN walaupun
sebagian lain mempunyai prognosis buruk. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)

LO.4. Pandangan Islam Mengenai Urin


1. URIN
Najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu‘anhuma yang
diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua orang
penghuni kubur yang diazab. Dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam :
Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya. (HR. Bukhari
no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)
Masalah kenajisan kotoran dan kencing manusia ini banyak ataupun sedikit- disepakati oleh
ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau berpendapat, jika didapati kencing
setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan. Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing
manusia baik banyak ataupun sedikit adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta
merupakan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Imam Nawawi rahimahullah dalam
Syarh Muslim. Sedangkan apa yang datang dari Abu Hanifah adalah pendapat yang tertolak.
Lain halnya dengan kencing anak kecil laki-laki yang masih menyusu dan belum makan
makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah mengunyah sesuatu -dalam hal
ini kurma- sampai lumat kemudian dimasukkan/digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi
yang baru lahir) dan madu untuk pengobatan. Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu
bukan najis sehingga mereka bermudah-mudah dalam hal ini.
Walaupun memang di sana ada perselisihan ulama dalam masalah najisnya kencing anak laki-
laki yang dalam keadaan seperti ini, akan tetapi pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing
anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan itu najis,
sebagaimana dinyatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najisnya
ringan. Dalil keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti
dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 223)
dan Imam Muslim (no.287) :
Ummu Qais bintu Mihshan al-Asadiyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan
makanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah mendudukkan anak
itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka Rasulullah meminta air
dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak
mencucinya. (Dalam lafaz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut).
Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan mengguyurkan
air padanya sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada hadits di atas.
B. DARAH
Yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas yang disepakati
kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam pembahasaan terdahulu.. Memang
dalam perkara ini juga terdapat perselisihan namun yang rajih/kuat darah itu suci. Ada baiknya
kita menengok pembahasan yang dipaparkan Syaikh Albani rahimahullah: “(Mereka yang
berpendapat najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al Anshari yang dipanah oleh seorang
musyrik ketika ia sedang shalat malam. Maka ia mencabut anak panah yang menancap di
tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi dengan tiga anak panah, namun ia tetap melanjutkan shalatnya
dalam keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari secara mu`allaq (terputus sanadnya dari Imam Bukhari sampai kepada perawi
hadits) dan secara maushul (bersambung sanadnya) oleh Imam Ahmad dan selainnya,
dishahihkan dalam “Shahih Sunan Abu Daud” (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu` (sampai
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) karena mustahil beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak memperhatikan hal ini.
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam akan menerangkannya, karena tidak boleh menunda keterangan pada saat diperlukan
sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul. Kalau dianggap Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak mengetahui perbuatan shahabatnya tersebut maka tidak ada sesuatupun di langit
maupun di bumi yang tersembunyi dari Allah ta`ala. Seandainya darah tersebut najis atau
membatalkan wudhu niscaya Allah akan mewahyukan kepada Nabi-nya sebagaimana hal ini
jelas tidak tersembunyi bagi seorang pun. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Bukhari
sebagaimana pemaparan beliau terhadap sebagian atsar yang mu`allaq, yang diperjelas oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan pendapatnya Ibnu Hazm”.
Kemudian beliau berkata: “Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa ditinjau
sebagai berikut:
Pertama: Menyamakan darah haid dengan darah yang lainnya seperti darah manusia dan darah
dari hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang jelas sekali dari dua sisi ;
1. Tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al Qur’an dan As Sunnah, sementara
hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada dalil.
2. Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As Sunnah. Adapun
darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam hadits Al Anshari yang berlumuran
darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan
dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas`ud radliallahu anhu, dia pernah menyembelih seekor
unta hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotorannya, lalu diserukan iqamah maka ia
pun pergi menunaikan shalat dan tidak berwudhu lagi. (Riwayat Abdurrazzaq “Al Mushannaf”
1/125, Ibnu Abi Syaibah 1/392, Ath Thabrani “Mu`jamul Kabir” 9/284 dengan sanad yang
shahih darinya. Dan diriwayatkan juga oleh Al Baghawi “Al Ja`diyaat” 2/887/2503).
Uqbah meriwayatkan dari Abi Musa Al Asy`ari: “Aku tidak peduli seandainya aku
menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan darahnya. Lalu aku
shalat tanpa aku menyentuh air”. Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dlaif (lemah).
Kemudian beliau melanjutkan :
Kedua: Membedakan antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (najis atau
tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam, maka tidak ada dalil yang
menunjukkannya bahkan hadits Al Anshari membatalkan pendapat ini. (Lihat Tamamul
Minnah hal, 51-52)

You might also like