Professional Documents
Culture Documents
Sasbel Urin 1
Sasbel Urin 1
MM Anatomi ginjal
LO.1.1. Makroskopis
GINJAL
Berjumlah 2 buah
Ukuran normal 12 x 6 x2 cm
Terdapat pada dinding posterior abdomen di sebelah kanan dan kiri columna vertebralis
Terletak Retroperitoneal
Ginjal dibungkus oleh Fascia Renalis, terdiri dari 2 lamina : Lamina anterior & Lamina
posterior.
Selubung yang langsung membungkus dan melekat erat cortex renalis disebut Capsula
fibrosa, dan yang tidak langsung membungkus disebut Capsula adiposa
Batas atas
Ginjal sinistra
URETER
Adalah saluran tractus urinarius yang mengalirkan urin dari ginjal ke vesica urinarius
Panjangnya + 25 cm
Terbagi 2 :
Cortex
renalis
Columnae
renales
Ureter
Vaskularisasi Ginjal
Vaskularisasi ginjal terbagi 2 yaitu :
Medula Cortex
Medulla : Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis
II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan
garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
lobaris kemudian arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk
arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam
korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus
Cortex : Arteri efferent berhubungan dengan Vena interlobularis bermuara ke vena arcuate
kemudian vena interlobaris lalu vena lobaris dan bermuara ke vena renalis lalu ke vena cava
inferior.
Persarafan Ginjal
Dilakukan oleh plexus symphaticus renalis dan serabut afferent melalui plexus renalis menuju
medulla spinalis N. Thoracalis X,XI,XII.
PELVIS
Berbentuk corong dan keluar dari ginjal melalui hillus renalis dan menerima dari calix major.
Perdarahan : diperdarahi oleh Arteri renalis cabang aorta abdominalis, Arteri Testicularis
cabang aorta abdominalis, Arteri Vesicalis superior cabang dari A. Illiaca interna.
Persarafan : dipersarafi oleh plexus renalis, Nervus Testicularis, Nervus Hypogastricus
LO.1.2. Mikroskopis
Glomerulus
Glomerulus adalah massa kapiler yang berbelit-belit terdapat sepanjang perjalanan arteriol,
dengan sebuah arteriol aferen memasuki glomerulus dan sebuah arteriol eferen meninggalkan
glomerulus. Epitel parietal, yaitu podosit, mengelilingi sekelompok kecil kapiler dan di antara
ansa kapiler dekat arteriol aferen dan eferen terdapat tangkai dengan daerah bersisian dengan
lamina basal kapiler yang tidak dilapisi endotel. Dalam daerah seperti itu terletak sel mesengial.
Sel mesangial ini dapat berkerut jika dirangsang oleh angiotensin, dengan akibat berkurangnya
aliran darah dalam kapiler glomerulus. Selain itu, sel mesangial dianggap bersifat fagositik dan
akan bermitosis untuk proliferasi pada beberapa penyakit ginjal. Berdekatan dengan
glomerulus, sel-sel otot polos dalam tunika media arteriol aferen bersifat epiteloid. Intinya
bulat dan sitoplasmanya mengandung granula. Sel-sel ini adalah sel Juksta-glomerular (JG).
Sel jukstaglomerular berespons terhadap peregangan di dinding arteriol afferen, suatu
baroreseptor. Pada penurunan tekanan darah, sel jukstaglomerular melepaskan enzim renin.
Makula densa, suatu bagian khusus tubulus kontortus distal yang terdapat di antara arteriol
aferen dan eferen. Makula densa tidak mempunyai lamina basal. Makula densa berespons pada
perubahan NaCl di filtrat glomerular.
◄Gambar 1-6. Glomerulus: arteri aferen (AA), sel Juxtaglomerulus (JC), makula densa (MD),
tanda panah menunjukkan granula yang mungkin merupakan renin yang dihasilkan oleh JC.
Tanda bintang merupakan nulcei dari sel-sel endotelial arteriole aferen glomerulus
Apparatus Juksta Glomerularis
Apparatus juksta glomerularis berfungsi mengatur sekresi renin
dan terletak di polus vascularis. Apparatus juksta glomerularis
terdiri dari:
Macula Densa
Sel dinding tubulus distal yang berada dekat dengan glomerulus berubah menjadi lebih tinggi
dan tersusun lebih rapat. Fungsi: atur kecepatan filtrasi glomerulus
Sel Juksta Glomerularis
Merupakan perubahan sel otot polos tunika media dinding arteriol
afferen menjadi sel sekretorik besar bergranula. Granula sel ini berisikan
rennin
Kapsul Bowman
Kapsul Bowman, pelebaran nefron yang dibatasi epitel, diinvaginasi oleh jumbai kapiler
glomerulus sampai mendapatkan bentuk seperti cangkir yang berdinding ganda. Terdapat
rongga berupa celah yang sempit, rongga kapsula, di antara lapisan luar atau parietal (epitel
selapis gepeng) dan lapisan dalam atau viseral (sel besar yaitu podosit) yang melekat erat pada
jumbai kapiler. Podosit memiliki pedicle /foot processes. Di anatara pedikit terdapat flitration
slit membrane. Sel endotelial kapiler memiliki fenstra pada sitoplasma. Berguna untuk hasil
fenestrasi.
Tubulus Proksimal
FILTRASI GLOMERULUS
Cairan yang difiltrasi glomerulus ke dalam kapsula bowman harus melewati tiga lapisan
membrana glomerulus:
Filtrasi glomerulus dilakukan oleh gaya fisik pasif untuk mendorong sebagian plasma
menembus lubang di membran glomerulus. Tiga gaya fisik dalam filtrasi glomerulus:
1. Tekanan darah kapiler glomerulus (55 mmHg)
Tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan kapiler
glomerulus lebih tinggi dibandingkan di tempat lain, karena garis tengah arteriol aferen
lebih besar daripada arteriol eferen. Selain itu, karena tingginya resistensi yang dihasilkan
arteril eferen sehingga tekanan darah tidak memiliki kecendurungan untuk turun.
Tekanan darah yang tinggi dan cenderung tidak turun ini yang mendorong cairan keluar
glomerulus menuju kapsul Bowman dan merupakan gaya utama filtrasi glomerulus. Dua
gaya lainnya, gaya onkotik dan gaya hidrostatik melawan filtrasi.
2. Tekanan osmotik kolid plasma (30 mmHg)
Protein plasma tidak dapat difiltrasi sehingga tetap berada di dalam kapiler. Hal ini
menimbulkan konsentrasi H2O lebih tinggi di dalam kapsul Bowman. Timbul
kecenderungan H2O berpindah melalui osmosis menuruni gradien konsentrasinya sendiri
dari kapsul Bowman ke glomerulus melawan filtrasi.
3. Tekanan hidrostatik kapsula bowman (15 mmHg)
Tekanan yang ditimbulkan oleh cairan di bagian awal tubulus. Cenderung mendorong
cairan ke glomerulus.
Gaya total yang mendorong filtrasi adalah 55mmHg, sedangkan dua gaya melawannya adalah
45mmHg. Perbedaan netto yang mendorong filtrasi (10mmHg) disebut tekanan filtrasi netto.
Laju filtrasi sebenarnya, laju filtrasi glomerulus (LFG) selain bergantung pada tekanan filtrasi
netto namun juga terhadap luas permukaan glomerulus dan tingkat permeabel membran
glomerulus. Pada pria dihasilkan 180 liter filtrat glomerulus setiap hari untuk LFG rerata 125
ml/mnt. 160 liter filtrat perhari pada LFG rerata 115 ml/mnt pada wanita. Tekanan onkotik
yang rendah dapat meningkatkan LFG, begitu pula sebaliknya pada pasien luka bakar luas
dengan kurangnya protein plasma sehingga tekanan onkotik meningkat dan LFG turun.
Perubahan tekanan hidrostatik kapsul bowman dapat terjadi pada pembendungan cairan
akibat obstruksi saluran kemih atau prostat.
Jumlah aliran ke dalam glomerulus diatur oleh tekanan darah arteri sistemik rata-rata dan
resistensi arteriol aferen. Terdapat dua mekanisme kontrol pengatur LFG, keduanya untuk
penyesuaian aliran darah glomerulus dengan pengaturan jari-jari dan resistensi arteriol
aferen. Mekanisme ini adalah
1. Mekanisme otoregulasi, untuk mencegah perubahan spontan LFG
Tekanan darah arteri akan berbanding lurus dengan tekanan kapiler glomerulus dan LFG
selama faktor lain tidak berubah. Otoregulasi adalah mekanisme regulasi dari ginjal
sendiri. Ginjal melakukannya dengan mengubah resistensi arteriol aferen pada berbagai
keadaan tekanan arteri yang tinggi maupun rendah. Jika LFG meningkat akibat
peningkatan tekanan arteri, arteriol aferen akan berkonstriksi untuk mengurangi aliran
darah sehingga tekanan filtrasi netto dan LFG akan berkurang. Begitu pula sebaliknya.
Terdapat dua mekanisme intrarenal yang ikut berperan:
a. Mekanisme miogenik, berespon inheren terhadap perubahan tekanan di dalam
vaskular nefron untuk gerak otot polos yang dilakukan langsung oleh pembuluh darah
b. Mekanisme umpan balik tubuloglomerulus, mendeteksi kadar garam di cairan yang
mengalir melalui tubular nefron yang dilakukan oleh makula densa. Jika LFG
meningkat maka cairan yang difiltrasi dan melalui tubulus distal akan lebih besar.
Sehingga makula densa mendeteksi adanya peningkatan penyaluran garam ke
tubulus, sel ini mengeluarkan adenosin dan menyebabkan arteriol aferen
berkonstriksi. Begitupun sebaliknya.
2. Mekanisme kontrol simpatis ekstrinsik
LFG dapat dirubah secara sengaja meski tekanan arteri berada dalam kisaran otoregulasi
oleh mekanisme ini. Kontrol ekstrinsik LFG dipengaruhi sinyal sistem saraf simpatis ke
arteriol aferen, sedangkan parasimpatis tidak berpengaruh apapun pada ginjal.
Bagan 2.1 Refleks baroreseptor mempengaruhi LFG
REABSORBSI TUBULUS
Sistem hormon yang paaling penting terlibat dalam regulasi Na+ adalah sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS). Sel granular aparatus jukstaglomerulat mengeluarkan suatu
hormon enzimatik, renin ke dalam darah sebagai respon terhadap penurunan NaCl/Volume
CES/tekanan darah. Fungsi ini sebagai peran tambahan terhadap peran makula densa dalam
otoregulasi. Sel granular meningkatkan sekresi renin:
Laju reabsorpsi maksimal tercapai jika semua pembawa kotransporter yang spesifik untuk
suatu bahan ditempati atau jenuh sehingga pembawa-pembawa tidak lagi menangani
penumpang tambahan pada saat itu. Transpor maksimal ini disebut maksimum tubulus (Tm),
meskipun pembawa Na+ dapat mengalami kejenuhan namun tubulus secara keseluruhan
tidak memperlihatkan maksimum tubulus untuk Na+, karena aldosteron mendorong sintesis
pembawa Na+-K+ yang lebih aktif di tubulus distal dan koligentes.
Tm untuk glukosa sekitar 375 mg/mnt; yaitu reabsorpsi dapat mencapai 375 mg glukosa per
menit sebelum mencapat kemampuan transpor maksimal. Konsentrasi plasma dimana Tm
suatu bahan tercapai dan bahan mulai muncul di urin disebut ambang ginjal. Pada Tm 375
mg/mnt dan LFG 125 ml/mnt, ambang ginjal untuk glukosa adalah 300 mg/ml. Hal ini karena
glukosa sering diekskresikan sebelum ambang rerata ginjal, disebabkan oleh; (1)tidak semua
nefron memiliki Tm yang sama sehingga sebagian nefron mungkin telah melampaui Tm
mereka dan mengeksresikan glukosa, (2) efisiensi pembawa kotranspor glukosa mungkin
tidak bekerja pada kapasitas maksimalnya pada nilai yang meningkat tetapi kurang dari nilai
Tm.
Glukosa adalah bahan yang memiliki Tm tetapi tidak diatur oleh ginjal. Sedangkan fosfat,
bahan dengan Tm yang diatur oleh ginjal. Ginjal tidak mengatur glukosa karena ginjal tidak
mempertahankan glukosa pada konsentrasi plasma tertentu. Konsentrasi ini diatur oleh
mekanisme endokrin dan hati, ginjal hanya mempertahankan berapapun konsentrasi glukosa
yang ditetapkan. (ginjal hanya mengatur sesuai ambangnya tetapi ambangnya tidak sama
dengan konsentrasi plasma normalnya seperti di reabsorpsi fosfat)
REABSORPSI FOSFAT
Fosfat adalah contoh bahan yang direabsorpsi secara aktif dan diatur ginjal. Ambang ginjal
untuk ion-ion inorganik seperti fosfat dan kalsium sama dengan konsentrasi plasma
normalnya. Pembawa transpor untuk elektrolit ini terletak di tubulus proksimal. Kelebihan
fosfat yang masuk akan cepat dikeluarkan ke dalam urin karena mekanisme ginjal yang dapat
memreabsorpsi fosfat setara dengan konsentrasi plasma. Reabsorpsi fosfat juga dibawah
kontrol hormon yaitu paratiroid yang mengubah ambang ginjal untuk fosfat dan kalsium.
REABSORPSI KLORIDA
Ion muatan negatif ini direabsorpsi secara pasif menuruni gradien listrik akibat transpor aktif
natrium yang bermuatan positif. Umumnya clorida mengalir di antara, bukan menembus sel
tubulus. Reabsorpsinya bergantung laju reabsorpsi aktif Na.
REABSORPSI AIR
Air direabsorpsi secara pasif diseluruh panjang tubulis karena H2O secara osmotis mengikuti
natrium. Pada reabsorbsi 80% di tubulus proksimal dan ansa henle tidak ada peran hormonal,
sisanya 20% direabsorpsi di tubulus distal dan kolingentes di bawah pengaruh hormonal
tergantung hidrasi tubuh. Selama direabsorpsi H2O melewati akuaporin atau saluran air yang
terbentuk oleh protein-protein membran plasma spesifik di sel tubulus. Di bagian tubulus
proksimal, saluran ini selalu terbuka sehingga permeabel air. Namun, di tubulus distal diatur
hormon vasopresin sehingga reabsorpsinya berubah-ubah.
Akibat konsentrasi natrium di ruang lateral meningkat, mengakibatkan aliran pasif H2O dari
lumen ke ruang lateral atau melalui tight-junction antar sel. Akumulasi cairan ini
meningkatkan tekanan hidrostatik yang mendorong H2O keluar ruang lateral menuju
interstitium dan akhirnya ke dalam kapiler peritubular. Protein plasma yang tidak terfiltrasi
akan terangkut ke dalam kapiler peritubular sehingga menyebabkan tekanan onkotik di dalam
kapiler yang menarik air secara pasif ke dalam plasma.
REABSORPSI UREA
Urea merupakan bentuk pecahan protein. Akibat reabsorpsi air yang banyak pada tubulus
proksimal menyebabkan konsentrasi air lebih tinggi di dalam interstitial dibandingkan di
tubulus. Hal ini membuat cairan di dalam tubulus menjadi lebih pekat, urea merukapan salah
satu di dalam cairan tersebut. Hal ini membuat urea melakukan difusi pasif ke dalam plasma
melalui interstitial pada akhir membran tubulus proksimal yang agak permiabel terhadap
urea.
Produk seperti fenol dan kreatinin tidak direbsorbsi karena tidak dapat menembus dinding
tubulus dan tidak dibawah kontrol fisiologik.
SEKRESI TUBULUS
Sekresi merupakan proses berkebalikan absorpsi, yaitu pemindahan sekret dari kapiler
peritubular menuju tubulus. Bahan penting yang disekresi tubulus adalah ion hidrogen, ion
kalium, serta anion dan kation organik.
Sekresi ion hidrogen penting dalam keseimbangan asam basa. Ketika cairan tubuh terlalu
asam maka sekresi H+ meningkat, begitu pula sebaliknya. Sekresi ion ini dapat terjadi di
tubulus proksimal, distal, koligentes.
Ion kalium secara aktif direabsorbsi di tubulus proksimal dan secara aktif disekresi di tubulus
distal dan koligentes. Lokasi saluran K+ pasif berbeda-beda di setiap tubulus. Di tubulus distal
dan koligentes, saluran K+ terkonsentrasi di membran luminal, menyediakan rute bagi K+
yang dipompa ke dalam sel untuk keluar ke dalam lumen (disekresi). Di segmen tubulus
lainnya, saluran K+ terutama terletak di membran asolateral. Akibatnya, K+ yang dipompa ke
dalam sel dari ruang lateral oleh pompa Na+-K+ mengalir balik ke ruang lateral melalui
saluran-saluran ini. Sehingga daur ini memungkinkan pompa Na+-K+ terus-menerus
melakukan reabsorpsi Na tanpa efek lokal netto pada K+.
Peningkatan ion kalium di plasma dapat merangsang korteks adrenal untuk merangsang
aldosteron untuk meningkatkan sekresi kalium. Peningkatan K+ plasma secara langsung
merangsang sekresi aldostero, sementara penurunan konsentrasi Na+ merangsang
aldosteron melalui lajur kompleks RAAS. Karena itu, aldosteron dapat dirangsang oleh dua
proses berbeda. Apapun perangsangnya, efek aldosteron selalu mendorong reabsorbsi Na+
dan sekresi K+. Karena itu sekresi K+, dapat secara tidak sengaja diakibatkan oleh deplesi Na+,
penurunan volume CES, atau penurunan tekanan arteri yang sama sekali tidak berkaitan
dengan keseimbangan K+.
Faktor lain yang dapat secara tidak sengaja mengubah tingkat sekresi K+ adalah status asam
basa tubuh. Pompa basolateral di bagian distal nefron dapat mensekresikan K+ dan H+ untuk
dipertukarkan dengan Na+ yang direabsorpsi. Dalam keadaan normal, ginjal cenderung
mensekresikan K+ tetapi jika cairan tubuh terlalu asam dan sekresi H+ ditingkatkan sebagai
tindakan kompensasi, maka sekresi K+ berkurang. Penurunan sekresi ini menyebabkan
retensi K+ yang tidak sesuai di cairan tubuh.
LO.2.2. Homeostasis
Ginjal berperan dalam homeostasis melalui cara-cara spesifik berikut:
FUNGSI REGULASI
Ginjal mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar elektrolit CES, termasuk yang
penting dalam mempertahankan eksitabilitas saraf dan otot
Ginjal membantu mempertahankan pH yang sesuai dengan membuang kelebihan H+
(asam) atau HCO3- (basa) di urin
Mempertahankan volume plasma yang sesuai, penting dalam regulasi jangka panjang
tekanan darah arteri, dengan mengontrol keseimbangan garam tubuh. Volume CES,
termasuk volume plasma, mencerminkan jumlah garam total di CES, karena Na+ dan
anion penyertanya, Cl-, berperan dalam lebih dari 90% aktivitas osmotik (menahan
air) CES.
Ginjal mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh, yang penting dalam
memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) CES. Peran ini penting dalam
mempertahankan stabilitas volume sel dengan menjaga air agar tidak berpindah
secara osmosis masuk atau keluar sel sehingga sel tidak membengkak atau menciut.
FUNGSI EKSKRESI
Ginjal mengekskresi produk sisa metabolisme di urin. Jika dibiarkan di dalam tubuh
maka bisa menjadi toksik
Ginjal juga mengeluarkan banyak senyawa asing yang masuk tubuh
FUNGSI HORMON
Ginjal menghasilkan eritropoietin, hormon yang menrangsang sumsum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Efek ini berperan dalam homeostasis dengan
membantu mempertahankan kandungan optimal O2 darah. Lebih dari 98% O2 di
darah terikat hemoglobin di dalam sel darah merah
Ginjal juga menghasilkan renin, hormon yang memicu jalur RAAS untuk mengontrol
reabsorpsi Na+ di tubulus ginjal, yang penting dalam pemelihataan jangka panjang
volume plasma dan tekanan darah arteri
FUNGSI METABOLIT
Ginjal membantu mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya. Vitamin D esensial
untuk menyerap Ca+ dari saluran cerna. Kalsium, sebaliknya, memiliki beragam fungsi
homeostatik.
Gambar 2.3 sistem RAAS
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, renin bekerja sebagai enzim untuk mengaktifkan protein
plasma yang disintesis hati yaitu, angiotensinogen, menjadi angiotensin I. Setelah melewati
sirkulasi paru, angiotensin I dirubah oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) menjadi
angiotensin II yang berperan merangsang sekresi hormon aldosteron. Hormon ini
meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes. Selain itu, angiotensin II juga
merangsang rasa haus (meningkatkan asupan cairan) dan merangsang vasopresin (suatu
hormon yang meningkatkan retensi H2O oleh ginjal), dimana keduanya berperan dalam
menambah volume plasma dan meningkatkan tekanan arteri.
LI.3.2. Epidemiologi
Data epidemiologi GN yang bersifat nasional belum ada dan laporan dari berbagai pusat ginjal
dan hipertensi masih terbatas. Hal ini disebabkan biopsi ginjal tidak selalu adpat dilakukan
dalam menegakkan diagnosis etiologi GN. Data perhimpunan nefrologi indonesia
(PERNEFRI) menunjukan bahwa GN sebagai penyebab PGTA yang menjalani hemodialisis
mencapai 39% pada tahun 2000.
Sidabutar RP dan kawan melaporkan 177 kasus yang lengkap dengan biopsi ginjal dari 459
kasus rawat inap yang dikumpulkan dari 5 Rumah Sakit selama 5 tahun. Data tersebut didapat
35,6% menunjukan manifestasi kinik sindrom nefrotik, 19,2% sindrom nefrotik akut, 3.9%
Gnprogresif cepat, 15,3% dengan hematuria, 19,3% proteinuria, dan 6,8% hipertensi. (Wiguno
Prodjosudjadi, IPD)
LI.3.3. Etiologi
Sebagian besar etiologi GN tidak diketahui kecuali yang disebabkan oleh infeksi beta
streptokokus pada GN pasca infeksi streptokokus ata akibat virus hepatitis C. Faktor presipitasi
misalnya infeksi dan pengaruh obat dan pajanan toksin dapat menginisiasi terjadinya respon
imun serupa yang menyebabkan GN dengan mekanisme sama. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)
LI.3.4. Klasifikasi
Klasifikasi GN ditentukan berdasarkan gambaran histopatologik glomerulus yang terlihat pada
biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskopik cahaya (MC), mikroskop imunofluoresen
(MIF) dan mikroskop elektron (ME). Klasifikasi ini tidak ideal karena satu kelainan histologik
tidak menunjukan etiologi dan manifestasi klinis yang tertentu. Klasifikasi histopatologi GN
primer sangat bervariasi umumnya dibedakan berdasarkan perubahan yang bersifat proliferatif
dan non-prolifertis.
GN NON-PROLIFERATIF
GN PROLIFERATIF
LI.3.5. Patofisiologi
PATOGENESIS
Kerusakan yang terjadi pada glomerulus tidak hanya tergantung respon imunologik awal tetapi
juga ditentukan seberapa besar pengaruh terhadap timbulnya kelainan. Inflamasi juga
berpengaruh terhadap terjadinya kelainan pada glomerulus. Kelainan yang terjadi dapat berupa
fibrosis, kelainan dekstruktif atau mungkin berkembang menjadi glomerulosklerosis dan
fibrosis interstitial.
Imunopatogenesis GN
Glomerulonefitis merupakan penyakit glomerulus akibat respon imunologik dan hanya
jenis tertentu yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh
faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana individu merespon terhadap sesuatu
kejadian.
Secara garis besar 2 mekanisme GN yaitu circulating immune complex (CIC) dan
terbentuknya deposi komplek imun in-situ. Pada CIC, antigen (Ag) eksogen memicu
terbentuknya antibodi (Ab) spesifik, kemudian membentuk kompleks imun (Ag-Ab)
dalam sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen dan selanjutnya
komplemen berikatan dengan Ag-Ab. Dalam keadaan normal ikatan (komplemen dengan
Ag-Ab) bertujuan untuk membersihkan kompleks imun dari sirkulasi melalui reseptor
C3b yang terdapat pada eritrosit. Kompleks imun akn mengalami degradasi dan
dibersihkan dari sirkulasi pada saat eritrosit melewati hati dan limpa. Apabila
antigenemia menetap dan bersihan kompleks imun terganggu, maka kompleks imun akan
menetap akan menetap di sirkulasi. Kompleks imun kemudian akan terjebak di
glomerulus melalui dengan ikatan reseptor-Fc yang terdapat pada sel mesangial atau
mengendap secara pasif dimesangium atau di sub-endotel. Aktivasi sistem komplemen
akan terus berjalan setelah terjadi pngendapan kompleks imun pada glomerulus.
Mekanisme pembentukan endapan komplek imun dapat terjadi secara in-situ apabila Ab
secara lansgung berikatan dengan Ag yang merupakan komponen dari membran basal
glomerulus (fixed- Ag) atau Ag dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen)
alternatif lain apabila Ag non-glomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anion
dari glomerulus, diikuti pengendapan Ab dan aktivasi komplemen secara lokal.
Selain dari kedua mekanisme tersebut GN dapat dimediasi oleh imunitas selular (cell-
mediated immunity). Beberapa studi penelitian membuktikan bahwa sel Tdapat berperan
langsung terhadap timbulnya proteinuria dan terbentuknya kresen pada GN kresentik.
Sel T yang tersensitisasi oleh Ag eksogen dan Ag endogen yang terdapat pada glomerulus
akan mengaktifkan makrofag dan menghasilkan reaksi lokal hipersensitisasi tipe lambat
(delayed type).
Kerusakan glomerulus pada GN
Kerukasan glomerulus tidak secara langsung disebabkan oleh endapan komplek imun.
Beberapa faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi, dan
komplemen berperan pada kerusakan glomerulus. Kerusakan glomerulus dapat terjadi
dengan melibatkan dan sel inflamasi, melibatkan komplemen tanpa sel inflamasi, dan
melibatkan sel inflamasi tanpa sistem komplemen. Kerusakan glomerulus dapat pula
terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular melalui sl T yang ersensitasi.
Pad sebagian GN, endapan komplek imun akan memicu proses inflamasi dalam
glomerulus dan memyebabkan proliferasi sel. Pada GN non-proliferatis dan tipe
sklerosing seperti GN membranosa (GNMN) atau sklerosis fokal segmental (GSFS)
tidak melibatkan sel inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologi yang mendasari
terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan, komposisi dan jumlah endapan, serta jenis Ab
berpengaruh terhadap kerusakan glomerulus.
Proses inflamasi pada kerusakan glomerulus
Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu oleh
edapan komplek imun. Proses inflamasi melibatkan sel inflamasi, molekul adhesi dan
kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik. Proses inflamasi diawali
dengan melekat dan bergulingnya sel inflamasi pada permukaan sel endotel (tethering
and rolling). Proses ini dimediasi oleh oleh molekul adhesi selektin L,E, dan P ang secara
berturut-turut berada dalam permukaannleukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD31
atau PECAM-1 yang dilepaskan oleh sel endotel akan merangsang aktivasi sel inflamasi.
Reaksi ini menyebabkan ekspresi molekul adhesi integrin pada permukaan sel inflamasi
meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan sel endotel semakin kuat. Perlekatan ini
dimediasi oleh VLA-4 pada permukaan sel inflamasi dan VCAM-1 pada sel endotel yang
teraktivasi. Ikatan antara LFA-1 pada permukaan sel inflamasi dan ICAM-1 pada sel
endotel akan lebih memperkuat perlekatan tersebut. Proses selanjutnya migrasi sel
inflamasi melalui celah antar sel endotel.
Kemokin mempunyai efek kemotaktin yaitu kemampuan menarik sel inflamasi keluar
dari pembuluh darah menuju jaringan. Secara garis besar kemokin dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu kemokin-alfa dan kemokin-beta mempunyai efek kemotakik terhadap
leukosit dan monosit atau limfosit dan menyebabkan semakin banyaknya sel inflamasi
untuk bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi menjadi lebih berat. (Wiguno
Prodjosudjadi, IPD)
LANJUT PATOLOGI ANATOMI DI ROBIN untuk menjelaskan proses abnormal
faalnya.
Anamnesis
Untuk mengetahui riwayat penyakit, informasi tentang riwayat GN dalam keluarga,
penggunaan obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas organik, heroin, imunosupresif
seperti siklosporin atau takrolimus, dan riwayat infeksi streptokokus, endokarditis atau
infeksi virus diperlukan untuk menelusuri penyakit GN. Berbagai keganasan misalnya
paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit hodkin dan limpoma non-hodkin, serta
penyakit multisistem misalnya diabetes, amiloidosis, lupus dan vaskulitis juga
diasosiasikan dengan GN
Pemeriksaan fisik
Edema tungkai disertai edema periorbita sering merupakan gejala klinik awal GN. Edema
periorbital sampai ke dinding perut dan genital disertai penumpukan cairan dirongga
abdomen (asites) atau pleura (efusi pleura) biasanya ditemukan pada sindrom nefrotik.
Akibat hipoalbuminemia kronik sering kali didapatkan tampilan kuku terlihat pucat dan
membentuk pita berwarna putih, dan ditemukan “Xantelasma” dikaitkan dengan
hiperlipidemia. Kemungkinan lain penyebab timbulnya edema misalnya penyakit
jantung atau sirosis hati juga perlu disingkirkan.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan urinalisis sangat pening untuk menegakan diagnosis GN. Ditemukan
hematuria dan silinder eritrosit membuat kecurigaankearah GN semakin besar.
Morfologi eritrosit dalam urin dapat menggambarkan darimana eritrosi berasal. Eritrosit
urin dismorfik lebih dari 60% menunjukan eritosit berasal dari glomerulus. Proteinuria
ditemukan >1 g/24 jam apat disimpulkan juga dari glomerulus. Pemeriksaan biokimiawi
misalnya gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal diperlukan untuk
membantu diagnosis GN. Pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-
dsDNA, antibodi anti-GMB (glomerular basement membrane). ANCA diperlukan untuk
menegakan diagnosis GN dan membedakan GN primer dan sekunder. Apabila ada
kecurigaan, pemeriksaan untuk menegakan infeksi bakteri, HIV, virus hepatitis B dan C
diperlukan.
Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan
kelainan lain seperti obstruksi sistem pelvokalises oleh karena batu ginjal. Biopsi ginjal
diperlukanuntuk menegakan diagnosis histopatologi yang dapat digunakan sebagai
pedoman pengobatan.biopsi ginjal terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan
anastesi umum sedangkan biopsi jarum perkutan dilakukan dengan anastesi lokal. Biopsi
ginjal tidak diperlukan apabila ukuran ginjal < dari 9 cm yang menggambarkan proses
kronik. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)
LI.3.9. Komplikasi
Pada GN dengan gejala SN yang disertai proteinuria masif sehingga menyebabkan
hipoalbuminemia dan kolestrol yang tinggi dalam darah merupakan faktor penyebab timbulnya
komplikasi. Hiperkoagulasi dengan berbagai akibatnya dapat juga ditemukan pada SN yang
disebabkan oleh GN tertentu. Gangguan fungsi ginjal dapat timbul pada GN yang disertai SN
berat. Pengobatan imunosupresi yang tidak berhasil mencegah progresivitas GN dapat
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal jarang terjadi pada GNLM dan
lebih sering ditemukan pada GSFS dan GNMN yang dapat berkembang menuju ke PGTA.
Kerentanan terhadap timbulnya infeksi sebagai komplikasi akibat penggunaan imunosupresi
pada pengobatan GN perlu untuk diperhatikan. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)
LI.3.10. Prognosis
Jejas glomerulus yang terjadi pada GN sering tidak dapat pulih kembali sehingga menyebabkan
fibrosisglomerulus akibat proses inflamasi. Pada GN bentuk akut biasanya membaik dengan
sedikit atau tanpa kerusakan ginjal yang permanen. Kekambuhan seing terjadi pada GNLM
walaupun tidak sesering pada anak-anak walaupun biasanya fungsi ginjal masih dalam keadaan
normal. Pada GSFS dalam waktu 5 sampai 20 tahun dapat terjadi progresivitas penyakit
menuju PGTA. Suatu laporan menyebutkan 50% kasus GSFS berkembang menjadi PGTA
dalam waktu 5 tahun. Perbaikan spontan dapat terjadi pada sebagian GNMN walaupun
sebagian lain mempunyai prognosis buruk. (Wiguno Prodjosudjadi, IPD)