You are on page 1of 14

PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERPERSPEKTIF GENDER

Dewi Pusposari
d_pusposari@yahoo.com

Penulis adalah Mahasiswa


S3 Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang

Perspektif Gender
Gender bukanlah jenis kelamin. Fakih (2001:3-12) menyebut gender sebagai sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Artinya pada beberapa daerah dengan budaya yang berbeda akan
memunculkan perpektif gender yang berbeda pula. Hal ini senada dengan yang dikatakan
Haris (2003:186), bahwa gender berkaitan dengan budaya. Sementara Susilastuti (1993:29-
30) menyebut bahwa keberadaan gender, baik berdasarkan aliran dan tempat, munculnya
dikarenakan adanya prasangka gender yang cenderung menomorduakan kaum perempuan.
Perempuan dinomorduakan karena adanya anggapan bahwa secara universal laki-laki
berbeda dengan perempuan. Perbedaan itu tidak hanya sebatas pada kriteria biologis,
melainkan juga pada kriteria sosiokultural. Sehingga dapat dikatakan bahwa gender
merupakan suatu fenomena budaya. Gender merupakan produk budaya yang dibangun atas
dasar ide fungsional yang terdapat dalam kategori masyarakat, yaitu perempuan dan laki-laki.
Perkembangan pemikiran tentang gender didasarkan pada realita bahwa analisis
sosiokultural sebelumnya masih tetap menyingkirkan semangat pluralisme dengan
menyisihkan analisis berwacana gender. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi
maskulin dan feminin. Biasanya, maskulin ditempatkan oleh jenis kelamin, sedangkan
feminin oleh jenis kelamin perempuan. Hubungan tersebut, maskulin dan feminin
(pembagian kerja) bukan merupakan korelasi yang absolut. Gender tidak bersifat statis. Ia
bervariasi dari waktu ke waktu serta dari masyarakat ke masyarakat yang sifatnya terus
berubah.
Terdapat dua elemen gender yang bersifat universal, (1) gender tidak identik dengan
jenis kelamin, dan (2) gender merupakan dasar pembagian kerja di semua lapisan masyarakat
(Susilastuti, 1993:30). Konsep semacam inilah yang kemudian memunculkan pemikiran
stereotipe (pelabelan) perempuan dan laki-laki. Perempuan akan bersifat lembut, keibuan,
halus, perasa, sedangkan laki-laki bersifat kuat, perkasa, gagah, dan cekatan. Pemikiran
tersebut pada akhirnya menyebabkan adanya dikotomi bahwa perempuan selalu
dinomorduakan atau tersubordinasi, sebaliknya pria selalu superrior.
Jika dilihat secara umum otoritas perempuan sedikit lebih rendah jika dibandingkan
laki-laki, karena perannya “hanya” di sektor domestik (rumah tangga), sementara peran laki-
laki di sektor publik (dunia kerja). Oleh karena peran di luar rumah bisa menghasilkan materi,
maka kecenderungan pria mendapat gelar kehormatan sebagai kepala rumah tangga yang
berhak mengatur semua urusan. Menurut Millet (1970), pemerintahan ayah (laki-laki)
berarti segala tata aturan keluarga sangat mementingkan garis keturunan bapak, yang disebut
dengan istilah patriarkhi. Sistem patriarkhi terus berlangsung sepanjang manusia hidup.
Meskipun ada demokrasi pada kenyataannya perempuan masih terus dikuasai oleh suatu
sistem peranan yang stereotipe, hanya saja kadarnya setiap orang berbeda.
Dalam Dialectic of Sex Firestone (Humm, 2002:178) disebutkan bahwa gender
membedakan struktur setiap aspek kehidupan dengan kerangka yang tidak terbantahkan.
Pembedaan struktur tersebut adalah bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan
perempuan. Perbedaan gender merupakan sistem yang kompleks yang mempertegas dominasi
laki-laki. Selanjutnya, Gayle Rubin (Humm, 2002:179) mempertegas bahwa gender
merupakan produk relasi sosial berkaitan dengan seksualitas karena sistem hubungan
persaudaraan berdasarkan pada perkawinan. Setiap sistem gender menunjukkan suatu
ideologi atau sistem kognitif yang mendasarkan pada penindasan untuk menampilkan
kategori gender sebagai hal yang sudah mapan.
Menurut Mackinnon (Kramarae, 1985:179), gender sebagai pembagian perempuan
dan laki-laki yang disebabkan oleh keperluan heteroseksualitas (dasar dari penindasan) sosial
perempuan. Definisi itu sudah mengukuhkan dan mengesahkan perempuan pada posisi
subordinasi, yaitu posisi yang meletakkan perempuan pada tingkatan relasi seksual. Ukuran
itu bukanlah perbedaan biologis, melainkan perbedaan yang dikonstruksi oleh sistem sosial
dan kultural, seperti pandangan yang menyatakan bahwa “perempuan itu memiliki alat
reproduksi seperti rahim, saluran untuk melahirkan (vagina), sel telur atau ovum, saluran air
seni, dan alat untuk menyusui adalah suatu kodrat.” Akan tetapi, perempuan itu dikenal
lemah-lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, jantan,
rasional, dan perkasa merupakan sifat-sifat yang bukan kodrat, melainkan dapat
dipertukarkan. Hal ini ada juga pada laki-laki yang memiliki sifat lembut, emosional, dan
keibuan. Sebaliknya, perempuan juga ada yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan sifat-
sifat itu terjadi dari kurun waktu yang panjang dan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Bahkan, perubahan itu terjadi dari satu kelas masyarakat ke kelas masyarakat lainnya. Gender
bukanlah kodrat, melainkan peran yang ditampilkan oleh budaya, yang menempatkan
perempuan dan laki-laki menjadi feminin atau maskulin.
Gagasan pembagian gender tersebut atas pemikirian: (1) stereotipe ekstrem yang
berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman, (2) adanya keterkaitan yang
menunjukkan hubungan relational. Artinya, gagasan maskulin tentu saja tidak dapat
dipisahkan dengan gagasan feminitas. Dengan demikian, pendekatan yang berwawasan
gender mengoreksi kecenderungan sementara kaum feminis yang memfokuskan perhatian
pada masalah perempuan. Istilah gender juga melingkupi pembenaran-pembenaran yang
didasarkan atas segala macam gagasan yang berhubungan dengan seks dan seksualitas, (3)
multidimensi yang mengukuhkan bahwa masalah gender tidak bisa dilepaskan dari
keterkaitannya dengan aspek politik, sosial, budaya, ekonomi, norma-norma agama. Bahkan,
pendekatan ini seringkali tidak dapat dipisahkan dari kajian terhadap kategori-kategori sosial
lainnya seperti ras, etnisitas, dan kelas masyarakat.
Sesungguhnya perbedaan gender bukanlah merupakan persoalan yang serius
sepanjang perbedaan itu tidak mengakibatkan ketidakadilan gender. Namun, yang terjadi
adalah perbedaan itu melakukan ketidakadilan gender, baik terhadap laki-laki maupun kaum
perempuan. Ketidakadilan gender adalah sistem sosial dan kultur yang seolah-olah adalah
paham yang melekat secara absolut dan mutlak. Ketidakadilan itu dapat dilihat dalam
berbagai bentuk, seperti (1) marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, (2) subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik, (3) pembentukan stereotipe atau pelabelan
negatif, (4) kekerasan, (5) beban kerja lebih lama dan banyak, dan (6) sosialisasi idelogi nilai
peran gender. Manifestasi ketidakadilan itu bertalian erat dan saling mempengaruhi secara
dialektika (Fakih, 2001: 13-21).

Praktik Pendidikan di Indonesia dari Kacamata Perspektif Gender


Istilah pendidikan pada beberapa negara memiliki pengertian yang dapat dikatakan
sama namun berbeda, berbeda namun sama. Orang Romawi memandang pendidikan sebagai
educare yang artinya mengeluarkan dan menuntun, atau lebih pada tindakan
mengaktualisasikan potensi anak yang sudah dibawa sejak lahir. Orang Jerman memandang
pendidikan sebagai Erzeihung yang sama artinya dengan educare yaitu mengembangkan
dan menggali potensi diri anak. Educare dan erzeihung menganggap anak telah memiliki
kemampuan atau potensi. Tugas orang dewasa adalah untuk menggali dan
mengembangkannya demi kebermanfaatan. Pendidikan menurut pandangan orang Yunani
adalah pedagogik yakni ilmu menuntun anak. Sementara dalam pendidikan nasional
didefinisikan sebagai memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran serta proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pendidikan merupakan suatu
upaya yang dilakukan baik individu maupun kelompok masyarakat guna mentransmisikan
nilai-nilai, kebiasaan, dan bentuk-bentuk ideal kepada generasi yang lebih muda guna
membantu mereka dalam melanjutkan hidup. Dalam praktik pendidikan tidak ada perbedaan
perlakuan antara laki-laki dan perempuan karena pada dasarnya tujuan dari sebuah
pendidikan adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat seseorang. Oleh karenanya
dalam praktiknya, sebuah pendidikan hendaknya selalu berkeadilan gender, meskipun pada
praktiknya selalu saja tampak ketidakadilan gender dalam bidang pendidikan.
Dalam dunia pendidikan (juga di sektor lain), kesetaraan perempuan dan laki-laki
telah menjadi pembicaraan hangat dalam 20 tahun terakhir. Melalui perjalanan panjang untuk
meyakinkan dunia bahwa perempuan telah mengalami diskriminasi hanya karena perbedaan
jenis kelamin dan perbedaan secara sosial (gender), akhirnya pada tahun 1979 Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui Konferensi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan. Konferensi ini lebih dikenal dengan istilah CEDAW dan
menjadi acuan utama untuk Hak Asasi Perempuan (HAP). Konferensi ini sebenarnya telah
diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984 menjadi UU No. 7/1984, tetapi tidak pernah
disosialisasikan dengan baik oleh negara.
Konferensi maupun UU tersebut pada kenyataannya tidak juga sanggup menghapus
diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Di seluruh dunia masih ada saja perempuan yang
mengalami segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan. Kekerasan tehadap perempuan biasa
dijumpai pada kekerasan fisik, mental, seksual, atau ekonomi dan bentuk ketidakadilan
terdapat pada bidang pendidikan, kesempatan bekerja, kesempatan aktualisasi diri baik di
dalam keluarga atau rumah dan di lingkungan masyarakat (sekolah, tempat kerja, atau tempat
sosial lain). Oleh karena itu PBB kembali mengeluarkan deklarasi Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan pada tahun 1993. Deklarasi ini tidak begitu dikenal oleh pemerintah
Indonesia, sehingga jarang diacu dalam persidangan ataupun dalam penyelesaian masalah-
masalah hukum yang berhubungan dengan ketidakadilan gender. (Qomariah: 2002).
Di bidang pendidikan tampak bahwa konsep gender juga dominan. Sejak masa kanak-
kanak beberapa orangtua memberlakukan pendidikan yang berbeda berdasarkan konsep
gender. Menurut Lever (Gilligan 1989) perbedaan ciri-ciri kepribadian perempuan dan laki-
laki terlihat sejak masa kanak-kanak. Sebagai contoh: (1) anak laki-laki lebih banyak
memperoleh kesempatan bermain di luar rumah dan mereka bermain lebih lama dari
anak perempuan; (2) permainan anak laki-laki lebih bersifat kompetitif dan konstruktif. Ini
disebabkan pada anggapan anak laki-laki lebih tekun dan lebih efektif dari anak perempuan;
(3) permainan anak perempuan lebih banyak bersifat kooperatif dan lebih banyak berada di
dalam ruangan. Perbedaan-perbedaan biologis dan psikologis ini menimbulkan pendapat atau
suatu kesimpulan di masyarakat yang pada umumnya merugikan pihak perempuan. Hal
tersebut memunculkan beberapa pendapat misalnya (1) anak laki-laki lebih unggul dan lebih
pandai dibanding anak perempuan; (2). anak laki-laki lebih rasional daripada anak
perempuan; (3) anak perempuan lebih diharapkan menjadi istri dan ibu yang lebih cocok
mengerjakan urusan-urusan domestik tanpa harus bekerja formal di luar rumah.
Perbedaan perlakuan pada sektor kesetaraan gender telah lama dilakukan. Pada
jaman Kartini berlaku perbedaan pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki yang juga
masih berlaku pada masa kini hanya saja dalam bentuk yang berbeda. Jika pada masa Kartini,
anak perempuan hanya boleh sekolah hingga level sekolah rakyat dan itu pun hanya berlaku
bagi anak bangsawan. Sementara anak laki-laki berhak mendapatkan pendidikan setinggi
yang mereka mau dan mampu. Perbedaan pendidikan pada masi kini tampak pada adanya
anggapan bahwa anak perempuan lebih sesuai atau cocok memilih jurusan bahasa,
pendidikan, ilmu-ilmu sosial, pendidikan keterampilan, atau seputar pendidikan rumah
tangga. Sebaliknya anak laki-laki lebih sesuai untuk jurusan teknik, kedokteran, atau
keolahragaan. Anak perempuan dianggap lemah di bidang matematika, sebaliknya laki-laki
dianggap lemah di bidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas banyak
dijumpai pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki meskipun anak perempuannya jauh
lebih pandai. Hal ini menyebabkan jumlah anak perempuan yang berpendidikan lebih rendah
dibandingkan jumlah anak laki-laki yang berpendidikan tinggi (Millar 1992).
Pandangan negatif yang bias gender tersebut pada akhirnya menyebabkan adanya
pelabelan yang merugikan. Pelabelan merugikan ini dapat terjadi pada kelompok jenis
kelamin perempuan maupun laki-laki. Bentuk-bentuk pelabelan pada perempuan antara lain
“Dasar perempuan”, “Perempuan tempatnya di mall”, “Perempuan tugasnya memasak”
“Perempuan cengeng” dan sebagainya. Pelabelan pada laki-laki yang banyak dijumpai di
tengah masyarakat antara lain “Laki-laki maunya menang sendiri”, “laki-laki pantang
mengeluarkan air mata”, “Laki-laki harus berani”, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk pelabelan hasil konstruksi budaya tentu mempengaruhi dunia
pendidikan yang seharusnya terbebas dari bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Pengaruh
pada dunia pendidikan tampak pada hal berikut. (1) Pada level sekolah dasar, terutama di
daerah pinggiran dan terpencil, kesenjangan lebih dipengaruhi faktor-faktor kultural. Masih
banyak keluarga yang menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting daripada
untuk anak perempuan. (2) Pada level sekolah menengah pertama, perbedaan angka
partisipasi menurut gender lebih banyak terjadi pada daerah-daerah yang masih kekurangan
fasilitas pendidikan, terutama di daerah-daerah pedesaan dan luar Jawa. Kesenjangan
pendidikan di SLTP ke atas relatif lebih kecil dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan
ekonomi keluarga karena siswa dan mahasiswa yang datang dari keluarga sosial ekonomi
tinggi sudah lebih besar proporsinya. Dengan demikian, pengadaan dan distribusi sumber-
sumber pendidikan SLTP, SM dan PT masih menjadi faktor penting untuk mengurangi
kesenjangan gender. (Suryadi & Idris, 2010: 158-159)
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut berakibat pada: (1) partisipasi
perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah karena jumlah
mereka yang menempati jabatan-jabatan kebijaksanaan juga rendah; (2) laki-laki lebih
dominan dalam mempengaruhi isi kurikulum sehingga proses pembelajaran cenderung lebih
bias laki-laki (male bias). Gejala ini dapat diamati dari buku-buku pelajaran yang sebagian
besar penulisnya adalah laki-laki; (3) isi buku pelajaran yang membahas status perempuan
dalam masyarakat akan banyak memberikan pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam
proses pendidikan. (Suryadi & Idris, 2010: 159-160).
Di perkotaan, kesempatan pendidikan telah merata tanpa ada perbedaan gender.
Termasuk juga di dunia pendidikan tinggi. Jurusan-jurusan yang “dulunya” dijauhi
mahasiswi, sekarang telah menjadi favorit perempuan, misalnya jurusan teknik kimia, jurusan
teknik sipil, teknik perkapalan, dan sebagainya. Yang menjadi permasalahan bukan lagi di
dunia pendidikan, namun dunia kerja. Tampaknya lulusan perempuan tetap dipertanyakan
kemampuannya dibanding lulusan laki-laki. Para alumni jurusan teknik yang berjenis
kelamin perempuan pada akhirnya bekerja tidak sesuai dengan bidang keahlian mereka
karena tidak ada sektor usaha yang menerima tenaga mereka dengan alasan bidang pekerjaan
yang tidak sesuai untuk calon pekerja berjenis kelamin perempuan. Pada jurusan tata boga
yang notabene dipenuhi mahasiswi, namun kenyataannya pada saat mencari pekerjaan
sebagai koki di hotel atau restauran besar selalu ditolak. Mereka justru mencari koki laki-laki.
Beberapa kasus seperti ini, hingga kini belum ditemukan solusinya. Pada akhirnya akan
dikembalikan pada kemampuan fisik kaum perempuan.
Beberapa kasus ketidakadilan gender pada jurusan-jurusan keahlian tertentu dan lebih
banyak di daerah yang jauh dari perkotaan masih menemui hal-hal berikut. (1) pengaruh
faktor kultural; yakni yang menyangkut nilai, sikap, pandangan dan perilaku masyarakat yang
secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih jurusan-jurusan yang lebih
dianggap cocok untuk perempuan seperti perawat, kesehatan, teknologi kerumahtanggaan,
psikologi, guru sekolah dan sejenisnya baik di pendidikan menengah maupun di pendidikan
tinggi; (2) faktor kesenjangan antar gender mengenai latar belakang pendidikan perempuan
dan laki-laki pada waktu yang lalu. Perempuan tertinggal jauh dalam memperoleh
kesempatan pendidikan sejak 20-25 tahun yang lalu, sehingga jenis-jenis keahlian utama
yang mendukung produktivitas industri lebih dikuasai laki-laki sesuai dengan jurusan-jurusan
atau program studi yang dipilih sejak pendidikan menengah dan tinggi; (3) faktor
kebijaksanaan pendidikan, khususnya yang menyangkut sistem seleksi masuk ke berbagai
jurusan atau program studi dalam pendidikan; (4) faktor kontrol dalam kebijaksanaan
pendidikan jauh lebih dominan laki-laki, khususnya dalam lembaga birokrasi di lingkungan
pendidikan sebagai pemegang kekuasaan atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan
akademis kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi
kebijaksanaan pendidikan (Suryadi & Idris, 2010: 160-161).
Begitu banyak permasalahan dalam pendidikan nasional dilihat dari kacamata
pendidikan yang berperspektif gender yang jika dirunut kesemuanya itu dapat dikelompokkan
ke dalam permasalahan dasar pendidikan yaitu pemerataan kesempatan belajar pada semua
jalur, jenjang dan jenis pendidikan, kurikulum dan proses pendidikan, serta penjurusan dan
program studi. Dalam hal pemerataan kesempatan belajar, beberapa kesenjangan dalam
pendidikan menurut gender dapat diamati sebagai berikut (a) kesenjangan dalam perolehan
kesempatan pendidikan menurut gender pada setiap jenjang pendidikan tahun 1998 sedikit
berubah polanya dibandingkan dengan 30 tahun lalu. Jika pada tahun 1969, keadaan
menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar perbedaannya
menurut gender, maka pada tahun 1998 keadaan menjadi berbeda. Kesenjangan dalam angka
partisipasi yang terbesar justru terjadi di SD dan PT, sementara itu kesenjangan dalam angka
partisipasi relatif lebih kecil pada SLTP dan SM; pada tahun 1960-an, ketimpangan gender
dalam perolehan kesempatan pendidikan belum dianggap sebagai hal yang luar biasa dan
sehingga belum mengundang banyak perhatian para pengamat dan pengelola pendidikan; (c)
program perluasaan pendidikan di SD sejak awal 1970-an berdampak cukup besar terhadap
perluasan kesempatan pendidikan pada jenjang di atasnya dan oleh karena itu kesempatan
belajar semakin seimbang berdasarkan gender.
Semakin berkurangnya kesenjangan angka partisipasi pendidikan itu tidak berarti
bahwa persoalan gender dalam pendidikan selesai. Masih banyak gejala kesenjangan gender
yang justru lebih berbahaya tetapi sifatnya tidak kasat mata (latent gaps), khususnya
menyangkut sejumlah pendidikan dan pembelajaran. Misalnya (a) sejumlah gejala
menunjukkan bahwa proses pembelajaran kurang sensitif gender dan bias laki-laki. Laki-laki
selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan misalnya dalam memimpin kelas,
memimpin organisasi siswa, memimpin diskusi kelompok, bertanya dan mengemukakan
pendapat, dan sebagainya; (b) laki-laki juga lebih banyak mengambil posisi yang lebih
menentukan dalam pengelolaan pendidikan baik dalam birokrasi pendididkan di daerah
maupun dalam pengelolaan satuan pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan lebih banyaknya
laki-laki yang menduduki jabatan struktural sejak tingkat pusat sampai dengan satuan
pendidikan; (c) walaupun angka partisipasinya lebih rendah, perempuan lebih mampu
bertahan daripada laki-laki, karena angka bertahan (retention rate) siswa perempuan ternyata
lebih tinggi pada semua jenjang pendidikan. Angka putus sekolah siswa perempuan selalu
lebih kecil, khususnya pada SMU, SMK, dan PT. Siswa perempuan juga lebih banyak yy]ang
bisa menyelesaikan sekolah sampai lulus dibandingkan dengan laki-laki, khususnya pada
jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Angka kelulusan siswa perempuan dan mahasiswi
selalu lebih tinggi daripada laki-laki, terutama yang sangat menonjol pada SMU (94,1 % >
91,9 %), SMK (92,3 % > 84,8 %), dan PT (20,4 % > 14,7 %).
Ketidaksetaraan gender menjadi semakin jelas terlihat dari gejala pengelompokan
gender ke dalam jurusan, bidang kejuruan atau bidang-bidang keahlian yang berbeda-beda
menurut jenis kelamin. Gejala ini berdampak buruk terhadap persaingan yang kurang sehat
dalam hubungan antargender yang mengakibatkan seluruh potensi peserta didik tidak akan
dikembangkan secara optimal. Misalnya (a) laki-laki lebih dominan dalam memilih jurusan
dan mempelajari kemampuan atau keterampilan dalam bidang-bidang kejuruan teknologi dan
industri sehingga dengan jenis keterampilan kejuruan yang dipelajarinya itu, laki-laki seolah-
olah secara khusus dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam dunia produksi.
Sementara itu, perempuan lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran pembantu, misalnya
ketatausahaan dan teknologi kerumahtanggaan; (b) jumlah siswa perempuan yang memilih
jurusan IPA atau Matematika di SMU lebih kecil proporsinya sehingga mereka lebih sulit
untuk memasuki berbagai jurusan keahlian di perguruan tinggi, misalnya dalam berbagai
bidang teknologi dan ilmu-ilmu keras (hard sciences). Pada kedua jenis jurusan keahlian itu,
proporsi mahasiswi hanya mencapai 19,8 %. Di lain pihak mahasiswi lebih dominan dalam
jurusan-jurusan keahlian terapan bidang manajemen (57,7 %), pelayanan jasa dan transportasi
(64,2 %), bahasa dan sastra (58,6 %), serta psikologi (59,9 %); (c) pada lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK) perempuan lebih dominan pada program diploma yang
menyiapkan guru SLTP ke bawah (68,2 %) dan program sarjana yang menyiapkan guru
sekolah menengah (55,7 %). Gejala ini menunjukkan, perempuan lebih banyak yang
dipersiapkan untuk menjadi guru pendidikan dasar dan menengah. Keadaan ini juga
ditunjukkan dengan jumlah seluruh guru perempuan (dari TK sampai dengan SM) yang lebih
besar (50,8 %) daripada jumlah guru laki-laki (49,2 %). Sebaliknya, tenaga dosen di dominasi
oleh laki-laki dengan proporsi 70 % pada berbagai tingkatan jabatan dosen di PT, dan
semakin tinggi jabatan dosen semakin kecil proporsi dosen perempuan; (d) kesenjangan
gender menurut jurusan, bidang kejuruan, dan program keahlian pendidikan ini tercermin
pula dalam proporsi pegawai negeri sipil (PNS). PNS perempuan hanya menempati proporsi
35,4 %, dan semakin tinggi golongan jabatan semakin kecil proporsi perempuannya. Hampir
semua keahlian PNS dipegang oleh laki-laki kecuali beberapa keahlian seperti farmasi (57,7
%), Bahasa dan Sastra (45 %), dan Psikologi (61,1 %).
Berbagai praktik dalam pendidikan yang tidak berperspektif gender memunculkan
kegusaran. Berbagai kegusaran tersebut pada akhirnya terangkum menjadi beberapa isu,
yakni: (a) isu gender berkaitan dengan pemerataan kesempatan belajar; Isu gender yang
berkaitan dengan pemerataan kesempatan belajar pada setiap jenjang pendidikan yakni: 1,
perolehan kesempatan pendidikan pada awal 1970-an menunjukkan bahwa semakin tinggi
jenjang pendidikan semakin lebar kesenjangan menurut gender. Pola ini berubah pada waktu-
waktu terakhir (2001) di mana kesenjangan gender paling besar terjadi pada pendidikan dasar
dan tinggi tetapi lebih seimbang pada SLTP dan pendidikan menengah; 2, faktor-faktor yang
mempengaruhi kesenjangan gender di SD lebih disebabkan oleh faktor-faktor struktural,
yaitu perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi
keluarga, yang lebih mementingkan pendidikan anak laki-laki ketimbang anak perempuan;
(b) isu gender berkaitan dengan proses pengelolaan pendidikan dan pembelajaran. Isu gender
berkaitan dengan permasalahan kesenjangan gender berkaitan dengan proses pengelolaan
pendidikan dan pembelajaran adalah sebagai berikut: 1, kurikulum dan buku ajar yang belum
berlandaskan pada peran gender secara seimbang akan menyebabkan perempuan tidak
mempunyai mentalitas sebagai warga masyarakat yang produktif; 2, pengaruh sosio-kultur
masyarakat Indonesia masih menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang strategis
dalam mengambil keputusan di bidang pendidikan dan pembelajaran; 3, rendahnya angka
partisipasi perempuan dalam pendidikan akan mengakibatkan pendidikan menjadi kurang
efisien. (c) isu gender berkaitan dengan pengelompokan siswa atau mahasiswa. Isu gender
berkaitan dengan pengelompokan siswa atau mahasiswa dalam bidang kejuruan, jurusan
keahlian dan program studi pada pendidikan menengah dan tinggi adalah sebagai berikut: 1,
dalam pembagian jurusan dan program studi telah memunculkan gejala pemisahan gender
(gender segregation) ke dalam bidang keahlian dan pekerjaan yang berlainan. Ini adalah
gejala diskriminasi gender secara sukarela (voluntarily discrimination). Hal ini muncul
karena kondisi sosio-kultur masyarakat terhadap peran-peran gender yang sudah
terlembagakan; 2, penjurusan pada pendidikan menengah dan tinggi menunjukkan masih
terdapatnya stereotipe dalam pendidikan di Indonesia; 3, terjadinya diskriminasi gender
dalam jurusan-jurusan atau program studi tertentu akan mengakibatkan tidak berkembangnya
pola persaingan sehat menurut gender; 4, mentalitas para pengelola dan pelaksana pendidikan
yang masih dominan laki-laki cenderung akan mempertahankan kesenjangan gender dalam
waktu yang lama.

Studi Kasus pada Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Berperspektif Gender


Dalam sebuah pembelajaran terdapat banyak sekali aspek yang terlibat. Kurikulum,
guru, siswa, buku teks, bahan, materi, strategi, media, evaluasi, perangkat pembelajaran,
lingkungan belajar dan sebagainya. Berbagai aspek tersebut idealnya berperspektif gender.
Artinya terdapat kesetaraan gender dan tidak terjadi lagi praktik-praktik yang menuju pada
ketidakadilan gender. Seluruh pihak yang terlibat hendaknya memiliki komitmen tinggi untuk
menegakkan keadilan gender. Misalnya di dalam kelas. Seyogyanya seluruh tindakan dan
keputusan berdasarkan keadilan gender, sebagai contoh: (1) pembagian kelompok kerja tidak
didasarkan pada perbedaan jenis kelamin melainkan lebih pada kebutuhan dan kompetensi;
(2) pegaturan tempat duduk tidak berdasarkan perbedaan jenis kelamin, melainkan
berdasarkan kebutuhan, jangan sampai hanya karena siswa bertubuh kecil namun karena
berjenis kelamin laki-laki maka ia ditempatkan di deret belakang yang membuat siswa
tersebut kesulitan untuk memperhatikan depan; (3) pemberian tugas disesuaikan dengan
kemampuan siswa perempuan atau siswa laki-laki;
Kasus lain, misalnya buku teks bahasa Indonesia. Buku teks yang dalam bahasa
Inggris disebut text book atau yang oleh pusat berbukuan nasional disebut sebagai buku
pelajaran juga harus berperspektif gender. Buku teks yang dalam pembelajaran menjadi
sumber utama pegangan guru dalam pelaksanaan pendidikan hendaknya sudah tidak ditemui
aspek-aspek pendidikan yang belum responsif gender. Kenyataannya banyak materi ajar
dalam buku teks yang bias gender, interaksi belajar masih menyebabkan salah satu pihak
terdiskrimisi, kalimat-kalimat guru dan murid mengandung steoritipi, dan kepekaan guru dan
murid masih rendah terhadap gender.
Muslich (2010) mengartikan buku teks sebagai buku yang berisi uraian bahan mata
pelajaran atau bidang studi tertentu yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi
berdasasrkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa untuk
diasimilasikan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dirumuskan karakteristik sebuah buku
teks. Sebagai buku yang disusun untuk keperluan pembelajaran maka sebuah buku teks
memiliki ciri-ciri (1) buku yang ditujukan bagi siswa pada jenjang pendidikan tertentu, (2)
buku yang berisi bahan yang telah diseleksi, (3) buku yang berkaitan dengan bidang studi
atau mata pelajaran tertentu, (4) buku yang disusun oleh pakar di bidangnya, (5) buku yang
ditulis untuk tujuan instruksional tertentu, (6) buku yang disusun secara sistematis mengikuti
strategi pembelajaran tertentu, dan (7) buku untuk menunjang program pembelajaran.
Buku teks atau buku pelajaran bukan hanya diorientasikan untuk mencapai target
kurikulum secara kognitif. Bagaimanapun pendidikan merupakan bidang strategis untuk
menanamkan nilai-nilai positif dalam kehidupan masyarakat atau yang dikenal sebagai
kurikulum sertaan atau hidden curiculum. Di antara nilai-nilai tersebut adalah nilai kesetaraan
dan keadilan gender. Menanamkan kesadaran gender melalui pendidikan diharapkan dapat
membentuk manusia yang menjunjung tinggi demokrasi, menegakkan keadilan dan
menghapuskan diskriminasi, dan menegakkan hak-hak dasar kemanusiaan, nilai keagamaan,
nilai multikultural, dan keragaman (Zahro:2012).
Kepekaan gender sangat penting dimiliki oleh penulis buku teks bahasa Indonesia
sejak pemilihan bahan karena berbagai bentuk bias gender dapat bermula dari pemilihan
bahan. Ilustrasi dalam buku teks banyak yang dianggap membiaskan gender. Sejak tahun 90-
an, ilustrasi buku teks ini telah menjadi sorotan para aktivis gender karena banyaknya
ilustrasi yang dianggap tidak netral dan adil gender. Berbagai penelitian juga banyak
menyoroti ilustrasi buku teks. Ilustrasi buku yang banyak dipersolkan antara lain Bahasa
Inodesia, IPS, IPA, dan PKn. Ilustrasi yang bias gender dapat bersumber dari pemilihan
bahan yang bias gender juga.
Ruminiati (2010) dalam pidato pengukuhan guru besar yang berjudul Implikasi Teori
Sosiobiologis dan Budaya Patriarki dalam Pembelajaran IPS SD Berbasis Gender
menunjukkan masih banyaknya aspek dalam pembelajaran yang bias gender, salah satunya
karena materi yang masih dipengaruhi oleh mitos-mitos budaya patriarki. Budianta (1998:6-
7) menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar gender dalam sastra dan idologi gender, ada tiga
prinsip dasar gender, yaitu: (1) antideterminisme biologis, yang menyingkirkan aggapan
bahwa perbedaan biologis (seks) dapat menentukan perbedaan sikap, sifat, dan perilaku, (2)
perspektif yang menolak cara berpikir esensialisme yang tampak pada penggunaan istilah
kodrat dan takdir yang sering dipakai dalam wacana normatif untuk memberikan pembenaran
yang dianggap sakral atas pembedaan-pembedaan yang sebenarnya dikonstruksi secara
sosiokultural, (3) ide-ide maskulin dan feminin tidak muncul begitu saja, tetapi produk
budaya yang memiliki sejarah yang panjang.
Ketika seorang penulis buku teks BI mengangkat kisah sebuah keluarga maka
ilustrasi yang umum adalah sebuah keluarga yang ’ideal’ dengan ayah yang bekerja dan ibu
yang mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Ibu memasak di dapur. Ibu menyapu lantai. Ibu
mencuci baju. Demikian pula gambaran tentang profesi atau pekerjaan, laki-laki seringkali
digambarkan dengan pekerjaan atau profesi yang lebih ”penting” daripada perempuan,
meskipun dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut merupakan sesuatu yang ”lumrah”
terjadi. Alangkah baiknya jika buku teks mampu mendorong terwujudnya masyarakat yang
lebih berperspektif gender. Misalnya gambaran tokoh dokter perempuan dan perawat laki-
laki. Di kompleks perumahan tampak petugas keamanan perempuan dan pedagang sayur laki-
laki yang sekarang sudah semakin banyak terjadi secara nyata di masyarakat perkotaan.
Buku teks dimaknai sebagai buku pelajaran dalam mata pelajaran tertentu yang
disusun untuk maksud dan tujuan instruksional. Sesuai dengan tujuannya, maka buku teks
mempunyai peran yang sangat besar dan bermakna dalam penyampaian pesan-pesan kultur
dan budaya. Buku juga berperan sangat besar dalam penanaman ideologi gender terhadap
siswa, oleh karena itu penyusunan wacana melalui rangkaian kalimat dan gambar yang
berperspektif gender menjadi sangat penting karena merupakan unsur yang saling
menunjang dan memiliki makna yang sama pentingnya bagi peserta didik dalam
mengorganisir informasi dan konsep-konsep dalam teks tersebut. Gambar atau ilustrasi dalam
buku menancap kuat dalam ingatan anak dan diterima lebih konkrit. Semakin mendalam
pemahaman tentang teks belajar dan ilustrasi, semakin mendalam pemahaman dan ingatan
terhadap informasi yang dipelajari. Oleh karenanya para ilustrator hendaknya berpikir untuk
selalu berperspektif gender dalam menuangkan ide-idenya.

Kesimpulan
Pendidikan yang berperspektif gender menjadi dambaan semua pihak. Jika seluruh
jajaran bersatu padu dan berkomitmen untuk selalu melakukan praktik pendidikan yang
berperspektif gender maka tidak akan lagi ada bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Jika
definisi pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses
perbuatan, cara, mendidik dipahami dan dilaksanakan dengan baik, maka tidak akan ditemui
lagi bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam bidang pendidikan karena pendidikan tidak
mengenal perbedaan jenis kelamin. Pendidikan adalah hak seluruh individu yang berada
dalam naungan wilayah NKRI tercinta.

DAFTAR RUJUKAN
Budianta, Melani, 1998. Sastra dan Ideologi Gender. Dalam Horizon. Tahun XXXII. Nomer
4 Jakarta.
Djannah, Fathul. (dkk.) 2003. Kekerasan Terhadap Istri. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gardiner, Oey dan Mayling. 1996. Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Haris, Abdul. 2003. “Mobilitas Angkatan Kerja Wanita Indonesia ke Luar Negeri” dalam
Abdullah, Irwan. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan
UGM.
Hayati, Elli Nur. 2000. Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan.
Yogyakarta: Riffa Annisa bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Hellwig, Tineke. 1994. In The Shadow of Change: Women in Indonesian Literature. USA:
The Regents of The University of California.
Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme (terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta:
Penerbit Fajar Pustaka Baru.
-------------. 1986. Feminist Criticism. Great Britain: The Harvester Press Limited.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia.
---------------. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Kramarae, Cheris and Paula A. Treachler. 1985. A. Feminist Dictionary. London: Sydney
Wellington.
Mosse, Julia C. 2002. Gender dan Pembangunan (terjemahan Hartian Silawati). Yogyakarta:
Kerja sama Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dengan Penerbit Pustaka Pelajar.
Muslich, Masnur. 2010. Text Book Writing. Yogyakarta: Arusmedia.
Ruminiati. 2010. Implikasi Teori Sosiobiologis dan Budaya Patriarki dalam Pembelajaran
IPS SD Berbasis Gender. Pidato pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu
Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan, UM, tanggal 16 Juli.
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah
pengantar studi perempuan. Jakarta: Anem Kosong Anem.
Susilastuti, Dewi H. 1993. “Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi.” Dalam Fauzie Ridjal,
dkk (ed.). Dinamika Spiritualitas Hindu: Potret Illahi Setengah Hati. Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.
Sydie, R.A. 1987. Natural Women, Cultural Men: A Feminist Perspective on Sociological
Theory. England: Open University Press.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan terjemahan Melani Budianta.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Christian, Alvin. (2011). http://alvinchristian7.blogspot.com/2011/11/ kesenjangan-
sosial.html [diakses tanggal 27 September 2014, pukul 19.00 wib]
Martono, Nanang. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial (Perspektif Klasik, Modern,
Posmodern, dan Poskolonial). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sauri, Sofyan. (2010). Merentas Pendidikan Nilai. Bandung: CV Arfino Raya.
Subadio, Maria Ulfah, & Ihromi, T.O. (1986). Peranan dan Kedudukan Wanita
Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suryadi, Ace, & Idris, Ecep. (2010). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.
Bandung: PT Genesindo.
Syukri, M. & R. Marmawi. (2010). Pengantar Pendidikan. Pontianak: STAIN Pontianak
Press.
Zahro, Azizatuz. 2012. Pentingnya Kepekaan Gender dalam Penulisan Buku Teks Bahasa
Indonesia. Makalah tidak diterbitkan.

You might also like