Professional Documents
Culture Documents
Jurnal Gender-Utk Hilmi
Jurnal Gender-Utk Hilmi
Dewi Pusposari
d_pusposari@yahoo.com
Perspektif Gender
Gender bukanlah jenis kelamin. Fakih (2001:3-12) menyebut gender sebagai sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Artinya pada beberapa daerah dengan budaya yang berbeda akan
memunculkan perpektif gender yang berbeda pula. Hal ini senada dengan yang dikatakan
Haris (2003:186), bahwa gender berkaitan dengan budaya. Sementara Susilastuti (1993:29-
30) menyebut bahwa keberadaan gender, baik berdasarkan aliran dan tempat, munculnya
dikarenakan adanya prasangka gender yang cenderung menomorduakan kaum perempuan.
Perempuan dinomorduakan karena adanya anggapan bahwa secara universal laki-laki
berbeda dengan perempuan. Perbedaan itu tidak hanya sebatas pada kriteria biologis,
melainkan juga pada kriteria sosiokultural. Sehingga dapat dikatakan bahwa gender
merupakan suatu fenomena budaya. Gender merupakan produk budaya yang dibangun atas
dasar ide fungsional yang terdapat dalam kategori masyarakat, yaitu perempuan dan laki-laki.
Perkembangan pemikiran tentang gender didasarkan pada realita bahwa analisis
sosiokultural sebelumnya masih tetap menyingkirkan semangat pluralisme dengan
menyisihkan analisis berwacana gender. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi
maskulin dan feminin. Biasanya, maskulin ditempatkan oleh jenis kelamin, sedangkan
feminin oleh jenis kelamin perempuan. Hubungan tersebut, maskulin dan feminin
(pembagian kerja) bukan merupakan korelasi yang absolut. Gender tidak bersifat statis. Ia
bervariasi dari waktu ke waktu serta dari masyarakat ke masyarakat yang sifatnya terus
berubah.
Terdapat dua elemen gender yang bersifat universal, (1) gender tidak identik dengan
jenis kelamin, dan (2) gender merupakan dasar pembagian kerja di semua lapisan masyarakat
(Susilastuti, 1993:30). Konsep semacam inilah yang kemudian memunculkan pemikiran
stereotipe (pelabelan) perempuan dan laki-laki. Perempuan akan bersifat lembut, keibuan,
halus, perasa, sedangkan laki-laki bersifat kuat, perkasa, gagah, dan cekatan. Pemikiran
tersebut pada akhirnya menyebabkan adanya dikotomi bahwa perempuan selalu
dinomorduakan atau tersubordinasi, sebaliknya pria selalu superrior.
Jika dilihat secara umum otoritas perempuan sedikit lebih rendah jika dibandingkan
laki-laki, karena perannya “hanya” di sektor domestik (rumah tangga), sementara peran laki-
laki di sektor publik (dunia kerja). Oleh karena peran di luar rumah bisa menghasilkan materi,
maka kecenderungan pria mendapat gelar kehormatan sebagai kepala rumah tangga yang
berhak mengatur semua urusan. Menurut Millet (1970), pemerintahan ayah (laki-laki)
berarti segala tata aturan keluarga sangat mementingkan garis keturunan bapak, yang disebut
dengan istilah patriarkhi. Sistem patriarkhi terus berlangsung sepanjang manusia hidup.
Meskipun ada demokrasi pada kenyataannya perempuan masih terus dikuasai oleh suatu
sistem peranan yang stereotipe, hanya saja kadarnya setiap orang berbeda.
Dalam Dialectic of Sex Firestone (Humm, 2002:178) disebutkan bahwa gender
membedakan struktur setiap aspek kehidupan dengan kerangka yang tidak terbantahkan.
Pembedaan struktur tersebut adalah bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan
perempuan. Perbedaan gender merupakan sistem yang kompleks yang mempertegas dominasi
laki-laki. Selanjutnya, Gayle Rubin (Humm, 2002:179) mempertegas bahwa gender
merupakan produk relasi sosial berkaitan dengan seksualitas karena sistem hubungan
persaudaraan berdasarkan pada perkawinan. Setiap sistem gender menunjukkan suatu
ideologi atau sistem kognitif yang mendasarkan pada penindasan untuk menampilkan
kategori gender sebagai hal yang sudah mapan.
Menurut Mackinnon (Kramarae, 1985:179), gender sebagai pembagian perempuan
dan laki-laki yang disebabkan oleh keperluan heteroseksualitas (dasar dari penindasan) sosial
perempuan. Definisi itu sudah mengukuhkan dan mengesahkan perempuan pada posisi
subordinasi, yaitu posisi yang meletakkan perempuan pada tingkatan relasi seksual. Ukuran
itu bukanlah perbedaan biologis, melainkan perbedaan yang dikonstruksi oleh sistem sosial
dan kultural, seperti pandangan yang menyatakan bahwa “perempuan itu memiliki alat
reproduksi seperti rahim, saluran untuk melahirkan (vagina), sel telur atau ovum, saluran air
seni, dan alat untuk menyusui adalah suatu kodrat.” Akan tetapi, perempuan itu dikenal
lemah-lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, jantan,
rasional, dan perkasa merupakan sifat-sifat yang bukan kodrat, melainkan dapat
dipertukarkan. Hal ini ada juga pada laki-laki yang memiliki sifat lembut, emosional, dan
keibuan. Sebaliknya, perempuan juga ada yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan sifat-
sifat itu terjadi dari kurun waktu yang panjang dan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Bahkan, perubahan itu terjadi dari satu kelas masyarakat ke kelas masyarakat lainnya. Gender
bukanlah kodrat, melainkan peran yang ditampilkan oleh budaya, yang menempatkan
perempuan dan laki-laki menjadi feminin atau maskulin.
Gagasan pembagian gender tersebut atas pemikirian: (1) stereotipe ekstrem yang
berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman, (2) adanya keterkaitan yang
menunjukkan hubungan relational. Artinya, gagasan maskulin tentu saja tidak dapat
dipisahkan dengan gagasan feminitas. Dengan demikian, pendekatan yang berwawasan
gender mengoreksi kecenderungan sementara kaum feminis yang memfokuskan perhatian
pada masalah perempuan. Istilah gender juga melingkupi pembenaran-pembenaran yang
didasarkan atas segala macam gagasan yang berhubungan dengan seks dan seksualitas, (3)
multidimensi yang mengukuhkan bahwa masalah gender tidak bisa dilepaskan dari
keterkaitannya dengan aspek politik, sosial, budaya, ekonomi, norma-norma agama. Bahkan,
pendekatan ini seringkali tidak dapat dipisahkan dari kajian terhadap kategori-kategori sosial
lainnya seperti ras, etnisitas, dan kelas masyarakat.
Sesungguhnya perbedaan gender bukanlah merupakan persoalan yang serius
sepanjang perbedaan itu tidak mengakibatkan ketidakadilan gender. Namun, yang terjadi
adalah perbedaan itu melakukan ketidakadilan gender, baik terhadap laki-laki maupun kaum
perempuan. Ketidakadilan gender adalah sistem sosial dan kultur yang seolah-olah adalah
paham yang melekat secara absolut dan mutlak. Ketidakadilan itu dapat dilihat dalam
berbagai bentuk, seperti (1) marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, (2) subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik, (3) pembentukan stereotipe atau pelabelan
negatif, (4) kekerasan, (5) beban kerja lebih lama dan banyak, dan (6) sosialisasi idelogi nilai
peran gender. Manifestasi ketidakadilan itu bertalian erat dan saling mempengaruhi secara
dialektika (Fakih, 2001: 13-21).
Kesimpulan
Pendidikan yang berperspektif gender menjadi dambaan semua pihak. Jika seluruh
jajaran bersatu padu dan berkomitmen untuk selalu melakukan praktik pendidikan yang
berperspektif gender maka tidak akan lagi ada bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Jika
definisi pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses
perbuatan, cara, mendidik dipahami dan dilaksanakan dengan baik, maka tidak akan ditemui
lagi bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam bidang pendidikan karena pendidikan tidak
mengenal perbedaan jenis kelamin. Pendidikan adalah hak seluruh individu yang berada
dalam naungan wilayah NKRI tercinta.
DAFTAR RUJUKAN
Budianta, Melani, 1998. Sastra dan Ideologi Gender. Dalam Horizon. Tahun XXXII. Nomer
4 Jakarta.
Djannah, Fathul. (dkk.) 2003. Kekerasan Terhadap Istri. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gardiner, Oey dan Mayling. 1996. Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Haris, Abdul. 2003. “Mobilitas Angkatan Kerja Wanita Indonesia ke Luar Negeri” dalam
Abdullah, Irwan. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan
UGM.
Hayati, Elli Nur. 2000. Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan.
Yogyakarta: Riffa Annisa bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Hellwig, Tineke. 1994. In The Shadow of Change: Women in Indonesian Literature. USA:
The Regents of The University of California.
Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme (terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta:
Penerbit Fajar Pustaka Baru.
-------------. 1986. Feminist Criticism. Great Britain: The Harvester Press Limited.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia.
---------------. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Kramarae, Cheris and Paula A. Treachler. 1985. A. Feminist Dictionary. London: Sydney
Wellington.
Mosse, Julia C. 2002. Gender dan Pembangunan (terjemahan Hartian Silawati). Yogyakarta:
Kerja sama Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dengan Penerbit Pustaka Pelajar.
Muslich, Masnur. 2010. Text Book Writing. Yogyakarta: Arusmedia.
Ruminiati. 2010. Implikasi Teori Sosiobiologis dan Budaya Patriarki dalam Pembelajaran
IPS SD Berbasis Gender. Pidato pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu
Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan, UM, tanggal 16 Juli.
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah
pengantar studi perempuan. Jakarta: Anem Kosong Anem.
Susilastuti, Dewi H. 1993. “Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi.” Dalam Fauzie Ridjal,
dkk (ed.). Dinamika Spiritualitas Hindu: Potret Illahi Setengah Hati. Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.
Sydie, R.A. 1987. Natural Women, Cultural Men: A Feminist Perspective on Sociological
Theory. England: Open University Press.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan terjemahan Melani Budianta.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Christian, Alvin. (2011). http://alvinchristian7.blogspot.com/2011/11/ kesenjangan-
sosial.html [diakses tanggal 27 September 2014, pukul 19.00 wib]
Martono, Nanang. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial (Perspektif Klasik, Modern,
Posmodern, dan Poskolonial). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sauri, Sofyan. (2010). Merentas Pendidikan Nilai. Bandung: CV Arfino Raya.
Subadio, Maria Ulfah, & Ihromi, T.O. (1986). Peranan dan Kedudukan Wanita
Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suryadi, Ace, & Idris, Ecep. (2010). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.
Bandung: PT Genesindo.
Syukri, M. & R. Marmawi. (2010). Pengantar Pendidikan. Pontianak: STAIN Pontianak
Press.
Zahro, Azizatuz. 2012. Pentingnya Kepekaan Gender dalam Penulisan Buku Teks Bahasa
Indonesia. Makalah tidak diterbitkan.