You are on page 1of 11

ESSAY

Isu Sampah, Korporasi, dan Shared Value Concept

Meningkatnya konsumsi penduduk di satu sisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu


negara di satu sisi lainnya juga menimbulkan sampah atas konsumsi tersebut. Sampah adalah hal
yang saat ini menjadi isu sentral di dunia umumnya dan Indonesia pada khususnya. Sampah ini
menjadi perhatian banyak penggiat lingkungan dikarenakan banyak sampah yang digunakan
adalah sampah plastik atau sampah yang menggunakan bahan yang mencemari lingkungan.
Volume sampah di kota kota besar seperti yang dikutip dalam www.netralnews.com telah
mencapai 1.3 Miliar ton sampah pada setiap tahunnya dan akan mencapai 2.2 Miliar ton pada
tahun 2025. Volume tersebut mengalami kenaikan sekitar 77 persen dari realisasi tahun 2016
yang tercatat sebanyak 1.3 Milyar Ton.
Plastik adalah salah satu bahan yang dapat ditemui di hampir setiap barang. Mulai dari
botol minuman, alat makanan, kantong pembungkus dan lain lain. Unsur kepraktisan masyarakat
era global saat ini menjadi pemicu banyak penggunaan barang berbahan unsur plastic sekali
pakai. Sampah plastic dapat bertahan hingga bertahun-tahun sehingga menyebabkan
pencemaran terhadap lingkungan. Plastik diperkirakan membutuhkan 100 hinga 500 tahun untuk
dapat terdekomposisi (terurai) dengan sempurna. Oleh karena itu, pemakaian plastic yang
jumlahnya sangat besar tentunya akan berdampak signfikan pada kesehatan manusia dan
lingkungan karena sifatnya yang sulit terdegradasi. Konsumsi plastic yang tinggi saat ini dengan
konsekuensi proses dekomposisi plastic yang lama akan menimbulkan gap lingkungan yang besar
karena konsumsi yang besar setiap harinya akan menambah sampah plastic padahal sampah
plastic terdekomposisi tidak secepat konsumsi plastic manusia tiap harinya.
Saat ini dengan melihat data diatas bahwa terjadi kenaikan sampah yang sangat signifikan
di dunia, baik pada negara yang berkembang maupun negara maju memberikan dampak yang
sangat cukup signifikan pada lingkungan. Dunia sedang gencar dalam gerakan sustainability
environment, dimana proyeksi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, menuntut kebijakan
kebijakan strategis untuk merawat bumi ini. Ketika sampah tidak dikelola dengan baik maka
sudah dapat dibayangkan mengenai kondisi lingkungan seperti polusi yang dihasilkan,
keberlangsungna aliran air sungai dan laut yang tercemar dimana nantinya kualitas hasil laut akan
berkurang, lahan lahan akan tercampur plastic sehingga menghasilkan hasil pertanian yang
buruk. Dampak langsung atas sampah yang akan merusak lingkungan dan kesehatan ini akan
berdampak pada produktivitas perekonomian dunia yang pada akhirnya tidak dapat dipungkiri
bahwa ekonomi dunia akan kolaps. Kolaps karena sumber daya manusia yang tidak sehat,
Lingkungan kerja yang kotor, hasil pertanian yang buruk dan daya beli masyarakat yang menurun
karena degradasi kualitas manusia nya. Sampah juga meningkatkan beban keuangan negara.
Kota-kota dalam negara berkembang menghabiskan 20% sampai 50% pada anggaran nya untuk
pengelolaan sampah. Tidak hanya negara berkembang, Amerika Serikat yang notabene sebagai
negara maju menghabiskan kira kira $200 juta per tahun untuk mengelola sampah dan juga biaya
atas kehilangan energi dari wabah sampah ini.
Sampah menjadi isu yang global karena dampak yang dihasilkan ternyata tidak hanya
mengenai lingkungan dan kesehatan, banyak dampak -dampak tidak langsung yang terjadi yang
pada akhirnya membebankan alokasi anggaran yang cukup besar untuk mengelola sampah itu
sendiri. Sampah tidak hanya menjadi isu social dan lingkungan, namun juga bergeser menjadi isu
keuangan. Data World Energy yang dikutip dalam mediaindonesia.com menunjukkan setiap
orang memproduksi sampah rata-rata lebih kurang 1,2 liter per hari. Di sisi lain, Bank Dunia
mengungkapkan tiap tahun kota-kota di dunia menghasilkan sampah hingga 1,3 miliar ton.
Diprediksikan pada tahun 2025, jumlah itu akan bertambah hingga 2,2 miliar ton.
Para Ahli sepakat bahwa sampah yang terjadi di dunia sudah berada pada titik level kritis.
Globalisasi dalam industry akan meningkatkan generasi sampah yang banyak terlebih pada
negara berkembang. Pada tahun 2030 akan ada tambahan 41 kotabesar di 32 negara
berkembang. Proyeksi ini tentu akan meningkatkan konsumsi sampah sejalan dengan
perkembangan perekonomian di negara berkembang. Persoalan sampah secara spesifik yang
sedang menjadi warning pada dunia adalah banyaknya sampah popok bayi sekali pakai. Tidak
dapat dipungkiri bahwa setiap orang tua beralih menggunakan popok ini untuk kepraktisan dan
harga popok yang bervariasi dari murah hingga mahal dapat menjangkau segala lapisan
masyarakat semakin memperparah keadaan sampah popok bayi sekali pakai ini.
Sampah popok bayi menurut kutipan Rhode Island Solid Waste Management Corporation
mengemukakan, di Amerika serikat, 90 persen orang tua memilih popok sekali pakai, sekitar
setengah juta pohon tiap tahunnya dikorbankan untuk popok tersebut. Biaya lingkungan yang
muncul akan pula semakin tinggi. Di Indonesia sendiri, sampah popok sekali pakai ini melalui
sumber Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) menyebut ada 37 persen
timbunan sampah di sungai adalah sampah popok bayi, menempati peringkat kedua setelah
limbah plastic rumah tangga. Popok diproduksi 6 miliar pieces setiap tahunnya di Indonesia.
Popok bayi sekali pakai menjadi hal yang perlu dicermati karena popok mengandung bahan
bahan yang sulit terurai. Jika meledaknya sampah popok bayi sekali pakai di dunia, tidak
dipungkiri hal ini akan mencemari lingkungan, kualitas hidup manusia, penggundulan hutan
karena popok bayi dibuat dari pulp kayu, dan biaya pengelolaan sampah yang meningkat seiring
meningkatnya konsumsi popok sekali pakai di dunia.
Isu sampah ini memiliki skala yang cukup besar bahkan sudah ada pada titik ukur yang kritis.
Dimana tidak hanya di Indonesia, namun secara global, isu sampah sudah menjadi kekhawatiran
tersendiri. Tidak hanya lingkungan dan kesehatan tapi akan meningkatkan beban finansial negara
terlebih pada tahun 2030 , akan muncul banyak kota besar di negara yang berkembang. Kota
besar ini akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dimana dipastikan konsumsi akan
meningkat yang akan menimbulkan sampah dan pada akhirnya negara harus mengalokasikan
beban manajemen sampah lebih besar. Jika dianalisis, sampah ini semacam menjadi rantai yang
terus terhubung dengan ekonomi dan lingkungan. Jika Rantai itu tidak secepatnya dihentikan
atau diputus, maka Dunia akan dipenuhi dengan sampah dan Negara semakin besar untuk
melakukan alokasi dana biaya manajemen sampah ini.
Indonesia sebagai negara berkembang akan terkena dampak tersebut, apalagi kultur social
budaya manusia di Indonesia yang menyukai kepraktisan tanpa memikirkan dampak apa yang
terjadi. Dilihat dari contoh sampah popok bayi sekali pakai, dengan produksi 6 miliar selama
setahun dengan pertumbuhan penduduk yang terjadi saat ini menyumbang 37 persen dari total
sampah yang beredar, tentu dapat dikalkulasi ketika pada tahun 2030- 2050 , Indonesia
mengalami pertumbuhan penduduk besar dan kenaikan pertumbuhan ekonomi yang pesat serta
daya beli yang meningkat, bisa dibayangkan berapa popok bayi yang akan digunakan dan yang
akan menjadi sampah pada lingkungan dengan asumsi setiap anak setiap hari bisa menggunakan
3- 4 popok setiap hari. Semakin meningkatnya usia produktif, daya beli yang meningkat,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka akan meningkatkan penggunaan popok sekali pakai
sehingga perlu adanya pengelolaan stratejik mengenai sampah ini tidak hanya sampah popok
bayi tapi sampah secara keseluruhan.
Berbagai macam sampah yang mencemari lingkungan turut memberikan peringatan bagi
global untuk segera mengelola sampah ini. Bukan tidak mungkin, jika sampah ini tidak dikelola
dengan baik , akan menjadi bencana dan salah satu lingkungan eksternal yang mempengaruhi
perusahaan. Isu dan keadaan sampah ini menimbulkan banyak tantangan bagi dunia, tidak hanya
bagi pemerintah namun juga untuk segala lapisan masyarakat baik yang bersifat individu maupun
korporasi. Isu sampah ini tentu menjadi salah satu factor remote environment bagi korporasi.
Remote environment seringkali disebut lingkungan eksternal perusahaan dimana perlu ada
langkah strategis yang dilakukan setiap korporasi untuk menanggulangi ini karena mau tidak mau
, lingkungan eksternal ini mempengaruhi proses bisnis perusahaan.
Secara umum, lingkungan perusahaan dikategorikan ke dalam dua bagian besar, yakni
lingkungan eksternal dan lingkungan internal perusahaan. Lingkungan eksternal sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian besar yakni lingkungan yang sifatnya dan lingkungan industry.
Lingkungan umum adalah suatu lingkungan dalam lingkungan eksternal organisasi yang
menyusun faktor-faktor yang memiliki ruang lingkup luas fakto-faktor tersebut pada dasarnya
berada di luar operasi perusahaan, contohnya ekonomi, social, politik dan hokum, teknologi,
demografi. Lingkungan industry adalah serangkaian Lingkungan industry adalah serangkaian
faktor-faktpr ancaman dari pelaku bisnis baru, supplier, pembeli danintensitas persaingan.
Analisis lingkungan eksternal ini memungkinkan perusahaan untuk melakukan planning atau
forecasting strategis sehingga apa yang dilakukan atau direncanakan dapat dijalankan sengan
selalu mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan baik internal maupun eksternal.
Melihat isu sampah yang mulai mengglobal dan menjadi isu social di masyarakat menjadi
unsur faktor eksternal perusahaan yang perlu dipertimbangkan. Semua korporasi pasti
menghasilkan limbah atau sampah korporasi. Sampah yang sudah mencemari lingkungan,
mempengaruhi perilaku manusia dan membentuk struktur perilaku social dan budaya baru tentu
saja menjadi faktor yang perlu dianalisis oleh korporasi.
Dasar pemikiran mengapa analisis lingkungan ini harus dilakukan adalah general system
theory. Menurut terori ini, organisasi dewasa ini lebih merupakan sistem yang terbuka. Oleh
karena itu, organisasi sangat dipengaruhi dan berinteraksi secara konstan dengan lingkungan
yang melingkupinya. Dengan demikian, tugas utama yang paling penting bagi manajemen
perusahaan adalah memastikan bahwa pengaruh tersebut dapat disalurkan melalui arah yang
positif dan dapat memberikan kontribusi optimal terhadap keberhasilan dan pencapaian daya
saing organisasi secara keseluruhan. Sampah menjadi salah satu faktor lingkungan eksternal bagi
korporasi yang akan menjadi pertimbangan dalam melakukan kebijakan strategis.
Terkait isu persampahan ini, Pemerintah, khususnya Indonesia memiliki kebijakan dan
strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP). KSNP-SPP
merupakan pedoman untuk pengaturan, penyelenggaraan dan pengembangan sistem
pengelolaan persampahan, baik bagi pemerintah pusat, maupun daerah, dunia usaha, swasta,
dan masyarakat. KSNP-SPP meliputi uraian tentang visi dan misi pengembangan sistem
pengelolaan persampahan, isu strategis, permasalahan dan tantangan, pengembangan SPP,
tujuan / sasaran; serta kebijakan dan strategi nasional pengembangan sistem pengelolaan sistem
pengelolaan persampahan dengan rencana tindak yang diperlukan.
Visi pengelolaan persampahan adalah untuk mencapai kondisi masyarakat yang hidup
sehat dan sejahtera di masa yang akan dating, baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun
pedesaan, akan sangat diperlukan adanya lingkungan uang sehat, yaitu mengusung tagline
“Permukiman sehat yang bersih dari sampah “. Visi diatas merupakan suatu keadaan yang ingin
dicapai dimana dimasa depan secara mandiri melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara
sinergi antar pemangku kepentingan yang terkait secara langsung maupun tidak dalam
pengelolaan persampahan.
Visi tersebut dirumuskan dalam beberapa nilai sebagai terjemahan lebih lanjut arti visi yang
telah ditetapkan untuk mengidentifikasi arah kebijakan yang akan ditempuh. Adapun misi yang
disusun oleh pemerintah, untuk mewujudkan visi tersebut, antara lain (a) mengurangi timbunan
sampah dalam rangka pengelolaan persampahan yang berkelanjutan , (b) meningkatkan
jangkauan dan kualitas pelayanan sistem pengelolaan persampahan , (c) memberdayakan
masyarakat dan meningkatkan peran aktif dunia usaha/ swasta , (d) meningkatkan kemampuan
manajemen dan kelembagaan dalam sistem pengelolaan persampahan sesuai dengan prinsip
good corporate governance , (e) memobilisasi dana dari berbagai sumber untuk pengembangan
sistem pengelolaan persampahan , dan (f) menegakkan hokum dan melengkapi peraturan
perundangan untuk meningkatkan sistem pengelolaan persampahan.
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam KSNP-SPP ini adalah wujud nyata tindakan
pemerintah sebagai regulator untuk mengatur mengenai pengelolaan sampah. Namun, dalam
pelaksanaan nya tentu muncul isu dan permasalahan baru diantaranya
a. Kapasitas pengelolaan sampah
Pengelolaan sampah yang mengandalkan Tempat pembuangan akhir sangat terkendala
masalah lahan . volume sampah yang semakin banyak dengan tempat penampungan yang
terbatas akan menimbulkan maslaah baru. Belum lagi masalah yang muncul di sekitar
permukiman tempat pembuanagan sampah tersebut.
b. Kemampuan Kelembagaan
Skala isu sampah yang telah mengglobal dan menjadi isu dunia memiliki skala permasalahan
yang cukup luas sehingga Lembaga -lembaga kecil dimungkinkan tidak sanggup untuk
menanggulangi permaslahan ini. Perlu korporasi dengan skala yang besar pula untuk
menjawab permasalahan ini.
c. Kemampuan Pembiayaan
Tidak dipungkiri bahwa pembiayaan menjadi salah satu factor yang dipertimbangkan. Negara
maju seperti Amerika memiliki biaya pengelolaan sampah yang cukup besar signifikan
mempengaruhi komponen anggaran pembelanjaan negara nya. Maka dari itu, perlu peran
tidak hanya menggunakan dana pemerintah untuk mengelola persampahan ini.
d. Peran Serta Masyarakat dan Dunia Usaha/ Swasta
Perlu peran dari masyarakat, korporasi swasta maupun non swasta untuk Bersama sama
menjawab atas tantngan isu global ini sehingga dapat mengubah ancaman menjadi peluang
usaha.
e. Peraturan perundangan dan lemahnya penegakan hukum
Skala permasalahan sosial yang sudah mencapai angka besar, sangat memungkinkan
korporasi dapat berkontribusi dalam menanggulangi isu sosial ini. Tidak sekedar program
corporate social responsibility yang bersifat “kewajiban” atas undang undang Perseroan terbatas
yang terkadang dijalankan hanya karena hanya untuk memenuhi unsur comply. Kepatuhan
terhadap peraturan yang pada akhirnya rentan akan munculnya moral hazard. Suatu sikap yang
pada dasarnya hanya didasarkan pada asas kepatuhan bukan kesadaran yang bersifat kontinyu.
Atas dasar inilah, banyak CSR yang hanya melakukan kegiatan untuk memenuhi tugasnya dan
dilaporkan di laporan tahunan sehingga bebas dari sanksi.
Isu social skala besar ini perlu untuk dibantu oleh korporasi orientasi profit dengan konsep
Shared Value yang digagas oleh Michael Porter yang memungkinkan korporasi untuk melakukan
hal social dan hal profit sekaligus. Mengelola sampah yang akan berdampak pada produktivitas
usaha korporasi. Creating shared value adalah konsep yang mengharuskan perusahaan
memainkan peran ganda untuk menciptakan nilai ekonomi dan nilai social secara Bersama-sama,
tanpa ada salah satu yang diutamakan ata dikesampingkan. Seperti yang dilakukan oleh Walmart,
mengurangi pengemasan dan biaya pengiriman. Hal ini akan mengurangi adanya sampah
pengemasan seperti plastic atau kardus sekaligus dapat mengurangi biaya hingga $200 juta pada
Walmart. Perusahaan dapat meningkatkan kapasitas edukasi wilayah binaan untuk daur ulang
sampah plastic menjadi barang tepat guna sehingga menjadi komoditas baru bagi perusahaan
sebagai bentuk merchandise perusahaan sehingga perusahaan dapat menghemat biaya
merchandise sekaligus melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar dan mengurangi dampak
sampah plastic.
Konsep Shared Value adalah konsep dengan menggunakan pendekatan profit dengan
menggunakan cara yang berbeda. Shared value is not social responsibility, philanthropy or
sustainability, but a new way for companies to achieve economic success (Michael Porter and
Mark Kramer). Pada kalimat ini jelas, tujuannya bukan untuk comply pada sebuah aturan yang
mengaruskan melakukan CSR, tapi konsep shared value sebagai sebuah pendekatan baru untuk
achieve business profit. Pendekatan yang dil akukan memungkinkan untuk sebuah korporasi
mencapai profit dengan hal-hal yang bisa menangani isu sosial juga. Mengingat skala isu sosial
yangbesar, maka diperlukan bisnis skala besar pula untuk menjawab isu ini. Tiga Level yang
konsep shared value lakukan antara lain :
(1) Reconceiving products and markets
Apakah produk benar-benar diperlukan oleh pasar dan apakah produk kita tersebut benar-
benar bernilai untuk pasar yang kita tuju atau apakah produk kita ini bermanfaat serta bisa
diakses oleh sebanyak-banyaknya konsumen
(2) Redefining productivity in the value chain
Apakah usaha yang kita jalankan benar-benar bermanfaat untuk produktivitas dari value
chain perusahaan? Karena value chain perusahaan pasti dipengaruhi baik langsung maupun tidak
langsung oleh lingkungannya, misalnya: isu sosial, lingkungan, kesehatan karyawan dan lain-lain
(3) Enabling Local Cluster Development.
Produktivitas & inovasi dari suatu perusahaan bergantung juga kepada tempat dimana
perusahaan tersebut berada, suppliernya, penyedia jasa, dan lokasi infrastruktur
logistiknya.Vendor untuk mendukung operasi perusahaan besar bisa diperoleh dari
pengembangan industri disekitar perusahaan

Isu sampah dan konsep Shared Value sangat mungkin dan relevan untuk diterapkan
khususnya di Indonesia. Bahkan konsep shared value bisa menjadi terobosan baru bagi korporasi
dalam berkontribusi pada negara dengan cara yang tetap meningkatkan profit mereka baik
jangka Panjang maupun jangka pendek. Konsep ini menjadi salah satu cara yang efektif dalam
mendorong korporasi untuk Bersama – sama dengan pemerintah dan masyarakat untuk
mengurangi isu global sampah.
Konsep Shared Value menempatkan masyarakat termasuk pemangku kepentingan sebagai
mitra dan sesama subyek, sementara konsep CSR cenderung menempatkan pemangku
kepentingan sebagai obyek. Walaupun keduanya mempunya landasan yang sama yaitu doing
well by doing good namun CSR berbicara mengenai responsibility, sedangkan shared value sudah
menapak pada penciptaan nilai Bersama/ creating value. Tantangan yang terjadi adalah
mengubah paradigma dari mengubah nilai sosial menjadi nilai ekonomi dan menciptakan nilai
bersama sebagai bagian integral dari keuntungan dan daya saing perusahaan.
Praktek Shared Value diaplikasikan dalam berbagai hal, diantaranya adalah kepatuhan
terhadap hukum, standar bisnis, dan standar perilaku. Praktek yang sudah dilakukan Nestle
adalah penyediaan biogas di kawasan value chain Nestle di Jawa Timur. Nestle bekerja sama
dengan Hivos. Biogas dibangun untuk peternak sapi yang mempunyai minimal sapi 2 ekor. Biogas
ini dimanfaatkan untuk kompor dan penerangan rumah. Pengadaan biogas ini selain
meringankan beban masyarakat karena tidak harus membayar lstrik ke PLN, masyarakat juga
tidak perlu lagi mencari kayu bakar untuk keperluan memasak. Untuk menjaga biogas ini tetap
dipelihara dengan baik, dan munculnya rasa memiliki di masyarakat, Nestle memberikan
pinjaman tanpa bunga yang bisa dicicil dengan setoran susu per 1 liter tiap harinya selama 3
tahun.
Praktek bisnis yang membangun manfaat bersama masyarakat juga dilakukan oleh Toraja
Melo. Toraja Melo merupakan social enterprise yang mendorong penenun-penenun Toraja
kembali menenun dengan teknik tenun yang hampir punah. Toraja Melo yang terdiri dari PT
Toraja Melo dan Yayasan Toraja Melo tergerak karena kekhawatiran terhadap teknik tenun
Toraja yang hampir punah. Setelah mendorong perempuan penenun Toraja kembali menenun
dengan teknik yang hampir punah tersebut, kain tenun di kirim ke Jakarta untuk kemudian diolah
menjadi produk, baik itu pakaian, maupun produk seperti tas, dsb dengan menggandeng
Komunitas Perempuan Miskin Kota yang ada di Jakarta. Sehingga Toraja Melo bisa
memberdayakan perempuan penenun di Toraja, dan perempuan rentan di Jakarta. Produk-
produk yang dihasilkan fashionable, bahkan sudah masuk di Indonesia Fashion Week, dan
menembus Pasar Jepang.
Banyak pihak yang mulai sadar mengenai pentingnya prinsip “membangun manfaat
bersama” menjadi kabar baik dalam dunia bisnis. Bisnis tidak lagi menjadi sarana mengejar
keuntungan ekonomi semata, tetapi melibatkan masyarakat di sepanjang mata rantai produksi,
distribusi, bisa maju bersama dengan perusahaan. Prinsip ini sudah diterapkan di Indonesia, dan
beberapa stakeholder yang hadir dalam diskusi sepakat menyasar kawasan Indonesia timur
sebagai kawasan penerapan konsep Shared Value.
Contoh penerapan diatas menjadi suatu kabar baik bahwa konsep shared value sudah
mulai disadari dan diterapkan oleh korporasi untuk membangun nilai sosial dan nilai profit pada
perusahaan. Bukan tidak mungkin bahwa isu sampah yang sudah berada pada titik didih ini
menjadi sebuah aspek yang bisa dikaitkan dengan konsep shared value perusahaan. Relevansi
Shared value sangat baik untuk diterapkan di Indonesia dengan masyarakat yang majemuk
sehingga korporasi dapat bekerja sama dengan masyarakat dan menciptakan nilai nilai yang baik
yang pada akhirnya akan meningkatkan profir perusahaan.
Relevansi dan implementasi penerapan Shared Value mulai menggantikan konsep
Corporate Social Responsibility yang selama ini banyak dijalankan oleh korporasi sebagai bentuk
comply pada Undang Undang PT No. 40. Konsep Shared Value menjadi sebagai sebuah solusi atas
isu isu social dengan skala yang besar karena peran pemerintah tidak akan cukup untuk
menjawab dan mennaggulangi isu-isu social bersifat lingkungan yang berdampak pada isu social
perilaku manusia. Oleh karena itu, sampah yang mulai mengkhawatirkan ini menjadi salah satu
tugas korporasi untuk menanggulangi dengan menerapkan konsep Shared Value, terlebih
pengaruh teknologi saat ini maju pesat yang memungkinkan sampah diolah menjadi bahan bakar
tertentu yang bisa diupayakan oleh korporasi berskala besar.
Sampah solid maupun liquid menjadi isu global yang menjadi kekhawatiran dunia melihat
perkembangannya yang pesat setiap tahunnya. Sehingga hal ini tidak hanya menjadi tanggung
jawab negara dengan alokasi sumber daya yang terbatas tetapi juga menjadi tanggung jawab
korporasi berbasis profit untuk create shared value yang memungkin mereka berperan ganda,
menjawab isu social dan sekaligus menciptakan nilai ekonomi bagi perusahaannya. Hal ini
dikaitkan dengan sudah banyak korporasi yang mulai menerapkan Creating Shared Value dalam
bisnis operasi perusahaannya dan terasa dampak positifnya pada stakeholder. Dikaitkan dengan
isu sampah, memungkinkan korporasi menerapkan dan implementasi shared value dalam
menanggulangi isu ini sekaligus dapat berkontribusi pada stakeholder dan menambah profit
perusahaan, sesuai dengan maksud dari Creating Shared Value yang diungkapkan oleh Michael
Porter.
Sumber :
1. https://synthesis-development.id/sumbang-sampah-di-transformation-
corner-synthesis/
2. http://www.quikpick.ca/b/why-is-waste-management-important
3. Ancaman dibalik kepraktisan. MINGGU, 27 FEBRUARI 2011 | MEDIA
INDONESIA
4. Riset Ecoton: 37 % Sampah di Sungai Surabaya adalah Popok Bayi.
www.mongabay.com
5. https://www.iswa.org/fileadmin/galleries/Publications/ISWA_Reports/
GWMO_summary_web.pdf
6. http://www.latimes.com/world/global-development/la-fg-global-trash-
20160422-20160421-snap-htmlstory.html
7. https://www.sharedvalue.org/about-shared-value
8. www.netralnews.com
9. http://pusdiklatmigas.esdm.go.id/new/pusdiklatmigas/file/t2-
_Bahaya_Plastik_---_Nurhenu_K.pdf
10. Peraturan Menteri PU No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan
(KSNP-SPP)

You might also like