You are on page 1of 24

MAKALAH

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK DERIVAT

PEMBUATAN ANTISEPTIK (Handsanitizer) DARI EKSTRAK SABUT


KELAPA

Disusun oleh:

KELOMPOK 02 /THP-C

Faizah Yuski Z. (151710101009)


Dzanil Januar P.P (151710101066)
Diny Ambar Lestari (151710101099)

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

OKTOBER

2017
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelapa (Cocos nucifera) adalah tanaman keluarga Palmae yang lazim
ditemukan di daerah tropis. Kelapa sangat populer di masyarakat karena memiliki
banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Salah satu bagian dari kelapa yang dapat
dimanfaatkan kembali menjadi suatu produk yaitu sabut kelapa. Pada sabut kelapa
memiliki komposisi kimia meliputi air 26,0%, pektin 14,25%, hemiselulosa 8,50,
selulosa 21, 07% dan lignin 29,23% serta adanya kandungan senyawa tanin sebesar
3,12% (Tyas, 2000; Subiyanto, 2003). Tannin merupakan senyawa yang tergolong
flavonoid yang memiliki fungsi sebagai antibakteri. Sebagai anti bakteri, senyawa
tanin yang terdapat pada sabut kelapa dapat menghambat kinerja enzim pada
bakteri. Mekanisme kerja tanin sebagai antibakteri adalah menghambat enzim
reverse transkriptase dan DNA topoisomerase sehingga sel bakteri tidak dapat
terbentuk atau tidak dapat mempertahankan kelangsungan aktivitasnya (Robinson,
1995).
Senyawa tanin dapat diperoleh dengan metode ekstraksi menggunakan
pelarut polar. Ekstrak tanin yang merupakan bahan aktif ini dapat diperoleh dari
proses ekstraksi dan diolah menjadi produk sediaan gel yang mampu berperan
sebagai antibakteri. Peranan senyawa tanin sebagai antibakteri masih tetap aktif
meskipun dalam sediaan gel. Penelitian Rahayu (2016), menunjukkan bahwa
senyawa tanin yang terdapat pada daun tembakau mampu menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis yang
diaplikasikan pada sediaan gel (Handsanitizer). Ekstrak tanin sebanyak 0,06 mg
dari daun tembakau yang dijadikan sediaan gel memberikan efek penghambatan
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis dengan diameter zona
hambat sebesar 13,83-7,4 mm.
Meningkatnya keinginan masyarakat untuk menggunakan bahan alam
“back to nature” dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan kecantikan terbukti
dengan banyaknya produk-produk topikal berbahan aktif bagian tanaman
digunakan untuk perawatan kesehatan, kosmetik dan pencegahan penyakit. Pada
saat ini telah umum digunakan sediaan gel tangan sanitizier yang mengandung
antiseptik oleh masyarakat yang peduli kesehatan, sebagai jalan keluar untuk
menjaga kesehatan dan kebersihan tangan yang mudah dibawa dan praktis.
Antiseptik adalah senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat atau
mematikan mikroorganisme pada jaringan hidup, yang mempunyai efek membatasi
dan mencegah infeksi agar tidak menjadi parah (Djide, 2008). Saat ini kegiatan
membersihkan tangan dapat dilakukan dengan berbagai produk antiseptik. Salah
satu bentuk teknologi modern produk antiseptik yaitu handsanitizer. Handsanitizer
memiliki kelebihan dibandingkan dengan handwash dalam segi kepraktisan yang
dapat diaplikasikan secara langsung tanpa menggunakan air. Kemampuan ekstrak
polar dari sabut kelapa dalam menghambat bakteri patogen dalam saluran cerna
berpotensi diformulasi sebagai sediaan handsanitizer untuk menghambat jalur
masuk bakteri ke dalam saluran cerna. Berdasarkan uraian tersebut, disusunnya
makalah mengenai potensi pemanfaatan ekstrak sabut kelapa (Cocos nucifera)
sebagai antiseptik dalam bentuk sediaan gel guna mengetahui proses pembuatan
dan karakteristik antiseptik dari ekstrak sabut kelapa.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses pembuatan antiseptik ekstrak sabut kelapa.
2. Untuk mengetahui karakteristik antiseptik ekstrak sabut kelapa.
BAB 2. BAGIAN YANG DIOLAH DAN KARAKTERISTIK BAHAN

2.1 Sabut Kelapa


Sabut kelapa adalah salah satu biomassa yang mudah didapatkan dan
merupakan hasil samping pertanian. Komposisi sabut dalam buah kelapa sekitar
35% dari berat keseluruhan buah kelapa. Sabut kelapa terdiri dari serat (fiber) dan
gabus (pitch) yang menghubungkan satu serat dengan serat yang lainnya. Sabut
kelapa terdiri dari 75% serat dan 25% gabus. Serat yang diekstrasi akan diperoleh
40 % serat berbulu dan 60 % serat matras (Anggoro, 2009). Gabus merupakan
bagian yang menghubungkan untaian-untaian serat yang satu dengan yang lain.
Pada pengolahan sabut, gabus tersebut dibuang sehingga menghasilkan serat yang
bersih, licin dan mengkilat. Sabut kelapa merupakan bahan berserat dengan
ketebalan sekitar 5 cm, dan merupakan bagian terluar dari sebuah kelapa. Sabut
kelapa terdiri dari kulit ari, serat dan sekam. mengandung 30-33% serat
(Suhardiyono, 1984 dalam Tyas, 2000). Menurut Oladayo (2010), sabut kelapa
memiliki kandungan serat kasar 30,34% dan abu 3,95%. Kandungan protein kasar
sabut kelapa yaitu 3,13% (Lorica and Uyenco, 1982). Komposisi kimia dari sabut
kelapa yaitu air 26,0%, pektin 14,25%, hemiselulosa 8,50, selulosa 21, 07% dan
lignin 29,23% (Tyas, 2000).
Sabut kelapa mengandung senyawa tanin pada partikel sabutnya. Senyawa
ini merupakan senyawa polifenol yang memiliki struktur kompleks. Strukturnya
yang juga merupakan golongan flavonoid merupakan senyawa turunan dari
benzena. Senyawa ini merupakan pigmen kuinon yaitu senyawa berwarna dan
mempunyai kromofor yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi
dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Setiawati dkk., 2013). Sabut kelapa
segar mengandung tanin sebesar 3,12%. Senyawa tanin dapat mengikat enzim yang
dihasilkan oleh mikroba sehingga mikroba menjadi tidak aktif (Subiyanto, 2003).
Tanin dapat didefinisikan dengan kromatografi dan senyawa fenol dari tanin
mempunyai aksi adstrigensia, antiseptik dan pemberi warna (Najeeb, 2009).
Pengolahan sabut kelapa pada umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu retting
dan milling. Proses retting membutuhkan waktu selama 4-12 bulan, hasil yang
diperoleh serat yang baik, panjang dan putih bersih. Proses milling dikenal dengan
dua teknik, yaitu wet-milling dan dry-milling. Teknik wet-milling membutuhkan
waktu 1-6 minggu menghasilkan serat yang panjang, pendek, berwarna kecoklatan.
Sedangkan cara dry-milling tanpa dilakukan proses perendaman atau hanya
dibasahi air sekedarnya saja, serat yang dihasilkan pendek, kasar dan berwarna
kecoklatan.

2.2 Tannin
Senyawa tanin merupakan senyawa yang termasuk golongan senyawa
flavonoid karena dilihat dari strukturnya yang memiliki 2 cincin aromatik yang
diikat oleh tiga atom karbon. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti
flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan
cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi (Hayati dkk.,
2010). Secara umum tanin didefinisikan sebagai senyawa polifenol dan dapat
membentuk kompleks dengan protein membentuk kopolimer yang tidak larut dalam
air. Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin terkondensasi atau tanin katekat
dan tanin terhidrolisis atau tanin galat. Tanin terhidrolisis dibagi menjadi dua yakni
gallotanin dan ellagitanin. Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks, mulai
dari pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi
sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002 dalam Malanggia, dkk., 2012).
Tanin terkondensasi memiliki berat molekul 1000 – 3000, sedangkan tanin
terhidrolisis memiliki berat molekul 1000 – 1500 pada galotanin dan 1000 – 3000
pada elagitanin (Harbone, 1996). Tanin terdapat pada daun, buah yang belum
matang merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang termasuk golongan
flavonoid mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit
(Robinson, 1995). Tanin mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen,
antidiare, antibakteri dan antioksidan. Tanin merupakan komponen zat organik
yang sangat kompleks, terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar
mengkristal, mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein
tersebut (Desmiaty, dkk., 2008 dalam Malanggia, dkk., 2012).
Senyawa tanin merupakan senyawa yang termasuk golongan senyawa
flavonoid, karena dilihat dari strukturnya yang memiliki 2 cincin aromatik yang
diikat oleh tiga atom karbon. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti
flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan
cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi (Hayati, dkk.,
2010). Tanin merupakan bentuk kompleks dari protein, pati, selulosa dan mineral.
Tanin mempunyai struktur dengan formula empiris C72H52O46.

Gambar 1. Struktur senyawa tanin (Robinson, 1995)

Sifat utama tanin tumbuh-tumbuhan tergantung pada gugusan fenolik -OH


yang terkandung dalam tanin, dan sifat tersebut secara garis besar dapat diuraikan
sebagai berikut: sifat tanin dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu berupa sifat
kimia dan sifat fisik. Sifat kimia tanin yaitu memiliki gugus fenol dan bersifat
koloid, oleh karena itu di dalam air tanin bersifat koloid dan asam lemah. Semua
jenis tanin dapat larut dalam air, memiliki kelarutan yang besar, akan bertambah
besar apabila dilarutkan dalam air panas, begitu juga tanin akan larut dalam pelarut
organik seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya, tanin dengan
garam besi memberikan reaksi warna hijau dan biru kehitaman yang digunakan
untuk menguji klasifikasi tanin. Uji ini kurang baik karena selain tanin yang dapat
memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat memberikan warna yang sama,
tanin akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocatechol dan phloroglucinol bila
dipanaskan sampai suhu 210°F – 215°F (98,89°C – 101,67°C), tanin dapat
dihidrolisa oleh asam, basa dan enzim dan ikatan kimia yang terjadi antara tanin-
protein atau polimer-polimer lainnya terdiri dari ikatan hidrogen, ikatan ionik, dan
ikatan kovalen. Sedangkan sifat fisik tanin yaitu mempunyai berat molekul tinggi
dan cenderung mudah dioksidasi menjadi suatu polimer, sebagian besar tanin
bentuknya amorf dan tidak mempunyai titik leleh, tanin berwarna putih kekuning-
kuningan sampai coklat terang, tergantung dari sumber tanin tersebut, tanin
berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau khas dan
mempunyai rasa sepat (astrigent), dan warna tanin akan menjadi gelap apabila
terkena cahaya langsung atau dibiarkan di udara terbuka serta tanin mempunyai
sifat atau daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan racun (Browning, 1966).

2.3 Karbopol
Karbopol merupakan gelling agent yang sangat umum digunakan dalam
produksi kosmetik karena kompatibilitas dan stabilitasnya tinggi, tidak bersifat
toksik jika diaplikasikan kekulit dan penyebaran di kulit lebih mudah. Gel dengan
gelling agent karbopol memiliki sifat yang baik dalam pelepasan zat aktif (Madan
and Singh, 2010). Karbopol tipe 940 rumus molekul (C3H4O2)n untuk jenis 940
mempunyai berat molekul monomer sekitar 72 gram/mol dan karbopol 940 terdiri
dari 1450 monomer (Avinash, 2006). Karbopol 940 merupakan cross-linked antara
poliakrilat dengan divinil glikol, merupakan sebuah hidrogel anionik yang
digunakan untuk meningkatkan kekentalan. (Lee, Jiseok., and Ki-Wong Song,
2011). Karbopol memiliki sifat yang cocok dengan kulit manusia dan memiliki
viskositas yang baik selama masa penyimpanan (Allen, 2002). Berdasarkan hasil
penelitian Handani (2006) sediaan gel yang menggunakan basis karbopol sebagai
gelling agent akan mempengaruhi lama penyimpanan serta berpengaruh terhadap
stabilitas fisik, dan daya sebar dari sediaan gel akan semakin luas dan pada minggu
ketiga daya lekat yang dihasilkan semakin menurun. Karbopol memiliki viskositas
yang tinggi dengan range antara 30.400-39.400 cP (Allen, 2002).
Karbopol (carbomer) merupakan salah satu gelling agent yang sering
digunakan sebagai penambah viskositas dalam sediaan farmasi. Sifat yang dimiliki
karbopol sehingga banyak digunakan yaitu karakteristiknya non-toksik dan
noniritan dalam penggunaan, serta tidak menimbulkan efek hipersensitivitas atau
alergi terhadap penggunaan secara topikal pada manusia (Gibson, 2009). Karbopol
dapat membentuk polimer dengan viskositas yang diatur penambahan elektrolit dan
pengaturan pH. Konsentrasi penyusun gelling agent dalam sediaan adalah kurang
dari 10%, biasanya 0,5-2,0% (Troy, 2006).

Gambar 2. Struktur karbopol


Karbopol atau Carbomer adalah serbuk berwarna putih, fluffy, asam, dan
higroskopis dengan karakteristik sedikit bau. Karbopol dapat mengembang di air
dan gliserin, dan setelah dinetralkan dengan etanol (95%). Karbopol tidak larut tapi
mengembang menjadi luar biasa semenjak karbopol adalah mikrogel silang tiga-
dimensi. Karbopol biasa digunakan dalam sediaan formulasi farmasi berupa cairan
atau semisolid seperti krim, gel, lotion, dan salep dalam sediaan mata, rectal,
vaginal, dan topikal sebagai agen modifikasi reologi. Kegunaan karbopol
diantaranya adalah sebagai material bioadhesive, controlled-release agent, agen
pengemulsi, penstabil emulsi, agen modifikasi reologi, zat penstabil, zat
pensuspensi, dan zat pengikat tablet.

Gambar 3. Reaksi karbopol dengan penambahan basa (a) struktur awal karbopol
sebelum ditambahkan basa (b) struktur setelah ditambahkan basa
Karbopol dinetralkan dengan mengunakan basa karena sifatnya yang
merupakan asam lemah dengan penggunaan amina organik sebagai agen penetral,
kemungkinan partikel karbopol menjadi gel dalam berbagai cairan semipolar atau
dalam campuran dengan beberapa larutan dalam air. Pada pH asam, gugus karboksil
pada struktur molekul karbopol tidak terionisasi. Apabila pH dispersi karbopol di
netralkan dengan penambahan suatu basa, maka secara progresif gugus karboksil
akan terionisasi. Adanya gaya tolak-menolak antara gugus yang terionkan
menyebabkan ikatan hidrogen pada gugus karboksil meregang sehingga terjadi
peningkatan viskositas (Florence and Attwood, 1998 dalam Tristiana, Erawati.,
2005). Persentasi penggunaan karbopol sebagai zat pengemulsi adalah 0,1 – 0,5 %,
sebagai gelling agent 0,5 – 2,0 %, sebagai zat pensuspensi 0,5 – 1,0 %, sebagai
pengikat dalam formulasi tablet 0,75 – 3,0 %, dan sebagai controlled-release agent
5,0 – 30,0 %. (Rowe, 2009).

2.4 Trietanolamin
Trietanolamin (TEA) berbentuk larutan viskos yang bening, tidak berwarna
hingga sedikit kuning yang memiliki bau sedikit amoniak. Trietanolamin digunakan
sebagai agen pembasa dan agen pengemulsi. Trietanolmain dapat berubah menjadi
coklat ketika terpapar udara dan cahaya. Trietanolamin harus disimpan dalam
wadah bebas udara yang terlindung dari cahaya, dalam tempat dingin dan kering.
Trietanolamin dapat bercampur dengan air, metanol, karbon tetraklorida, aseton,
dapat larut dalam benzena dan etil eter dengan perbandingan 1:20 dan 1:63 dalam
suhu 20ºC. Trietanolamin banyak digunakan dalam formasi garam untuk larutan
injeksi dan preparasi analgesic topikal. TEA juga dapat digunakan dalam preparasi
sunscreen. Trietanolamin juga digunakan dalam pembuatan surfaktan,
demulsifikasi minyak, dan zat warna. Selain itu trietanolamin juga biasa digunakan
sebagai buffer, pelarut, dan plasticizer polimer atau humektan.

Gambar 4. Struktur trietanolamin


2.5 Propil Glikol
Propil glikol (1,2-Dihidroksipropana) berbentuk cairan jernih, tidak
berwarna, viskus, dan tidak berbaau dengan rasa manis menyerupai gliserin.
Propilen glikol memiliki titik didih 18˚C, titik lebur -59 ˚C dengan berat jenis
1,038g/ml pada suhu 20 ˚C. Propilen glikoll bersifat mudah tercampur dengan
aseton, kloroform, etanol, gliserin, dan air. Senyawa ini tidak kompatibel dengan
adanya senyawa pengoksidasi. Pada sediaan topikal, propilen glikol digunakan
sebagai humektan pada konsentrasi maksimal 15% (Rowe, 2009). Propilen glikol
memiliki aktivitas antimikroba dan kerotilitik (Barel, 2014). Pada formulasi sediaan
gel, propilen glikol berperan sebagai humektan yang menjaga kandungan air pada
sediaan gel. Selain itu, juga memiliki keunggulan seperti ekonomis dan dapat
berperan sekaligus sebagai co-solven. Penambahan propilen glikol secara teoritis
dapat menurunkan viskositas dan menaikkan daya sebar dari sediaan (Jugerman,
1991).

Gambar 5. Struktur propil glikol

2.6 Antiseptik (Handsanitizer)


Handsanitizer adalah produk pembersih tangan dalam bentuk gel yang
mengandung zat antiseptik yang digunakan untuk mencuci tangan tanpa harus
membilasnya dengan air (Depkes RI, 2008). Handsanitizer merupakan sediaan
paten antiseptik yang banyak dijumpai di pasaran. Sediaan ini memiliki aktivitas
bakterisidal yakni bekerja terhadap berbagai jenis bakteri tetapi tidak bekerja
terhadap virus dan jamur (Retnosari dan Isadiartuti, 2006). Sanitizer adalah suatu
bahan yang dapat mengurangi mikroba kontaminan sampai 99,9% yang sedang
tumbuh. Sediaan handsanitizer merupakan pembersih tangan yang praktis dan
mudah dibawa kemana-mana serta memilik kandungan antiseptik. Handsanitizer
sering digunakan juga dalam keadaan darurat ketika air tidak dapat ditemukan.
Kandungan antiseptik yang terdapat di dalam handsanitizer umumnya berupa ethyl
alcohol 62 %, pelembut dan pelembab (Shu, 2013). Penggunaannya lebih efektif
membunuh flora residen dan flora transien daripada mencuci tangan dengan sabun
antiseptik atau dengan sabun biasa dan air (Depkes RI, 2008). Menurut Food And
Drug Administration (FDA) handsanitizer dapat menghilangkan kuman kurang
dari 30 detik. (Depkes RI, 2008; Radji et al., 2007). Handsanitizer memiliki
berbagai macam zat yang terkandung, secara umum mengandung alkohol 60-90%,
benzalkonium chloride, benzethonium chloride, chlorhexidine, gluconatee,
chloroxylenolf, clofucarbang, hexachloropheneh, hexylresocarcinol, iodine and
iodophors, dan triclosan (Ramadhan, 2013; Depkes RI, 2008). Namun yang paling
umum ditemukan mengandung alkohol dan triklosan. Handsanitizer juga berisi
emolien seperti gliserin, glisol propelin, atau sorbitol yang mampu melindungi dan
melembutkan kulit (Depkes RI, 2008). Menurut Center for Disease Control (CDC)
handsanitizer terbagi menjadi dua yaitu mengandung alkohol dan tidak
mengandung alkohol. Handsanitizer dengan kandungan alkohol antara 60-90%
memiliki efek anti mikroba yang baik dibandingkan tanpa kandungan alkohol
(Depkes RI, 2008; Alzahrani dan Baghdadi, 2012; Todd et al., 2010).
BAB 3. PRINSIP PENGOLAHAN

Berdasarkan WHO (2005), pembuatan handsanitizer dilakukan dengan


pengaplikasian sediaan antiseptik yang dapat mengurangi infeksi bakteri. Salah satu
contohnya adalah tanin, senyawa tersebut merupakan senyawa aktif yang memiliki
sifat fungsional sebagai astringen, antidiare, antibakteri dan antioksidan. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Rahayu (2016), menunjukkan bahwa senyawa
tanin yang terdapat pada daun tembakau mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis yang diaplikasikan pada sediaan gel
(Handsanitizer). Ekstrak tanin sebanyak 0,06 mg dari daun tembakau yang
dijadikan sediaan gel memberikan efek penghambatan terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis dengan diameter zona hambat sebesar
13,83-7,4 mm.
Gel merupakan sistem semisolid yang terdiri dari suspensi dari partikel
anorganik kecil atau molekul organik yang besar dengan terpenetrasi suatu cairan
(Dirjen POM, 1995). Polimer gel tersusun dari jaringan monomer tiga dimensi yang
saling berikatan dan mengembang di dalam solven hingga batas konsentasi tertentu.
Gel tersusun dari fase terdispersi yaitu polimer serta fase terdispersi yaitu air atau
solven lain. Gel juga mengandung humektan yang berperan menarik air dan
memiliki kemampuan meningkatkan hidrasi pada lapisan stratum korneum.
Propilen glikol adalah salah satu humektan yang sering digunakan pada sediaan
topikal (Barel dkk., 2014).
Gel mengandung gelling agent yang berperan dalam penyusunan
konsistensi sediaan gel. Gelling agent merupakan suatu agen berupa polimer yang
berperan menjaga konsistensi bentuk gel. Gelling agent dapat terbuat dari polimer
alami yang berasal dari polisakarida anionik seperti gummi arabicum, polimer semi
sintetik seperti turunan selulosa ataupun polimer sintetik seperti karbopol.
Karakteristik yang harus dimiliki oleh suatu gelling agent antara lain inert, aman,
dan tidak bersifat reaktif terhadap komponen formulasi lainnya serta ekonomis,
mudah didapat, mampu membentuk massa gel yang jernih, dan memiliki
organoleptik yang bisa diterima oleh konsumen (Gad, 2008).
Karbopol (carbomer) merupakan salah satu gelling agent yang sering
digunakan sebagai penambah viskositas dalam sediaan farmasi. Sifat yang dimiliki
karbopol sehingga banyak digunakan yaitu karakteristiknya non-toksik dan
noniritan dalam penggunaan, serta tidak menimbulkan efek hipersensitivitas atau
alergi terhadap penggunaan secara topikal pada manusia (Gibson, 2009). Karbopol
dapat membentuk polimer dengan viskositas yang diatur penambahan elektrolit dan
pengaturan pH. Konsentrasi penyusun gelling agent dalam sediaan adalah kurang
dari 10%, biasanya 0,5-2,0% (Troy, 2006). Polimer karbopol terdiri atas monomer
berupa asam akrilik yang dihubungkan oleh alil sukrosa atau alil eter dari
pentaeritritol dan atau sukrosa. Karbopol dapat bersifat anionik dan viskositas
tergantung dari pH atau jumlah agen penetralisir yang ditambahkan serta dengan
pengaruh adanya penambahan elektrolit. Penambahan alkohol dapat menurunkan
viskositas resin karbopol, penambahan agen penetralisir ditambahkan setelah
karbopol telah terdispersi. Triethanolamin dapat digunakan sebagai penetralisir
resin karbopol yang mengandung hingga 50% alkohol sehingga viskositas pH akan
menurun signifikan pada pH di bawah 3 atau di atas 12. Peningkatan pH akan
menyebabkan derajat ionisasi gugus karboksilat pada polimer sehingga solven
dapat masuk membentuk gel (Lieberman, 1989). Karbopol bersifat mudah dibasahi
dalam air namun mudah menggumpal sehingga dispersi karbopol yang efektif dan
cepat dapat dilakukan dengan menambahkan bubuk karbopol secara berlahan ke
dalam fase air yang diaduk secara perlahan. Sifat karbopol yaitu basa dengan pH
2,5-4 pada larutan 0,2%b/v dalam air dengan nilai pKa sebesar 6,0±0,5. Karbopol
akan terkondensasi dengan pemanasan selama 30 menit dengan suhu 260˚C,
paparan ultraviolet, adanya asam kuat, dan polimer kation. Karbopol bersifat
higrokopis sehingga akan sulit terdispersikan apabila terjadi penggumpalan.
Karbopol mempunyai struktur senyawa kimia yang rantai ujungnya mempunya
gugus RCOOH dyang sifatnya asam. Bila direaksikan sengan air dalam suasan
asam maka akan membentuk afinitas yang kuat sehingga diperlukan agent penetrasi
sebagai penetral. Karbopol mempunyai sifat higrokopis sehingga dapat
didispersikan ke dalam air dengan penambahan pelarut yang menyebabkan
terjadinya pengembangan. Kemudian akan terjadi proses hidrasi molekul air
melalui pembentukan ikatan hidrogen, dimana air akan terjebak di dalam struktur
molekul kompleks dan menyebabkan terbentuknya massa gel yang kaku atau
kenyal.
Pada pembuatan hansanitizer diperlukan humektan yang mempu menarik
air sehingga mampu mempertahankan kelembapan pada aplikasi sediaan di kulit
dan mempertahankan kandungan air pada sediaan. Humektan yang baik yaitu
memiliki sifat yang mampu menarik kelembapan dari udara, nontoksil, dan
nonreaktif dengan bahan lain dalam sediaan. Salah satu humektan organik yang
sering digunakan yaitu propilen glikol. Senyawa ini juga memiliki aktivitas
antimikroba dan keratolitik pada sediaan gel, propilen glikol berperan sebagai
humektan yang menjaga kandungan air pada sediaan gel dengan keunggulan yang
ekonomis dan berperan sebagai co-solven. Penambahan propilen glikol secara
teoritis dapat menurunkan viskositas dan menaikkan daya sebar dari sediaan dengan
sifat higrokopisnya (Jungerman, 1991).
Terkait uraian di atas, tanin pada sabut kelapa dapat menjadi senyawa aktif
yang memiliki sifat antibakteri yang dapat digunakan pada pembuatan
handsanitizer. Tanin memiliki sifat dapat larut dalam air maupun pelarut organik
seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya. Selain itu, tannin akan
bertambah besar apabila dilarutkan ke dalam air panas sehingga efektif dalam
pembutan handsanitizer dan saat dihasilkan produk akhir tidak akan
menghilangkan komponen aktif yang terkandung. Pembuatan handsanitizer,
dibutuhkan adanya gelling agent yaitu karbopol yang memiliki karakteristik non-
toksik dan noniritan dalam penggunaan, serta tidak menimbulkan efek
hipersensitivitas atau alergi terhadap penggunaan secara topikal pada manusia.
Karbopol perlu ditambahkan untuk menambah viskositas, selain itu perlu adanya
penambahan Triethanolamin sebagai penetralisir resin karbopol yang mengandung
hingga 50% alkohol sehingga viskositas pH akan menurun. Senyawa humektan
propil glikol perlu ditambahkan supaya didaptakan bahan sediaan yang memiliki
sifat fisik dan stabilitas yang baik.
BAB 4. TAHAPAN PENGOLAHAN

4.1 Alat dan Bahan


4.1.1 Alat
Alat yang digunakan untuk membuat handsanitizer dari sabut kelapa
diantaranya beaker glass, gelas ukur, pipet volume dan batang pengaduk, rotary
evaporator, corong Buchner, penangas air, kain saring, gelas ukur, alat maserasi,
alumunium foil, loyang, pisau, baskom, dan penggiling.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan untuk membuat handsanitizer dari sabut kelapa
diantaranya sabut kelapa, etanol 70%, TEA, karbopol, propilen glikol, aquadest,
oleum rosae (pewangi), dan propil parabean.

3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan


3.2.1 Perlakuan Pendahuluan

Sabut kelapa

Pengeringan sun drying (10 jam)

Pengecilan ukuran

Langkah awal dalam pembuatan sediaan gel ekstrak sabut kelapa yaitu
melakukan perlakuan pendahuluan dengan cara menyiapkan sabut kelapa dari buah
kelapa muda. Kemudian sabut kelapa dilakukan pengeringan dengan bantuan sinar
matahari selama 10 jam. Pengeringan ini dilakukan untuk mengurangi kadar air
atau menghilangkan kadar air pada sabut agar memudahkan dalam mengekstrak
senyawa tanin yang ada tersebut.
3.2.2 Ekstraksi Tanin

Sabut Kelapa
Kering

Etanol 70% Ekstraksi


(2 jam; suhu 85 °C)

Penyaringan Ampas

Filtrat

Pemekatan pada suhu 60ºC

Ekstrak kental

Proses penyarian maserasi ini dilakukan selama 2 jam pada suhu 85°C
dengan sering dilakukan pengadukan agar merata. Proses ekstraksi menggunakan
pelarut etanol 70%. Etanol dipertimbangkan sebagai cairan penyari karena lebih
selektif dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral,
absorbsinya baik (Depkes RI, 1986). Etanol 70% volume sangat efektif dalam
menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana bahan hanya sedikit turut
ke dalam cairan pengekstrak (Voigt, 1984). Rendaman tersebut disaring
menggunakan corong Buchner. Ekstrak cair sabut kelapa yang didapat dari proses
maserasi dipekatkan dengan alat rotary evaporator dengan suhu 60°C hingga
diperoleh ekstrak kental.
3.2.3 Pembuatan Sediaan Gel Ekstrak Sabut Kelapa

Pemanasan aquadest Pemanasan ekstrak tanin sabut kelapa

+ karbopol + propilen glikol; propil


paraben

Campuran A Pengadukan

Campuran B

aquadest

penghomogenizer

+ TEA (Trietanolamin)

+ oleum rosae

Sediaan Gel Ekstrak


Sabut Kelapa

Pada pembuatan sediaan gel, terlebih dahulu aquadest dipanaskan.


Kemudian pemasukan carbopol dan dikembangkan dalam air yang mendidih
(campuran a). Mekanisme pembentukan gel pada penggunaan gelling agent
karbopol adalah sebagai berikut: karbopol mempunyai struktur senyawa kimia yang
rantai ujungnya mempunya gugus RCOOH dyang sifatnya asam. Bila direaksikan
sengan air dalam suasan asam maka akan membentuk afinitas yang kuat sehingga
diperlukan agent penetrasi sebagai penetral. Karbopol mempunyai sifat higrokopis
sehingga dapat didispersikan ke dalam air dengan penambahan pelarut yang
menyebabkan terjadinya pengembangan. Kemudian akan terjadi proses hidrasi
molekul air melalui pembentukan ikatan hidrogen, dimana air akan terjebak di
dalam struktur molekul kompleks dan menyebabkan terbentuknya massa gel yang
kaku atau kenyal. Selanjutnya, ekstrak sabut kelapa kental sebelumnya dipanaskan
lalu dicampurkan propilen glikol dan propil paraben yang telah dipanaskan diaduk
hingga homogen agar semua bahan menyatu dengan baik (campuran b). Propil
paraben berfungsi sebagai bahan pengawet karena besarnya kandungan air dalam
sediaan dapat beresiko memicu pertumbuhan mikroba. Propil paraben dipilih
sebagai pengawet karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif san
gram negartif pada pH 4 hingga 8. Konsentrasi yang optimal yaitu 0,01-0,6%.
Pengawet golongan paraben bekerja membunuh bakteri dengan mengganggu
sintesis DNA dan RNA pada beberapa spesies bakteri (Valkova, 2001). Campuran
b dimasukan kedalam campuran a secara bertahap dan ditambahkan aquadest
hingga volume yang dikehendaki dan dihomogenizer. Setelah itu, penambahan
TEA tetes demi tetes sampai diaduk perlahan hingga terbentuk gel yang homogen.
Tujuan penambahan TEA adalah untuk penetralisir resin karbopol yang sifatnya
asam. Untuk didapatkan handsanitazer yang harum maka ditambahkan bahan
pewangi misalnya oleum rosae dengan melakukan penetesan dengan berlahan
hingga bau sediaan menjadi harum.
BAB 5. KARAKTERISTIK ANTISEPTIK SEDIAAN GEL

5.1 Uji Aktivitas Antibakteri


Hasil uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi, menunjukan bahwa
ekstrak tanin pada daun tembakau sebesar 100-0,06 mg, memiliki aktivitas
penghambatan pertumbuhan terhadap Staphylococcus aureus dengan diameter
zona hambat sebesar 13,83-7,4 mm. Sedangkan ekstrak tembakau sebesar 0,03-
0,015 mg sudah tidak menghasilkan zona hambat. Hal tersebut menunjukkan bahwa
jumlah minimal ekstrak tembakau yang dapat memberikan efek penghambatan
terhadap bakteri Staphylococcus aureus adalah 0,06 mg. Hasil aktivitas
penghambatan bakteri Eschericia coli menunjukan bahwa ekstrak tanin pada daun
tembakau memiki potensi sebagai antibakteri pada konsentrasi 100-0,25 mg dengan
diameter zona hambat sebesar 11,97-7,4 mm (Rahayu, 2016).

5.2 Nilai pH
Nilai pH pada sediaan gel (handsanitizer) dipengaruhi oleh bahan sediaan
gel yaitu TEA dibandingkan karbopol. Interaksi antara kedua komponen karbopol
dan TEA memberikan pengaruh negatif yaitu mengurangi nilai pH pada produk
handsanitizer. Karbopol cenderung bersifat asam. Karbopol sebagai gelling agent
dalam gel cenderung stabil jika memiliki nilai pH 6. Stabilitas dalam sediaan akan
terganggu jika karbopol memiliki nilai pH dibawah 3. Oleh karena itu penambahan
Trietanolamin penting sebagai yaitu sebagai penstabil pH sediaan sehingga tidak
mempengaruhi stabilitas kimia sediaan selama masa penyimpanan (Rahayu, 2016).

5.3 Viskositas
Nilai viskositas pada sediaan gel (handsanitizer) dipengaruhi oleh
penambahan karbopol. Karbopol memberikan pengaruh positif dalam memperbesar
nilai vikositas gel. Sedangkan TEA memberikan pengaruh negatif yaitu tidak
memiliki pengaruh terhadap perubahan viskositas gel. Penambahan TEA dalam gel
tanpa karbopol tidak akan mempengaruhi perubahan nilai viskositas pada gel
karena fungsi TEA bukan sebagai gelling agent, namun pemberian TEA akan
berpengaruh terhadap bertambahnya viskositas gel apabila dicampur bersama
dengan karbopol (Rahayu, 2016).

5.4 Daya Lekat


Respon daya lekat pada produk sediaan gel (Handsanitizer) dipengaruhi
oleh proporsi karbopol yang akan memberikan respon positif yaitu memperbesar
nilai daya lekat pada gel dibandingkan dengan TEA. Namun, kedua komponen
tersebut dapat dinyatakan mampu memperbesar nilai daya lekat sediaan gel
(Rahayu, 2016).

5.5 Daya Sebar


Respon daya sebar pada produk sediaan gel (Handsanitizer) dipengaruhi
oleh proporsi dari TEA yang mampu memberikan respon positif dimana akan
meningkatkan nilai daya sebar gel dibandingkan karbopol. Pencampuran antara
komponen fraksi karbopol dengan fraksi TEA memberikan respon negatif dengan
terhadap respon daya sebar ge, karena semakin tinggi kadar karbopol akan
membuat gel semakin kental sehingga nilai daya sebar gel semakin kecil (Rahayu,
2016).

5.6 Karakteristik Fisik


Hasil pengamatan organoleptis terhadap gel yang mengandung ekstrak
sabut kelapa (Cocos nucifera) menunjukkan bahwa gel yang dihasilkan berbau khas
ekstrak dan berwarna coklat, serta berbentuk semipadat pada konsentrasi karbopol
1-2% dan bentuk cair pada konsentrasi 0,5%. Ekstrak sabut kelapa mengandung
tannin dan beberapa senyawa polifenol. Bau khas ekstrak pada sediaan gel
antiseptik berasal dari kumpulan senyawa yang terkandung di dalam ekstrak
tersebut. Begitupun dengan warna coklat tersebut, berasal dari warna senyawa-
senyawa yang terkandung dalam ekstrak sabut kelapa yang berkumpul sehingga
memberi warna yang tampak kecoklatan (Ismail, 2016).
Sediaan gel antiseptik ekstrak sabut kelapa memiliki pH sekitar 5 hingga 6,
keasaman sediaan ini memungkinkan untuk penggunaan di kulit. Kulit memiliki
mantel asam dengan pH berkisar 4,5- 6,5. Keasaman produk kulit yang tidak sesuai
dengan keasaman kulit dapat menyebabkan iritasi hingga infeksi mikroorganisme
Oleh karena itu, pH sediaan antiseptik sabut kelapa diusahakan harus sesuai dengan
pH pisiologis kulit yaitu 4,5-6,5 (Ismail, 2016).
BAB 6. KESIMPULAN

Pembuatan handsanitazer sabut kelapa diperlukan adanya senyawa aktif


(tanin), humektan (propil glikol), gelling agent (karbopol). Tannin merupakan
senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri dan akan bertambah besar apabila
dilarutkan ke dalam air panas sehingga saat dihasilkan produk akhir tidak akan
menghilangkan komponen aktif yang terkandung. Gelling agent berupa karbopol,
memiliki karakteristik non-toksik dan noniritan dalam penggunaan, serta tidak
menimbulkan efek hipersensitivitas atau alergi terhadap penggunaan secara topikal
pada manusia. Karbopol perlu ditambahkan untuk menambah viskositas, selain itu
perlu adanya penambahan Triethanolamin sebagai penetralisir resin karbopol yang
mengandung hingga 50% alkohol sehingga viskositas pH akan menurun. Senyawa
humektan propil glikol perlu ditambahkan supaya didaptakan bahan sediaan yang
memiliki sifat fisik dan stabilitas yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Barel, O., Paye M., Maibach, H.I. 2014. Handbook of Cosmetic Scienci and
Technology Fourth Edition. United States.

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Djide, M., Natsir, dan Sartini. 2008. Dasar- Dasar Mikrobioloi Farmasi. Makassar:
Lembaga Penerbitan Unhas.

Gad, S. 2008. Pharmacetical Handbook: Production and Process. US: John Wiley
and Sons.

Gibson, M. 2009. Pharmaceuntical Formulation and Preformulation. New York:


Informa Healthcare.

Ismail, I., Haeria., dan Fitriani Fajri Ahmad. 2016. Potensi Pemanfaatan Ekstrak
Sabut Kelapa (Cocos Nucifera Linn.) Sebagai Antiseptik Dalam Bentuk
Sediaan Gel. JF Fik Uinam Vol.4 No.4.

Jugerman, E., Sontag, N. 1991. Glicerine: A Key Cosmetic Ingredients. New York:
Marcel Dekker Inc.

Lieberherman, Rieger, M., Banker, G. 1989. Pharmeceutical Dosage Form:


Disperse System. New York: Marcel Dekker.

Lorica, R. G. and F. R. Uyenco. 1982. Agricultural and Food Processing Wastes


As Potential Substrates. In: Microbial Protein Production: Chemical
Analysis. Philippines: Science Diliman Publisher.

Lubrizol. 2009. Formulating Hydroalcoholic Gel with Carbopol Polymers:


Technical Data Sheet.Ohio: Lubrizol Advances material Inc.

Oladayo, A. 2010. Proximate Composition of Some Agricultural Wastes in Nigeria


and Their Potential Use in Activated Carbon Production. Department of
Chemistry and Biochemistry, Bowen University Iwo. Osun state.

Rahayu, Titis., Achmad, F., Dan Annisa, F. 2016. Optimasi Formulasi Gel Ekstrak
Daun Tembakau (Nicotiana Tabacum) Dengan Variasi Kadar Karbopol940
Dan Tea Menggunakan Metode Simplex Lattice Design (Sld). Jurnal Ilmiah
Farmasi Vol. 12 No. 1 Tahun 2016.

Rowe, R., Sheskey, P., Quinn, M. 2009. Handbook of Pharmaceutical Expients.


USA: Pharmaceuntical Press and American Pharmacitist Association.
Setiawati, E., Haryanti, Nuryunita, Rachmawati, Akbar RP. 2013. Pengaruh Usia
Sabut Kelapa dan Variasi Metoda Ekstraksi Terhadap Hasil Pencelupan
Kapas dan Sutera. Bandung: Faculty of Textile Chemistry. Sekolah Tinggi
Teknologi Tekstil.

Troy, D., Beringer, P. 2006. Remington: The Science and Practice of Pharmacy.
USA: Lippicont William and Wilkins.

Tyas S.I.S. 2000. Studi Netralisasi Limbah Serbuk Sabut Kelapa (Cocopeat)
Sebagai Media Tanam. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Kehutanan.

Valkova, N., Lepine, F., Dupont, M., Labrie., Basaillon, J. 2001. Hydrolisis of 4-
HidoxybenzoicAcis Ester (parabens) and Their Aerobis Transformations
into Phenol by the Resistens Enterobacter cloacae. Strain: Applied and
Environmental Microbiology.

World Health Organization. 2005. Guidelines for Hand Hygiene in Helath Care.
USA: Global Patient Safety Challenge.

You might also like