You are on page 1of 15

JOURNAL READING

SINDROMA HELLP PADA PRE EKLAMPSIA

Oleh

Ivan Kristantya
NIM 122011101064

SMF/LAB. OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
JOURNAL READING
SINDROMA HELLP PADA KEHAMILAN

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF/Lab. Obstetri dan Ginekologi RSD dr. Soebandi Jember

Oleh

Ivan Kristantya
NIM 122011101064

SMF/LAB. OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
Dampak Eklampsia dengan atau tanpa sindrom HELLP terhadap ibu dan
masa perinatal di Rumah Sakit Pendidikan di Turkey Barat
O. Asıcıoglu1 , K. Güngördük2 , G. Yildirim3, H. Aslan3 & T. Günay4
Department of Obstetrics and Gynecology, 1Şişli Etfal Training and Research Hospital, 2 Mardin
Women and Children Hospital, Mardin, Turkey, 3 Kanuni Sultan S ü leyman Training and
Research Hospital, 4 Medeniyet Ü niversity, İ stanbul

Pada penelitian ini, kami membandingkan dampak yang ditimbulkan


eklampsia dengan sindrom HELLP dan eklampsia tanpa sindrom HELLP
terhadap ibu dan janin pada masa perinatal. Kami mengamati 219 ibu hamil yang
menderita eklampsia dengan atau tanpa sindrom HELLP antara bulan Januari
2002 hingga bulan Desember 2011 yang sudah mendapat terapi. Berdasar data
tersebut, angka insidensi eklampsia adalah sebesar 1.7/1000 kelahiran. Dari 219
ibu hamil yang menderita eklampsia, sebanyak 141 (64.4%) ibu hamil tersebut
tidak disertai dengan sindrom HELLP dan sebanyak 78 (36.5%) disertai dengan
sindrom HELLP. Kedua kelompok ini memiliki usia ibu hamil dan tingkat
nuliparitas yang mirip. Rata-rata rentang waktu antara kejang eklampsia dengan
kelahiran bayi pada ibu yang disertai dengan HELLP syndrome lebih panjang
(0.92+0.29 minggu melawan 0.16+0.12 minggu, p=0.028). Selain itu, secara
umum mortalitas selama masa perinatal (terutama setelah usia kehamilan 32
minggu) secara signifikan lebih pada ibu eklampsia yang disertai dengan sindrom
HELLP (20.5% melawan 9.9%, p=0.029). Kesimpulan pada penelitian ini adalah
pasien eklampsia yang disertai dengan sindrom HELLP memiliki angka mortalitas
pada masa perinatal yang lebih tinggi dibandingkan pada pasien eklampsia tanpa
disertai dengan sindrom HELLP dan pada ibu hamil yang tidak melakukan
pemeriksaan antenatal.
Kata kunci: Eklampsia, Sindrom HELLP, Mortalitas perinatal

Pendahuluan
Eklampsia masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang paling
sering pada ibu dan masa perinatal, terutama pada daerah miskin. Lebih dari
50.000 ibu hamil di seluruh dunia meninggal akibat eklampsia. Insidensi
eklampsia yang dilaporkan sangat bervariasi, mulai dari 0,2% hingga 0,5% dari
angka kelahiran yang terjadi (WHO International Collaborative Study of
Hypertensive Disorders of Prgenancy 1988). Eklampsia jarang terjadi pada ibu
hamil yang teratur melakukan pemeriksaan antenatal dan di negara industri.
Angka kejadian eklampsia pada daerah tersebut hanya sebesar 2.000 kelahiran
(Douglas dan Redman 1994). Eklampsia merupakan kejang general, yang tidak
disebabkan oleh epilepsi atau penyakit lain yang dapat menyebabkan timbulnya
kejang, muncul pada saat masa kehamilan, pada saat melahirkan atau dalam 7 hari
setelah melahirkan. Selama bertahun—tahun, peneliti telah mencoba untuk
memahami eklampsia, namun hingga saat ini mereka masih belum dapat
menemukan penyebab pasti dari eklampsia ini (Ramin 1999). Secara teori,
eklampsia merupakan sebuah evolusi linier dari preeklampsia. Meski begitu,
eklampsia dapat muncul tanpa disertai atau diawali dengan tanda-tanda
preeklampsia. Selain itu, sebanyak 38% kejang pada eklampsia tidak diawali
dengan suatu gejala atau tanda. Angka insidensi HELLP syndrome pada wanita
hamil yang menderita preeklampsia berat atau eklampsia berkisar antara 2%
hingga 30%. Rentang insidensi ini tergantung pada penelitian populasi dan
kriteria yang digunakan untuk diagnosis (cetin 2006; Sibai et al. 1986;
Osmanagaoglu et al 2006).
Eklampsia merupakan penyebab penyebab kematian terbanyak nomor
empat pada ibu hamil di seluruh dunia, menyebabkan 12% mortalitas pada ibu
(WHO Reduction of Maternal Mortality Statement 1990). Morbiditas dan
mortalitas pada masa perinatal juga tinggi, terutama pada pasien eklampsia yang
disertai dengan sindrom HELLP. Meski begitu, eklampsia dapat dicegah dengan
melaksanakan pemeriksaan antenatal secara teratur. (Konje et al. 1992; Ujah et al.
2003)

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang dilaksanakan pada
bulan Januari 2002 hingga Desember 2011 di Departemen Maternal Fetal
Medicine di Bakikoy Women and Children’s Teaching Hospital. Rumah sakit ini
merupakan rumah sakit rujukan tersier di Istanbul, Turkey dengan angka
kelahiran sebanyak 14.000 kelahiran per tahun. Ibu hamil yang menderita
eklampsia tanpa sindrom HELLP digolongkan ke dalam Kelompok A sedangkan
ibu hamil yang menderita eklampsia dengan sindrom HELLP digolongkan ke
dalam Kelompok B.
Eklampsia merupakan kejang tonik-klonik yang terjadi pada ibu hamil
dengan darah tinggi, dengan atau tanpa proteinuria. Pasien yang mengalami
kejang namun tidak disebabkan oleh eklampsia tidak dimasukkan ke dalam
penelitian ini. Proteinuria merupakan ekskresi protein >300 mg dalam urin
tampung 24 jam, atau berdasarkan dua tes dipstik didapatkan hasil >2+ (>100
mg/dL) (jarak antar satu pemeriksaan dengan pemeriksaan yang kedua minimal 4
jam) tanpa adanya tanda-tanda infeksi saluran kemih. Diagnosis sindrom HELLP
diperoleh apabila terdapat trombositopenia (platelet pada masa perinatal
<150.000/mcL), adanya disfungsi hepatik (aspartat aminotransferase, kadar AST
> 70 IU/L, alanin aminotransferase, kadar ALT > 600 IU/L) dan adanya tanda-
tanda hemolisis (peningkatan kadar LDH dan anemia yang progresif).
Berdasarkan klasifikasi Martin et al., sindrom HELLP dibagi menjadi tiga
tingkatan sesuai nilai hitung platelet. Sindrom HELLP kelas III apabila jumlah
platelet 100.000-150.000/mcL, kelas II apabila platelet 50.000-99.000/mcL dan
kelas I apabila platelet <50.000/mcL.
Semua pasien dalam penelitian ini telah mendapat magnesium sulfat,
termasuk pemberian dosis loading 4,5 gram secara intravena dalam waktu 10
menit. Setelah pemberian dosis loading, dosis rumatan diberikan secara intravena
sebanyak 1gram/hari. Dosis rumatan tidak diberikan apabila terdapat tanda-tanda
gangguan ginjal. Nifedipin dan alfametildopa digunakan untuk menurunkan
tekanan darah diastolik hingga mencapai 90-100 mmHg.
Usia kehamilan dihitung mulai dari periode menstruasi terakhir atau
dihitung menggunakan USG pada awal kehamilan. Ketika pasien tiba di Rumah
sakit, pasien dilakukan pemeriksaan hematokrit, hemoglobin, hitung platelet, dan
enzim hepar. Selain itu, sejak pasien tiba, dilakukan pemeriksaan urin tampung
selama 24 jam. Pemeriksaan hemogram dan biokimia darah pada pasien tersebut
dilakukan setiap hari atau setiap 2 hari. Koagulopati intravaskular diseminata
(DIC) ditandai dengan adanya tiga atau lebih kriteria seperti: platelet rendah
(<100.000/mcL), fibrinogen yang rendah (<300 mg/dL), D-dimer positif (>50
mg/dL), atau waktu protrombin yang memanjang (>14 detik) dan tromboplastin
parsial (>40 detik). Gagal ginjal akut didiagnosis apabila terdapat oligouria atau
anuria yang diikuti dengan kemampuan bersihan kreatinin <20ml/menit atau
peningkatan kreatinin serum >2 mg/dL. Definisi sindrom distress nafas akut
(ARDS) sesuai dengan definisi pada American European Consensus Conference
on ARDS (Bernard et al. 1994).
Pemantauan denyut jantung janin dilakukan minimal 2-3 kali per hari
menggunakan USG Doppler. Semua neonatus dievaluasi dan mendapat terapi ahli
neonatologi yang bersertifikat. Data yang dikumpulkan antara lain usia ibu,
paritas, usia kehamilan, tanda-tanda eklampsia, komplikasi, cara melahirkan,
morbiditas dan mortalitas maternal, skor APGAR pada menit ke-5, kematian janin
intrauterin, kematian janin dalam masa perinatal (Kematian janin + kematian pada
awal neonatus, <7 hari postnatal) dan mortalitas neonatus (0-28 hari postnatal);
sindrom distress nafas; enterokolitis nekrotizing stadium 2-3 (NEC); sepsis;
apakah masuk ke intensive care unit (ICU); durasi berada di ICU; dan total durasi
rawat inap di rumah sakit. Sindrom distres nafas ditandai dengan adanya
gambaran radiologi dan kebutuhan akan oksigen selama 24 jam. NEC ditandai
dengan adanya gambaran radiologi berupa pneumatosis cystoides intestinal pada
NEC stadium 2 dan pneumoperitoneum pada NEC stadium 3. Perdarahan
intraventrikular stadium 3 ditandai dengan adanya perdarahan dengan dilatasi
ventrikel dan stadium 4 apabila disertai dengan gangguan pada parenkim.
Kematian intrauterin dan kehilangan janin non-viabel intrapartum selama
terminasi kehamilan atas dasar indikasi ibu yang dipertimbangkan sebagai
kematian janin.
Analisis statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS untuk
Windows v. 17 (Chicago, IL). Formalitas dari distribusi variabel berkelanjutan
dinilai menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji chi-square digunakan untuk
variabel kategorial. Uji Student’s t-tes digunakan untuk menganalisis variabel
berkelanjutan yang memiliki distribusi normal dan uji Mann-Whitney U
digunakan untuk menganalisis variabel yang tidak terdistribusi normal. Risiko
relatif (RRs) dengan interval kepercayaan 95% dinilai. Nilai p<0.05 menandakan
bahwa data perbedaan kedua data signifikan secara statistik.

Hasil
Sebanyak 138.700 kelahiran terjadi di rumah sakit ini selama periode
penelitian, dan sebanyak 219 ibu hamil tersebut diserta dengan eklampsia
(1.6/1000). Dari 219 ibu hamil tersebut, 78 (35.6%) di antaranya disertai dengan
sindrom HELLP (Kelompok B) dan sebanyak 141 ibu hamil dengan eklampsia
tidak disertai dengan sindrom HELLP (Kelompok A). Dari 78 pasien yang
menderita sindrom HELLP, sebanyak 22 pasien termasuk ke dalam kelas III
(50,2%); 40 pasien termasuk kelas II (28,2%) dan 16 pasien termasuk kelas I
(20,5%). Sebanyak 156 pasien dengan eklampsia, mengalami kejang saat di
rumah. Data demografik ditampilkan dalam Tabel 1, dan parameter pada kedua
kelompok tampak mirip (usia ibu, kehamilan, paritas, tingkat nuliparitas dan usia
kehamilan pada saat mengalami kejang eklampsia). Hanya interval waktu antara
eklampsia dengan kelahiran yang berbeda antara kedua kelompok, di mana pada
kelompok lebih tinggi dibanding kelompok B. Semua ibu hamil dalam penelitian
ini memiliki kehamilan tunggal dan sebanyak 74,8% ibu hamil tersebut tidak
pernah melakukan pemeriksaan antenatal.
Tabel II menunjukkan gambaran klinis dan temuan laboratorium pada ibu
hamil dalam kelompok penelitian. Gambaran klinis [tingkat abruptio plasenta
(mungkin solusi plasenta), kelahiran secara Sectio Caesarea, tekanan darah tinggi
(> 160/110 mmHg) dan proteinuria (>2+ dipstik)] mirip antara kedua kelompok,
namun hasil laboratorium antara kedua kelompok (hitung platelet, AST, ALT dan
LDH) antara kedua kelompok berbeda. Mayoritas (80%) kejang eklampsia terjadi
pada masa antepartum di kedua kelompok. Sedangkan hanya sebanyak 5% kejang
eklampsia yang terjadi pada masa postpartum. Ibu hamil yang mengalami
eklampsia pada periode antepartum akan lebih sering mengalami proteinuria berat
dan tekanan darah yang lebih tinggi (Tabel III). Tabel IV menunjukkan distribusi
usia kehamilan pada kelompok penelitian. Eklampsia biasanya didiagnosis pada
usia kehamilan >32 minggu di kedua kelompok.
Morbiditas maternal (seperti yang tercantum dalam Tabel IV),
menunjukkan bahwa komplikasi maternal seperti buta sementara (7.1% melawan
6.4%, p=0.848; OR 1.1, 95% CI, 0.3 – 3.1); gangguan ginjal akut (9.9% melawan
9.0%, p=0.818; OR 1.1; 95% CI, 0.4 – 2.6); ARDS (1.4% melawan 1.3%,
p=0.934; OR 1.1; 95% CI 0.1 – 12.0); perdarahan intrakranial (4.3% melawan
3.8%, p=0.884; OR 1.1; 95 CI%, 0.2 – 4.3); kejang berulang meski telah
mendapat terapi magnesium sulfat (24.1% melawan 20.5%, p=0.543; OR 1.1;
95% CI, 0.6 – 1.9); riwayat kejang akibat eklampsia (5% melawan 5.1%, p=0.958;
OR 0.9; 95% CI, 0.2 –3.2); edema pulmonal (12.8% melawan 10.3%, p=0.582%;
OR 1.2; 95% CI, 0.5-2.7); kematian ibu (1.4% melawan 2.6%, p=0.544; OR 0.5;
95% CI, 0.07 – 3.85) dan perawatan di ICU (19.9% melawan 20.5%, p=0.908; OR
0.9; 95% CI 0.5 – 1.6) memiliki nilai yang mirip antara kedua kelompok. Namun,
beberapa komplikasi yang terjadi pada ibu hamil seperti DIC dan jumlah kejang
berbeda signifikan secara statistik antara kedua kelompok. DIC lebih sering
terjadi pada pasien yang mengalami sindrom HELLP daripada pasien yang tidak
mengalami sindrom HELLP (5.7% melawan 15.4%, p=0.017; OR 0.3; 95% CI,
0.1-0.8). Meski begitu, kejang lebih banyak terjadi pada pasien yang tidak
mengalami sindrom HELLP dibanding pada pasien yang mengalami sindrom
HELLP (1.6 + 1.02 melawan 1.2 + 0.7, p=0.011) (Tabel V). Sebanyak 157 pasien
(71.6%) mengalami kejang pertama kali saat di rumah. Kejang dapat diredakan
dengan menggunakan magnesium sulfat tambahan sebanyak 2 gram yang
diberikan secara intravena. Semua pasien yang mengalami kebutaan sementara
dapat kembali melihat sebelum 6 minggu postpartum. Dua Kematian pada ibu
hamil disebabkan oleh adanya perdarahan intrakranial, sedangkan Kematian
lainnya disebabkan oleh ARDS dan DIC.
Dampak sindrom HELLP terhadap neonatus ditampilkan dalam Tabel VI.
Kedua kelompok memiliki angka mortalitas neonatus yang mirip. Meski begitu,
secara statistik mortalitas perinatal pada kelompok B lebih tinggi dibanding pada
kelompok A (9.9% melawan 20.5%, p=0.029; OR 0.4; 95% CI, 0.2 – 0.9).
Kematian pada masa perinatal terutama terjadi pada usia kehamilan >32 minggu
(2.1% melawan 10.2%, p=0.030; OR 0.2, 95% CI, 0.04 – 1.33). Sedangkan
temuan klinis lainnya pada kedua kelompok mirip (Tabel VI).

Tabel I. Data demografik ibu


Eklampsia tanpa Eklampsia
sindrom HELLP dengan HELLP
(n-141) (Kelompok B)
(Kelompok A) Nilai
Parameter n (%) n (%) p OR (95% CI)
Usia ibu (tahun) (rata- 28.5 + 5.4 28.7 + 5.4 0.291 -
rata+SD)
Gravida (rata-rata+SD) 2.38 + 1.1 2.31 + 1.0 0.669 -
Paritas (rata-rata+SD) 0.9 + 0.7 0.8 + 0.9 0.816 -
Usia kehamilan saat kejang 33.2 + 4.0 34.0 + 3.6 0.154 -
(Minggu) (rata-rata+SD)
Rentang waktu antara 0.92 + 0.29 0.16 + 0.12 0.028 -
kejang dan kelahiran
(minggu) (rata-rata+SD)
Nuliparitas 74 52 40 51 0.865 1.02 (0.7 – 1.3)
Tidak melakukan 105 74.4 59 75.6 0.848 0.98 (0.84 –
pemeriksaan antenatal 1.15)

Tabel II. Gambaran klinis dan hasil laboratorium


Eklampsia tanpa Eklampsia tanpa
HELLP (n=141) HELLP
(Kelompok A) (Kelompok B)
Temuan n (%) n (%) nilai p OR (95% CI)
Solusio plasenta 15 10.6 13 16.7 0.201 0.6 (0.3-1.2)
SC 110 78 64 82 0.479 0.9 (0.8-1.0)
Platelet 164+48 63+33 <0.001* -
AST (7-34) IU/l 33+18 251+109 <0.001* -
ALT (4-35) IU/l 30+16 276+90 <0.001* -
LDH (90-235) IU/l 401+166 1316+641 <0.001* -
Tekanan darah > 114 81 67 86 <0.345 0.9 (0.8-1.0)
160/110mmHg
Proteinuria >2+ dengan 117 83 71 91 0.102 0.9 (0.8-1.0)
Dipstik
*signifikan secara statistik. AST, aspartate aminotransferase; ALT, alanine
aminotransferase; LDH, lactate dehydrogenase

Pembahasan
Eklampsia masih menyebabkan banyak morbiditas dan mortalitas di
negara berkembang (Chuni dan Khana 2004; Melah et al 2006). Laporan
mengenai angka insidensi eklampsia tersebut sangat bervariasi, yaitu antara 13-42
kejadian dalam 1000 kehamilan (Onuh dan Aisien 2004; Ekele et al. 2007). Taner
dan rekan-rekan pada tahun 1996 melaporkan adanya 444 ibu hamil yang
mengalami eklampsia dari 5.757 ibu hamil di Turkey tenggara (1 dari 12.96
kehamilan atau 7.71%). Berdasarkan pada penelitian tersebut, angka kejadian
eklampsia yang tinggi pada tahun 1987-1994 disebabkan oleh karena masih
banyak ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur,
melahirkan di rumah dengan bantuan dukun beranak atau masih banyak ibu hamil
yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Selain itu, rendahnya status
ekonomi masyarakat pada tahun tersebut menyebabkan mereka enggan untuk
menggunakan obat antihipertensi dan antikejang atau bahkan mengunjungi pusat
kesehatan terdekat. Pada beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan angka
kunjungan pemeriksaan antenatal di Turkey. Pada tahun 2002, Serin dan rekan-
rekan melaporkan bahwa insidensi eklampsia pada tahun tersebut sebesar 0,9%.
Sedangkan insidensi eklampsia pada penelitian ini adalah sebesar 1.6 dalam 1000
kehamilan (0,16%), di mana angka kejadian ini 0,036% lebih tinggi dibanding
angka kejadian eklampsia di Inggris dan Wales (Usta dan Sibai 1995; Moodley
1990). Adanya variasi angka kejadian ini dapat disebabkan oleh berbagai hal,
contohnya adalah ketersediaan pemeriksaan antenatal pada daerah tersebut. Selain
itu, kesadaran ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan antenatal dan status sosial
ekonomi masyarakat pada daerah tersebut juga mempengaruhi besarnya angka
insidensi eklampsia. Status sosial ekonomi yang rendah juga berhubungan dengan
tingginya angka preeklampsia dan eklampsia (Douglas dan Redman 1994). Selain
status sosial ekonomi yang rendah, di Turkey juga masih banyak pernikahan dini,
adanya faktor genetik dan berganti-ganti pasangan menikah. Maka dari itu, dapat
disimpulkan dari penelitian ini bahwa eklampsia paling banyak terjadi pada ibu
hamil dengan pendidikan yang rendah (70%) atau memiliki status sosial ekonomi
yang rendah (98%), di mana hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Nafaty et al.
(2004).

Tabel III. Tanda kardinal berdasarkan waktu eklampsia


Parameter Antepartum Intrapartum Postpartum Total (n=219)
(n=175) (n=11) (n=33)
n (%) n (%) n (%) n (%)
Tekanan darah
diastolik
< 110 mmHg 24 13.7 4 36.3 10 30.3 38 17.3
> 110 mmHg 151 86.3 7 63.7 23 69.7 181 82.7
Proteinuria
< 2+ dipstik 18 10.2 3 27.2 10 30.3 31 14.1
> 2+ dipstik 156 89.8 8 72.8 23 69.7 187 85.9

Komplikasi yang terjadi pada ibu hamil dan janin pada masa perinatal
paling banyak ditemukan pada ibu hamil yang mengalami sindrom HELLP.
Diagnosis sindrom HELLP hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena
memiliki kriteria diagnosis masih sedikit (Sibai et al. 1993), meskipun telah
disepakati bahwa sindrom HELLP ini dapat menyebabkan gangguan pada ibu dan
janin pada masa perinatal. Selain itu, sindrom HELLP sering kali diikuti dengan
pre-eklampsia berat dan/atau eklampsia yang dapat mempengaruhi kondisi ibu
hamil serta janin pada masa perinatal (Sibai et al. 1986). Maka dari itu, pasien-
pasien tersebut harus diobservasi dan sebaiknya mendapat terapi di ICU (Sibai
1990). Pasien-pasien yang masuk dalam penelitian kami memiliki kriteria sindrom
HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim hepar, dan kadar platelet
rendah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Sibai et al. 1986; Martin et al.
1993; Sibai et al. 1993). Pada penelitian kami, sebanyak 35,6% pasien mengalami
eklampsia yang disertai dengan sindrom HELLP.
Beberapa temuan yang signifikan dalam penelitian kami antara lain: (1)
interval waktu antara kejang eklampsia hingga proses melahirkan lebih pendek
pada pasien eklampsia yang disertai dengan sindrom HELLP dibandingkan
dengan pasien eklampsia yang tidak disertai dengan sindrom HELLP. Hal ini
terjadi karena apabila pasien-pasien tersebut memiliki hasil laboratorium yang
memburuk, maka kami memutuskan untuk mempercepat proses kelahiran; (2)
abruptio plasenta, melahirkan dengan cara SC, tekanan darah tinggi dan
proteinuria terjadi lebih tinggi pada ibu hamil yang menderita sindrom HELLP
dibanding pada ibu hamil yang tidak menderita sindrom HELLP, namun
perbedaan antara kedua kelompok ini tidak signifikan; (3) kejang lebih sering
terjadi pada ibu hamil yang menderita eklampsia namun tidak disertai dengan
sindrom HELLP. Hal ini terjadi karena interval waktu dari kejang pertama hingga
proses melahirkan lebih panjang pada ibu hamil tanpa sindrom HELLP (kejang
eklampsia sering kali terjadi pada masa antepartum); (4) mortalitas pada masa
perinatal (terutama usia kehamilan >32 minggu) lebih tinggi pada ibu hamil
dengan sindrom HELLP.

Tabel IV. Distribusi usia kehamilan pada ibu hamil dengan eklampsia (n)
Kelompok > 32 minggu <32 minggu Total
Tanpa HELLP 97 44 141
Dengan HELLP
Kelas I 11 5 16
Kelas II 24 16 40
Kelas III 14 8 22

Sebelumnya telah diketahui bahwa ibu hamil dengan sindrom HELLP


memiliki angka mortalitas dan morbiditas janin pada masa perinatal dan neonatus
lebih tinggi (Sibai et al. 1986; Osmanagaoglu et al. 2006; Martin et al. 1993; Sibai
et al. 1993). Kami menemukan bahwa angka mortalitas neonatus pada kedua
kelompok sama namun angka mortalitas janin pada masa perinatal lebih tinggi
pada ibu hamil dengan sindrom HELLP dibanding pada ibu hamil tanpa sindrom
HELLP. Ketika dianalisis berdasarkan usia kehamilan kurang dan setelah dari 32
minggu, kami menemukan bahwa perbedaan tersebut tidak muncul pada usia
kehamilan kurang dari 32 minggu, di mana perbedaan angka mortalitas tersebut
baru muncul apabila usia kehamilan >32 minggu. Hal ini dapat terjadi karena
adanya abruptio plasenta (mungkin solusi plasenta) atau Kematian janin
intrauterin pada ibu hamil yang tidak menjalani pemeriksaan antenatal.
Kejang eklampsia dapat terjadi pada saat antepartum, intrapartum atau
postpartum. Lee dkk (2004) melakukan analisis data multisenter selama 19 tahun
pada 31 pasien dengan eklampsia. Berdasarkan penelitiannya, ia menyatakan
bahwa mayoritas ibu hamil (61%) mengalami kejang pertama kali sebelum
muncul tanda-tanda proses persalinan. Meski begitu, beberapa penulis lain
menyatakan bahwa mayoritas ibu hamil dengan eklampsia mengalami kejang
pada periode intrapartum dan postpartum (WHO Reduction of Maternal Mortality
Statement 1990; Usta dan Sibai 1995). Pada penelitian ini, 80 kejang eklampsia
terjadi pada periode antepartum, 5% pada periode intrapartum dan 15% pada
periode postpartum. Sebelumnya telah diketahui bahwa plasenta merupakan
patogenesis utama dari pre-eklampsia. Oleh karena itu, gejala penyakit ini mulai
berkurang sejak plasenta lahir. Sehingga kejang pada eklampsia lebih sering
terjadi pada periode antepartum.
Tabel V. Komplikasi maternal
Eklampsia
Eklampsia tanpa dengan HELLP
HELLP (n=141) (n=78)
(Kelompok A) (Kelompok B) Nilai p OR (95% CI)
Komplikasi n (%) n (%)
Kebutaan sementara 10 7.1 5 6.4 0.848 1.1 (0.3-3.1)
Gangguan ginjal akut 14 9.9 7 9.0 0.818 1.1 (0.4-2.6)
Koagulopati intravaskular 8 5.7 12 15.4 0.017* 0.3(0.1-0.8)
diseminata
ARDS 2 1.4 1 1.3 0.934 1.1(0.1-12.0)
Perdarahan intrakranial 6 4.3 3 3.8 0.884 1.1(0.2-4.3)
Eklampsia setelah 34 24.1 16 20.5 0.543 1.1(0.6-1.9)
mendapat MgSO4
Jumlah kejang (rata- 1.6 + 1.02 1.2 + 0.7 0.011* -
rata+SD)
Edema pulmo 18 12.8 8 10.3 0.582 1.2 (0.5-2.7)
Kematian ibu 2 1.4 2 2.6 0.544 0.5(0.07-3.85)
Perawatan di ICU 28 19.9 16 20.5 0.908 0.9(0.5-1.6)
*signifikan secara statistik. ARDS, acute respiratory distress syndrome; ICU,
intensive care unit

Tabel VI. Dampak pada janin perinatal dan neonatus


Temuan Eklampsia tanpa Eklampsia dengan nilai p OR (95% CI)
HELLP (n=141) HELLP (n=78)
(Kelompok A) (Kelompok B)
n (%) n (%)
Berat lahir (g) (rata- 1846+848 2024+742 0.212 -
rata+SD)
Perawatan di NICU 30 21.3 18 23.1 0.758 0.9 (0.5-1.5)
Durasi perawatan di 14.2+12.4 12.4+12.1 0.562 -
NICU (hari) (rata-
rata+SD)
Sindrom distress nafas 12 8.5 7 9.0 0.907 0.9 (0.3-2.3)
Perdarahan 7 5.0 5 6.4 0.653 0.7 (0.2-2.3)
intraventrikular stadium
3-4
Hambatan pertumbuhan 85 60.3 40 51.3 0.197 1.1 (0.9-1.5)
janin intrauterin
Aliran darah diastolik 19 13.5 10 12.8 0.891 1.0 (0.5-2.1)
akhir menghilang
Skor APGAR menit ke- 15 10.6 10 12.8 0.627 0.8 (0.3-1.7)
5 <7
NEC stadium 2-3 3 2.1 2 2.6 0.836 0.8 (1.0-4.8)

Mortalitas perinatal

>32 minggu 2 2.1 5 10.2 0.030* 0.2 (0.04-1.33)

<32 minggu 12 27.3 11 37.9 0.377 0.7 (0.3-1.4)

Keseluruhan 14 9.9 16 20.5 0.029* 0.4 (0.2-0.9)

Mortalitas neonatus

>32 minggu 1 1.0 1 2.0 0.620 0.5 (0.03-7.90)

<32 minggu 9 20.5 7 24.0 0.710 0.8 (0.3-.20)


Keseluruhan 10 7.1 8 10.3 0.414 0.6(0.2-1.6)

*signifikan secara statistik. NICU, neonatal intensive care unit; NEC, necrotising
enterocolitis

Pada penelitian ini, sebanyak 71,2% pasien eklampsia mengalami kejang


pertama kali saat di rumah (156 pasien). Hal ini menunjukkan bahwa meski
masyarakat di negara maju memilik akses yang mudah untuk menuju ke pusat
pelayanan kesehatan, namun rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan
pemeriksaan antenatal masih menjadi permasalahan yang utama. Rendahnya
kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan antenatal menyebabkan
tingginya angka kejadian kejang pada ibu hamil dengan eklampsia dan semakin
memperburuk prognosisnya.
Kesuksesan sebuah metode untuk terapi eklampsia ditandai dengan adanya
penurunan angka mortalitas ibu dan janin pada masa perinatal. Namun karena
penyebab utama dari eklampsia masih belum diketahui, maka terapi yang
diberikan hanya bersifat empiris. Hingga saat ini terapi eklampsia yang dapat
diberikan adalah untuk mengontrol kejang dengan cepat, dan menurunkan tekanan
darah apabila ibu hamil tersebut memilik hipertensi berat. Selain itu, persalinan
harus dilakukan secepat mungkin kemudian disusul dengan terapi untuk
mencegah kejang pada periode postpartum. Hingga saat ini magnesium sulfat
merupakan terapi utama untuk mencegah kejang dan eklampsia. Meski begitu,
masih tetap ada pasien (8%) yang mengalami kejang walaupun telah mendapat
terapi magnesium sulfat (Katz dan Farmer 2000). Pada penelitian ini, sebanyak
22,8% pasien mengalami kejang meski telah mendapat terapi magnesium sulfat.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian lain. Tingginya angka
kejadian kejang pada penelitian ini (22,8%) disebabkan oleh sedikitnya persediaan
magnesium sulfat di rumah sakit dalam jangka panjang dan juga dapat disebabkan
oleh karena ibu hamil tersebut sebelum masuk rumah sakti telah mengalami
kejang lebih dari satu kali. Selain itu, kami percaya bahwa penggunaan nifedipin
dan alfametildopa sebagai terapi antihipertensi tidak dapat menurunkan tekanan
darah. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitian oleh Ivanov dan Mikhofa (2006)
yang membandingkan efektivitas berbagai terapi antihipertensi yang diberikan
secara oral baik berupa terapi tunggal maupun terapi kombinasi (Metildopa,
Nifedipin, beta-blocker dan kombinasi dari obat-obatan ini). Penelitian tersebut
menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok-
kelompok dalam penelitian tersebut.
Ibu hamil dengan eklampsia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami berbagai komplikasi. Terutama solusi plasenta yang merupakan
komplikasi utama pada ibu hamil dengan eklampsia dan sindrom HELLP.
Komplikasi lain yang dapat muncul pada ibu hamil dengan eklampsia adalah
gangguan ginjal akut, komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskular, serta
kematian pada ibu atau janin (Rugarn et al. 2004; Katz and Farmer 2000).
Beberapa penulis telah melaporkan bahwa eklampsia pada periode antepartum
sering disertai dengan proteinuria berat dan tekanan darah yang lebih tinggi
(Andersgaard 2006; Mattar and Sibai 2000). Hal ini sesuai dengan hasil pada
penelitian ini. Selain itu, kami menemukan bahwa sindrom HELLP tidak
memperparah solusi, SC, hipertensi dan proteinuria pada ibu hamil dengan
eklampsia. Kami hanya menemukan ini pada ibu hamil dengan eklampsia, yang
mana eklampsia inilah yang menjadi faktor utama.
Persentase mortalitas maternal di Morocco sebesar 6,7% dan di Nigeria
sebesar 11,6% (Andersgaard 2006; Miguil and Chekairi 2008). Pada penelitian
ini, sebanyak 1.8% mortalitas maternal diakibatkan oleh eklampsia. Angka
kejadian ini masih tetap tinggi pada negara yang telah maju (Taner et al. 1996;
Rugarn et al. 2004; Katz and Farmer 2000). Kami menemukan bahwa sindrom
HELLP tidak meningkatkan angka mortalitas maternal. Pada negara berkembang
seperti Turkey, eklampsia masih merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas pada ibu dan janin, meski pasien telah dirawat di ICU dan oleh dokter
spesialis kandungan.
Eklampsia merupakan penyebab utama kematian pada janin pada masa
perinatal di negara berkembang. Onuh dan Aisien (2004) melaporkan bahwa
angka mortalitas janin pada masa perinatal sebesar 214 kasus per 1000 kelahiran
di Nigeria. Pada penelitian ini, insidensi mortalitas pada masa perinatal sebesar 75
kasus per 1000 kelahiran dan 50 kasus per 1000 kelahiran di negara maju (Lee et
al. 2004; Miguil and Chekairi 2008). Onuh dan Aisien (2004) melaporkan bahwa
penyebab utama kematian bayi pada masa perinatal adalah kondisinya yang
prematur. Sedangkan pada penelitian ini, kami menemukan bahwa angka
mortalitas berhubungan dengan sindrom HELLP (terutama pada usia kehamilan
32 minggu) dan rendahnya kesadaran untuk melakukan pemeriksaan antenatal.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sindrom HELLP
dapat menyebabkan peningkatan angka mortalitas janin/bayi pada masa perinatal
dibanding pada ibu hamil dengan eklampsia tanpa sindrom HELLP yang tidak
melakukan pemeriksaan antenatal. Meski begitu, sindrom HELLP tidak
memperburuk kondisi ibu dan janin/bayi di masa perinatal pada ibu hamil dengan
eklampsia. Selain itu, memperbaiki akses masyarakat untuk menuju ke pusat
kesehatan, mengidentifikasi kehamilan dengan faktor risiko tinggi dan
meningkatkan jumlah serta kualitas ICU neonatus akan membantu menurunkan
angka morbiditas maternal dan mortalitas serta morbiditas pada janin.

Pernyataan kepentingan: penulis menyatakan bahwa penelitian ini tidak


dipengaruhi oleh faktor kepentingan pribadi. Penulis juga bertanggung jawab atas
isi dari jurnal ini.

You might also like