Professional Documents
Culture Documents
Jurnal
Jurnal
Oleh
Ivan Kristantya
NIM 122011101064
Oleh
Ivan Kristantya
NIM 122011101064
Pendahuluan
Eklampsia masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang paling
sering pada ibu dan masa perinatal, terutama pada daerah miskin. Lebih dari
50.000 ibu hamil di seluruh dunia meninggal akibat eklampsia. Insidensi
eklampsia yang dilaporkan sangat bervariasi, mulai dari 0,2% hingga 0,5% dari
angka kelahiran yang terjadi (WHO International Collaborative Study of
Hypertensive Disorders of Prgenancy 1988). Eklampsia jarang terjadi pada ibu
hamil yang teratur melakukan pemeriksaan antenatal dan di negara industri.
Angka kejadian eklampsia pada daerah tersebut hanya sebesar 2.000 kelahiran
(Douglas dan Redman 1994). Eklampsia merupakan kejang general, yang tidak
disebabkan oleh epilepsi atau penyakit lain yang dapat menyebabkan timbulnya
kejang, muncul pada saat masa kehamilan, pada saat melahirkan atau dalam 7 hari
setelah melahirkan. Selama bertahun—tahun, peneliti telah mencoba untuk
memahami eklampsia, namun hingga saat ini mereka masih belum dapat
menemukan penyebab pasti dari eklampsia ini (Ramin 1999). Secara teori,
eklampsia merupakan sebuah evolusi linier dari preeklampsia. Meski begitu,
eklampsia dapat muncul tanpa disertai atau diawali dengan tanda-tanda
preeklampsia. Selain itu, sebanyak 38% kejang pada eklampsia tidak diawali
dengan suatu gejala atau tanda. Angka insidensi HELLP syndrome pada wanita
hamil yang menderita preeklampsia berat atau eklampsia berkisar antara 2%
hingga 30%. Rentang insidensi ini tergantung pada penelitian populasi dan
kriteria yang digunakan untuk diagnosis (cetin 2006; Sibai et al. 1986;
Osmanagaoglu et al 2006).
Eklampsia merupakan penyebab penyebab kematian terbanyak nomor
empat pada ibu hamil di seluruh dunia, menyebabkan 12% mortalitas pada ibu
(WHO Reduction of Maternal Mortality Statement 1990). Morbiditas dan
mortalitas pada masa perinatal juga tinggi, terutama pada pasien eklampsia yang
disertai dengan sindrom HELLP. Meski begitu, eklampsia dapat dicegah dengan
melaksanakan pemeriksaan antenatal secara teratur. (Konje et al. 1992; Ujah et al.
2003)
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang dilaksanakan pada
bulan Januari 2002 hingga Desember 2011 di Departemen Maternal Fetal
Medicine di Bakikoy Women and Children’s Teaching Hospital. Rumah sakit ini
merupakan rumah sakit rujukan tersier di Istanbul, Turkey dengan angka
kelahiran sebanyak 14.000 kelahiran per tahun. Ibu hamil yang menderita
eklampsia tanpa sindrom HELLP digolongkan ke dalam Kelompok A sedangkan
ibu hamil yang menderita eklampsia dengan sindrom HELLP digolongkan ke
dalam Kelompok B.
Eklampsia merupakan kejang tonik-klonik yang terjadi pada ibu hamil
dengan darah tinggi, dengan atau tanpa proteinuria. Pasien yang mengalami
kejang namun tidak disebabkan oleh eklampsia tidak dimasukkan ke dalam
penelitian ini. Proteinuria merupakan ekskresi protein >300 mg dalam urin
tampung 24 jam, atau berdasarkan dua tes dipstik didapatkan hasil >2+ (>100
mg/dL) (jarak antar satu pemeriksaan dengan pemeriksaan yang kedua minimal 4
jam) tanpa adanya tanda-tanda infeksi saluran kemih. Diagnosis sindrom HELLP
diperoleh apabila terdapat trombositopenia (platelet pada masa perinatal
<150.000/mcL), adanya disfungsi hepatik (aspartat aminotransferase, kadar AST
> 70 IU/L, alanin aminotransferase, kadar ALT > 600 IU/L) dan adanya tanda-
tanda hemolisis (peningkatan kadar LDH dan anemia yang progresif).
Berdasarkan klasifikasi Martin et al., sindrom HELLP dibagi menjadi tiga
tingkatan sesuai nilai hitung platelet. Sindrom HELLP kelas III apabila jumlah
platelet 100.000-150.000/mcL, kelas II apabila platelet 50.000-99.000/mcL dan
kelas I apabila platelet <50.000/mcL.
Semua pasien dalam penelitian ini telah mendapat magnesium sulfat,
termasuk pemberian dosis loading 4,5 gram secara intravena dalam waktu 10
menit. Setelah pemberian dosis loading, dosis rumatan diberikan secara intravena
sebanyak 1gram/hari. Dosis rumatan tidak diberikan apabila terdapat tanda-tanda
gangguan ginjal. Nifedipin dan alfametildopa digunakan untuk menurunkan
tekanan darah diastolik hingga mencapai 90-100 mmHg.
Usia kehamilan dihitung mulai dari periode menstruasi terakhir atau
dihitung menggunakan USG pada awal kehamilan. Ketika pasien tiba di Rumah
sakit, pasien dilakukan pemeriksaan hematokrit, hemoglobin, hitung platelet, dan
enzim hepar. Selain itu, sejak pasien tiba, dilakukan pemeriksaan urin tampung
selama 24 jam. Pemeriksaan hemogram dan biokimia darah pada pasien tersebut
dilakukan setiap hari atau setiap 2 hari. Koagulopati intravaskular diseminata
(DIC) ditandai dengan adanya tiga atau lebih kriteria seperti: platelet rendah
(<100.000/mcL), fibrinogen yang rendah (<300 mg/dL), D-dimer positif (>50
mg/dL), atau waktu protrombin yang memanjang (>14 detik) dan tromboplastin
parsial (>40 detik). Gagal ginjal akut didiagnosis apabila terdapat oligouria atau
anuria yang diikuti dengan kemampuan bersihan kreatinin <20ml/menit atau
peningkatan kreatinin serum >2 mg/dL. Definisi sindrom distress nafas akut
(ARDS) sesuai dengan definisi pada American European Consensus Conference
on ARDS (Bernard et al. 1994).
Pemantauan denyut jantung janin dilakukan minimal 2-3 kali per hari
menggunakan USG Doppler. Semua neonatus dievaluasi dan mendapat terapi ahli
neonatologi yang bersertifikat. Data yang dikumpulkan antara lain usia ibu,
paritas, usia kehamilan, tanda-tanda eklampsia, komplikasi, cara melahirkan,
morbiditas dan mortalitas maternal, skor APGAR pada menit ke-5, kematian janin
intrauterin, kematian janin dalam masa perinatal (Kematian janin + kematian pada
awal neonatus, <7 hari postnatal) dan mortalitas neonatus (0-28 hari postnatal);
sindrom distress nafas; enterokolitis nekrotizing stadium 2-3 (NEC); sepsis;
apakah masuk ke intensive care unit (ICU); durasi berada di ICU; dan total durasi
rawat inap di rumah sakit. Sindrom distres nafas ditandai dengan adanya
gambaran radiologi dan kebutuhan akan oksigen selama 24 jam. NEC ditandai
dengan adanya gambaran radiologi berupa pneumatosis cystoides intestinal pada
NEC stadium 2 dan pneumoperitoneum pada NEC stadium 3. Perdarahan
intraventrikular stadium 3 ditandai dengan adanya perdarahan dengan dilatasi
ventrikel dan stadium 4 apabila disertai dengan gangguan pada parenkim.
Kematian intrauterin dan kehilangan janin non-viabel intrapartum selama
terminasi kehamilan atas dasar indikasi ibu yang dipertimbangkan sebagai
kematian janin.
Analisis statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS untuk
Windows v. 17 (Chicago, IL). Formalitas dari distribusi variabel berkelanjutan
dinilai menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji chi-square digunakan untuk
variabel kategorial. Uji Student’s t-tes digunakan untuk menganalisis variabel
berkelanjutan yang memiliki distribusi normal dan uji Mann-Whitney U
digunakan untuk menganalisis variabel yang tidak terdistribusi normal. Risiko
relatif (RRs) dengan interval kepercayaan 95% dinilai. Nilai p<0.05 menandakan
bahwa data perbedaan kedua data signifikan secara statistik.
Hasil
Sebanyak 138.700 kelahiran terjadi di rumah sakit ini selama periode
penelitian, dan sebanyak 219 ibu hamil tersebut diserta dengan eklampsia
(1.6/1000). Dari 219 ibu hamil tersebut, 78 (35.6%) di antaranya disertai dengan
sindrom HELLP (Kelompok B) dan sebanyak 141 ibu hamil dengan eklampsia
tidak disertai dengan sindrom HELLP (Kelompok A). Dari 78 pasien yang
menderita sindrom HELLP, sebanyak 22 pasien termasuk ke dalam kelas III
(50,2%); 40 pasien termasuk kelas II (28,2%) dan 16 pasien termasuk kelas I
(20,5%). Sebanyak 156 pasien dengan eklampsia, mengalami kejang saat di
rumah. Data demografik ditampilkan dalam Tabel 1, dan parameter pada kedua
kelompok tampak mirip (usia ibu, kehamilan, paritas, tingkat nuliparitas dan usia
kehamilan pada saat mengalami kejang eklampsia). Hanya interval waktu antara
eklampsia dengan kelahiran yang berbeda antara kedua kelompok, di mana pada
kelompok lebih tinggi dibanding kelompok B. Semua ibu hamil dalam penelitian
ini memiliki kehamilan tunggal dan sebanyak 74,8% ibu hamil tersebut tidak
pernah melakukan pemeriksaan antenatal.
Tabel II menunjukkan gambaran klinis dan temuan laboratorium pada ibu
hamil dalam kelompok penelitian. Gambaran klinis [tingkat abruptio plasenta
(mungkin solusi plasenta), kelahiran secara Sectio Caesarea, tekanan darah tinggi
(> 160/110 mmHg) dan proteinuria (>2+ dipstik)] mirip antara kedua kelompok,
namun hasil laboratorium antara kedua kelompok (hitung platelet, AST, ALT dan
LDH) antara kedua kelompok berbeda. Mayoritas (80%) kejang eklampsia terjadi
pada masa antepartum di kedua kelompok. Sedangkan hanya sebanyak 5% kejang
eklampsia yang terjadi pada masa postpartum. Ibu hamil yang mengalami
eklampsia pada periode antepartum akan lebih sering mengalami proteinuria berat
dan tekanan darah yang lebih tinggi (Tabel III). Tabel IV menunjukkan distribusi
usia kehamilan pada kelompok penelitian. Eklampsia biasanya didiagnosis pada
usia kehamilan >32 minggu di kedua kelompok.
Morbiditas maternal (seperti yang tercantum dalam Tabel IV),
menunjukkan bahwa komplikasi maternal seperti buta sementara (7.1% melawan
6.4%, p=0.848; OR 1.1, 95% CI, 0.3 – 3.1); gangguan ginjal akut (9.9% melawan
9.0%, p=0.818; OR 1.1; 95% CI, 0.4 – 2.6); ARDS (1.4% melawan 1.3%,
p=0.934; OR 1.1; 95% CI 0.1 – 12.0); perdarahan intrakranial (4.3% melawan
3.8%, p=0.884; OR 1.1; 95 CI%, 0.2 – 4.3); kejang berulang meski telah
mendapat terapi magnesium sulfat (24.1% melawan 20.5%, p=0.543; OR 1.1;
95% CI, 0.6 – 1.9); riwayat kejang akibat eklampsia (5% melawan 5.1%, p=0.958;
OR 0.9; 95% CI, 0.2 –3.2); edema pulmonal (12.8% melawan 10.3%, p=0.582%;
OR 1.2; 95% CI, 0.5-2.7); kematian ibu (1.4% melawan 2.6%, p=0.544; OR 0.5;
95% CI, 0.07 – 3.85) dan perawatan di ICU (19.9% melawan 20.5%, p=0.908; OR
0.9; 95% CI 0.5 – 1.6) memiliki nilai yang mirip antara kedua kelompok. Namun,
beberapa komplikasi yang terjadi pada ibu hamil seperti DIC dan jumlah kejang
berbeda signifikan secara statistik antara kedua kelompok. DIC lebih sering
terjadi pada pasien yang mengalami sindrom HELLP daripada pasien yang tidak
mengalami sindrom HELLP (5.7% melawan 15.4%, p=0.017; OR 0.3; 95% CI,
0.1-0.8). Meski begitu, kejang lebih banyak terjadi pada pasien yang tidak
mengalami sindrom HELLP dibanding pada pasien yang mengalami sindrom
HELLP (1.6 + 1.02 melawan 1.2 + 0.7, p=0.011) (Tabel V). Sebanyak 157 pasien
(71.6%) mengalami kejang pertama kali saat di rumah. Kejang dapat diredakan
dengan menggunakan magnesium sulfat tambahan sebanyak 2 gram yang
diberikan secara intravena. Semua pasien yang mengalami kebutaan sementara
dapat kembali melihat sebelum 6 minggu postpartum. Dua Kematian pada ibu
hamil disebabkan oleh adanya perdarahan intrakranial, sedangkan Kematian
lainnya disebabkan oleh ARDS dan DIC.
Dampak sindrom HELLP terhadap neonatus ditampilkan dalam Tabel VI.
Kedua kelompok memiliki angka mortalitas neonatus yang mirip. Meski begitu,
secara statistik mortalitas perinatal pada kelompok B lebih tinggi dibanding pada
kelompok A (9.9% melawan 20.5%, p=0.029; OR 0.4; 95% CI, 0.2 – 0.9).
Kematian pada masa perinatal terutama terjadi pada usia kehamilan >32 minggu
(2.1% melawan 10.2%, p=0.030; OR 0.2, 95% CI, 0.04 – 1.33). Sedangkan
temuan klinis lainnya pada kedua kelompok mirip (Tabel VI).
Pembahasan
Eklampsia masih menyebabkan banyak morbiditas dan mortalitas di
negara berkembang (Chuni dan Khana 2004; Melah et al 2006). Laporan
mengenai angka insidensi eklampsia tersebut sangat bervariasi, yaitu antara 13-42
kejadian dalam 1000 kehamilan (Onuh dan Aisien 2004; Ekele et al. 2007). Taner
dan rekan-rekan pada tahun 1996 melaporkan adanya 444 ibu hamil yang
mengalami eklampsia dari 5.757 ibu hamil di Turkey tenggara (1 dari 12.96
kehamilan atau 7.71%). Berdasarkan pada penelitian tersebut, angka kejadian
eklampsia yang tinggi pada tahun 1987-1994 disebabkan oleh karena masih
banyak ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur,
melahirkan di rumah dengan bantuan dukun beranak atau masih banyak ibu hamil
yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Selain itu, rendahnya status
ekonomi masyarakat pada tahun tersebut menyebabkan mereka enggan untuk
menggunakan obat antihipertensi dan antikejang atau bahkan mengunjungi pusat
kesehatan terdekat. Pada beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan angka
kunjungan pemeriksaan antenatal di Turkey. Pada tahun 2002, Serin dan rekan-
rekan melaporkan bahwa insidensi eklampsia pada tahun tersebut sebesar 0,9%.
Sedangkan insidensi eklampsia pada penelitian ini adalah sebesar 1.6 dalam 1000
kehamilan (0,16%), di mana angka kejadian ini 0,036% lebih tinggi dibanding
angka kejadian eklampsia di Inggris dan Wales (Usta dan Sibai 1995; Moodley
1990). Adanya variasi angka kejadian ini dapat disebabkan oleh berbagai hal,
contohnya adalah ketersediaan pemeriksaan antenatal pada daerah tersebut. Selain
itu, kesadaran ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan antenatal dan status sosial
ekonomi masyarakat pada daerah tersebut juga mempengaruhi besarnya angka
insidensi eklampsia. Status sosial ekonomi yang rendah juga berhubungan dengan
tingginya angka preeklampsia dan eklampsia (Douglas dan Redman 1994). Selain
status sosial ekonomi yang rendah, di Turkey juga masih banyak pernikahan dini,
adanya faktor genetik dan berganti-ganti pasangan menikah. Maka dari itu, dapat
disimpulkan dari penelitian ini bahwa eklampsia paling banyak terjadi pada ibu
hamil dengan pendidikan yang rendah (70%) atau memiliki status sosial ekonomi
yang rendah (98%), di mana hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Nafaty et al.
(2004).
Komplikasi yang terjadi pada ibu hamil dan janin pada masa perinatal
paling banyak ditemukan pada ibu hamil yang mengalami sindrom HELLP.
Diagnosis sindrom HELLP hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena
memiliki kriteria diagnosis masih sedikit (Sibai et al. 1993), meskipun telah
disepakati bahwa sindrom HELLP ini dapat menyebabkan gangguan pada ibu dan
janin pada masa perinatal. Selain itu, sindrom HELLP sering kali diikuti dengan
pre-eklampsia berat dan/atau eklampsia yang dapat mempengaruhi kondisi ibu
hamil serta janin pada masa perinatal (Sibai et al. 1986). Maka dari itu, pasien-
pasien tersebut harus diobservasi dan sebaiknya mendapat terapi di ICU (Sibai
1990). Pasien-pasien yang masuk dalam penelitian kami memiliki kriteria sindrom
HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim hepar, dan kadar platelet
rendah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Sibai et al. 1986; Martin et al.
1993; Sibai et al. 1993). Pada penelitian kami, sebanyak 35,6% pasien mengalami
eklampsia yang disertai dengan sindrom HELLP.
Beberapa temuan yang signifikan dalam penelitian kami antara lain: (1)
interval waktu antara kejang eklampsia hingga proses melahirkan lebih pendek
pada pasien eklampsia yang disertai dengan sindrom HELLP dibandingkan
dengan pasien eklampsia yang tidak disertai dengan sindrom HELLP. Hal ini
terjadi karena apabila pasien-pasien tersebut memiliki hasil laboratorium yang
memburuk, maka kami memutuskan untuk mempercepat proses kelahiran; (2)
abruptio plasenta, melahirkan dengan cara SC, tekanan darah tinggi dan
proteinuria terjadi lebih tinggi pada ibu hamil yang menderita sindrom HELLP
dibanding pada ibu hamil yang tidak menderita sindrom HELLP, namun
perbedaan antara kedua kelompok ini tidak signifikan; (3) kejang lebih sering
terjadi pada ibu hamil yang menderita eklampsia namun tidak disertai dengan
sindrom HELLP. Hal ini terjadi karena interval waktu dari kejang pertama hingga
proses melahirkan lebih panjang pada ibu hamil tanpa sindrom HELLP (kejang
eklampsia sering kali terjadi pada masa antepartum); (4) mortalitas pada masa
perinatal (terutama usia kehamilan >32 minggu) lebih tinggi pada ibu hamil
dengan sindrom HELLP.
Tabel IV. Distribusi usia kehamilan pada ibu hamil dengan eklampsia (n)
Kelompok > 32 minggu <32 minggu Total
Tanpa HELLP 97 44 141
Dengan HELLP
Kelas I 11 5 16
Kelas II 24 16 40
Kelas III 14 8 22
Mortalitas perinatal
Mortalitas neonatus
*signifikan secara statistik. NICU, neonatal intensive care unit; NEC, necrotising
enterocolitis