You are on page 1of 6

Benarkah MSG Berbahaya Bagi Kesehatan?

Ketenaran negatif monosodium glutamat atau lebih dikenal sebagai MSG ini membuat sebagian
besar orang memilih untuk tidak mengonsumsinya demi kesehatan.

Sindrom restoran Cina adalah kumpulan gejala seperti sakit kepala, mual dan mati rasa yang diyakini
muncul setelah seseorang makan Chinese foods atau makanan Cina.

Bahan dalam Chinese foods yang dituding menjadi penyebabnya adalah bumbu yang disebut
monosodium glutamat, atau lebih dikenal sebagai MSG.

Ketenaran negatif monosodium glutamat ini berawal pada tahun 1968 ketika Dr. Ho Man Kwok
menulis surat kepada New England Journal of Medicine mengenai pandangannya tentang
kemungkinan penyebab sindrom dia alami setiap kali makan di restoran Cina di Amerika Serikat.

Secara khusus, ia menggambarkan perasaan mati rasa di bagian belakang lehernya yang kemudian
menyebar ke lengan dan punggung, serta jantung berdebar.

Kwok berspekulasi penyebabnya bisa saja kecap. Tapi, dugaan ini dikesampingkan karena dia juga
memakai kecap yang sama di rumah, namun tidak merasakan efek yang sama.

Hingga akhirnya, Kwok menduga (kali ini dengan cukup yakin) bahwa gejala yang dialaminya
disebabkan oleh monosodium glutamat yang umum digunakan di berbagai restoran Cina.

Lalu, surat Kwok menjadi viral, mendorong berbagai studi ilmiah, terbitnya buku yang mengekspos
'kebenaran' tentang MSG, buku masak anti-MSG, dan bahkan dorongan agar restoran Cina
memasang pengumuman bahwa mereka tidak menggunakan MSG dalam masakan mereka.

Monosodium glutamat adalah garam natrium dari asam glutamat. Profesor kimia dari Universitas
Tokyo, Kikunae Ikeda, menemukannya pada tahun 1908.

MSG adalah garam yang paling stabil yang terbentuk dari asam glutamat dan salah satu yang terbaik
dalam memberikan cita rasa umami.

Umami artinya gurih. Suatu istilah rasa yang juga diperkenalkan oleh Ikeda, di luar empat rasa dasar
manis, asin, asam dan pahit.

Sebenarnya, glutamat dalam MSG adalah asam amino umum yang secara alami ada di berbagai
macam makanan termasuk tomat, keju parmesan, jamur kering, kecap, sejumlah buah-buahan dan
sayuran dan air susu ibu.

Ikeda mengisolasi zat itu dari kombu rumput laut kering, kemudian menambahkan sodium. Sodium
adalah salah satu dari dua unsur dalam garam meja, yang memungkinkan glutamat dalam bentuk
bubuk tetap stabil.

Itulah yang kemudian kita sebut monosodium glutamat dan membuat Kikunae menjadi orang yang
sangat kaya. Bumbu berbasis MSG-nya, Ajinomoto, kini ditemukan di hampir semua meja makan di
seluruh dunia.

Menguji bahaya MSG


Setelah surat Kwok, hewan dan manusia menjadi sasaran penelitian untuk menguji bahayanya MSG.
MSG diberikan kepada objek-objek penelitian dalam dosis besar, baik secara oral maupun intravena.

Peneliti Washington University, Dr. John W. Olney, menemukan bahwa menyuntikkan dosis besar
monosodium glutamat ke bawah kulit tikus yang baru lahir dapat menyebabkan perkembangan
bercak jaringan mati di otak.

Ketika tikus-tikus ini tumbuh menjadi dewasa, mereka mengalami hambatan tumbuh kembang,
obesitas dan dalam beberapa kasus, steril.

Olney juga mengulangi studi pada bayi-bayi monyet dan mencatat hasil yang sama. Tapi, 19
penelitian lain pada monyet oleh peneliti lain gagal menunjukkan hasil yang sama, bahkan mirip pun
tidak.

Penelitian pada manusia juga dilakukan. Dalam satu studi, peneliti memberi MSG dan plasebo
kepada 71 orang yang sehat.

Peneliti menemukan, sindrom restoran Cina terjadi pada tingkat yang kira-kira sama, baik pada
mereka yang memakan plasebo maupun yang makan MSG.

Dalam upaya untuk mengakhiri polemik, pada tahun 1995, Badan Administrasi Obat dan Makanan
Amerika Serikat (FDA) menugaskan Federation of American Societies for Experimental Biology untuk
mencari semua bukti dan memutuskan apakah MSG benar-benar harus dihindari atau tidak.

Sebagai permulaan, panel ahli menolak istilah 'sindrom restoran Cina', karena dianggap
merendahkan dan tidak mencerminkan sifat dari gejala.

Mereka memilih istilah 'gejala MSG kompleks' atau ‘MSG symptom complex’ untuk menggambarkan
banyak dan beragamnya gejala yang terkait dengan konsumsi MSG.

Dalam penelitiannya, mereka menemukan ada cukup bukti ilmiah pada sub kelompok individu yang
sehat dalam populasi umum, yang mungkin sensitif terhadap dosis besar MSG.

Biasanya, gejala muncul dalam waktu satu jam setelah paparan. Tapi, gejala- gejala itu muncul ketika
para peserta studi diberi tiga gram atau lebih MSG dalam air, tanpa makanan. Ini adalah skenario
yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata.

Menurut FDA, kebanyakan orang mengonsumsi hanya sekitar 0,55 gram per hari bersama dengan
makanan, bukan diminum bersama air.

Sebuah studi pada tahun 2000 mencoba untuk menjelajahi efek MSG lebih lanjut. Peneliti merekrut
130 orang yang menggambarkan diri mereka sensitif terhadap MSG.

Mereka diberi MSG dan plasebo. Jika ada dari mereka yang mencetak hasil di atas tingkat tertentu
pada daftar 10 gejala, mereka diuji lagi dengan diberikan MSG atau plasebo dalam dosis yang sama
dengan uji pertama, untuk melihat apakah reaksi mereka terhadap MSG tetap konsisten.

Kemudian, peneliti memberikan dosis yang lebih tinggi untuk melihat apakah terjadi peningkatan
gejala.
Setelah satu putaran pengujian, hanya dua dari 130 orang yang menunjukkan reaksi yang konsisten
terhadap MSG dan tidak pada plasebo.

Kemudian, ketika mereka diuji lagi dengan MSG dalam makanan, reaksi mereka berbeda-beda. Hal ini
menimbulkan keraguan terhadap validitas pengakuan bahwa mereka sensitif MSG.

Glutamat sangat rendah toksisitas

Penelitian juga membuktikan, bahwa glutamat adalah zat yang sangat rendah toksisitas. Seekor tikus
dapat mengonsumsi 15-18 gram glutamat per kilogram berat badan, baru kemudian berisiko
meninggal akibat keracunan glutamat.

Sekarang ini juga diketahui semua bayi tikus memang secara alami sangat sensitif terhadap efek
MSG.

Jadi, sementara Dr. John Olney menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan percobaan yang
melibatkan hewan untuk mendorong regulasi yang lebih ketat terhadap penggunaan MSG, FDA
justru mengatakan bahwa penambahan MSG pada makanan adalah GRAS (Generally Recognized As
Safe) atau pada umumnya diakui aman untuk digunakan.

(Lily Turangan/Kompas.com. Sumber: BBC)


http://nationalgeographic.co.id/berita/2017/03/benarkah-msg-berbahaya-bagi-kesehatan/
Yang Bikin Bodoh Bukan Micin, tapi Komentarmu Itu
Oktavolama Akbar Budi Santosa
2 November 2017

Micin kerap dituduh biang kerok kebodohan, tapi tanpa micin mau jadi apa peradaban kita?

Setiap ada artikel atau berita yang menceritakan keteledoran, kebodohan, ataupun kegovlogan
seorang individu, entah dia dari jaman baheulak ataupun jaman now, akan selalu ada komentar yang
isinya kurang lebih, “Aih, dasar generasi kebanyakan micin!” atau “Ini ngemilnya micin pasti!”

Eh eh eh, sejak kapan orang bersalah, micin yang bertanggung jawab?

Saya tahu, niatan warganet hanyalah sekedar gurauan saja. Meski ada pula yang sungguh-sungguh
benci terhadap micin sehingga niatan menyebarkan hal tersebut adalah agar negeri ini terbebas
sepenuhnya dari benda lezat terkutuk itu!

Tetapi, dari niat yang hanya bercanda ternyata bisa mendatangkan implikasi yang besar. Saya amati
ketika ada hal yang tidak beres terjadi di negeri ini dan menjadi berita, penyebabnya kalau tidak (1)
PKI, (2) Jokowi, ya (3) micin ini. PKI dan Jokowi biasanya dipersalahkan ketika masalah berkaitan
dengan politik dan ekonomi, sedangkan untuk urusan di luar itu hampir pasti micinlah yang dianggap
biang kerok.

Saya ambil contoh sebuah berita di LINE Today (eh Mojok sudah punya akun LINE resmi lho!)
mengenai heboh bocah SD di Trenggalek yang terekam menggunakan vapor (rokok elektrik). Ketika
melihat di kolom komentar, tempat teratas di duduki oleh komentar ini, “Faktor lingkungan + micin yg
membuat anak kecil sekarang aneh2 tingkah nya!”

Itu hanya satu artikel, coba saja Anda cari artikel lain yang memberitakan “bobroknya” anak di negeri
ini, sudah pasti akan ditemui M-I-C-I-N!

Memang sih, ketakutan akan zat ini sudah saya lihat bahkan sebelum era internet digdaya seperti
sekarang, tetapi kok ya sentimennya semakin lama semakin menguat. Ketakutannya bahkan hampir
menyamai takutnya orang jaman Orba pada PKI. Tinggal menunggu waktu saja keduanya
berkolaborasi. Misal berbentuk sebaran WhatsApp macam “Hati-hati, kebanyakan makan MSG setiap
hari membuatmu jadi PKI!” Yhaaa~

Ketakutan ini semakin menggelikan setelah banyak pihak yang memanfaatkan para manusia anti-
micin. Menjamurlah warung, restoran, rumah makan yang membawa embel-embel “Non-MSG”.
Perlahan tapi pasti, embel-embel itu seolah membuat sebuah restoran mempunyai nilai tambah,
yakni lebih sehat. Padahal ya belum tentu.

Micin alias monosodium glutamat (MSG) sebagai penyedap/penguat rasa ditakuti karena konon
katanya bisa menyebabkan penyakit, atau yang paling konyol, bisa menyebabkan kebodohan.
Ketakutan terhadap micin sebagai pembawa penyakit itu muncul di era 1950-an ketika ramai sebutan
Chinese Restaurant Syndrome (CRS) untuk gejala seperti pusing dan mual setelah menyantap
masakan China yang menggunakan MSG.

Semenjak itu ilmuwan sebenarnya sudah banyak melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan
bahwa micin tidak berdampak buruk bagi tubuh. Karena sebelum micin yang beredar di pasaran
sekarang, yang aslinya merupakan ekstraksi dari rumput laut temuan professor Kikunae Ikeda,
manusia sudah mengonsumsi “micin” alami.
Glutamat, kandungan utama dalam umami bisa ditemui secara alami dalam tomat, rumput laut,
jamur, keju, kecap, brokoli, bahkan ASI. Ya benar, ASI alias air susu ibu! Jadi ngana-ngana ini semenjak
kecil udah minum MSG! Ya kali situ antimicin terus kalau punya anak nggak dikasih ASI, tetapi susu
sapi gitu? Anak manusia apa anak sapi, Mz, Mb?

Berdasarkan hal di atas, bisa kita bilang bahwa restoran non-MSG itu sebenarnya setengah munafik
kalau pada masakannya ditemui bahan makanan di atas.

“Tapi kan yang dimaksud MSG buatan yang dijual di toko-toko gitu !”

Bro, Gan, Sis, perlu ngana tahu bahwa ketika sudah masuk di dalam tubuh, micin “alami” maupun
“buatan” dianggap sama, tidak dibeda-bedakan. Tubuh akan tetap mencernanya sebagai glutamat,
nggak peduli mau mereknya Royco, Masako, bumbu Indomie, atau ngana ekstraksi sendiri dari tomat
atau rumput laut. Sungguh untuk urusan micin, tubuh manusia bisa menerapkan Bhinneka Tunggal
Ika dengan sempurna.

Nah, yang suka bilang kalau MSG bikin bodoh padahal banyak fakta membuktikan bahwa hal itu
salah. Perlu direvisi bahwa yang bikin bodoh adalah karena kurang baca, baca, dan baca.

Glutamat itu banyak kegunaannya. Selain membuat makanan semakin lezatos, gurihos, maknyooos,
di dalam tubuh ia juga membantu metabolisme gula dan lemak serta berfungsi sebagai
neurotransmitter. Ini bener apa kagak, silakan baca, baca, baca!

Satu hal menarik yang pernah saya baca adalah micin membuat anak mudah untuk menyukai sayur-
sayuran. Biasanya anak membenci sayuran karena rasanya cenderung pahit. Menambahkan micin
secukupnya pada sayuran akan membuat rasanya lebih lezat sehingga anak bisa lebih lahap makan.
Nah, sayuran kan bagus buat tubuh dan otak. Otak yang ternutrisi dengan baik akan membuat
penyerapan informasi bisa maksimal. Akibatnya kinerja otak anak akan baik dan dia bisa jadi pintar.
Tuh, micin bukannya bikin bodoh malah bikin pintar lho.

Kebanyakan MSG memang mempunyai akibat, yakni rasa makanan menjadi eneg. Udah itu aja. Kalau
mau tahu apa yang sebenarnya berbahaya tetapi banyak di antara kita kurang sadar adalah garam.
Ambang batas konsumsi garam per hari adalah 5 gram atau sekitar 1 sendok teh. Kalau beli bakso
atau mie ayam biasanya mamang penjualnya menabur sekitar setengah sendok teh garam.

Itu sudah setengah dari ambang batas konsumsi per hari. Sedangkan untuk MSG, biasanya
menambahkan 0,5 gram saja sudah terasa gurihnya. Kelebihan garam bisa menyebabkan darah tinggi
sedangkan kebanyakan MSG menyebabkan makananmu eneg. Kalau udah gitu pilih mana hayo?

Jadi mulai sekarang saya mengajak para pembaca sekalian terutama Front Pembenci Micin untuk
segera bertobat sebenar-benarnya tobat. Terutama bagi yang suka komentar menyalahkan MSG
sebagai penyebab kebodohan, sesungguhnya yang membuat bodoh ya komentar Anda itu. Bagi anda
yang suka sesumbar, “Aku lebih suka makan ke warung yang non-MSG, terus kalau masak juga nggak
pakai micin,” segeralah beristighfar, meminta ampunan bahwa ucapan kalian adalah dusta belaka.

Mustahil adanya menghindari keberadaan micin alias glutamat dalam setiap masakan Indonesia.
Segeralah sadar bahwa ketakutan yang selama ini ada adalah semu dan tidak berdasar. Micin
sesungguhnya adalah penyelamat bangsa ini. Tanpa MSG, pelajar negeri ini akan sulit untuk makan
enak. Tanpa makanan enak, otak mereka tidak bisa bekerja maksimal. Tanpa otak yang bekerja
maksimal, bangsa ini hanya akan berjalan di tempat.
Bulatkan tekad, barisan diperkuat, mari bersama-sama bergabung dengan Gerakan Nasional
Pengawal Micin untuk mewujudkan “Indonesia Berhati Micin, dengan Micin Makan Enak Terjamin!”.

You might also like