You are on page 1of 22

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................1
BAB I.................................................................................................................................2
PENDAHULUAN.............................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................4
2.1 Trombosis Vena Dalam (TVD).................................................................................4
2.1.1. Definisi.............................................................................................................4
2.1.2. Patogenesis.......................................................................................................4
2.1.3. Faktor Resiko...................................................................................................9
2.1.4 Manisfestasi Klinis...................................................................................11
2.1.5 Diagnosis........................................................................................................12
2.1.6 Aspek laboratorium DVT.........................................................................14
2.1.7 Aspek radiologi DVT...............................................................................17
2.1.8 Pencegahan......................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................20

1
BAB I

PENDAHULUAN

Trombosis vena dalam dikenal sebagai deep vein thrombosis (DVT).


Trombus pada system vena dalam sebenarnya tidak berbahaya, dapat menjadi
berbahaya bahkan dapat menimbulkan kematian jika sebagian thrombus terlepas,
kemudian mengikuti aliran darah dan menyumbat arteri di dalam paru (emboli
paru)1, 2 DVT merupakan kelainan kardiovaskuler ketiga tersering setelah penyakit
koroner arteri dan stroke. Angka kejadian DVT mendekati 1 per 1000 populasi
setiap tahun. Faktor risiko DVT antara lain usia tua, imobilitas lama, trauma,
hiperkoagulabilitas, obesitas, kehamilan, dan obat-obatan (kontrasepsi hormonal,
kortikosteroid)1, 3
Insidens DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50 per 100.000
populasi/tahun. Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur, sekitar 1 per 10.000
– 20.000 populasi pada umur di bawah 15 tahun hingga 1 per 1000 populasi pada
usia di atas 70 tahun.3 Insidens DVT pada ras Asia dan Hispanik dilaporkan lebih
rendah dibandingkan pada ras Kaukasia, Afrika-Amerika Latin, dan Asia Pasifik.
Tidak ada perbedaan insidens yang signifikan antara pria dan wanita.1, 2, 4
Insiden DVT di Amerika Serikat adalah 159 per 100 ribu atau sekitar 398
ribu per tahun. Tingkat fatalitas TVD yang sebagian besar diakibatkan oleh
emboli pulmonal sebesar 1% pada pasien muda hingga 10% pada pasien yang
lebih tua.5 Tanpa profilaksis, insidensi TVD yang diperoleh di rumah sakit adalah
10- 40% pada pasien medikal dan surgikal dan 40-60% pada operasi ortopedik
mayor. Dari sekitar 7 juta pasien yang selesai dirawat di 944 rumah sakit di
Amerika, tromboemboli vena adalah komplikasi medis kedua terbanyak,
penyebab peningkatan lama rawatan, dan penyebab kematian ketiga terbanyak.4, 5
Pemeriksaan untuk mendeteksi DVT di antaranya adalah D-Dimer dan
imaging (seperti USG, Venografi, CT Scan, atau MRV). Diagnosis DVT harus
dilakukan secara tepat dan akurat untuk meminimalkan risiko emboli paru. DVT
diterapi dengan antikoagulan dan juga heparin dengan berat molekul rendah,
namun terapi tersebut juga meningkatkan risiko perdarahan. Profilaksis jauh lebih

2
efektif menekan angka kematian akibat DVT yang berkembang menjadi emboli
paru dibandingkan penatalaksanaan saat diagnosis ditegakkan. Berdasarkan hal
1,
tersebut di atas, penulis akan membahas mengenai DVT dan aspek yang terkait.
6, 7

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trombosis Vena Dalam (TVD)

2.1.1. Definisi

Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah.


Trombus atau bekuan darah dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung, atau
mikrosirkulasi dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau emboli.8
Trombus adalah bekuan abnormal dalam pembuluh darah yang terbentuk
walaupun tidak ada kebocoran. Trombus terbagi menjadi 3 macam yaitu trombus
merah (thrombus koagulasi), trombus putih (trombus aglutinasi) dan trombus
campuran. Trombus merah dimana sel trombosit dan lekosit tersebar rata dalam
suatu masa yang terdiri dari eritrosit dan fibrin, sering terdapat pada
vena.Trombus putih terdiri dari fibrin dan lapisan trombosit, leukosit dengan
sedikit eritrosit, biasanya terdapat dalam arteri.9 Trombosis Vena Dalam (DVT)
merupakan penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh balik (vena) sebelah
dalam. Terhambatnya aliran pembuluh balik merupakan penyebab yang sering
mengawali TVD. Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi, atau
imobilisasi lama dari anggota gerak. 4

2.1.2. Patogenesis

Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan


cair, tetapi akan membentuk bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu
permukaan. Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar
terbentuknya trombus. Hal ini dikenal sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri
dari:
1. Gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis,
2. Gangguan pada keseimbangan prokoagulan dan antikoagulan yang
menyebabkan aktivasi faktor pembekuan

4
3. Gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan
prokoagulan.9-11

Gambar 1. Trias Virchow


4
1. Stasis vena
Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama di daerah
yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan faktor
predisposisi terjadinya trombosis lokal, karena dapat mengganggu mekanisme
pembersihan aktivitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan
terbentuknya trombosis.
Stasis vena dapat terjadi sebagai akibat dari apa pun yang memperlambat atau
menghalangi aliran darah vena. Hal ini mengakibatkan peningkatan viskositas
dan pembentukan mikrothrombus, trombus yang terbentuk kemudian dapat
berkembang dan menyebar. Kerusakan endotel (intima) di pembuluh darah
dapat bersifat intrinsik atau sekunder akibat trauma eksternal misalnya pada
cedera yang tidak disengaja atau karena tindakan operasi.

5
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses pembentukan
trombosis vena, melalui Trauma langsung yang mengakibatkan faktor
pembekuan serta Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai
akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecenderungan thrombosis terjadi apabila aktivitas
pembekuan darah meningkat atau aktivitas fibrinolisis menurun. DVT sering
terjadi pada kasus aktivitas pembekuan darah meningkat, seperti pada
hiperkoagulasi, defisiensi anti-trombin III, defisiensi protein-C, defisiensi
protein S, dan kelainan plasminogen.

6
Gambar 2. Hypercoagulable state

Trombus
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme
protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi:8, 11
Gangguan sel endotel,
terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel, Aktivasi trombosit atau
interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von Willebrand, Aktivasi
koagulasi, terganggunya fibrinolysis dan kondisi statis.
Mekanisme protektif terdiri dari:
1. Faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh
2. Netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel
3. Hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor
4. Pemecahan faktor pembekuan oleh protease
5. Pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trobosit yang beragregasi
oleh aliran darah
6. Lisisnya trombus oleh system fibrinolisis
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena aliran yang
cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan thrombus
vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin
dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit.11
Keseimbangan faktor pemicu dan enzim sangat kompleks. Pembentukan
trombus mikroskopik dan trombolisis (pembubaran) adalah kejadian terus
menerus, tetapi dengan peningkatan stasis, faktor prokoagulan, atau cedera

7
endotel, keseimbangan koagulasi-fibrinolisis dapat mengakibatkan pembentukan
trombus obstruktif. Trombosis vena dalam yang relevan secara klinis adalah
pembentukan trombus makroskopik yang terus-menerus di vena proksimal dalam.
Mekanisme koagulasi terdiri dari serangkaian langkah yang mengatur
diri sendiri yang menghasilkan produksi gumpalan fibrin. Langkah-langkah ini
dikendalikan oleh sejumlah kofaktor atau zymogens yang relatif tidak aktif, yang
ketika diaktifkan, mempromosikan atau mempercepat proses pembekuan. Reaksi-
reaksi ini biasanya terjadi di permukaan fosfolipid trombosit, sel endotel, atau
makrofag. Umumnya, inisiasi proses koagulasi dapat dibagi menjadi 2 jalur yang
berbeda, sistem intrinsik dan sistem ekstrinsik

Gambar 3. Jalur koagulasi12, 13

Sistem ekstrinsik merupakan hasil aktivasi oleh lipoprotein jaringan,


biasanya dilepaskan sebagai akibat dari cedera mekanis atau trauma. Sistem
intrinsik biasanya melibatkan faktor plasma dalam sirkulasi. Kedua jalur ini
menyatu pada tingkat faktor X, yang diaktifkan untuk membentuk faktor Xa yang
kemudian menyebabkan konversi protrombin menjadi trombin (faktor II). Proses

8
ini merupakan langkah kunci dalam pembentukan bekuan, dimana trombin aktif
diperlukan untuk transformasi fibrinogen ke bekuan fibrin.12,13
Setelah bekuan fibrin terbentuk dan telah melakukan fungsi hemostasis,
mekanisme tubuh untuk mengembalikan aliran darah normal adalah dengan
melisiskan deposit fibrin. Fibrinolisin yang beredar menjalankan fungsi tersebut.
Plasmin memecah fibrin dan juga menginaktivasi faktor pembekuan V dan VIII
serta fibrinogen. Tiga mekanisme antikoagulan alami yang berperan dalam
aktivasi pada proses pembekuan adalah heparin-antitrombin III (ATIII), protein C
dan protein thrombomodulin S, dan jalur penghambatan faktor jaringan. Ketika
trauma terjadi, atau ketika operasi dilakukan, ATIII yang beredar menurun yang
menyebabkan efek potensiasi proses koagulasi.
Trombus biasanya terbentuk di belakang katup atau pada titik cabang
vena, yang sebagian besar dimulai pada daerah betis. Venodilatasi dapat
mengganggu barrier sel endotel dan mengekspos subendotelium. Trombosit
melekat ke permukaan subendothelial dengan menggunakan faktor von
Willebrand atau fibrinogen di dinding pembuluh darah. Neutrofil dan trombosit
diaktifkan, melepaskan mediator prokoagulan dan inflamasi. Neutrofil juga
melekat pada membran basal dan bermigrasi ke subendotelium. Kompleks
membentuk permukaan trombosit dan meningkatkan laju pembentukan thrombin
dan pembentukan fibrin. Leukosit yang dirangsang secara ireversibel mengikat
reseptor endotel dan ekstravasasi ke dinding pembuluh darah dengan
menggunakan mural chemotaxis. Karena trombus yang matang terdiri dari
trombosit, leukosit dan fibrin berkembang, dan proses trombotik dan peradangan
aktif terjadi di permukaan bagian dalam vena, maka terjadilah respon peradangan
aktif di dinding vena12, 13

2.1.3. Faktor Resiko

Pemahaman tentang faktor risiko terjadinya trombosis vena dalam


diperlukan untuk memaksimalkan pencegahan penyakit ini pada individu berisiko
tinggi dan kelompok pasien. trombosis vena terjadi karena efek aditif dari faktor
risiko endogen, genetik dan lingkungan secara bersamaan.14

9
Gambar 4. Kerangka konseptual interaksi faktor risiko dalam berkembangnya
trombosis vena. Risiko trombosis intrinsik ditentukan oleh kombinasi faktor risiko
genetik dan yang diperoleh, termasuk modulasi aktivasi koagulasi oleh
determinan yang diketahui dan tidak diketahui. Risiko intrinsik diubah oleh
terjadinya memicu faktor risiko, yang dapat diimbangi dalam pengaturan yang
tepat dengan menggunakan thromboprophylaxis.

Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko kejadian dari TVD adalah sebagai
berikut :4, 5
 Duduk dalam waktu yang terlalu lama, seperti saat mengemudi atau
sedang naik pesawat terbang. Ketika kaki kita berada dalam posisi diam
untuk waktu yang cukup lama, otot otot kaki kita tidak berkontraksi
sehingga mekanisme pompa otot tidak berjalan dengan baik.
 Memiliki riwayat gangguan penggumpalan darah. Ada beberapa orang
yang memiliki faktor genetic yang menyebabkan darah dapat menggumpal
dengan mudah.
 Bed Rest dalam keadaan lama, misalnya rawat inap di rumah sakit dalam
waktu lama atau dalam kondisi paralisis.
 Cedera atau pembedahan
 Cedera terhadap pembuluh darah vena atau pembedahan dapat
memperlambat aliran darah dan meningkatkan resiko terbentuknya

10
gumpalan darah. Penggunaan anestesia selama pembedahan
mengakibatkan pembuluh vena mengalami dilatasi sehingga meningkatkan
resiko terkumpulnya darah dan terbentuk trombus.
 Kehamilan
 Kehamilan menyebabkan peningkatan tekanan di dalam pembuluh vena
daerah kaki dan pelvis. Wanita-wanita yang memiliki riwayat keturunan
gangguan penjendalan darah memiliki resiko terbentuknya trombus.
 Kanker
 Beberapa penyakit kanker dapat meningkatkan resiko terjadinya trombus
dan beberapa pengelolaan kanker juga meningkatkan resiko terbentuknya
thrombus
 Inflamatory bowel syndrome
 Gagal jantung
 Penderita gagal jantung juga memiliki resiko TVD yang meningkat
dikarenakan darah tidak terpompa secara efektif seperti jantung yang
normal
 Penggunaan Pil KB dan terapi pengganti hormone
 Pacemaker dan kateter di dalam vena
 Memiliki riwayat TVD atau emboli pulmonal
 Memiliki berat badan yang berlebih atau obesitas
 13. Merokok
 14. Usia tua (di atas 60 tahun)
 15. Memiliki tinggi badan yang tinggi.

2.1.4 Manisfestasi Klinis

Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap
orang. Keluhan utamapasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri.
Trombosis dapat menjadi berbahaya apabila meluas atau menyebar ke
proksimal. DVT umumnya timbul karena faktor risiko tertentu, tetapi
dapat juga timbul tanpa etiologi yang jelas (idiopathic DVT).7 Keluhan
dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa:

11
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa
menjalar ke bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat
bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan
intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan
berkurang jika penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai
ditinggikan.
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan,
maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri,
sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak
timbul di daerah trombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan
bertambah jika berjalan dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi
kaki agak ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
thrombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan
hanya pada 17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan
kadangkadang berwarna ungu. Perubahan warna menjadi pucat dan
dingin pada perabaan merupakan tanda sumbatan vena besar
bersamaan dengan spasme arteri, disebut flegmasia alba dolens.

2.1.5 Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat


penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis.Keluhan
utama pasien dengan TVD adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat
penyakit sebelumnya merupakan hal penting karena dapat diketahui faktor
resiko dan riwayat thrombosis sebelumnya.Adanya riwayat trombosis
dalam keluarga juga merupakan hal penting.Pada pemeriksaan fisis, tanda-
tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan.Gambaran klasik TVD

12
adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba
pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif (sakit di calf
atau di belakang lutut saat dalam posisi dorsoflexi).
Institute for Clinical Systems Improvement mempertahankan
algoritma berbasis bukti untuk diagnosis DVT yang menggabungkan
aturan Wells, uji d-dimer, dan ultrasonografi kompresi.15

Algoritma diagnosis DVT15

Sebelum melakukan tes D-dimer, penting untuk menilai probabilitas klinis


pasien untuk thrombosis vena. Untuk dugaan DVT, digunakan skor Wells.
Prevalensi pada pasien dengan probabilitas klinis rendah (LCP),
probabilitas klinis menengah (ICP), dan probabilitas klinis tinggi (HCP),
adalah masing-masing <5%, 15%, dan 70%.16

13
Skoring thrombosis vena16

2.1.6 Aspek laboratorium DVT


Pemeriksaan laboratorium mendapatkan peningkatan kadar D-dimer dan
penurunan antitrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi dari fibrin.
Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA atau latex agglutination
assay. D-dimer <0,5 mg/mL dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Pemeriksaan
ini sensitif tetapi tidak spesifik, sehingga hasil negatif sangat berguna untuk
eksklusi DVT, sedangkan nilai positif tidak spesifik untuk DVT, maka dari itu,
pemeriksaan D-Dimer tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis
DVT.3, 17
D-Dimer
D-dimer didapatkan meningkat dalam banyak kondisi. Penyebab fisiologis
peningkatan D-dimer meliputi kehamilan dan masa puerperium, bertambahnya
usia (> 65 tahun), ras African American, merokok, trauma baru-baru ini, dan
18
periode pasca operasi. D-dimer dapat terdeteksi pada pasien dengan DVT
16, 18
sebagai petanda adanya fibrinolysis endogen. Peningkatan D-Dimer
merupakan indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi
tidak spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk meningkirkan adanya
trombosis jika hasilnya negatif. D-dimer memiliki nilai duga negative (Negative

14
Predictive Value) yang tinggi. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 93%,
spesivitas 77% dan nilai prediksi negative 98% pada TVD proksimal, sedangkan
pada TVD daerah betis sensitifitasnya 70%.17, 19

Penyebab patologi peningkatan D-dimer18

Tingkat D-dimer tetap tinggi pada pasien dengan DVT selama sekitar 7
hari. Pasien yang datang terlambat, setelah pembentukan bekuan dan perlengketan
telah terjadi, mungkin memiliki tingkat D-dimer yang rendah. Demikian pula,
pasien dengan DVT vena betis yang terisolasi mungkin memiliki beban gumpalan
kecil dan tingkat D-dimer yang rendah yang berada di bawah nilai cutoff analitik
dari pengujian tersebut. Akun ini untuk mengurangi sensitivitas uji D-dimer dalam
pengaturan DVT yang dikonfirmasi. Studi menunjukkan bahwa tes D-dimer dapat
digunakan sebagai skrining cepat dalam kasus di mana didapatkan klinis kaki
bengkak atau radiologis samar-samar atau negatif. Empat puluh persen pasien
dengan pemeriksaan klinis negatif dan tes D-dimer negatif tidak memerlukan
evaluasi klinis lebih lanjut. 20
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tes ini memiliki nilai prediktif
negatif yang tinggi dan relatif penanda sensitif tetapi nonspesifik untuk DVT.16
Brotman et al mengevaluasi utilitas dan keterbatasan pengujian D-dimer untuk

15
evaluasi VTE pada pasien rawat inap.21 Empat metode pengujian berbeda D-dimer
digunakan dalam penelitian ini. pengujian D-dimer memiliki sedikit atau tidak ada
utilitas dalam membedakan pasien dengan
trombosis dan tanpa trombosis pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit
selama lebih dari 3 hari, usia lebih tua dari 60 tahun, atau memiliki tingkat protein
C-reaktif tinggi. Pada pasien yang tidak terpilih, pengujian D-dimer terbatas
utilitas klinis karena spesifitasnya yang kurang baik.22

Antibodi Antiphospholipid Antibodi


Antiphospholipid antibodi termasuk keluarga imunoglobulin heterogen
termasuk didalamnya antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin. Kejadian
tromboembolik dilaporkan sekitar sepertiga dari pasien antiphospholipid-positif.
Kejadian ini termasuk trombosis vena, stroke, infark miokard, gangren, abortus
rekuren, dan trombositopenia. Manifestasi neurologis termasuk infark serebral
tunggal atau berulang, sakit kepala vaskular berat, serangan iskemik transien, dan
gangguan visual seperti amaurosis fugax atau arteri retina atau oklusi vena. Stroke
berulang lebih mungkin terjadi pasien dengan sindrom antibodi antiphospholipid
dan faktor risiko lain seperti merokok dan hiperlipidemia. Hubungan antara
antikoagulan lupus dan antibodi anticardiolipin dan trombosis telah diselidiki
secara menyeluruh, serta kriteria laboratorium dan klinis untuk mendefinisikan
sindrom antiphospholipid telah banyak dilaporkan.23 Insiden dari sindrom antibodi
antiphospholipid pada populasi Kaukasia adalah 2% hingga 3%. Risiko terjadinya
trombosis berulang pada pasien dengan sindrom antibodi antiphospholipid tinggi,
mulai dari 22% hingga 69%. Ketika pasien ini memiliki faktor risiko genetik
prothrombotic tambahan, antikoagulan seumur hidup mungkin diperlukan karena
peningkatan trombotik risiko. Pasien-pasien ini harus dikonseling sebelum operasi
elektif karena tingginya risiko trombotik pasca operasi. Rejimen yang paling kuat
dan efektif untuk profilaksis harus digunakan pada pasien ini.24, 25

Hyperhomocysteinemia
Peningkatan kadar homocysteine dalam darah menjadi topik yang
populer karena meningkatnya berkaitan dengan terjadinya trombotik arteri dan /

16
atau vena. Termasuk didalamnya trombosis vena, stroke, dan infark miokard. Data
prospektif menyelidiki hubungan ini dan menunjukkan hasil yang bertentangan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan homosistein meningkatnya
kejadian thrombosis vena sekitar dua kali lipat. 30 Secara keseluruhan, hubungan
hiperhomosisteinemia dengan DVT adalah lemah dan membutuhkan penelitian
lebih lanjut.26
Klinisi lebih suka mengukur kadar homosistein daripada pengujian
untuk gen yang memainkan peran dalam metabolisme homosistein dikenal
sebagai reduktase metilen tetrahydrofolate. Tiga puluh persen individu normal
memiliki cacat genetik heterozigot tanpa peningkatan risiko trombosis, dan cacat
homozigot, diduga berkontribusi terhadap trombosis vena hanya jika tingkat
homocysteine meningkat. Peningkatan homosistein meningkatkan kejadian
vaskular, termasuk trombosis vena dalam, dianggap terkait dengan kerusakan
endotel, meskipun perlu lebih banyak penelitian dilakukan.27
Hyperhomocysteinemia is associated with increased risk of VTE, coronary heart
disease, acute myocardial infarction, peripheral artery disease, stroke, aneurysm,
migraine, hypertension, male infertility, risk for offspring with neural tube defect,
and recurrent pregnancy loss. Acquired hyperhomocysteinemia can be caused by
vitamin B6, vitamin B12, or folate deficiency; renal failure; hypothyroidism;
rheumatoid arthritis; and certain drugs such as methotrexate, niacin,
anticonvulsant, theophylline, L-dopa, thiazide, cyclosporine A, or phenytoin 28, 29

Defisiensi Inhibitor Koagulasi


Defisiensi antitrombin, protein C, dan kofaktornya, protein S, adalah
penyebab genetik pertama dari trombosis vena. Defisiensi protein C terjadi pada
28, 30
0,14-0,50% dari populasi umum dan 1-3% pasien dengan VTE. Kekurangan
ini sangat tidak umum, muncul kurang dari 1% dari populasi, meskipun mereka
sering ditemukan pada mereka yang menderita kejadian trombotik. Masalah klinis
utama adalah bahwa cacat ini dapat diiringi berdampingan dengan kelainan
genetik lainnya seperti defek Leiden, menghasilkan risiko yang sangat meningkat
untuk berkembangnya kejadian tromboemboli vena (Tabel 2).31

17
2.1.7 Aspek radiologi DVT

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk


mendiagnosis trombosis. Pada TVD, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
venografi/flebografi, ultrasonografi (USG) Doppler (duplex scanning), USG
kompresi, Venous Impedance Plethysmography (IPG) dan MRI. Ketepatan
pemeriksaan ultrasonografi Doppler pada pasien dengan TVD proksimal yang
simptomatik adalah 94% dibandingkan dengan venografi, sedangkan pada pasien
dengan TVD pada betis dan asimptomatik, ketepatannya rendah. Ultrasonografi
kompresi mempunyai sensitivitas 89% dan spesivitas 97% pada TVD di daerah
betis, hasil negatif palsu dapat mencapai 50%. Pemeriksaan duplex scanning
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi untuk mendiagnosis TVD
proksimal.Venografi atau flebografi merupakan pemeriksaan standar untuk
mendiagnosis TVD, baik pada betis, paha, maupun system ileofemoral.
Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena dan resiko alergi terhadap bahan
radiokontras atau yodium. MRI umumnya digunakan untuk mendiagnosis TVD
pada perempuan hamil atau TVD di daerah pelvis, iliaka dan vena kava di mana
duplex scanning pada ekstremitas bawah menunjukkan hasil negatif. 32, 33
Menurut pedoman American College of Radiology (ACR) dan standar
teknis, ekstremitas bawah US harus mencakup kompresi, warna dan spektrum
Doppler sonografi dengan penilaian phasicity dan pembesaran aliran vena.
Keuntungan dari radiografi Duplex ekstremitas bawah adalah mudah, cepat,
hemat biaya, non-invasif, tanpa radiasi pengion, tidak memerlukan kontras
intravena dan portabel untuk pasien yang sakit kritis yang berisiko mengalami
DVT. Keterbatasan dari metode ini adalah sulit dan kurang sensitif pada pasien
dengan obesitas, edema, nyeri tekan, artroplasti pinggul atau lutut, penggunaan
perban dan perangkat imobilisasi. Pemeriksaan ini juga memiliki keterbatasan
pada pasien yang memiliki DVT sebelumnya dan mengalami gejala baru segera
setelah perawatan. Hasil positif palsu termasuk kompresi ekstrinsik dari vena oleh
massa pelvis atau patologi perivaskular lainnya dan trombosis di vena popliteal
distal.32, 33
Akan tetapi tujuan utama dari pemeriksaan penunjang adalah untuk
menegakkan diagnosis TVD secara cepat dan aman, oleh karena itu kombinasi

18
dari hasil pemeriksaan fisik dan pengukuran kadar D-Dimer merupakan pilihan
pertama dalam diagnosis. Pengukuran dengan menggunakan trombosit juga dapat
dilakukan. Cara ini merupakan cara yang paling cepat dan praktis, hanya saja
kurang akurat disebabkan bias yang ditimbulkan oleh mesin penganalisa
trombosit. Bias yang didapat berkisar antara 10.000 – 80.000/cc.

2.1.8 Pencegahan

Mengingat sebagian besar tromboemboli vena bersifat asimptomatik atau


tidak disertai gejala klinis yang khas, biaya yang tinggi jika terjadi komplikasi dan
resiko kematian akibat emboli paru yang fatal, pencegahan trombosis atau
tromboprofilaksis harus dipertimbangkan pada kasus-kasus yang mempunyai
resiko terjadinya tromboemboli vena.
Penggunaan regimen harus didasarkan pada tampilan klinis dan faktor
resiko yang dimiliki oleh pasien.Graduated compression stockings dipasang pada
ekstremitas bawah dan memiliki profil tekanan yang berbeda sepanjang stocking
dengan tujuan mengurangi penumpukan darah vena. Penelitian menunjukkan
pencegahan ini cukup efektif dengan efek samping minimal.Pneumatic
compression devices juga disebut sequential compression devices memanjang
sampai ke lutut atau paha dan juga digunakan sebagai profilaksis
TVD.Penggunaan pneumatic compression devices mengurangi resiko
pembentukan gumpalan darah dengan menstimulasi pelepasan faktor fibrinolisis
juga dengan kompresi mekanis dan pencegahan penggumpalan darah vena.
Pencegahan secara farmakologis mencakup antagonis vitamin K
(warfarin), UFH, dan LMWH. UFH adalah campuran rantai polisakarida dengan
berat molekul bervariasi, dari 3000 dalton sampai 30.000 dalton yang
mempengaruhi faktor Xa dan thrombin. LMWH terdiri dari fragmen UFH yang
mempunyai respon antikoagulan yang dapat diprediksi dan aktifitas yang lebih
terhadap faktor Xa. Pada meta analisis pasien yang mengalami operasi urologi,
ortopedi dan bedah umum, disimpulkan bahwa UFH subkutan efektif mencegah
TVD pada pasien resiko menengah sampai resiko tinggi, dengan sedikit
peningkatan komplikasi perdarahan. Pemilihan metode profilaksis bergantung

19
pada penilaian resiko tromboemboli, apakah resiko ringan, sedang, tinggi,
maupun sangat tinggi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Group JCSJW. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of pulmonary
thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circulation journal :
official journal of the Japanese Circulation Society 2011;75:1258-81.
2. Ginsberg, J. Deep venous thrombosis. Cecil Medicine. 23rd ed. New York: Mc
Graw-Hill; 2007.
3. Goldhaber SZ. Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the American
College of Cardiology 2010;56:1-7.
4. Cushman M. Epidemiology and risk factors for venous thrombosis. Seminars in
hematology 2007;44:62-9.
5. Cushman M, Tsai AW, White RH, et al. Deep vein thrombosis and pulmonary
embolism in two cohorts: the longitudinal investigation of thromboembolism
etiology. The American journal of medicine 2004;117:19-25.
6. Hirsh J, Lee AY. How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood
2002;99(9):3102-10.
7. Fauci A, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al.
Venous thrombosis. In: Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. Ch.111.
USA:, 2008. M-H.
8. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Dongo A. Deep vein thrombosis: a
clinical review. Journal of blood medicine 2011;2:59-69.
9. Esmon CT. Basic mechanisms and pathogenesis of venous thrombosis. Blood
reviews 2009;23:225-9.
10. Aird WC. Vascular bed-specific thrombosis. Journal of thrombosis and haemostasis
: JTH 2007;5 Suppl 1:283-91.
11. Line BR. Pathophysiology and diagnosis of deep venous thrombosis. Seminars in
nuclear medicine 2001;31:90-101.
12. Wakefield TW, Strieter RM, Schaub R, et al. Venous thrombosis prophylaxis by
inflammatory inhibition without anticoagulation therapy. J Vasc Surg. 2000 Feb.
31(2):309-24.
13. Wakefield TW, Proctor MC. Current status of pulmonary embolism and venous
thrombosis prophylaxis. Semin Vasc Surg. 2000 Sep. 13(3):171-81.
14. Pini M, Spyropoulos AC. Prevention of venous thromboembolism. Seminars in
thrombosis and hemostasis 2006;32:755-66.
15. Institute for Clinical Systems Improvement. Health care guideline: venous
thromboembolism diagnosis and treatment.
http://www.icsi.org/venous_thromboembolism/venous_thromboembolism_4.html.
Accessed September 9, 2012.
16. Wells PS, Anderson DR, Rodger M, et al. Evaluation of D-dimer in the diagnosis of
suspected deep-vein thrombosis. The New England journal of medicine
2003;349:1227-35.
17. Pulivarthi S, Gurram MK. Effectiveness of d-dimer as a screening test for venous
thromboembolism: an update. North American journal of medical sciences
2014;6:491-9.

21
18. Prisco D, Grifoni E. The role of D-dimer testing in patients with suspected venous
thromboembolism. Seminars in thrombosis and hemostasis 2009;35:50-9.
19. Righini M, Perrier A, De Moerloose P, Bounameaux H. D-Dimer for venous
thromboembolism diagnosis: 20 years later. Journal of thrombosis and
haemostasis : JTH 2008;6:1059-71.
20. Cosmi B, Palareti G. D-dimer, oral anticoagulation, and venous thromboembolism
recurrence. Seminars in vascular medicine 2005;5:365-70.
21. Brotman DJ, Segal JB, Jani JT, et al. Limitations of D-dimer testing in unselected
inpatients with suspected venous thromboembolism. Am J Med. 2003;114:276–
282.
22. Motykie GD, Caprini JA, Arcelus JI, et al. Risk factor assessment in the
management of patients with suspected deep venous thrombosis. Int Angiol.
2000;19:47–51.
23. Wilson WA, Gharavi AE, Koike T, et al. International consensus statement on
preliminary classification criteria for definite antiphospholipid syndrome: report of
an international workshop. Arthritis Rheum. 1999;42:1309–1311.
24. Bauer KA, Eriksson BI, Lassen MR, et al. Steering Committee of the
Pentasaccharide in Major Knee Surgery Study. Fondaparinux compared with
enoxaparin for the prevention of venous thromboembolism after elective major
knee surgery. N Engl J Med. 2001;345:1305–1310.
25. Farmer-Boatwright MK, Roubey RA. Venous thrombosis in the antiphospholipid
syndrome. Arteriosclerosis, thrombosis, and vascular biology 2009;29:321-5.
26. Key NS, McGlennen RC. Hyperhomocyst(e)inemia and thrombophilia. Arch Pathol
Lab Med. 2002;126:1367–1375.
27. Kluijtmans LA, den Heijer M, Reitsma PH, et al. Thermolabile
methylenetetrahydrofolate reductase and factor V Leiden in the risk of deep-vein
thrombosis. Thromb Haemost. 1998;79:254–258.
28. Khor B, Van Cott EM. Laboratory evaluation of hypercoagulability. Clinics in
laboratory medicine 2009;29:339-66.
29. Eldibany MM, Caprini JA. Hyperhomocysteinemia and thrombosis: an overview.
Archives of pathology & laboratory medicine 2007;131:872-84.
30. Cooper PC, Hill M, Maclean RM. The phenotypic and genetic assessment of
protein C deficiency. International journal of laboratory hematology 2012;34:336-
46.
31. Zwicker J, Bauer KA. Thrombophilia. In: Kitchens CS, Alving B, Kessler CM, eds.
Consultative Hemostasis and Thrombosis. Philadelphia, Pa: WB Saunders Co;
2002:181–196.
32. Kassai B, Boissel JP, Cucherat M, Sonie S, Shah NR, Leizorovicz A. A systematic
review of the accuracy of ultrasound in the diagnosis of deep venous thrombosis in
asymptomatic patients. Thrombosis and haemostasis 2004;91:655-66.
33. American College of Radiology. Practical guidelines and standards for performance
of the peripheral venous ultrasound examination. Reston (VA): 2015.

22

You might also like