You are on page 1of 45

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas yang berjudul
“Pengkajian pada Klien dengan Glaukoma”. Tugas ini ditulis untuk memenuhi
tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah Sistem Sensori
Persepsi Tahun Akademik 2017 di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
Dalam penulisan makalah ini, penyusun banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan dari pihak-pihak luar, sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan
yang diharapkan. Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada:
1. Sukarni, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku dosen Mata Kuliah Sistem Sensori
Persepsi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
2. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Angkatan 2015 Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura.
Saya menyadari tugas ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kepada pembaca dan teman-teman agar memberikan kritik dan saran
yang sifatnya membangun.

Pontianak, 3 Oktober 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Konsep Teori Pengkajian ............................ Error! Bookmark not defined.
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 38
A. Kasus .......................................................................................................... 38
B. Pengkajian Berdasarkan Kasus .................................................................. 39
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 42
A. Kesimpulan ................................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 43

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Pengkajian


1) Pengkajian Mata
Pengkajian mata dan struktur pendukungnya secara lazim termasuk
dalam komponen pemeriksaan neurologis karena mata terletak di kepala dan
secara langsung berhubungan dan secara struktural merupakan bagian dari
saraf. Maka dari itu, pengkajian mata (oftalmik) merupakan komponen sistem
neurovisual pemeriksaan sensoris. Pengkajian mata (oftalmik) harus berisi
tinjauan ringkas sebagai komponen pemeriksaan fisik umum atau sebagai
pemeriksaan teliti, selektif mata itu sendiri. Derajat potensial keterlibatan
mata (oftalmik) menentukan kapan diperlukan evaluasi khusus atau hanya
secara singkat saja (Muttaqin, 2010).
a. Riwayat Kesehatan
Sebelum melakukan pengkajian fisik mata, perawat harus
mendapatkan riwayat oftalmik, medis, dan terapi klien, dimana semuanya
berperan dalam kondisi oftalmik sekarang. Informasi yang harus diperoleh
meliputi informasi mengenai penurunan tajam penglihatan, upaya
keamanan, dan semua hal yang terkait pada alasan melakukan
pemeriksaan oftalmik (Muttaqin, 2010).
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Klien juga ditanya tentang keluhan yang menyebabkan dirinya
meminta pertolongan pada tim kesehatan. Apakah ada riwayat kecelakaan
dan cedera. Riwayat gejala oftalmik, seperti fotofobia, nyeri kepala
(termasuk lokasi dan frekuensi), pusing, nyeri okuler atau dahi, mata gatal,
keluar air mata, floater, dan setiap rabas mata harus diperoleh. Bila ada
keluhan nyeri, dikaji sehubungan dengan lokasi, awitan, durasi, penurunan
ketajaman penglihatan yang diakibatkannya, keadaan saat nyeri timbul,
upaya menguranginya, dan beratnya. Perubahan dalam gangguan
ketajaman penglihatan atau kehilangan medan penglihatan harus

1
diidentifikasi. Penting juga menentukan apakah kondisi tersebut unilateral
atau bilateral (Muttaqin, 2010).
Klien ditanya mengenai apakah klien pernah menjalani koreksi
refraksi dan pengukuran ketajaman penglihatan hanya bila klien
mengetahuinya. Menggunakan lensa koreksi untuk penglihatan hanya bila
klien mengetahuinya. Menggunakan lensa koreksi untuk penglihatan dekat
atau jauh atau keduanya dan efektivitas refraksi hars dicatat. Asuhan yang
pernah diberikan oleh spesialis perawatan mata dan frekuensi perawatan
tersebut harus dicatat (Muttaqin, 2010).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat pembedahan atau adanya pukulan/bentulan yang
terjadi pada kepala di waktu yang lalu, sehingga dapat menyebabkan
keluhan saat ini. Perawat menanyakan pada klien tentang adanya kondisi
seperti diabetes mellitus, hipertensi, sistemik lupus eritematosus,
sarkoidosis, penyakit menular seksual, anemia sel sabit, AIDS, dan
sklerosis multipel yang dapat mempengaruhi mata. Selain itu, tindakan
pengobatan pada mata dapat berpengaruh kurang baik terhadap beberapa
kondisi medis yang ada. Neuritis optikus sering terjadi pada klien dengan
sklerosis multipel. Trauma kepala yang baru atau penyakit neurologis
berat lainnya dapat menghasilkan temuan oftalmik seperti papiledema
(pembengkakan diskus optikus), defek lapang pandang, dan perubahan
pupil, sakit kepala migren dapat berhubungan dengan gejala oftalmik.
Informasi lain yang penting meliouti penggunaan obat oftalmik yang dijual
bebas atau dengan resep yang dipakai. Banyak obat mempunyai efek
oftalmik dan dapat mempengaruhi ketajaman penglihatan. Misalnya, obat
simpatomimetik atau fagolitik dapat menghasilkan dilatasi pupil
(Muttaqin, 2010).
d. Riwayat Psikososial
Penglihatan merupakan alat penting karena memberikan anti untuk
kontak dengan lingkungan. Individu yang mengalami perubahan dalam
persepsi visual dapat mengalami kecemasan dan ketakutan berhubungan
dengan hilangnya penglihatan. Klien yang mengalami kelainan

2
penglihatan parah mungkin tidak dapat menjalankan aktivitas normal
sehari-hari. Perasaan ketergantungan akibat penurunan penglihatan
mempengaruhi harga diri individu (Muttaqin, 2010).
Pengkajian psikologis terutama penting bagi perawat untuk
menanyakan riwayat klien, perawat harus memperhitungkan efek keadaan
oftalmik terhadap aktivitas klien pada kehidupan sehari-hari dan terhadap
pekerjaan. Banyak aspek kehidupan sehari-hari yang bergantung pada
ketajaman penglihatan, keamanan dan keberhasilan fungsi dapat terancam
oleh penurunan ketajaman penglihatan. Gaya hidup klien, jenis pekerjaan,
aktivitas hiburan, dan olahraga harus dievaluasi. Klien ditanyai apakah
masalah oftalmik (mata) yang dilaporkan telah mempengaruhi aktivitas
yang biasa dilakukan. Kemudian perawat dapat mengkaji bagaimana klien
menghadapi masalah tersebut (Muttaqin, 2010).
Pada beberapa individu, kepuasan psikologis dapat dicapai melalui
penglihatan dan dapat disejajarkan dengan kenikmatan mendengarkan
musik. Kehilangan bentuk masukan sensoris ini sangat mengganggu,
khususnya bila kehilangan penglihatannya yang terjadi secara mendadak.
Mereka yang mengalami kebutaan kongenital cenderung sudah
beradaptasi dengan dunianya secara baik. Mereka yang kehilangan
penglihatannya secara mendadak lebih sulit menyesuaikan diri setelah
sekian lama menggantungkan diri pada penglihatan untuk menjelajahi
dunia dan mempergunakan masukan sensoris tersebut untuk mengadakan
hubungan manusiawi (Muttaqin, 2010).
Penting untuk mengetahui masukan sensoris mana yang berarti bagi
individu tersebut sehingga perawat dapat menyesuaikan dengan
komunikasi yang dibutuhkan, seperti orientasi terhadap lingkungan dan
asuhan oftalmik. Perawat perlu menanyakan perasaan klien yang
berhubungan dengan gangguan visual untuk mengkaji keefektifan teknik
koping klien. Perawat juga mendiskusikan hubungan klien dengan anggota
keluarga atau orang terdekat klien untuk menentukan dukungan yang dapat
digunakan klien (Muttaqin, 2010).

3
e. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi penyebaran alis mata, kesejajarannya dan kualitas kulit serta
gerakkannya. (Minta klien untuk menggerakkan alis ke atas dan ke
bawah).
- Hasil pemeriksaan normal: Alis mata tersebar merata, kulit utuh, alis
mata sejajar secara simetris dan gerakkannya sama.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Alis mata rontok, kulitnya bersisik dan
mengelupas, serta gerakan dan kesejajaran alis mata tidak sama.
 Inspeksi ratanya penyebaran dan arah lengkungan bulu mata.
- Hasil pemeriksaan normal: Tersebar sama, sedikit melengkung ke
luar.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Masuk ke dalam (lihat inversi kelopak
mata di bawah).
 Inspeksi karakteristik permukaan kelopak mata (misalnya, kualitas dan
tekstur kulit), posisinya terhadap kornea, kemampuan mengedip,
frekuensi kedipan. Untuk memeriksa kelopak mata atas dengan benar,
angkat kelopak mata dengan ibu jari dan jari telunjuk, lalu minta klien
menutup mata. Inspeksi kelopak mata saat mata bawah klien ditutup.
- Hasil pemeriksaan normal: Kulit utuh, tidak ada rabas, tidak ada
perubahan warna. Kelopak mata tertutup simetris, kedipan
involunter kira-kira 15-20 per menit, kedipan bilateral. Saat kelopak
mata terbuka, tidak ada sklera yang terlihat di atas kornea, dan batas
atas dan batas bawah kornea sedikit tertutupi.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Adanya kemerahan, bengkak,
terkelupas, krusta, plak, rabas, nodul, lesi kelopak mata tertutup
tidak simetris, tidak sempurna, atau nyeri. Kedipan cepat,
monokular, tidak ada, atau jarang. Ptosis, ektropion, atau entropion,
lingkaran sklera terlihat antara kelopak mata dan iris.
 Inspeksi warna, tekstur, dan adanya lesi pada konjungtiva bulbar (yang
melapisi sklera). Tarik kembali kelopak mata dengan ibu jari dan jari
telunjuk, tekan area di atas dan di bawah tulang orbital yang menonjol

4
dan minta klien untuk melihat ke atas, ke bawah dan dari samping ke
samping.
- Hasil pemeriksaan normal: Transparan, kapiler kadang terlihat,
sklera tampak putih (kekuning-kuningan pada klien berkulit gelap).
- Hasil pemeriksaan abnormal: Sklera ikterus (misalnya, pada
penyakit hati), sklera terlalu putih (misalnya, pada anemia), sklera
menjadi merah, lesi atau nodul (mungkin indikasi kerusakan
mekanik kimia, alergen, atau agen bakteri).
 Inspeksi konjungtiva palpebra (yang melapisi kelopak mata) dengan
membalikkan kelopak mata. Perhatikan warna, tekstur, dan adanya lesi.
Balikkan kedua kelopak mata bawah keluar, melihat ke atas. Lalu
dengan lembut tarik kembali kelopak mata bawah dengan jari telunjuk.
- Hasil pemeriksaan normal: Berkilau, licin, dan berwarna merah
muda atau merah.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Terlalu pucat (kemungkinan anemia),
terlalu merah (inflamasi), nodul atau lesi lain.
 Balikkan kelopak mata atas jika diduga ada masalah.
 Inspeksi dan palpasi kelenjar lakrimal.
- Hasil pemeriksaan normal: Tidak ada edema atau nyeri tekan pada
kelenjar lakrimal.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Bengkak atau nyeri tekan pada
kelenjar lakrimal.
 Inspeksi dan palpasi kantung lakrimal dan duktus nasolakrimal.
- Hasil pemeriksaan normal: Tidak ada edema atau pengeluaran air
mata berlebihan.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Terdapat peningkatan pengeluaran air
mata, regugitasi cairan pada palpasi kantung lakrimal.
 Inspeksi kejernihan dan tekstur kornea. Minta klien untuk melihat lurus
ke depan. Pegang senter kecil pada sudut yang miring terhadap mata,
dan gerakkan cahaya perlahan-lahan melewati permukaan kornea.
- Hasil pemeriksaan normal: Transparan, berkilau, dan halus, detail
iris dapat terlihat. Pada lansia, cincin berwarna putih keabu-abuan

5
dan tipis di sekitar batas kornea yang disebut arkus senilis mungkin
ditemukan.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Tidak tembus cahaya, permukaan
tidak halus (mungkin akibat trauma atau abrasi). Arkus senilis pada
klien berusia di bawah 40 tahun merupakan hal yang tidak normal.
 Lakukan uji sensitivitas kornea (refleks) untuk menentukan fungsi saraf
kranial kelima. Minta klien untuk terus membuka mata dan melihat
lurus ke depan. Dekati dari belakang dan samping lalu sentuh kornea
secara perlahan dengan ujung kasa.
- Hasil pemeriksaan normal: Klien mengedip saat kornea disentuh,
mengindikasikan bahwa saraf trigeminal utuh.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Satu atau kedua kelopak mata tidak
berespons.
 Inspeksi transparansi dan kedalaman ruang anterior. Gunakan
kemiringan cahaya yang sama seperti yang digunakan saat uji kornea.
- Hasil pemeriksaan normal: Transparan, tidak ada bayangan cahaya
pada iris, kedalaman sekitar 3 mm.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Berawan, bayangan terbentuk bulan
sabit pada sisi paling ujung iris. ruang dangkal (kemungkinan
glaukoma).
 Inspeksi warna, bentuk, dan kesimetrisan ukuran pupil. Diagram pupil
tersedia di beberapa institusi.
- Hasil pemeriksaan normal: Berwarna hitam, berukuran sama,
memiliki diameter normal 3-7, bentuknya bulat, pinggiran halus, iris
datar dan bulat.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Berawan, midriasis, miosis, anisokor,
tonjolan iris ke arah kornea.
 Kaji reaksi konsekual dan reaksi langsung dari pupil terhadap vahaya
untuk menentukan fungsi saraf kranial ketiga (okulomotorik) dan saraf
kranial keempat (troklear).

6
- Hasil pemeriksaan normal: Pupil yang diluminasi konstriksi
()respons langsung). Pupil yang tidak diluminasi konstriksi (respons
konsensual).
- Hasil pemeriksaan abnormal: Pupil tidak ada yang berkonstriksi,
respons tidak sama dan tidak ada.
 Kaji reaksi setiap pupil terhadap akomodasi.
- Hasil pemeriksaan normal: Keadaan pupil berkonstriksi saat melihat
objek dekat, kedua pupil berdilatasi saat melihat objek jauh, kedua
pupil mendekat saat objek yang dekat digerakkan ke arag hidung.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Satu atau kedua pupil gagal
berkonstriksi, berdilatasi, atau mendekat (Kozier & Erb, 2009).
f. Pemeriksaan Lapang Pandang
 Kaji lapang pandang perifer untuk menentukan fungsi retina dan jalur
penglihatan neuronal ke otak dan saraf kranial kedua.
- Hasil pemeriksaan normal: Saat melihat lurus ke depan, klien dapat
melihat objek di perifer.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Lapang pandang lebih kecil dari
normal (kemungkinan glaukoma), pandangan sebagian pada satu
atau kedua mata (mengindikasikan kerusakan saraf).
g. Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan
 Kaji penglihatan jarak dekat dengan memberikan pencahayaan yang
adekuat dan meminta klien untuk membaca majalah atau surat kabar
yang dipegang dengan jarak 36 cm. Jika klien menggunakan lensa
korektif, kacamat atau lensa harus dipakai saat uji coba.
- Hasil pemeriksaan normal: Mampu membaca surat kabar.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Sulit membaca kertas koran kecuali
karena proses penuaan.
 Kaji penglihatan jarak jauh, minta klien untuk menggunakan lensa
korektif, kecuali digunakan hanya untuk membaca, yaitu hanya untuk
jarak 36 cm.
- Hasil pemeriksaan normal: Penglihatan 20/20 pada kartu Snellen
untuk usia 6 tahun ke atas.

7
- Hasil pemeriksaan abnormal: Denominator 40 atau lebih pada kartu
Snellen dengan lensa korektif.
 Lakukan uji penglihatan fungsional jika klien tidak mampu melihat
baris paling atas (20/200) pada kartu Snellen.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Hanya penglihatan fungsional
(misalnya, persepsi cahaya, gerakan tangan, menghitung jari dengan
jarak 1 kaki).
(Kozier et al, 2009)
h. Pengukuran Tekanan Okuler
Tonometri adalah teknik untuk mengukur tekanan intraokuler (TIO).
Tonometri Schiotz memakai instrumen metal yang dipegang tangan
(tonometer) yang diletakkan pada permukaam kornea yang dianestesi.
Hasilnya bervariasi namun cukup baik untuk mengestimasi TIO. Alat
pengukur tekanan lain, tonometer aplanasi dari Goldman, dihubungkan
dengan lampu slit untuk mengukut TIO. Dianggap sebagai bentuk alat
ukur TIO yang paling akurat (Smeltzer & Bare, 2013).
Pemberian pewarna fluoresen dan anestesi topikal diperlukan
sebelum tonometri aplanasi. TIO juga dapat diukur dengan
pneumotonometer, yang memberikan semrotan udara kecil ke mata untuk
mengukur tekanannya. Mengkaji TIO merupakan komponen biasa pada
pemeriksaan mata komprehensif, dan tekanan harus sering diukur pada
pasien yang menderita glaukoma atau yang mempunyai risiko mengalami
hipertensi intraokuler. Peningkatan TIO merupakan tanda kardinal pada
glaukoma, penyakit yang bertanggung jawab terjadinya kebutaan pada
lebih dari seperlima kasus kebutaan di Amerika Serikat (Smeltzer & Bare,
2013).
Penentuan umum TIO dapat dilakukan dengan memberikan tekanan
ringan jari pada sklera mata yang tertutup. Kedua ujung jari tengah
diletakkan pada kelopak mata atas yang tertutup. Salah satu jari menekan
dengan lembut ke dalam sementara jari satunya merasakan kerasnya
tekanan yang ditimbulkan melawannya. Beberapa pemeriksa kemudian
membandingkan tegangan yang dirasakan atau dipersepsi pada mata

8
pasien dengan tekanan matanya sendiri. Bila dilakukan dengan baik,
manuver ini dapat memberi perkiraan kasar, dan memerlukan latihan.
Namun, bila kita memerlukan pengukuran yang akurat, perlu dilakukan
tonometri. Hidrasi pasien dapat dikaji dengan meraba tegangan
intraokuler. Bola mata yang lunak merupakan tanda dehidrasi (Smeltzer &
Bare, 2013).
i. Ultrasonografi
Gelombang suara ultra dapat digunakan untuk mengukur dimensi
dan struktur okuler. Pemindaian ultrasonik dapat digunakan untuk
mengukur kedalaman dan bentuk bola mata sebelum pemasangan implan
lensa intraokuler sehingga dapat diperoleh refraksi yang tepat (Smeltzer &
Bare, 2013).
Pada ultrasonografi, gelombang dengan frekuensi tinggi dimensi
dari sebuah tranduser kecil seperti probe diletakkan di mata. Setelah
menghantam haringan okuler, gelombang suara kemudian memantul dan
ditangkap oleh transuder yang sama. kemudian dikonversi menjadi pola
gelombang dan ditampilkan pada osiloskop. Prosedur ini tidak
menimbulkan nyeri namun memerlukan anestesi lokal. Setelah dilakukan
pengkajian, pasien diperingatkan untuk tidak menggosok mata. Ada dua
tipe primer ultrason yang digunakan dalam oftalmologi: A-scan dan B-
scan (Smeltzer & Bare, 2013).
A-scan-ultrason berguna untuk membedakan antar tumor maligna
dan benigna, mengukur mata untuk pemasangan implan lensa intraokuler
(IOL/intraocular lens), dan memantau adanya glaukoma kongenital.
Sedangkan A-scan-ultrason berguna untuk mendeteksi dan mencari
berbagai struktur dalam mata yang kurang jelas akibat adanya perdarahan
katarak, atau opasitas lain (Smeltzer & Bare, 2013).
j. Pemeriksaan Fundus
Secara anatomis oftalmoskop memiliki kepala yang dinamakan
teropong oftalmoskop. Teropong ini mempunyai liang dengan lubang
depan dan belakang. Bila lampu oftalmoskop dinyalakan, maka sinar
lampu dipantulkan oleh sepotong kaca di dalam oftalmoskop shingga

9
menyorot keluar melalui lubang depan. Dari lubang belakang teropong,
pemeriksa dapat melihat apa yang disoroti oleh sinar lampu yang keluar
dari lubang depan itu. Dalam melakukan funduskopi, lubang penyorot
dihadapkan pada mata pasien dan lubang pengintai menghadap pada mata
pemeriksa. Di bawah lubang pengintai terdapat indikator lensa. Lensa-
lensa dapat ditempatkan di antara lubang pengintai dan lubang penyorot.
Lensa-lensa tersebut berjumlah antara 24 sampai 30 yang berukuran +20D
sampai -20D. Menurut urutan dioptri, lensa-lensa itu ditanam dalam
bingkai bundar yang dapat diputar sehingga setiap lensa yang diperlukan
dapat ditempatkan di antara lubang pengintai dan lubang penyorot. Tepi
bingkai bundar itu bergigi dan sedikit menonjol ke samping kanan
teropong oftalmoskop. Dengan adanya tepi yang bergigi itu, maka bingkai
lensa yang bundar itu dapat diputar dengan mudah (Muttaqin, 2010).
Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop mempunyai tujuan untuk
memeriksa bagian mata sebelah dalam yang dinamakan fundus, yang
meliputi retina, evaluasi diskus optikus, pembuluh darah retina,
karakteristik retina, area makula, dan humour vitreus, diskus, melihat
bentuk mangkuk fisiologis dan proporsi ukurannya, pembuluh darah
melihat ukuran, distribusi, penyilangan, dan warna pantulan, fundus retina,
melihat warna umum dan perdarahan, cairan, dan perlengketannya,
makula dan fovea sentralis melihat warna (merah gelap) dan pantulan
sentral. Humour vitreus dapat terlihat berkabut dan mengandung larva,
benda asing, struktur okuler lain, seperti fragmen lensa dan retina, dan
bercak. Semua ini dapat mengganggu transmisi impuls visual atau
kemampuan untuk melihat retina dengan jelas (Muttaqin, 2010).
2) Pengkajian Telinga
a. Riwayat Kesehatan
Pengkajian riawayat kesehatan dari telinga secara ringkas adalah sebagai
berikut: (Muttaqin, 2010)
- Apakah klien mengalami nyeri telinga, gatal, keluar cairan, tinitus
(telinga berdenging), vertigo, atau perubahan pendengaran. Perhatikan
timbul dan lamanya serangan.

10
- Apabila klien mengalami masalah pendengaran saat ini, perhatikan
timbulnya, faktor pemberat, dan efek pada aktivitas sehari-hari.
- Kaji risiko masalah pendengaran (bervariasi sesuai kelompok usia),
meliputi hipoksia saat kelahiran, meningitis, berat lahir kurang dari
1500 gram, riwayat keluarga kehilangan pendengaran, kelainan
kongenital dari tengkorak atau wajah, infeksi intrauterus non-bakterial
(rubella dan herpes), dan terpajan terus-menerus pada kebisingan
tingkat tinggi.
- Tentukan apakah klien menggunakan alat bantu pendengaran.
- Apakah klien pernah mengalami pembedahan atau trauma telinga.
- Tentukan keterpajanan klien terhadap bunyi-bunyi keras saat bekerja
dan ketersediaan alat pelindung.
- Perhatikan perilaku yang menunjukkan kehilangan pendengaran,
termasuk kegagalan berespons saat diajak bicara, pengulangan
pertanyaan, “Apa yang telah Anda katakan?”, mendekatkan diri untuk
mendengar, anak tidak menunjukkan perhatian atau menggunakan nada
suara monoton atau keras.
- Tanyakan apakah klien minum aspirin berdosis tinggi atau obat-obatan
ototoksik lainnya seperti aminoglikosida, furosemid, atau streptomicin.
- Tanyakan bagaimana klien secara normal membersihkan telinga.
b. Riwayat Kesehatan
Gangguan pendengaran dapat menyebabkan perubahan kepribadian
dan sikap, kemampuan berkomunikasi, kepekaan terhadap lingkungan,
dan bahkan kemampuan untuk melindungi diri sendiri. Di dalam ruang
kelas, pelajar dengan gangguan pendengaran dapat menunjukkan tingkat
ketidaktertarikan, kurang perhatian, dan kegagalan. Orang akan merasa
terasing di rumah karena ketidakmampuannya mendengar bunyi lonceng,
dengungan lemari es, suara burung berkicau, atau kendaraan yang
melintas. Pejalan kaki yang menderita gangguan pendengaran dapat
menyeberang jalan pada saat yang tidak tepat karena tak mampu
mendengar mobil yang mendekat. Individu yang menderita kehilangan
pendengaran dapat melewatkan sebagian percakapan dan merasa yakin

11
bahwa orang lain membicarakan dirinya. Banyak individu bahkan tidak
menyadari bahwa pendengarannya secara bertahap mulai terganggu.
Sering kali bukan mereka yang menderita gangguan, tetapi orang yang
berkomunikasi dengan mereka yang pertama kali mengenali adanya
gangguan tersebut (Smeltzer & Bare, 2013).
Tidak jarang individu dengan gangguan pendengaran menolak
mencari pertolongan medis. Oleh karena rasa takut bahwa kehilangan
pendengarannya merupakan tanda usia lanjut, banyak orang menolak
mengenakan alat bantu dengar. Sedangkan, orang lain merasa kurang
percaya diri bila mengenakan alat bantu. Pasien yang mampu melakukan
introspeksi diri biasanya akan menanyakan kepada orang yang diajaknya
berkomunikasi untuk memberi tahu bila terjadi kesulitan komunukasi.
Kelakuan dan sifat asal ini harus diperhitungkan ketika melakukan
penyuluhan pasien yang memerlukan bantuan pendengaran. Perawat harus
ingat bahwa keputusan mengenakan alat bantu dengar adalah sangat
pribadi dan sangat dipengaruhi oleh sikap dan perilaku orang tersebut
(Muttaqin, 2010).
c. Pemeriksaan Fisik
Perawat menginspeksi dan memalpasi struktur telinga luar,
menginspeksi struktur telinga tengah dengan otoskop, dan menguji telinga
dalam dengan mengukur ketajaman pendengaran. Struktur telinga luar
terdiri dari aurikula, kanal telinga luar, dan membran timpani (gendang
telinga). Kanal telinga normalnya melengkung dengan panjang kurang
lebih 2,5 cm pada orang dewasa. Dilapisi dengan kulit berbulu halus,
ujung-ujung saraf, kelenjar yang menyekresi serumen. Telinga tengah
adalah rongga berisi udara yang terdiri atas tiga tulang osikel (maleus,
inkus, stapes). Tuba eustasius menghubungkan telinga tengah dengan
nasofaring. Tekanan antara atmosfer luar dan telinga tengah distabilkan
melalui tuba eustasius (Muttaqin, 2010).

12
 Aurikula
Dengan posisi klien duduk nyaman, perawat menginspeksi ukuran,
bentuk, kesimetrisan, garis batas, posisi, dan warna aurikula. Aurikula
normalnya sejajar satu sama lain. Titik atas perlekatan berada pada satu
garis lurus dengan kantus lateral atau sudut mata. Posisi aurikula juga
hampir vertikal. Aurikulus dan jaringan sekitarnya diinspeksi adanya
deformitas, lesi, adanya cairan, serta ukuran, simetri, dan sudut
penempelan ke kepala (Muttaqin, 2010).
Perawat memalpasi aurikula untuk tekstur, nyeri tekan, dan lesi
kulit. Aurikula normalnya halus tanpa lesi. Jika klien mengeluh nyeri,
perawat dengan hati-hati menarik aurikula dan menekan tragus serta
memalpasi di belakang telinga pada prosesus mastoideus. Jika palpasi
telinga luar meningkatkan nyeri, maka kemungkinan terjadi infeksi
telinga luar. Jika palpasi aurikula dan tragus tidak mempengaruhi nyeri,
maka klien mungkin saja mengalami infeksi telinga tengah. Nyeri tekan
pada area mastoideus dapat mengindikasikan mastoiditis. Terkadang,
kista sebaseus dan tofus (deposit mineral subkutan) terdapat pada pinna.
Kulit bersisik pada atau di belakang aurikulus biasanya menunjukkan
adanya dermatitis sebore (dermatitis seborrheica) dan dapat terdapat
pula di kulit kepala dan struktur wajah (Muttaqin, 2010).
Perawat menginspeksi lubang kanal telinga untuk ukuran dan
adanya rabas. Rabas dapat disertai bau. Meatus tidak boleh
membengkak atau tersumbat. Zat lilin kuning disebut serumen
merupakan hal yang umum. Rabas kuning atau hijau, berbau busuk
dapat mengindikasikan adanya infeksi atau benda asing (Muttaqin,
2010).
 Aurikula
Untuk memeriksa kanalis auditorius eksternus dan membran timpani,
kepala pasien sedikit dijauhkan dari pemeriksa. Otoskop dipegang
dengan satu tangan sementara aurikulus dipegang dengan tangan
lainnya dengan mantap kemudian ditarik ke atas, ke belakang, dan
sedikit ke luar. Cara ini akan membuat lurus kanal pada orang dewasa

13
sehingga memungkinkan pemeriksa melihat lebih jelas membran
timpani. Spekulum dimasukkan dengan lembut dan perlahan ke kanalis
telinga, dan mata didekatkan ke lensa pembesar otoskop untuk melihat
kanalis dan membran timpani. Spekulum terbesar yang dapat
dimasukkan ke telinga (biasanya 5 mm pada orang dewasa) dipandu
dengan lembut ke bawah ke kanal dan agak ke depan. Karena bagian
distal kanalis adalah tulang dan ditutupi selapis epitel yang sensitif,
maka tekanan harus benar-benar ringan agar tidak menimbulkan nyeri
(Smeltzer & Bare, 2013).
Setiap adanya cairan, inflamasi, atau benda asing di dalam kanalis
auditorius eksternus dicatat. Membran timpani sehat bewarna mutiara
keabuan dan terletak oblique pada dasar kanalis. Penanda harus dilihat
bila mungkin, pars tensa dan kerucut cahaya, umbo, manubrium mallei,
dan prosesus brevis. Gerakan memutar lambat spekulum
memungkinkan penglihatan lebih jauh pada lipatan malleus dan daerah
perifer. Posisi dan warna membran begitu juga tanda yang tak biasa atau
deviasi kerucut cahaya dicatat. Adanya ciran, gelembung udara, atau
massa di telinga tengah harus dicatat (Muttaqin, 2010).
Pemeriksaan otoskop kanalis auditorius eksternus dan membran
timpani yang baik hanya dapat dilakukan bila kanalis tidak terisi
serumen yang besar. Serumen normalnya terdapat di kanalis eksternus,
dan bila jumlahnya sedikit tidak akan mengganggu pemeriksaan
otoskop. Bila membran timpani tak dapat dilihat karena adanya
serumen, kanalis eksternus harus diirigasi dengan lembut jika tak ada
kontraindikasi. Bila serumen sangat lengket, maka sedikit minyak
mineral atau pelunak serumen yang dapat dibeli bebas dapat diteteskan
dalam kanalis telinga dan pasien diinstruksikan kembali lagi untuk
pengambilan serumen dan inspeksi telinga. Penggunaan instrumen
seperti kuret serumen untuk mengangkut serumen hanya boleh
dilakukan oleh ahli otolaringologi atau perawat yang telah dilatih
spesialis karena dapat terjadi bahaya perforasi membran timpani dan
ekskoriasi kanalis auditorius eksternus. Penumpukan serumen

14
merupakan penyebab biasa dari kehilangan pendengaran da n iritasi
lokal (Smeltzer & Bare, 2013).
d. Pengkajian Ketajaman Auditorius
Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif
dengan mengkaji kemampuan pasien mendengarkan bisikan kata atau
detakan jam tangan. Bisikan lembut dilakukan oleh pemeriksa, yang
sebelumnya telah melakukan ekshalasi penuh. Masing-masing telinga
diperiksa bergantian. Agar telinga yang satunya tak mendengar, pemeriksa
menutup telinga yang tak diperiksa dengan telapak tangan. Dari jarak 1
sampai 2 kaki dari telinga yang tak tertutup dan di luar batas penglihatan,
pasien dengan ketajaman normal dapat menirukan dengan tepat apa yang
dibisikkan. Bila yang digunakan detak jam tangan, pemeriksa memegang
jam tangan sejauh tiga inci dari telinganya sendiri (dengan asumsi
pemeriksa mempunyai pendengaran normal) dan kemudian memgang jam
tangan pada jarak yang sama dari aurikulus pasien. Karena jam tangan
menghasilkan suara dengan nada yang lebih tinggi daripada suara bisikan,
maka kurang dapat dipercaya dan tidak dapat dipakai sebagai satu-satunya
cara mengkaji ketajaman auditorius (Muttaqin, 2010).
Penggunaan uji Weber dan Rinne memungkinkan kita membedakan
kehilangan akibat konduktif atau kehilangan sensorineural ketika terjadi
gangguan pendengaran. Uji ini bukan merupakan bagian pemeriksaan fisik
penyaring rutin, namun sangat berguna bila diperlukan pengkajian yang
lebih tajam, bila diketahui adanya kehilangan pendengaran, atau bila hasil
substansi audiometrik dilakukan (Muttaqin, 2010).
Uji Weber memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya
lateralisasi suara. Sebuah garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan
pukulkan pada lutut atau pergelangan tangan pemeriksa. Kemudian
diletakkan pada dahi atau gigi pasien. Pasien ditanya apakah suara
terdengar di tengah kepala, di telinga kanan, atau telinga kiri. Individu
dengan pendengaran normal akan mendengar suara seimbang pada kedua
telinga atau menjelaskan bahwa suara terpusat di tengah kepala. Bila ada
kehilangan pendengaran konduktif (otosklerosis, otitis media), suara akan

15
lebih jelas terdengar pada sisi yang sakit. Ini disebabkan karena obstruksi
akan menghambat ruang suara sehingga akan terjadi peningkatan konduksi
tulang. Bila terjadi kehilangan sensorineural, suara akan mengalami
lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik. Uji Weber berguna
untuk kasus kehilangan pendengaran unilateral (Smeltzer & Bare, 2013).
Uji Rinne, gagang garpu tala yang bergetar ditempatkan di belakang
aurikula pada tulang mastoid (konduksi tulang) sampai pasien tak mampu
lagi mendengar suara. Kemudian garpu tala dipindahkan pada jarak 1 inci
dari meatus kanalis auditorius eksternus (konduksi udara). Pada keadaan
normal, pasien dapat terus mendengarkan suara, hal ini menunjukkan
bahwa kondisi udara berlangsung lebih lama dari konduksi tulang. Pada
kehilangan pendengaran konduktif, konduksi tulang akan melebihi
konduksi udara, begitu konduksi tulang melalui tulang temporal telah
menghilang, pasien sudah tak mampu lagi mendengar garpu tala melalui
mekanisme konduktif yang biasa. Sebaliknya, kehilangan pendengaran
sensorineural memungkinkan suara yang dihantarkan melalui udara lebih
baik dari tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor yang buruk
dan segala suara diterima seperti sangat jauh dan lemah (Smeltzer & Bare,
2013).
Untuk memulai pengkajian pendengaran, perawat meminta klien
melepas alat bantu dengar yang dipakai. Perawat mencatat respons klien
terhadap pertanyaan. Normalnya klien akan berespons tanpa meminta
perawat secara berlebihan untuk mengulang pertanyaan. Jika dicurigai
terdapat kehilangan pendengaran, perawat memeriksa respons klien
terhadap suara berbisik. Telinga dites satu per satu, dengan klien
menyumbat telinga yang satu dengan jari. Perawat meminta klien untuk
menggerakkan jari ke atas dan ke bawah selama tes. Sambil berdiri 1
sampai 2 kaki (30 sampai 60 cm) dari telinga yang dites, perawat menutup
mulut sehingga klien tidak dapat membaca bibir. Setelah ekshalasi penuh,
perawat terlebih dahulu berbisik lembut ke arah telinga yang tidak
disumbat, mengucapkan angka secara acak yang memiliki aksen suku kata
yang sama. jika perlu, perawat secara bertahap meingkatkan intensitas

16
suara sampai klien dapat mengulang dengan benar angka-angka tersebut.
Telinga satunya kemudian dites untuk perbandingan (Muttaqin, 2010).
e. Pengkajian Diagnostik
Pengkajian diagnostik yang paling lazim dilaksanakan di klinik
adalah audiometri dan timfanometri. Kedua pemeriksaan ini biasanya
dilakukan terutama pada pasien yang ada memiliki riwayat penurunan
fungsi pendengaran (Muttaqin, 2010).
 Audiometri
Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiometer adalah satu-
satunya instrumen diagnostik yang paling penting. Uji audiometri ada
dua macam: (1) Audiometri nada murni, dimana stimulus suara terdiri
atas nada murni atau musik (semakin keras nada sebelum pasien bisa
mendengar berarti semakin besar kehilangan pendengarannya), dan (2)
Audiometri wicara, dimana kata yang diucapkan digunakan untuk
menentukan kemampuan mendengar dan membedakan suara.
Audiogram dapat membedakan antara kehilangan pendengaran
konduktif dan kehilangan pendengaran sensorineural (Muttaqin, 2010).
Perawat yang melakukan uji dan pasien mengenakan earphone
dan sinyal mengenal nada yang didengarkan. Ketika nada dipakai
secara langsung pada meatus kanalis auditorius eksternus, kita
mengukur konduksi udara. Bila stimulus diberikan pada tulang mastoid,
melintas mekanisme konduksi (osikulus), langsung menguji konduksi
saraf. Agar hasilnya akurat, evaluasi audiometri dilakukan di ruangan
yang kedap suara. Respons yng dihasilkan kemudian dicatat dalam
bentuk grafik yang dinamakan audiogram (Muttaqin, 2010).
Frekuensi merujuk pada jumlah gelombang suara yang dihasilkan
oleh sumber bunyi per detik atau hertz (Hz). Telinga manusia normal
mampu mendengar suara dengan kisaran frekuensi dari 20 sampai
20.000 Hz. Frekuensi dari 500 sampai 2000 Hz yang paling penting
untuk memahami percakapan sehari-hari yang dikenal sebagai kisaran
wicara. Nada adalah istilah untuk menggambarkan frekuensi, nada
dengan frekuensi 100 Hz dianggap sebagai nada rendah, dan nada

17
10.000 Hz dianggap sebagai nada tinggi. Unit untuk kerasnya bunyi
(intensitas suara) adalah desibel (dB) yaitu tekanan yang ditimbulkan
oleh suara. Kehilangan pendengaran diukur dalam desibel yang
merupakan fungsi logaritma intensitas dan tidak bisa dengan mudah
dikonversikan ke presentase. Ambang kritis kekerasan adalah sekitar 20
dB. Beberapa contoh intensitas suara yang biasa termasuk gesekan
kertas dalam lingkungan yang sunyi, terjadi pada sekitar 15 dB,
percakapan rendah 40 dB, dan kapal terbang jet sejauh 100 kaki, tercatat
sekitar 150 dB. Suara yang lebih keras dari 80 dB didengar telinga
manusia sangat keras. Suara yang terdengar tidak nyaman dapat
merusak telinga dalam (Smeltzer & Bare, 2013).
 Timpanografi
Timpanogram atau audiometri impedans, mengukur refleks otot telinga
tengah terhadap stimulus suara, selain kelenturan membran timpani,
dengan mengubah tekanan udara dalam kanalis telinga yang tertutup.
Kelenturan akan brkurang pada penyakit telinga tengah (Muttaqin,
2010).
3) Pengkajian Hidung dan Sinus
Perawat dapat menginspeksi jalan nasal dengan secara mudah dengan
menggunakan senter. Namun spekulum nasal, yaitu alat yang memiliki senter,
memudahkan pemeriksaan ruang nasal. Pengkajian hidung meliputi inspeksi
dan palpasi hidung eksternal (sepertiga atas hidung adalah tulang dan yang
lainnya adalah kartilago), kepatenan ruang hidung, dan inspeksi rongga
hidung. Perawat juga melakukan inspeksi dan palpasi sinus wajah. Praktisi
yang sudah ahli dapat melakukan transiluminasi sinus. Jika klien melaporkan
kesulitan dan ketidaknormalan penciuman, perawat harus melakukan ujia
pada indra penciuman klien dengan meminta klien mengidentifikasikan
macam aroma yang umum seperti kopi atau mint. Untuk melakukannya,
minta klien agar menutup mata, dan letakkan vial berisi macam aroma di
bawah hidung klien (Kozier et al, 2009).

18
a. Riwayat Kesehatan
 Rhinorrhea (pilek) mengacu pada pengeluaran sekret dari dalam hidung
dan keadaan ini sering berkaitan dengan kongesti nasal yang
merupakan perasaan terseumbat atau obstruksi dalam hidung. Semua
gejala tersebut sering disertai dengan bersin-bersin, mata yang berair,
serta rasa tidak nyaman dalam tenggorokan disertai rasa gatal pada
mata, hidung, dan tenggorokan.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Penyebab rhinorrhea meliputi infeksi
virus, rinitis alergika, dan rinitis vasomotor. Keluhan gatal
memperbesar kemungkinan alergi sebagai penyebabnya.
 Lakukan anamnesis untuk mengkaji kronologis sakitnya. Apakah
keadaan sakit tersebut sudah berlangsung seminggu, khususnya bila
terdapat wabah selesma dan sindrom yang ada kaitannya, ataukah
terjadi secara musiman ketika tepung sari tanaman banyak tersebar
dalam udara lingkungan, apakah sakitnya berkaitan dengan kontak atau
lingkungan tertentu. Obat-obat apa saja yang sudah digunakan oleh
pasien, berapa lama penggunaanya, bagaimana khasiatnya.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Jika berhubungan dengan musim atau
kontak lingkungan, menunjukkan alergi. Penggunaan obat
dekongestan hidung yang berlebihan dapat memperberat gejala.
 Tanyakan tentang obat-obat yang dapat membuat hidung tersumbat.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Obat-obat kontrasepsi oral, reserpin,
guanetidin, dan alkohol.
 Apakah ada gejala lain di samping pilek atau hidung yang tersumbat,
seperti rasa nyeri atau nyeri tekan pada wajah atau di daerah sinus, sakit
kepala setempat, atau demam.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Semua gejala ini menunjukkan
sinusitis.
 Apakah kongesti nasal yang diderita oleh pasien terbatas pada salah
satu sisi hidung saja. Jika jawabannya ya, anda mungkin menghadapi
persoalan lain yang memerlukan pemeriksaan fisik yang seksama.

19
- Hasil pemeriksaan abnormal: Pertimbangkan kemungkinan deviasi
septum nasal, benda asing atau tumor.
 Epistaksis (mimisan) berarti perdarahan dari dalam hidung. Biasanya
darah berasal dari hidung sendiri kendati dapat pula mengalir dari sinus
paranasalis atau nasofaring. Biasanya riwayat medis yang disampaikan
oleh pasien cukup dapat menunjukkan lokasi asal perdarahan.
Walaupun demikian, pada pasien yang berada dalam posisi berbaring
atau yang perdarahannya berasal dari struktur posterior, mungkin
darahnya tidak mengalir keluar lewat lubang hidung, tetapi mengalir ke
dalam tenggorokan. Perawat harus mengidentifikasi sumber
perdarahannya dengan cermat, apakah darah itu dari hidung ataukah
darah yang dibatukkan atau dimuntahkan keluar. Lakukan pemeriksaan
untuk mengkaji lokasi perdarahan, keparahannya dan gejala lain yang
menyertai. Apakah epistaksis ini merupakan permasalahan yang terjadi
berkali-kali. Apakah terdapat pula gejala mudah memar atau mudah
berdarah di bagian tubuh yang lain.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Penyebab lokal epistaksis meliputi
trauma (khususnya mengupil), inflamasi, mukosa hidung yang
kering serta pembentukan krusta pada mukosa hidung, tumor, dan
benda asing. Kelainan perdarahan dapat juga menyebabkan
epistaksis.
(Bickley, 2009)
b. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi kesimetrisan kontur, warna, dan tekstur bagian luar bibir.
Minta klien untuk mengerutkan bibir seperti ingin bersiul.
- Hasil pemeriksaan normal: Warna merah muda yang sama (lebih
gelap, misalnya corak kebiruan pada kelompok mediterania dan
klien berkulit gelap), tekstur lunak, lembap, dan halus, kontur
simetris, mampu mengerutkan bibir.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Tidak simetris, ada rabas dari hidung,
ada area kemerahan lokal atau ada lesi kulit.

20
 Palpasi hidung eksternal secara perlahan untuk menentukan adanya
area nyeri tekan, massa, dan pergeseran tulang serta kartilago.
- Hasil pemeriksaan normal: Tidak ada nyeri tekan, tidak ada lesi.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Nyeri tekan saat palpasi, ada lesi.
 Tentukan kepatenan kedua rongga hidung. Minta klien menutup mulut,
tekan salah satu hidung, dan bernapas melalui lubang hidung yang lain.
Ulangi prosedur untuk mengkaji kepatenan lubang hidung yang lain.
- Hasil pemeriksaan normal: Udara bergerak lancar saat klien
bernapas melalui hidung.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Gerakan udara terbatas pada satu
hidung.
 Inspeksi rongga hidung dengan menggunakan senter atau spekulum
nasal.
 Observasi adanya kemerahan, bengkak, rabas, dan sesuatu yang
tumbuh.
- Hasil pemeriksaan normal: Mukosa merah muda, rabas berair dan
jernih, tidak ada lesi.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Mukosa merah, edema, rabas
abnormal (misalnya purulen), ada lesi (misalnya polip).
 Inspeksi septum nasal di antara ruang-ruang nasal.
- Hasil pemeriksaan normal: Septum nasal utuh dan pada garis tengah.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Penyimpangan septum ke kanan atau
ke kiri.
 Palpasi sinus maksilaris dan sinus frontal untuk mengetahui adanya
nyeri tekan.
- Hasil pemeriksaan normal: Tidak ada nyeri tekan.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Nyeri tekan pada satu atau lebih sinus.
(Kozier et al, 2009)
4) Pengkajian Mulut dan Faring
Perawat mengkaji mulut dan faring untuk mendeteksi tanda kesehatan
secara umum, menentukan kebutuhan higiene oral, dan menentukan terapi
keperawatan untuk klien dengan dehidrasi, asupan terbatas, trauma oral, atau

21
obstruksi jalan napas oral. Untuk mengkaji rongga oral, perawat
menggunakan senter dan spatel lidah atau kasa tunggal segiempat. Sarung
tangan harus dipakai selama pemeriksaan. Selama pemeriksaan, klen dapat
duduk atau berbaring. Pengkajian rongga oral dapat dilakukan selama
pemeriksaan higiene oral (Muttaqin, 2010).
a. Riwayat Kesehatan
 Nyeri tenggorokan (sore throat) merupakan keluhan yang sering
dijumpai dan biasanya terjadi bersamaan dengan gejala infeksi saluran
napas atas yang akut.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Demam, eksudasi faring dan
limfadenopati anterior, khususnya tanpa gejala batuk, menunjukkan
faringitis streptokokus atau strep throat.
 Lidah yang terasa nyeri (sore tongue) dapat disebabkan oleh lesi lokal
atau penyakit sistemik.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Ulkus aftosa, lidah yang licin dan
terasa sakit pada defisiensi gizi.
 Perdarahan dari gusi (gum bleeding) merupakan gejala yang lazim
dijumpai, khususnya pada saat menyikat gigi. Tanyakan tentang lesi
lokal dan setiap kecenderungan untuk mengalami perdarahan atau
memar pada bagian tubuh yang lain.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Gusi yang berdarah paling sering
disebabkan oleh gingivitis.
 Suara parau (hoarseness) mengacu kepada perubahan kualitas suara
yang sering kali disebut dengan istilah suara yang menjadi serak, berat,
atau kasar. Nada suara yang mungkin lebih rendah daripada
sebelumnya. Biasanya suara parau timbul dari penyakit pada laring,
namun dapat pula terjadi sebagai lesi di luar daerah laring yang
menekan nervus laringeus. Tanyakan tentang penggunaan suara yang
berlebihan, reaksi alergi, riwayat merokok atau iritan yang terhirup
lainnya, dan setiap gejala lain yang berkaitan. Apakah permasalahan
tersebut akut ataukah kronis. Jika suara yang parau berlangsung lebih

22
dari 2 minggu, dianjurkan pemeriksaan visual laring dengan
laringoskopi langsung atau tidak langsung.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Penggunaan suara yang berlebihan
(seperti saat bersorak sorai) dan infeksi akut merupakan keadaan
yang paling sering menyebabkan suara yang parau. Penyebab suara
parau yang kronis meliputi kebiasaan merokok, alergi, penggunaan
suara yang berlebihan, hipotiroidisme, infeksi kronis seperti
tuberkulosis dan tumor.
 Tanyakan, “Apakah Anda pernah menemukan pembesaran kelenjar
atau benjolan pada leher Anda?” sangat dianjurkan karena pasien lebih
mengenal istilah awam tersebut dibandingkan dengan istilah kelenjar
limfe atau nodus limfatikus. .
- Hasil pemeriksaan abnormal: Kelenjar limfe yang membesar dan
nyeri bila disentuh sering menyertai faringitis.
 Lakukan pemeriksaan fungsi kelenjar tiroid dan tanyakan tentang gejala
yang membuktikan adanya pembesaran kelenjar tiroid atau penyakit
goiter (gondok). Untuk mengevaluasi fungsi tiroid, tanyakan tentang
intoleransi terhadap temperatur dan gejala perspirasi. Pertanyaan
pembuka meliputi “Apakah Anda lebih menyukai cuaca yang panas
ataukah dingin?” “Apakah Anda mengenakan pakaian yang lebih
hangat atau yang kurang hangat jika dibandingkan dengan orang lain?”
“Bagaimana mengenai selimut, apakah Anda lebih sering memakainya
ataukah lebih jarang jika dibandingkan dengan anggota keluarga
lainnya di rumah?” “Apakah Anda mengeluarkan keringat lebih banyak
atau lebih sedikit dibandingkan orang lain?” “Apakah terdapat
perubahan berat badan atau gejala berdebar-debar (palpitasi) yang baru
saja terjadi?” Ingatlah bahwa ketika usia seseorang bertambah lanjut,
pengeluaran keringatnya akan lebih sedikit, toleransinya terhadap hawa
dingin akan menurun dan cenderung lebih menyukai lingkungan yang
lebih hangat.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Pada penyakit goiter, fungsi tiroid
dapat meningkat, menurun, atau normal. Intoleransi terhadap hawa

23
dingin, kesenangan memakai pakaian yang hangat serta selimut yang
berlapis-lapis dan penurunan produksi keringat menunjukkan
hipotiroidisme, gejala sebaliknya, palpitasi dan penurunan berat
badan di luar kehendak menunjukkan hipertiroidisme.
(Bickley, 2009)
b. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi kesimetrisan kontur, warna, dan tekstur bagian luar bibir.
Minta klien untuk mengerutkan bibir seperti ingin bersiul.
- Hasil pemeriksaan normal: Warna merah muda yang sama (lebih
gelap, misalnya corak kebiruan pada kelompok), mediterania dan
klien berkulit gelap, tekstur lunak, lembab, halus, kontur simetris
dan mampu mengerutkan bibir.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Pucat, sianosis, lepuh, bengkak merata
atau lokal, fisura, krusta atau bersisik (karena kelembapan
berlebihan defisiensi nutrisi atau defisit cairan), tidak mampu
mengerutkan bibir seperti meniup (mengidentifikasikan kerusakan
saraf fasial).
 Inspeksi dan palpasi warna, kelembaban, tekstur dan adanya lesi pada
bibir bagian dalam dan mukosa bukal.
- Hasil pemeriksaan normal: Warna merah muda keseluruhan (bintik
cokelat pigmentasi pada klien berkulit gelap), tekstur lembab, halus,
lunak, berkilau dan elastis (mukosa oral lebih kering pada lansia
akibat penurunan saliva).
- Hasil pemeriksaan abnormal: Pucat, bercak putih (leukoplakia),
terlalu kering, kista mukosa, iritasi akibat gigi palsu, abrasi, ulkus
dan nodul.
 Inspkesi gigi dan gusi sambil memeriksa bibir bagian dalam dan
mukosa bukal.
- Hasil pemeriksaan normal: 32 gigi orang dewasa, email gigi halus,
putih dan berkilau, gusi merah muda, tekstur lembab dan keras pada
gusi, tidak ada retraksi gusi (menjauh dari gigi).

24
- Hasil pemeriksaan abnormal: Gigi ada yang lepas, nyeri memasang
gigi palsu, perubahan warna cokelat atau hitam pada email gigi
(dapat mengindikasikan kerusakan atau adanya karies), gusi terlalu
merah, tekstur spongi (seperti spons), perdarahan, nyeri tekan (dapat
mengindikasikan penyakit periodontal), gusi atrofi pembengkakan
menutupi gigi.
 Inspeksi gigi palsu. Minta klien untuk melepaskan gigi palsu lengkap
atau parsial. Inspeksi kondisi gigi palsu, perhatikan dengan teliti area
yang rusak atau area yang luas.
- Hasil pemeriksaan normal: Gigi palsu utuh, halus.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Nyeri saat memasang gigi, adanya
iritasi dan ekskoriasi daerah bawah gigi palsu.
 Inspeksi posisi, warna dan tekstur permukaan lidah. Minta klien untuk
menjulurkan lidahnya.
- Hasil pemeriksaan normal: Posisi sentral, warna merah muda
(beberapa pigmentasi coklat di pinggir lidah pada klien berkulit
gelap), lembab, agak sedikit kasar dan lapisan putih tipis, batas
lateral, serta halus, tidak ada lesi.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Menyimpang dari pusat (dapat
mengindikasikan kerusakan saraf hipoglosus), lidah merah, halus
(dapat mengindikasikan defisiensi besi, vitamin B12, atau vitamin
B3) lidah kering seperti bulu (karena defisit cairan), nodus, ulkus,
perubahan warna (area putih atau merah) serta ada area nyeri tekan.
 Inspeksi gerakan lidah. Minta klien untuk menggulung lidah ke atas dan
menggerakkannya dari sisi ke sisi.
- Hasil pemeriksaan normal: Bergerak bebas, tidak ada nyeri tekan.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Mobilisasi terganggu.
 Inspeksi dasar lidah, dasar mulut dan frenulum. Minta klien untuk
meletakkan ujung lidah pada langit-langit mulut.
- Hasil pemeriksaan normal: Dasar lidah halus dengan vena menonjol.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Bengkak, ulserasi.

25
 Palpasi adanya nodul, bengkak atau area ekskoriasi pada lidah dan dasar
mulut. Untuk palpasi lidah, gunakan sehelai kassa untuk memegang
ujung lidah (menstabilisasi) dan dengan jari telunjuk tangan yang satu
lagi, palpasi bagian belakang lidah, tepinya, dan dasarnya.
- Hasil pemeriksaan normal: Halus tanpa nodul yang dapat dipalpasi.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Bengkak, ulserasi.
 Inspeksi adanya pembengkakan atau kemerahan di lubang duktus
saliva.
- Hasil pemeriksaan normal: Memiliki warna yang sama seperti
mukosa bukal dan dasar mulut.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Inflamasi (kemerahan dan bengkak).
 Inspeksi warna, bentuk, tekstur dan adanya tonjolan tulang pada
palatum keras dan lunak. Minta klien untuk membuka mulut dengan
lebar dan miringkan kepala ke belakang. Kemudian, tekan lidah dengan
spatel lidah sesuai kebutuhan, dan gunakan senter kecil untuk
visualisasi yang sesuai.
- Hasil pemeriksaan normal: Palatum lunak berwarna merah muda,
terang dan lunak. Palatum keras berwarna merah muda lebih terang
dan tekstur lebih tidak teratur.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Perubahan warna (misalnya, ikterus
atau pucat), palatum berwarna sama, dan iritasi.
 Inspeksi letak dan gerakan uvula sambil memeriksa palatum. Untuk
mengobservasi uvula, minta klien mengatakan “ah” sehingga palatum
lunak terangkat.
- Hasil pemeriksaan normal: Terletak di garis tengah palatum lunak.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Penyimpangan ke salah satu sisi terjadi
karena tumor atau trauma, tidak bergerak (dapat mengindikasikan
kerusakan saraf trigeminal atau saraf vagus).
 Inspeksi letak dan gerakan uvula sambil memeriksa palatum. Untuk
mengobservasi uvula, minta klien mengatakan “ah” sehingga palatum
lunak terangkat.
- Hasil pemeriksaan normal: Terletak di garis tengah palatum lunak.

26
- Hasil pemeriksaan abnormal: Penyimpangan ke salah satu sisi terjadi
karena tumor atau trauma, tidak bergerak (dapat mengindikasikan
kerusakan saraf trigeminal atau saraf vagus).
 Inspeksi warna dan tekstur orofaring. Inspeksi satu sisi pada satu waktu
untuk menghindari tercetusnya refleks. Untuk melihat satu sisi
orofaring, tekan sekitar seperdua belakang lidah dengan spatel di sisi
yang sama sementara klien memiringkan kepala ke belakang dan
membuka mulut dengan lebar. Gunakan senter kecil untuk iluminasi
jika diperlukan.
- Hasil pemeriksaan normal: Dinding posterior berwarna merah muda
dan halus.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Kemerahan atau edema, ada lesi, plak
atau drainase.
 Inspeksi warna, rabas dan ukuran tonsil (di belakang fauses).
- Hasil pemeriksaan normal: Merah muda dan halus, tidak ada rabas,
ukuran normal tentang klasifikasi untuk menjelaskan ukuran tonsil.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Inflamasi, terdapat rabas dan bengkak.
 Cetuskan refleks gag dengan menekan bagian posterior lidah
menggunakan spatel atau saraf vagus.
- Hasil pemeriksaan normal: Ada.
- Hasil pemeriksaan abnormal: Tidak ada (dapat mengindikasikan
masalah dengan saraf glosofaringeal).
(Kozier et al, 2009)
c. Pemeriksaan Pengecapan
Siapkan beberapa larutan yang mewakili empat rasa utama (manis,
asin, asam, pahit). Larutan tersebut dapat mengandung: gula, garam dapur,
cuka, kina. Minta pasien untuk menjulurkan lidahnya dan pegang ujung
lidah dengan menggunakan kasa steril. Teteskan larutan yang telah
disiapkan tadi pada tepi lateral dua pertiga anterior lidah. Minta pasien
untuk mengidentifikasi rasa yang diteteskan. Anjurkan pasien berkumur
sebentar, kemudian lanjutkan dengan larutan berikutnya (Kozier et al,
2009).

27
5) Pengkajian Kulit
a. Riwayat Kesehatan
Pada saat merawat pasien dengan gangguan dermatologik, perawat
mendapatkan informasi penting melalui riwayat kesehatan pasien dan
observasi langsung. Dalam banyak kasus, pasien atau keluarganya merasa
lebih nyaman berbicara dengan perawat dan menyampaikan informasi
penting yang mungkin disimpannya atau lupa disampaikan ketika
berbicara dengan dokter atau petugas kesehatan yang lain. Keterampilan
perawat dalam pengkajian fisik dan pemahamannya terhadap anatomi dan
fungsi kulit dapat menjamin bahwa setiap penyimpangan dari keadaan
normal akan dapat dikenali, dilaporkan dan didokumentasikan (Smeltzer
& Bare, 2013).
Selama wawancara riwayat kesehatan, ajukan pertanyaan alergi
kulit, reaksi alergik terhadap makanan, obat serta zat kimia, masalah kulit
sebelumnya dan riwayat kanker kulit. Nama-nama kosmetika, sabun,
sampo atau produk higiene personal lainnya juga harus ditanyakan jika
terdapat masalah kulit yang terjadi setelah memakai produk tersebut.
Riwayat kesehatan akan berisi informasi yang spesifik mengenai awitan,
tanda dan gejala, lokasi, dan durasi nyeri, gatal-gatal, ruam atau gangguan
rasa nyaman lainnya yang dialami pasien (Smeltzer & Bare, 2013).
b. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit, termasuk membran
mukosa, kulit kepala dan kuku. Inspeksi dan palpasi merupakan prosedur
utama yang digunakan dalam memeriksa kulit, dan pemeriksaan kulit
memerlukan ruangan yang terang dan hangat. Penlight dapat digunakan
untuk menyinari lesi. Pasien dapat melepaskan seluruh pakaiannya dan
diselimuti dengan benar. Sarung tangan harus selalu dipakai ketika
melakukan pemeriksaan kulit (Smeltzer & Bare, 2013).
Tampilan umum kulit dikaji dengan menangani warna, suhu,
kelembaban, kekeringan, tekstur kulit (kasar, atau halus), lesi,
vaskularitas, mobilitas dan kondisi rambut serta kuku. Turgor kulit, edema

28
yang mungkin terjadi dan elastisitas kulit harus dinilai dengan palpasi
(Smeltzer & Bare, 2013).
Warna kulit bervariasi antara orang yang satu dengan lainnya, dan
berkisar dari warna gading hingga cokelat gelap. Kulit bagian tubuh yang
terbuka, khususnya di kawasan yang beriklim panas dan banyak cahaya
matahari, cenderung lebih berpigmen daripada bagian tubuh lainnya. Efek
vasodilatasi yang ditimbulkan oleh demam, sengatan matahari dan
inflamasi akan menimbulkan bercak merah muda atau kemerahan pada
kulit, pucat merupakan keadaan tidak adanya atau berkurangnya tonus
serta vaskularitas kulit yang normal dan paling jelas terlihat pada
konjungtiva (Smeltzer & Bare, 2013).
Warna kebiruan pada sianosis menunjukkan hipoksia seluler dan
mudah terlihat pada ekstremitas, dasar kuku, bibir serta membran mukosa.
Ikterus, yaitu kulit yang menguning, berhubungan langsung dengan
kenaikan kadar bilirubin serum dan acapkali terlihat pada sklera serta
membran mukosa (Smeltzer & Bare, 2013)
 Mengkaji Pasien dengan Kulit Gelap
Gradasi warna yang terjadi pada orang yang berkulit gelap terutama
ditemukan oleh transmisi genetik, gradasi ini dapat dinyatakan sebagai
warna yang cerah, sedang atau gelap. Pada orang yang berkulit gelap,
melanin diproduksi dengan kecepatan yang lebih besar dan jumlah
diproduksi dengan kecepatan yang lebih besar dan jumlah yang lebih
banyak dibandingkan pada orang yang kulitnya lebih cerah. Kulit yang
gelap dan sehat memiliki dasar kemerahan atau undertone. Mukosa
pipi, lidah, bibir dan kuku dalam keadaan normal tampak merah muda
(Smeltzer & Bare, 2013).
Dalam memeriksa pasien yang berkulit gelap, cahaya ruangan
harus baik dan pemeriksaan dilakukan terhadap kulit serta dasar kuku
di samping mulut. Semua daerah yang dicurigai harus dipalpasi
(Smeltzer & Bare, 2013).
Derajat pigmentasi pada kulit pasien yang berwarna gelap dapat
mempengaruhi penampakan suatu lesi. Lesi dapat berwarna hitam,

29
ungu atau abu-abu dan bukannya berwarna merah atau cokelat
kekuningan seperti yang terlihat pada pasien yang berkulit cerah
(Smeltzer & Bare, 2013).
Eritema terjadi karena adanya kecenderungan pada kulit yang
gelap untuk berwarna kelabu kebiruan ketika terdapat inflamasi,
eritema (kemerahan pada kulit yang disebabkan oleh kongesti kapiler)
mungkin sulit terdeteksi. Untuk menentukan inflamasi yang mungkin
terdapat, kulit dipalpasi agar bertambahnya kehangatan atau kelicinan
(edema) atau kekerasan pada kulit dapat diketahui. Kelenjar limfe di
sekitarnya juga harus dipalpasi (Smeltzer & Bare, 2013).
Ruam terjadi pada kasus-kasus pruritus (gatal-gatal), kepada pasien
harus diminta untuk menunjukkan bagian tubuh yang terasa gatal.
Kemudian kulit diregangkan dengan hati-hati untuk mengurangi tonus
kemerahan dan membuat ruam tersebut menghilang. Perbedaan tekstur
kulit dinilai dengan menggerakkan ujung-ujung jari tangan yang
menyentuh secara ringan pada permukaan kulit. Biasanya bagian tepi
ruam dapat diraba. Mulut dan telinga pasien harus turut diperiksa.
Kadang-kadang rubeola atau campak akan menimbulkan ruam
berwarna merah pada ujung telinga. Akhirnya, suhu pasien dinilai dan
kelenjar limfe dipalpasi (Smeltzer & Bare, 2013).
Sianosis terjadi bila seorang pasien yang berkulit gelap mengalami
syok, kulit biasanya berwarna kelabu. Untuk mendeteksi sianosis,
daerah di sekitar mulut serta bibir dan daerah tulang pipi serta daun
telinga harus diamati. Indikator lainnya adalah kulit yang basah dan
dingin, denyut nadi yang cepat dan lembut, dan respirasi yang cepat
serta dangkal. Ketika dilakukan pemeriksaan konjungtiva palpebra
untuk menemukan petekie (bintik-bintik halus berwarna merah akibat
keluarnya darah), tanda ini tidak boleh dikelirukan dengan endapan
melanin yang normal (Smeltzer & Bare, 2013).
Perubahan warna kulit pada orang yang berkulit gelap dapat
diketahui dan biasanya menimbulkan distres pada pasiennya. Sebagai
contoh, hipopigmentasi yang dapat disebabkan oleh vitiligo dapat

30
menimbulkan keprihatinan yang lebih besar pada orang yang berkulit
gelap karena lesi tersebut lebih mudah terlihat. Hiperpigmentasi dapat
timbul sesudah terjadi penyakit atau cedera kulit. Lipatan nasal
berpigmen di bawah mata mngkin merupakan tanda eksternal alergi.
Namun, guratan berpigmen pada kuku dianggap sebagai keadaan yang
normal (Smeltzer & Bare, 2013).
Pada umumnya orang yang berkulit gelap akan menderita kelainan
kulit yang sama seperti orang yang berkulit cerah, kendati lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami penyakit kanker kulit dan skabies.
Sebaliknya, orang yang berkulit gelap memiliki kecenderungan yang
lebih besar untuk mengalami pembentukan keloid atau jaringan parut
dan kelainan yang mengakibatkan okusi atau penyumbatan folikel
rambut (Smeltzer & Bare, 2013).
 Mengkaji Lesi Kulit
Lesi pada kulit memiliki ukuran, bentuk serta penyebab yang beragam,
dan diklasifikasikan menurut penampakan serta asalnya. Lesi kulit
dapat diuraikan sebagai lesi primer atau sekunder. Lesi primer
merupakan lesi inisial dan karakteristik penyakit itu sendiri. Lesi
sekunder terjadi akibat sebab-sebab eksternal, seperti garukan, trauma,
infeksi atau perubahan yang disebabkan oleh kesembuhan luka
(Smeltzer & Bare, 2013).
Pengkajian pendahuluan terhadap lesi harus membantu mengenali
tipe dermatosis (keadaan kulit yang abnormal) dan menunjukkan
apakah lesi tersebut primer atakah sekunder. Pada saat yang sama,
distribusi anatomi lesi harus dicatat karena beberapa penyakit ttertentu
cenderung mengenai lokasi tubuh tertentu dan tersebar dengan corak
serta bentuk yang khas. Untuk menentukan luas distribusi regional,
bagian sisi kiri dan kanan tubuh harus dibandingkan sementara warna
dan bentuk lesi dicatat. Sesudah observasi dilaksanakan, lesi dipalpasi
untuk menemukan tekstur, bentuk serta tepinya, dan untuk melihat
apakah lesi tersebut teraba lunak atau berisi cairan, atau teraba keras
dan terfiksasi pada jaringan di sekitarnya (Smeltzer & Bare, 2013).

31
Sebuah penggaris dapat digunakan untuk mengukur besar lesi
sehingga setiap pembesaran lebih lanjut dapat dibandingkan dengan
ukuran awalnya. Keadaan dermatosis tersebut kemudian dicatat pada
catatan kesehatan pasien, catatan ini harus dijelaskan secara rinci
dengan terminologi yang tepat (Smeltzer & Bare, 2013).
Sesudah distribusi lesi yang khas ditentukan, informasi berikut
harus diperoleh dan dijelaskan secara rinci: (Smeltzer & Bare, 2013)
- Bagaimana warna lesi tersebut?
- Apakah terdapat kemerahan, panas, nyeri atau pembengkakan?
- Berapa besar daerah kulit yang terkena? Dimana lokasinya?
- Apakah lesi tersebut berbentuk makula, papula, skuama, lesi dengan
eksudasi, diskrit atau konfluen?
- Bagaimana distribusi lesi (simetris, linier, sirkuler)?
 Mengkaji Vaskularitas dan Hidrasi
Setelah warna kulit dinspeksi dan keadaan lesi dicatat, pengkajian
terhadap perubahan vaskuler pada kulit harus dilakukan. Uraian tentang
perubahan vaskuler mencakup lokasi, distribusi, warna, ukuran dan
adanya pulsasi. Perubahan vaskuler yang lazim ditemukan adalah
petekie, ekimosis, telangiektasis, angioma dan venous stars (Smeltzer
& Bare, 2013).
Kelembaban kulit, suhu dan tekstur kulit dinilai terutama dengan
cara palpasi. Elastisitas (turgor) kulit yang menurun pada proses
penuaan yang normal dapat menjadi salah satu faktor untuk menilai
status hidrasi seorang pasien (Smeltzer & Bare, 2013).
 Mengkaji Kuku dan Rambut
Inspeksi singkat pada kuku mencakup observasi untuk melihat
konfigurasi, warna dan konsistensi. Banyak perubahan pada kuku atau
dasar kuku (nailbed) yang mencerminkan kelainan lokal atau sistemik
yang sedang berlangsung atau yang terjadi akibat peristiwa di masa lalu.
Alur transversal yang dinamakan garis-garis Beau pada kuku dapat
mencerminkan retardasi pertumbuhan matriks kuku yang terjadi
sekunder akibat sakit yang berat atau yang lebih sering lagi akibat

32
trauma lokal. Paronikia yaitu suatu inflamasi kulit di sekitar kuku,
biasanya akan disertai gejala nyeri tekan dan eritema. Sudut antara kuku
yang normal dan pangkalnya (basis unguium) adalah 160 derajat.
Ketika dipalpasi, pangkal kuku biasanya teraba keras. Clubbing terlihat
sebagai pelurusan sudut yang normal (menjadi 180 derajat atau lebih)
dan pelunakan pada pangkal kuku. Pelunakan ini akan terasa seperti
spons ketika dipalpasi (Smeltzer & Bare, 2013).
Pengkajian rambut dilaksanakan dengan cara inspeksi dan palpasi.
Sarung tangan harus dikenakan dan ruang pemeriksa harus memiliki
penerangan yang baik. Sibak rambut pasien agar kondisi kulit yang ada
dibaliknya dapat dilihat dengan mudah, kemudian perawat harus
mencatat warna, tekstur serta distribusinya. Setiap lesi yang abnormal,
gejala gatal-gatal, inflamasi atau tanda-tanda inflamasi parasit (tuma
atau kutu) harus dicatat (Smeltzer & Bare, 2013).
Warna rambut yang alami berkisar dari putih hingga hitam. Warna
rambut mulai berubah menjadi kelabu (beruban) ketika seseorang
menjadi tua, dan perubahan ini pertama kali terlihat dalam dekade usia
ketiga ketika hilangnya melanin mulai terjadi. Walaupun demikian,
rambut orang muda tidak jarang sudah beruban karena sifat herediter
keluarga. Orang dengan albinisme (tidak adanya pigmentasi yang
parsial atau total) mempunyai predisposisi genetik untuk terjadinya
uban sejak lahir. Kondisi alami rambut dapat berubah dengan
penggunaan pewarna rambut, pemutih dan produk untuk mengeriting
atau meluruskan rambut. Tipe-tipe produk yang digunakan harus
diketahui dalam pengkajian.
Tekstur rambut kulit kepala berkisar dari halus hingga tebal, ulet
hingga mudah patah, berminyak hingga kering, dan lurus, berombak
atau keriting. Rambut yang kering dan mudah patah dapat terjadi akibat
penggunaan pewarna rambut yang berlebihan, pengering rambut dan
alat pengeriting atau akibat gangguan fungsi tiroid. Rambut berminyak
biasanya disebabkan oleh peningkatan sekresi kelenjar sebasea di dekat
kulit kepala. Jika tekstur rambut menunjukkan perubahan yang baru

33
saja terjadi, etiologi yang mendasarinya harus dicari. Perubahan
tersebut dapat terjadi hanya karena pemakaian produk rambut
komersial yang berlebihan atau penggantian sampo.
Distribusi rambut tubuh bervariasi menurut lokasinya. Rambut
yang tumbuh di seluruh badan memiliki tekstur yang halus kecuali
rambut di daerah aksila dan pubis yang kasar serta tumbuh pada usia
pubertas. Distribusi rambut pada laki-laki memiliki bentuk wajik yang
meluas sampai daerah umbilikus. Rambut pubis wanita menyerupai
bentuk segitiga terbalik. Jika pola distribusi yang ditemukan tampak
lebih khas dari jenis kelamin yang berlawanan, penyelidikan lebih
lanjut harus dilakukan karena hal ini mungkin menunjukkan masalah
endokrin. Perbedaan rambut karena faktor ras diperkirakan terdapat,
seperti rambut yang lurus pada orang Asia dan rambut yang kasar serta
keriting pada orang Afro-Amerika.
Laki-laki cenderung memiliki rambut pada wajah dan badan yang
lebih banyak ketimbang wanita. Kerontokan rambut, alopesia, dapat
terjadi di seluruh tubuh atau terbatas pada suatu daerah tertentu.
Kerontokan rambut kepala dapat terlokalisasi pada daerah tertentu atau
dapat berkisar mulai dari penipisan rambut yang menyeluruh hingga
kebotakan total. Ketika menilai kerontokan rambut kepala, kita harus
menyelidiki penyebab yang mendasari bersama pasien. Kerontokan
rambut yang terlokalisasi (patchy loss) dapat terjadi akibat kebiasaan
“mencabut rambut” atau traksi yang berlebihan pada rambut,
pemakaian bahan pewarna, pelurus atau minyak rambut yang
berlebihan, pemakaian preparat kemoterapi (deksorubisin atau
siklofosfamid), infeksi jamur, atau penyakit kanker atau mola pada kulit
kepala. Pertumbuhan rambut kembali dapat abnormal dan distribusinya
tidak pernah mencapai ketebalan seperti semula.
Penyebab kerontokan rambut yang paling sering adalah kebotakan
tipe pria yang mengenai lebih dari separuh populasi laki-laki dan
diyakini ada kaitannya dengan hereditas, penuaan serta kadar hormon
androgen (hormon laki-laki). Androgen diperlukan untuk terjadinya

34
kebotakan pola pria. Pola kerontokan rambut tersebut dimulai dengan
surutnya garis rambut di daerah frontotemporal dan kemudian berlanjut
dengan penipisan gradual serta kehilangan total rambut pada puncak
kepala.
Distribusi rambut pola pria yang dinamakan hirsutisme
(peningkatan rambut tubuh) dapat terlihat pada sebagian wanita pada
saat menopause ketika hormon estrogen tidak lagi diproduksi oleh
ovarium. Pada wanita yang mengalami hirsutisme, rambut yang
berlebihan dapat tumbuh di daerah wajah, dada, bahu dan pubis. Kalau
menopause sudah disingkirkan sebagai etiologi yang mendasarinya,
kelainan hormonal yang berhubungan dengan disfungsi hipofise atau
adrenal harus dicari.
c. Pengkajian terhadap Masalah Psikososial
Pasien kelainan kulit (1 di antara 20 penderita) dapat melihat dan
merasakan permasalahan, mereka lebih cenderung untuk terganggu oleh
penyakitnya ketimbang penderita gangguan lain. Kelainan kulit dapat
menimbulkan masalah kosmetik, isolasi sosial, kehilangan pekerjaan dan
persoalan ekonomi (Smeltzer & Bare, 2013).
Beberapa kelainan kulit dapat membuat pasiennya menderita sakit
yang berkepanjangan sehingga timbul perasaan depresi, frustasi,
kesadaran diri dan penolakan. Gatal-gatal serta iritasi kulit juga dapat terus
mengganggu dan sering dijumpai pada sebagian besar penyakit kulit.
Konsekuensi dari gangguan rasa nyaman ini dapat berupa gangguan tidur,
ansietas dan depresi yang keseluruhannya akan meningkatkan distres serta
keletihan yang sering menyertai kelainan kulit. Di samping itu, penyakit
kulit kerapkali menimbulkan keprihatinan interpersonal (Smeltzer & Bare,
2013).
Bagi pasien-pasien yang menderita ketidaknyamanan fisik dan
psikologis semacam ini, perawat harus memperlihatkan pengertiannya,
menjelaskan masalah dan memberikan instruksi yang tepat yang
berkenaan dengan pengobatan, dukungan keperawatan, kesabaran serta
dorongan semangat yang kontinu. Diperlukan waktu untuk membantu

35
pasien mendapatkan wawasan terhadap masalahnya dan mengatasi
kesulitannya. Karena itu, mengatasi timbulnya keengganan yang mungkin
terasa ketika merawat penderita kelainan kulit yang tidak atraktif tersebut
merupakan hal yang mengesankan. Perawat tidak boleh memberikan kesan
ragu-ragu ketika melakukan pendekatan pada penderita kelainan kulit.
Perilaku semacam ini hanya akan menambah trauma psikologik dari
kelainan tersebut (Smeltzer & Bare, 2013).
d. Evaluasi Diagnostik
Biopsi kulit yang bertujuan untuk mendapatkan jaringan bagi
pemeriksaan mikroskopik dilakukan lewat eksisi dengan skalpel atau
penusukan dengan alat khusus yang akan mengambil sedikit bagian tengah
jaringan. Biopsi dilakukan terhadap nodul kulit yang asalnya tidak jelas
untuk menyingkirkan kemungkinan malignitas dan terhadap plak dengan
bentuk serta warna yang tidak lazim. Biopsi kulit juga dilakukan untuk
memastikan diagnosis yang tepat pada pembentukan lepuh dan kelainan
kulit lainnya (Smeltzer & Bare, 2013).
Imunofluoresensi (IF) yaitu untuk mengidentifikasi lokasi suatu
reaksi imun, pemeriksaan IF mengkombinasikan antigen dan antibodi
dengan zat warna fluorokrom (antibodi dapat dibuat berpendar dengan
mengakibatkannya pada zat warna) (Smeltzer & Bare, 2013).
Patch test, yang dilakukan untuk mengenali substansi yang
menimbulkan alergi pada pasien, meliputi aplikasi alergen yang dicurigai
pada kulit normal di bawah plester khusus. Jika terjadi dermatitis, gejala
kemerahan, tonjolan halus atau gatal-gatal dianggap sebagai reaksi positif
lemah. Blister yang halus, papula dan gatal-gatal yang hebat menunjukkan
reaksi positif sedang, sementara blister (bullae), nyeri serta ulserasi
menunjukkan reaksi positif kuat (Smeltzer & Bare, 2013).
Pengerokan kulit yaitu dengan sampel jaringan dikerok dari lokasi
lesi jamur yang dicurigai. Pengerokan ini dilakukan dengan mata pisau
skalpel yang sudah dibasahi dengan minyak sehingga jaringan kulit yang
dikerok melekat pada mata pisau tersebut. Bahan hasil kerokan

36
dipindahkan ke sebuah slide kaca, ditutup dengan kaca objek dan
kemudian diperiksa di bawah mikroskop (Smeltzer & Bare, 2013).
Pemeriksaan apus tzanck dilakukan untuk memeriksa sel-sel dari
kulit yang mengalami pelepuhan, seperti herpes zoster, varisela, herpes
simpleks dan semua bentuk pemfigus. Sekret dari lesi yang dicurigai
dioleskan pada slide kaca, diwarnai dan diperiksa (Smeltzer & Bare,
2013).
Pemeriksaan cahaya wood bergantung pada lampu khusus untuk
memproduksi cahaya ultraviolet gelombang opanjang (black light) yang
akan menghasilkan sinar berpendar berwarna ungu gelap yang khas.
Warna sinar berpendar ini terlihat paling jelas pada kamar yang gelap dan
digunakan untuk membedakan lesi epidermis dengan lesi dermis dan lesi
hipopigmentasi serta hiperpigmentasi dengan kulit yang normal. Kepada
pasien harus dijelaskan bahwa cahaya tersebut tidak berbahaya bagi
kesehatan kulit maupun mata (Smeltzer & Bare, 2013).
Pembuatan foto klinis untuk memperlihatkan sifat serta luasnya
kelainan kulit, dan digunakan untuk menentukan progresivitas atau
perbaikan setelah dilakukan terapi (Smeltzer & Bare, 2013).

37
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kasus
Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang dengan keluhan mata merah
disertai penglihatan mata kanan kabur sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan ini muncul tiba-tiba dan baru pertama kali dirasakan pasien. Keluhan
mata merah dialami pasien bersamaan dengan penglihatan mata kanannya yang
kabur. Pasien juga mengeluh mata kanan merah, sedikit berair dan terasa sangat
nyeri yang disertai sakit kepala terus-menerus, disertai dengan mual dan muntah.
Melihat pelangi di sekitar cahaya (+), merasa silau saat melihat cahaya (-).
Riwayat trauma (-), penggunaan kacamata (-), operasi mata (-), hipertensi (-),
diabetes melitus (-). Dari pemeriksaan fisik oftalmologis okuli dekstra
didapatkan visus 1/300, injeksi konjungtiva, injeksi siliar, kornea agak keruh,
kamera okuli anterior dangkal, pupil bulat, mid-dilatasi, anisokor dengan refleks
cahaya melambat, lensa sulit dinilai dan tekanan intraokuler meningkat (per
palpasi N +2). Pada pemeriksaan kampimetri didapatkan penyempitan lapang
pandang pada okuli dekstra. Okuli sinistra dalam batas normal. Pasien ini
didiagnosis glaukoma akut okuli dekstra. Pasien diberikan terapi medikamentosa
berupa timolol 0,5% tetes mata 2x1 tetes OD, asetazolamid tablet 3x250 mg,
KCl 2x1 tablet dan pilokarpin 2% tetes mata 4x1 tetes. Pada pasien juga
direncanakan tindakan operatif yaitu trabekulektomi OD setelah TIO normal.
Prognosis pada pasien ini adalah ad bonam (karena penyakit glaukoma akut ini
tidak mengancam nyawa pasien) dan ad fungsionam (karena telah terjadi
penyempitan lapang pandang pada mata kanan pasien dan fungsi organ mata
pasien tersebut apabila tidak ditangani dengan tepat dapat semakin memburuk
dan bahkan dapat terjadi kebutaan) (Yoga, 2016).

38
B. Pengkajian Berdasarkan Kasus
1. Identitas Klien
Nama : Tn. X
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
2. Keluhan Utama
Klien mengeluh matanya merah disertai penglihatan mata kanan kabur sejak
2 hari yang muncul secara tiba-tiba dan baru pertama kali dirasakannya.
Klien juga mengeluh mata kanan merah, sedikit berair dan terasa sangat
nyeri dan sakit kepala terus-menerus, disertai dengan mual dan muntah.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mata kanan merah dan kabur secara tiba-tiba, sedikit berair dan terasa sangat
nyeri, sakit kepala terus-menerus, mual dan muntah.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Tidak ada riwayat trauma, tidak pernah menggunakan kacamata dan
sebelumnya tidak pernah melakukan operasi mata.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes
mellitus, dan lainnya.
6. Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop: Kamera
anterior dangkal, okuli dekstra didapatkan visus 1/300, injeksi
konjungtiva, injeksi siliar, kornea agak keruh, pupil bulat disertai
sumbatan pupil yang biasanya terjadi pada malam hari saat tingkat
pencahayaan berkurang, mid-dilatasi, anisokor dengan refleks cahaya
melambat, lensa sulit dinilai dan tekanan intraokuler meningkat (per
palpasi N +2).
b) Pemeriksaan fisik melalui inspeksi: Adanya inflamasi (peradangan)
mata, sklera kemerahan, kornea keruh, dilatasi pupil sedang yang gagal
bereaksi terhadap cahaya.
c) Pemeriksaan fisik melalui palpasi: Mata yang mengalami peningkatan
TIO (per palpasi N +2), terasa lebih keras dibanding mata yang lain.

39
7. Pemeriksaan Lapang Pandang Perifer
Pada keadaan glaukoma akut lapang pandang cepat menurun secara
signifikan dan keadaan kronik akan menurun secara bertahap, serta
penyempitan lapang pandang pada okuli dekstra. Okuli sinistra dalam batas
normal.
8. Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan
Klien mengalami penurunan ketajaman penglihatan secara mendadak.
9. Pemeriksaan Tonometri
Glaukoma pada keadaan akut atau angle closure ≥ 30 mmHg dan tekanan
intraokuler (per palpasi N +2).
10. Pemeriksaan Gonioskopi: Pada glaukoma akut ketika tekanan intraokuler
(TIO) meningkat sudut COA akan tertutup, sedangkan pada waktu tekanan
intraokuler (TIO) normal sudutnya sempit.
11. Riwayat Pengobatan (Medikasi)
Klien diberikan obat topikal tetes mata Timolol 0.5% 2x1 tetes (OD) dan
pilokarpin 2% 4x1 tetes sedangkan untuk pengobatan sistemik diberikan
asetazolamid tablet 2x250 mg dan diberikan KCL tablet sebanyak 2x600 mg
untuk menghindari deplesi kalium akibat pemberian asetazolamid.
12. Tindakan Pembedahan (Operatif)
Tindakan operatif trabekulektomi direncanakan pada klien untuk menjaga
tekanan intraokuler yang merupakan faktor risiko progresivitas glaukoma.
Trabekulektomi yang dilakukan dengan membuka hambatan dari jaringan
kornea perifer di bawah flap sklera. Flap sklera dapat memberikan resistensi
dan membatasi keluarnya akuos humor sehingga dapat mencegah terjadinya
hipotoni, kamera okuli anterior yang dangkal sampai datar, katarak, efusi
koroid serosa dan hemoragik, edema makula serta edema papil saraf optikus.
13. Pola Nutrisi
Klienmengeluh mual dan muntah, sehingga mempengaruhi makan dan nafsu
makan.

40
14. Pola Aktivitas
Klien dengan glaukoma akut biasanya akan mengganggu aktivitas sehari-
harinya. Karena, klien mengalami mata kabur dan sakit/nyeri ketika terkena
cahaya matahari.
15. Pola Istirahat Tidur
Klien degan glaukoma akut biasanya akan mengganggu pola tidur dan
istirahatnya sehari-hari karena klien mengalami sakit kepala dan nyeri hebat
sehingga pola tidur klien tidak normal.
16. Riwayat Psikososial
Pada klien dengan glaukoma akut, biasanya terjadi gangguan pada status
psikososialnya karena mata klien mengalami gangguan sehingga
kemungkinan klien tidak percaya diri dalam kesehariannya di sekitar
lingkungannya. Klien dengan glaukoma akut, biasanya akan sedikit
terganggu dalam berhubungan dengan orang lain ketika ada gangguan pada
matanya yang mengakibatkan klien malu untuk berhubungan (sosial) dengan
orang lain. Biasanya klien dengan glaukoma akut akan sedikit stress dengan
penyakit yang dideritanya karena ini berkaitan dengan konsep dirinya
dimana klien mengalami penyakit yang mengganggu penglihatannya.

41
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada semua pembahasan di atas maka kesimpulan yang
dapat saya ambil yaitu, klien dengan glaukoma akut pada kasus di atas
mengalami penyempitan lapang pandang, tekanan intraokular (TIO) yang
mengalami peningkatan. Glaukoma akut terjadi akibat kamera okuli anterior
tertutup secara mendadak oleh jaringan iris sehingga tekanan intraokular (TIO)
meningkat secara cepat. Jika tidak mendapatkan terapi, kondisi ini dapat
menyebabkan kebutaan. Pemberian terapi obat-obatan segera dilakukan
sebelum tindakan operatif (trabekulektomi) untuk menjaga tekanan intraokuler
(TIO), sehingga normal kembali dan nyeri yang dirasakan klien berkurang.

42
DAFTAR PUSTAKA

Bickley, Lynn S. (2009). Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Bates,
Edisi 8. Jakarta: EGC.
Kozier, et al. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb, Edisi
5. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. (2010). Pengkajian Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik.
Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C., & Bare, Brenda G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth, Edisi 8, Volume 3. Jakarta: EGC.
Yoga, Rino. (2016). Pria Berusia 45 Tahun dengan Glaukoma Akut. Jurnal Medula
Unila, 4(4): 167-170.

43

You might also like