You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk dari segi suku
bangsa, budaya dan agama. Realitas kemajemukan tersebut, disadari oleh para
pemimpin bangsa, yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, dari penjajahan
asing. Mereka memandang bahwa kemajemukan tersebut bukanlah halangan untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan, serta untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam
wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan tersebut termasuk kekayaan
bangsa Indonesia.
Para pemimpin bangsa tersebut mempunyai cara pandang yang positif tentang
kemajemukan. Cara pandang seperti ini selaras dengan ajaran agama yang menjelaskan
bahwa kemajemukan itu, bagian dari sunnatullah. Agama mengingatkan bahwa
kemajemukan terjadi atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga harus diterima
dengan lapang dada dan dihargai, termasuk di dalamnya perbedaan konsepsi
keagamaan.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang
tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi
pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang Tuhan maupun
konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu
konflik fisik antara umat berbeda agama.
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber
konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan
kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara
umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Pada level
eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-agama memang berbeda, tetapi pada level
esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang
sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Konflik Agama ?
2. Apa Contoh Konflik Agama ?

1
3. Bagaimana Penanggulangan Konflik Agama ?
4. Apa saja Penyebab Konflik Agama ?
5. Apa Dampak Konflik Agama ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Konflik Agama.
2. Untuk Mengetahui Contoh Konflik Agama.
3. Untuk Mengetahui Cara Penanggulangan Konflik Agama.
4. Untuk Mengetahui Penyebab Konflik Agama.
5. Untuk Mengetahui Apa Dampak Konflik Agama.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konflik Agama


1. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

2
Terjadinya konflik tidak terlepas dari adanya dalang atau provokatornya tidak
perna di usut tuntas. Dari berbagai kerusuhan, teror, fitnah dan pembunuhan memang
sedang melanda bangsa kita sehingga untuk menghadapi bangsa tersebut, maka semua
pihak hendaknya senantiasa waspada. Sebab, berbagai cara akan dilakukan oleh
provokator untuk mengadu domba antarumat beragama, antar suku atau antar
etnis,sehingga persatuandan kesatuan menjadi rapuh.
2. Pengertian Agama
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata ‘agama’ berarti suatu sistem, prinsip
kepercayaan terhadap Tuhan (Dewa dsb) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-
kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Kata ‘agama’ dapat juga
didefinisikan sebagai perangkat nilai-nilai atau norma-norma ajaran moral spiritual
kerohanian yang mendasari dan membimbing hidup dan kehidupan manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat.
Jadi, konflik agama dapat diartikan sebagai berikut : Konflik agama adalah suatu
pertikaian antar agama baik antar sesama agama itu sendiri, maupun antar agama satu
dengan agama lainnya.

B. Contoh Konflik Agama


Konflik Posso
1. Kronologi Konflik Poso
Asal mula meletusnya konflik Poso didasari oleh berbagai faktor, yakni pemuda
mabuk, sosial, ekonomi, hingga politik. Hal tersebut berujung pada konflik keagamaan.
Isu agama menjadi salah satu pendorong munculnya tragedi Poso karena ada berberapa
daerah yang dikotak-kotakkan berdasarkan basis massa. Ada Kelompok Putih yang
merupakan representasi dari kelompok Islam, terutama berada di daerah pesisir yakni,
Toyado, Madale, Parigi, dan Bungku. Sedangkan representasi dari Kelompok Merah
terdapat di daerah pedalaman seperti, Lage, Tokorando, Tentena, Taripa, dan Pamona.
Selain itu, konflik Poso juga disulut oleh adanya rentetan peristiwa-peristiwa
besar di Indonesia pada tahun 1998. Hal tersebut membuat terjadinya chaos sehingga
mengubah atmosfir bangsa Indonesia semakin memanas. Berawal dari krisis ekonomi
dan keuangan sejak pertengahan tahun 1997, kemudian berakhir pada penurunan
Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Sistem sentralisme kekuasaan juga runtuh

3
seketika. Padahal belum ada kesiapan sosial dari daerah-daerah yang sudah lama
termarjinalisasi. Sehingga terjadilah kerusuhan di Sampit, Maluku, termasuk di Poso.
Konflik Poso yang muncul di permukaan pada akhirnya lebih terlihat
mengandung isu SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Menurut Ketua Umum
Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso, H. Muh. Adnan Arsal,
konflik tersebut terus terjadi dan bertujuan kembali mengadu domba antarumat
beragama di Poso. Akan tetapi, bila diperhatikan secara jeli, konflik Poso pada awalnya
lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan yang dipicu oleh pergeseran
tampuk pemerintahan daerah/lokal dan kesenjangan sosial ekonomi.
Pergeseran kepemimpinan yang menyulut konflik dari etnis lokal (suku Pamona)
ke etnis pendatang. Hal ini berimplikasi juga terhadap proses rekrutmen pegawai negeri
sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeresan lokasi kegiatan ekonomi dari Poso
Kota (lama) ke Poso Kota (baru) juga merupakan faktor meletusnya konflik Poso.
Kedua hal tersebut memiliki relasi karena merupakan konsekuensi logis dari
bergesernya pusat pemerintahan akan berimplikasi pada pergeseran pusat-pusat
perekonomian pula. Penduduk pendatang pada akhirnya yang menguasai sendi-sendi
kehidupan di Poso.
2. Tahap-Tahap Kerusuhan
a. Kerusuhan Tahap I
Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye
enam kandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh
kekuasaan. Tepatnya pada Desember 1998, di tengah hujan selebaran dan intrik politik
yang bertopeng kepentingan agama, terjadi perkelahian pemuda yang berbeda agama
yakni, Islam dan Kristen. Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jum’at, 25 Desember
1998 bulan Ramadhan 1419 H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta miras
(minuman keras) membuat keributan saat Shalat Tarawih berlangsung. Oleh karena itu,
pengurus masjid berusaha mengingatkan mereka. Akhirnya, para pemuda Kristen
tersebut pergi meninggalkan area masjid.
Setelah lewat tengah malam, mereka kembali. Salah seorang pengurus masjid yang
mengingatkan mereka tadi, bernama Ridwan, dikejar oleh Roy Runtu dalam keadaan
mabuk. Kejadian tersebut terjadi ketika Ridwan sedang membangunkan sahur para
warga Muslim di Kelurahan Sayo. Menghindari kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke
sebuah masjid (dekat pesantren), namun di tempat itu pula ia dibacok. Ridwan sempat

4
berteriak minta tolong dan lari dengan meningalkan percikan darah di plafon masjid.
Pada akhirnya, masyarakat Muslim Poso bergerak untuk menghancurkan setiap
kedai/toko menjual miras. Mereka juga meminta Roy agar menyerahkan diri kepada
aparat yang berwajib.
Provokasi terus berlanjut, kelompok massa yang dipimpin Herman Parimo hendak
menyerbu rumah dinas bupati. Isu penyerbuan itu kontan mendatangkan reaksi dari
kalangan Muslim. Tiga hari setelah Natal, konflik yang sebelumnya terselubung
akhirnya pecah. Benturan fisik dengan senjata parang, panah, dan tombak tak
terhindarkan. Opini yang beredar selanjutnya: Di Poso Kota terjadi kerusuhan antar-
agama.
Konflik yang terjadi Poso mampu membangkitkan solidaritas yang berdasarkan
sentimen agama. Tidak hanya orang-orang Poso sendiri, tetapi juga sesama Muslim di
luar daerah mereka. Setelah didengungkannya konflik atas nama agama maka, isu
politik seakan tenggelam. Hal itu dikarenakan masing-masing dari kedua belah pihak
tersulut emosi yang seolah-seolah berusaha memperjuangkan martabat agamanya.
b. Kerusuhan Tahap II
Suhu yang semakin memanas di kabupaten Poso menyebabkan kerusuhan jilid
kedua berkobar tak terelakkan lagi. Tepatnya pada 16-17 April 2000, massa dari pihak
Kristen dan Islam sama-sama memanggul senjata. Peristiwa itu terbukti dengan
bebasnya orang menenteng senjata di jalan umum. Memang senjata yang digunakan
masih tradisional seperti, panah, parang, dan tombak. Akan tetapi, hal itu cukup
meresahkan karena mengindikasikan semangat yang membara untuk melanjutkan
konflik. Kondisi tersebut berkembang liar karena aparat keamanan tak dapat melerai
perseturuan massal tersebut dengan alasan kekurangan personel.
Sebenarnya motif mereka masih samar, apakah kerusuhan tersebut sengaja
diperpanjang karena demi membela kesucian agama? Ataukah karena dendam yang
dipupuk, hingga mereka tak kuasa memuntahkannya dalam bentuk konflik?
Berdasarkan pengamatan intelijen, pada kerusuhan tahap kedua inilah bala bantuan
mulai bermunculan dari luar Poso, baik berupa makanan, obat-obatan, bahkan senjata.
Pada tahap kedua ini, muncullah Fabianus Tibo bersama 13 orang temannya.
Tepatnya pada tanggal 22 Mei 2000, sekitar pukul dua dini hari, kelompok Tibo
bergerak dari kelurahan Gebang Rejo memasuki Poso Kota bersama pasukannya. Dia
tidak segan-segan menghadapi musuh-musuh yang menghalanginya dengan sekali
tebas. Jagal dari Poso tersebut dikenal sebagai komandan Laskar Kelelawar Hitam, yang

5
disebut sebagai pasukan Kristen. Walaupun sesungguhnya Tibo dan kawan-kawan
bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam konflik Poso. Namun, mereka sangat
mencolok karena berpakai serba hitam dan bengis menghabisi nyawa musuhnya.
c. Kerusuhan Tahap III
Masyarakat Kristen mulai merapatkan barisan dengan melakukan pengorganisasian
yang intensif. Hal itu terinspirasi dari masyarakat Muslim yang lebih terkordinir pada
periode pertama dan kedua. Upaya tersebut dilakukan untuk melakukan serangan balik
kepada pasukan Muslim. Strategi dari mereka adalah melakukan penyerangan di saat
Muslim masih lengah. Tak disangka-sangka, kelompok Kristen menyerang kelompok
Muslim dari lima penjuru kota Poso.
Kerusuhan jilid ketiga ini berlangsung berhari-hari membuat kelompok Muslim
semakin terdesak. Akan tetapi kondisi diperparah karena bala bantuan tidak bisa masuk
ke Poso. Hal itu dikarenakan jembatan yang dirusak dan jalan-jalan menuju Poso Kota
dihalangi dengan kayu gelondongan. Dalam perang terbuka yang melibatkan ribuan
orang itu, senjata organik mulai memuntahkan peluru ke hamparan massa. Aparat
keamanan dibuat tak berdaya dan bertahan seadanya di bangunan-bangunan pemerintah
yang berlokasi strategis. Gagal memasuki Poso Kota, kelompok Kristen kemudian
membumihanguskan beberapa kecamatan di Poso Pesisir.
Kemudian pada 5 April 2001, Tibo, Dominggus dan Marinus Riwu dijatuhkan vonis
mati. Mereka dituduh melanggar Pasal 340, 187, 351 juncto Pasal 55 dan 64 KUHP.
Pada persidangan, Tibo menyampaikan surat yang ditulis tangan kepada Majelis Hakim,
berisikan tentang sejumlah 16 nama yang selama ini menjadi penyuplai logistik bagi
pasukannya selama kerusuhan Poso berlangsung. Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang
saat itu menjabat sebagai Asisten IV Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah dan Drs Edi
Bungkundapu yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Sulteng, menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso Mei hingga Juni
2000. Selain itu, Tibo juga menyebutkan Tungkanan, Limpadeli, Erik Rombot, Angki
Tungkanan sebagai aktor yang berperan dalam kerusuhan Poso. Pada akhirnya,
keputusan memvonis mati Tibo dkk menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Arianto Sangaji menyatakan bahwa masa depan keamanan di sana sangat
bergantung pada kemauan pemerintah. Pertama, kemauan untuk menyelesaikan
masalah, dengan tidak bertumpu pada pendekatan keamanan. Pemerintah harus
menghentikan solusi primitif penyelesaian kasus Poso dengan pengerahan pasukan
bersenjata. Kedua, selesaikan kasus-kasus kekerasan Poso secara menyeluruh, tidak per

6
kasus. Kasus Tibo merupakan contoh di mana pemerintah menggunakan kacamata kuda
dengan memistifikasi Tibo cs seolah-olah sebagai faktor penting dalam kekerasan.
Padahal tidak hanya Tibo cs yang harus bertanggungjawab atas terjadinya konflik Poso.
3. Penyelesaian konflik posso
Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga menyulut konflik, akan tetapi
banyak pihak yang mengupayakan perdamaian. Salah satu tokoh yang berupaya keras
untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah Yusuf Kalla yang menjabat Menko Kesra
pada kabinet Megawati. Jalan penyelesaian tersebut ditembuh dengan
ditandatanganinya Deklarasi Malino tanggal 20 Desember 2001.
Deklarasi Malino ditandatangani oleh Kelompok Islam dan Kristen yang bertikai
di Poso, Sulawesi Tengah. Mereka sepakat untuk berdamai dan menghentikan konflik.
Kesepakatan itu diperoleh setelah seluruh pimpinan lapangan dan perwakilan kedua
kelompok menandatangani perjanjian damai di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan.
Deklarasi dibacakan Menko Kesra Jusuf Kalla selaku mediator. Dalam kesempatan
tersebut, kedua pihak menandatangi kesepakatan yang terdiri dari sepuluh butir :
a. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
b. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi
hukum bagi siapa saja yang melanggar.
c. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
d. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat
sipil serta campur tangan pihak asing.
e. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan
menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya
kerukunan hidup bersama.
f. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara
memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat
istiadat setempat.
g. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah
sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
h. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.

7
i. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling
menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU
maupun dalam peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya.

C. Penanggulangan Konflik Agama


Cara yang dilakukan masyarakat setempat atau warga Negara Indonesia
1. Dalam menangani konflik antara gama, jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah saling
mentautkan hati di antara umat beragama, mempererat persahabatan dengan saling
mengenal lebih jauh, serta menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap agama
membawa misi kedamaian.
2. Tidak memperkenankan pengelompokan domisili dari kelompok yang sama didaerah
atau wilayah yang sama secara eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili atau
perkampungan sebaiknya mixed, atau campuran dan tidak mengelompok berdasarkan
suku (etnis), agama, atau status sosial ekonomi tertentu.
3. Kesenjangan sosial dalam hal agama harus dibuat seminim mungkin, dan sedapat –
dapatnya dihapuskan sama sekali.
4. Perlu dikembangkan adanya identitas bersama (common identity) misalnya kebangsaan
(nasionalisme-Indonesia) agar masyarakat menyadari pentingnya persatuan dalam
berbangsa dan bernegara.
5. Masyarakat pendatang dan masyarakat atau penduduk asli juga harus berbaur atau
membaur atau dibaurkan.
6. Segala macam bentuk ketidakadilan struktural agama harus dihilangkan atau dibuat
seminim mungki
Cara Yang Dilakukan Pemerintah
Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan
dialog intern umat beragama, antarumat beragama, dan antara umat beragama dan
pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam; ulama, cendekiawan Muslim,
mubaligh, dai, dan kiai maupun pemimpin kelompok keagamaan dari kalangan
penganut dan pemimpin agama Kristen/Katolik, Hindu, maupun Buddha.
Kerukunan umat beragama memang harus didorong dan diberikan motivasi oleh
pemerintah, juga hendaknya diupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu.
Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar

8
dalam level grassroots dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan
persatuan bangsa. Misalnya :
1. Pemberdayaan kelembagaan Islam untuk meningkatkan kualitas kerukunan kehidupan
umat beragama diprogramkan terencana dan berkelanjutan, yang diawali pendataan
potensi konflik keagamaan,
2. Pelatihan penyuluh agama untuk penanganan daerah berpotensi konflik,
3. sosialisasi manajemen kelembagaan agama yang difokuskan kepada memperkenalkan
konsep dan kedudukan kerukunan umat beragama dalam kerangka persatuan dan
kesatuan bangsa di berbagai daerah kabupaten maupun kota
4. Pemerintah juga harus mencanangkan program dialog kultural di antara pelbagai
komunitas agama. Dialog tidak dalam kerangka perjumpaan-perjumpaan yang bersifat
formal, sebagaimana yang rutin selama ini, melainkan dalam kerangka menyelesaikan
pelbagai persoalan bangsa dan persoalan keagaaman secara khusus
5. Pemerintah memfasilitasi pertemuan antar agama dan mendorong terwujudnya relasi
yang rukun, adil, dan setara.
6. Pemerintah harus memperhatikan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Sebab
hakikatnya, akar konflik dan ketegangan antaragama muncul karena ketidakadilan dan
kemiskinan yang merajalela kalangan agamawan.
7. Pemerintahan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekonomi yang berorientasi
kerakyatan serta penegakan hukum yang seadil-adilnya.
8. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara
menyeluruh.

D. Penyebab Konflik Agama


Beberapa penyebab konflik internal umat beragama seperti:
1. Pemahaman yang menodai atau menyimpang dari agama,
2. Pemahaman yang radikal, menganggap alirannya benar dan orang lain salah,
3. pemahaman yang liberal, bebas semaunya tanpa mengikuti kaedah yang ada,
4. Kurang efektifnya pelaksanaan regulasi baik karena status hukumnya yang masih
dipersoalkan, kurangnya pemahaman sebagai aparatur negara atau kurangnyakesadaran
sebagai tokoh dan umat beragama,

9
5. Persoalan pendirian rumah ibadah atau cara penyiaran/penyebaran agama yang tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
6. Adanya salah paham atau informasi diantara pemeluk agama,
7. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
8. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
9. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama
10. Karena tidak adanya keampuhan Pancasila dan UUD 45 yang selama ini menjadi
pedoman bangsa dan negara kita mulai digoyang dengan adanya amandemen UUD 45
dan upaya merubah ideologi negara kita ke ideologi agama tertentu.
11. Kurangnya rasa menghormati baik antar pemeluk agama satu dengan yang lainnya
ataupun sesama pemeluk agama.

E. Dampak Konflik Agama


1. Dampak Secara Langsung
Dampak secara langsung merupakan dampak yang secara langsung dirasakan
oleh pihak- pihak yang terlibat konflik. Adapun dampak konflik secara langsung
diantaranya sebagai berikut :
a. Menimbulkan keretakan hubungan antara individu atau kelompok dengan individu atau
kelompok lainnya.
b. Adanya perubahan kepribadian seseorang seperti selalu memunculkan rasa curiga,rasa
benci, dan akhirnya dapat berubah menjadi tindakan kekerasan.
c. Hancurnya harta benda dan korban jiwa, jika konflik berubah menjadi
tindakankekerasan apalagi jika diikuti perusakan fasilitas umum.
d. Kemiskinan bertambah akibat tidak kondusifnya keamanan.
e. Lumpuhnya roda perekonomian jika suatu konflik berlanjut menjadi
tindakankekerasan.
f. Pendidikan formal dan informal terhambat karena rusaknya sarana dan
prasarana pendidikan.
g. Terjadi perubahan kepribadian. Menyebabkan dominasi kelompok pemenang

2. Dampak Tidak Langsung


Dampak tidak langsung merupakan dampak yang dirasakan oleh orang-orang
yang tidak terlibat langsung dalam sebuah konflik ataupun dampak jangka panjang dari
suatu konflik yang tidak secara langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Misalnya pada kasus terorisme bom di pulau Bali yaitu dimana seseorang atau

10
sekelompok orang yang mengatasnamakan agama mengebom beberapa tempat di Bali
yang penuh denganturis asing sehingga menimbulkan banyak korban. Setelah kejadian
tersebut jumlah turis yang berkunjung ke Bali menjadi lebih sedikit dari biasanya dan
secara tidak langsung akanmempegaruhi devisa pulau Bali dan mempengaruhi devisa
negara.

3. Dampak Positif Adanya Konflik


a. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in group solidarity)
b. Munculnya pribadi-pribadi yang kuat dan tahan uji menghadapi berbagai situasi konflik
c. Membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan norma-norma
baru.
d. Munculnya kompromi baru apabila pihak yang berkonflik dalam kekuatan yang
seimbang. Misalnya adanya kesadaran dari pihak-pihak yang berkonflik untuk
bersatukembali karena dirasakan bahwa konflik yang berlarut tidak membawa
keuntungan bagi kedua belah pihak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama sesungguhnya bukan karena
agama yang gagal dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan manusia, tetapi
para pemeluk agamalah yang gagal dalam memahami dan memaknai agama yang
dianutnya.
Salah satu contoh konflik agama di indonesia yaitu Konflik Poso. Konflik Posso
adalah serangkaian konflik yang berkelanjutan dan sangat sulit untuk menemui titik
temu yang tepat, karena konflik Poso merupakan konflik yang mengandung SARA.
Dimana dengan perbedaan yang begitu banyak sangat mudah terjadinya suatu konflik-
konflik lain.
Kerukunan umat beragama memang harus didorong dan diberikan motivasi oleh
pemerintah, juga hendaknya diupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu.
Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar

11
dalam level grassroots dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan
persatuan bangsa

B. Saran
Dengan pikiran yang jernih kita semua mengakui bahwa tidak ada pihak yang
memperoleh keuntungan dalam konflik. Untuk itu kita perlu kembali pada ajaran agama
yang lurus. Sikap toleransi dan sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan
Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup
damai dan harmonis.
Dan untuk menjaga keutuhan ragam perbedaan di Indonesia khususnya kita harus
memiliki rasa saling menghormati satu sama lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Faisal. Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya. 1999.
Muhammad Imarah,Muhammad. Islam dan Pluralitas (Perbedaan dan
Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan). Jakarta: Gema Insani, 1999.
Hamdan Daulay, Hamdan. Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik.
Yogyakarta: LESTI, 2001
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Ali, A. Mukti. Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi. Jakarta :
INIS, 1992.

12

You might also like