You are on page 1of 12

1.

Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah


Candi Borobudur merupakan candi agama Buddha terbesar di dunia, dan pernah
menjadi salah satu 7 keajaiban dunia. Candi Borobudur dibangun pada masa kerajaan
Syailendra sekitar abad ke 8 Masehi, dan terletak di Magelang, Jawa Tengah atau
sekitar 40 KM dari Yogyakarta. Candi Borobudur termasuk salah satu Situs Warisan
Dunia yang diakui UNESCO pada tahun 1991.

Kawasan Candi Borobudur (Foto: soeryonopost.blogspot.com)

2. Candi Prambanan, Sleman, Yogyakarta


Candi Prambanan merupakan candi agama Hindu terbesar di Indonesia. Candi ini
dibangun pada abad ke 9 Masehi dan terletak di Sleman atau sekitar 17 km dari kota
Yogyakarta. Candi Prambanan juga dikenal dengan nama Candi Loro Jonggrang dan
termasuk Situs Warisan Dunia yang diakui UNESCO pada tahun 1991.

Candi Prambanan (Foto: http://www.telusurindonesia.com)


Baca juga: 5 Air Terjun Tertinggi di Indonesia

3. Candi Mendut, Magelang, Jawa Tengah


Candi Mendut terletak di Magelang, Jawa Tengah atau sekitar 3 km dari Candi
Borobudur. Candi ini juga merupakan candi agama Buddha yang juga dibangun oleh
kerajaan Syailendra sekitar tahun 824 Masehi. Candi Mendut juga sering digunakan
dalam perayaan Hari Raya Waisak oleh umat Buddha.

Candi Mendut (Foto: https://lijiun.wordpress.com)

4. Candi Sewu, Klaten, Jawa Tengah


Candi Sewu terletak di Klaten, Jawa Tengah atau sekitar 800 meter dari Candi
Prambanan, dan candi Sewu merupakan candi agama Buddha terbesar kedua setelah
candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu dibangun lebih awal dari Candi
Borobudur dan Candi Prambanan yaitu sekitar tahun 782 Masehi.
4. Candi Kalasan

Candi Kalasan merupakan candi peninggalan agama Buddha. Candi Kalasan atau
yang biasa juga disebut Candi Kalibening ini berada di desa Kalasan, kabupaten
Sleman, provinsi Yogyakarta, Indonesia.

Candi ini lebih tepatnya berada di sisi jalan raya antara Yojyakarta dan solo. Bisa
juga ditempuh dengan jarak 2 km dari candi prambanan.

Total jumlah stupa yang terdapat di Candi kalasan adalah 52 stupa. Dan salah satu
dari candi ini menjadi bukti Wangsa Syailendra, penguasa Sriwijaya atas Jawa di
Sumatra telah hadir.

Lapisan penutup yang dimiliki oleh candi kalasan ini disebut Bajralepa. Bajralepa
yaitu semacam plesteran di ukiran batu halus, yang menjadi khas dari candi kalasan.
Candi kalasan mempunyai keistimewaan khusus yaitu tubuh dan atap candi dihias
dengan ukiran-ukiran yang sangat indah.

Terdiri dari relung-relung, sulursulur, arca-arca Budha, dagoba-dagoba dan arca


Gana, yaitu manusia kerdil berperut buncit yang biasanya memikul barang.

Bila candi ini dilihat dari dalam, candi ini disusun dari beberapa tumpukan batu-
batuan ke bawah dan saling terkait.
CANDI DI JAWA BARAT
Candi Batujaya

Situs Batujaya merupakan kompleks candi yang menempati areal seluas 40 ha,
meliputi dua desa, yaitu Segaran dan Telagajaya di Kecamatan Batujaya, Kabupaten
Karawang. Dari kota Karawang, kompleks candi tersebut brejarak 39 kilometer ke
arah barat Kota Karawang, sekitar 6 km dari garis pantai utara.

Saat ini, kompleks Candi Batujaya merupakan areal persawahan dan pemukiman
penduduk. Sebagian besar bangunan purbakala di lokasi tersebut masih tertimbun
dalam ‘unur’ atau ‘lemah duwur’ (tanah darat menyembul diantara pesawahan).
Sampai dengan pertengahan tahun 2004 ini, penggalian dan penelitian di kompleks
percandian di Batujaya masih terus berlangsung di bawah pengawasan Tim Peneliti
Situs Batujaya dari Universitas Indonesia.

Sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya ini
dibangun, karena data yang telah didapatkan mengenai situs purbakala ini sangat
sedikit. Rekonstruksi bangunanan candi juga sulit dilakukan karena candi-candi
Batujaya terbuat dari batu bata. Upaya para arkeolog untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan itu terhambat oleh ketidaktersediaan dana. Bantuan dana yang pernah
didapat untuk penelitian dan penggalian kompleks Batujaya ialah dari PT Ford
Motor Indonesia, yang diberikan pada tahun 2003.

Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di
Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi
tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan
Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi
yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya
sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada
lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua
bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara.

Di antara situs yang sudah selesai digali dan diteliti oleh para ahli purbakala adalah
situs Candi Jiwa dan Situs Candi Blandongan yang jaraknya tidak terlalu berjauhan.
Data yang didapat mengenai Candi Blandongan adalah bahwa panjangnya 21,6 m
dan bahwa bangunan itu menghadap barat laut. Bentuk bentuk dan strukturnya
belum diketahui. Fungsi Candi Blandongan juga belum dapat dipastikan, walaupun
dalam bahasa setempat, kata ‘blandongan’ berarti pendapa atau bangunan besar
untuk pertemuan atau menerima tamu. Berdasarkan bentuk bangunan stupa yang
ditemukan di desa Segaran Telagajaya, diduga kompleks percandian Batujaya
berlatar belakang agama Buddha.

Candi Bojongmenje

––
Situs Bojongmenje terletak di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang,
Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Saat ini candi yang diperkirakan
pernah berdiri di situs ini masih dalam proses penelitian dan pemugaran, sehingga
belum ada gambaran mengenai bentuk dan fungsi bangunan tersebut pada mulanya.

Candi Bojongmenje dibangun dari batu andesit, diperkirakan berdenah dasar bujur
sangkar dengan sisi sepanjang 6 m. Dari reruntuhan bangunan yang ditemukan,
dapat diketahui bahwa bentuk bangunan candi sangat sederhana dan dindingnya
hanya terdiri satu lapis tanpa hiasan relief. Kesederhanaan tersebut menjadi
petunjuk bahwa peradaban manusia yang membuatnya masih lebih sederhana
dibandingkan dengan peradaban pada masa pembangunan Candi Prambanan dan
Candi Barabudhur. Sampai saat ini belum ditemukan sumber tertulis yang
menjelaskan hubungan Candi Bojongmenje dengan kerajaan tertentu yang pernah
ada di Jawa Barat namun, berdasarkan temuan-temuan arkeologis di situs
Bojongmenje, diperkirakan bahwa candi tersebut dibangun pada abad ke-7 dan ke-8.
Dengan demikian, usia Candi Bojongmenje lebih tua dibandingkan dengan usia
candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau setidaknya setara dengan Candi
Dieng di Jawa Tengah.

––
Situs purbakala ini ditemukan pada 18 Agustus 2002. Penemuan benda tersebut
berawal dari upaya warga setempat untuk mencari tanah penguruk gang di dekat
lokasi candi. Di lahan milik salah seorang penduduk, yang bernama Anen, mereka
melihat sekerumunan semut. Para penduduk kemudian mencoba menggali tanah di
sekitar lokasi kerumunan semut tersebut. Sampai pada kedalaman setengah meter,
mereka menjumpai tanah berongga yang di sekelilingnya terdapat tumpukan batu
yang tertata rapi. Penggalian terus dilakukan sampai formasi batu-batu itu terlihat.
Ketika mencapai kedalaman sekitar 80 cm, penggalian pun dihentikan dan temuan
tersebut dilaporkan kepada yang berwajib.

––
Sampai akhir tahun 2005 ini proses penggaliannya masih belum selesai, sekeliling
situs yang terletak di perkampungan penduduk ini sekarang telah dikelilingi pagar.
Tempat berdirinya bangunan yang saat ini sedang digali tampak menyerupai kolam
yang dipenuhi air. Reruntuhan bangunan di tengahnya juga dipasangi pagar kawat
berduri untuk mencegah terjadinya pengrusakan oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab.

Di tepi areal situs didirikan bangunan sementara yang dipergunakan sebagai tempat
pencatatan, penelitian dan penyimpanan benda-benda arkeologis yang ditemukan di
situs tersebut. Di dalam bangunan tampak berbagai bentuk batu reruntuhan
bangunan teronggok di sudut ruangan. Beberapa onggokan batu reruntuhan
bangunan juga terlihat berjajar sepanjang sisi halaman. Di antara onggokan-
onggokan tersebut terdapat juga potongan-potongan bata merah. Sebagian lagi masih
dalam proses perekaan mengenai bentuk dan letaknya.

Menurut petugas yang menjaga situs ini, ada hal-hal yang diduga mempercepat
kerusakan Candi Bojongmenje, di antaranya bahwa konon lahan tersebut pernah
dijadikan tentara Jepang sebagai tempat latihan perang menggunakan alat-alat berat
seperti tank, panser, dsb. Selain itu, lahan tersebut juga pernah menjadi tempat
pemakaman umum.

Candi Cangkuang

Candi Cangkuang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang , Kecamatan Leles,


Kabupaten Garut. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa
Barat, yang antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung
Mandalawangi dan Gunung Guntur. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa
tempat candi ini berada. Kata ‘Cangkuang’ sendiri adalah nama tanaman sejenis
pandan (pandanus furcatus), yang banyak terdapat di sekitar makam, Embah Dalem
Arief Muhammad, leluhur Kampung Pulo. Daun cangkuang dapat dimanfaatkan
untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren.

Cagar budaya Cangkuang terletak di sebuah daratan di tengah danau kecil (dalam
bahasa Sunda disebut situ), sehingga untuk mencapai tempat tersebut orang harus
menggunakan rakit. Selain candi, di pulau itu juga terdapat pemukiman adat
Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari kawasan cagar budaya.
Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Tim Sejarah Leles pada tanggal 9
Desember 1966. Tim penelitian yang disponsori oleh Bapak Idji Hatadji (CV.
Haruman) ini diketuai oleh Prof. Harsoyo, Uka Tjandrasasmita (ketua penelitian
sejarah Islam dan lembaga kepurbakalaan), dan mahasiswa dari IKIP Bandung.
Penelitian dilaksanakan berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Notulen
Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893 yang menyatakan bahwa di Desa
Cangkuang terdapat makam kuno dan sebuah arca yang sudah rusak. Disebutkan
bahwa temuan itu berlokasi di bukit Kampung Pulo.

Makam dan arca Syiwa yang dimaksud memang diketemukan. Pada awal penelitian
terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan sebuah bangunan candi. Makam
kuno yang dimaksud adalah makam Arief Muhammad yang dianggap penduduk
setempat sebagai leluhur mereka.

Pada awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan bangunan
candi dan di sampingnya terdapat sebuah makam kuno berikut sebuah arca Syiwa
yang terletak di tengah reruntuhan bangunan. Dengan ditemukannya batu-batu
andesit berbentuk balok, tim peneliti yang dipimpin Tjandrasamita merasa yakin
bahwa di sekitar tempat tersebut semula terdapat sebuah candi. Penduduk setempat
seringkali menggunakan balok-balok tersebut untuk batu nisan.

Berdasarkan keyakinan tersebut, peneliti melakukan penggalian di lokasi tersebut. Di


dekat kuburan Arief Muhammad peneliti menemukan fondasi candi berkuran 4,5 x
4,5 meter dan batu-batu candi lainnya yang berserakan.

Dengan penemuan tersebut Tim Sejarah dan Lembaga Kepurbakalaan segera


melaksanakan penelitian didaerah tersebut. Hingga tahun 1968 penelitian masih
terus berlangsung. Proses pemugaran Candi dimulai pada tahun 1974-1975 dan
pelaksanaan rekonstruksi dilaksanakan pada tahun 1976 yang meliputi kerangka
badan, atap dan patung Syiwa serta dilengkapi dengan sebuah joglo museum dengan
maksud untuk dipergunakan menyimpan dan menginventarisir benda-benda
bersejarah bekas peninggalan kebudayaan dari seluruh Kabupaten Garut. Dalam
pelaksanaan pemugaran pada tahun 1974 telah ditemukan kembali batu candi yang
merupakan bagian-bagian dari kaki candi. Kendala utama rekonstruksi candi adalah
batuan candi yang ditemukan hanya sekitar 40% dari aslinya, sehingga batu asli
yang digunakan merekonstruksi bangunan candi tersebut hanya sekitar 40%.
Selebihnya dibuat dari adukan semen, batu koral, pasir dan besi.
Candi Cangkuang merupakan candi pertama dipugar, dan juga untuk mengisi
kekosongan sejarah antara Purnawarman dan Pajajaran. Para ahli menduga bahwa
Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8, didasarkan pada:
1. tingkat kelapukan batuannya;
2. kesederhanaan bentuk (tidak adanya relief).

Setelah dipugar, Candi Cangkuang mempunyai ukuran yang sesuai dengan keadaan
alamnya. Tinggi bangunan sampai ke puncak atap adalah 8,5 m. Tubuh candi berdiri
di atas kaki berdenah bujur sangkar berukuran 4,5 X 4,5 m. Atap candi bersusun-
susun membentuk piramid. Sepanjang tepian setiap susunan dihiasi semacam
mahkota-mahkota kecil, mirip yang terdapat di candi-candi Gedongsanga.

Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi terletak di sisi timur. Untuk mencapai
pintu terdapat tangga selebar sekitar 75 cm setinggi sekitar 1 m. Pintu masuk tersebut
diapit dinding yang membentuk bingkai pintu. Tidak terdapat hiasan pahatan pada
bingkai pintu.

Saat ini di ambang pintu masuk ke ruangan tersebut telah dipasang pintu berterali
besi yang terkunci.Dalam candi terdapat ruangan seluas 2,2 m2 dengan tinggi 3,38
m. Di tengah ruangan terdapat arca Syiwa setinggi 62 cm. Konon tepat di bawah
patung terdapat lubang sedalam 7 m, namun hal itu tidak dapat dibuktikan karena
pengunjung tidak diperkenankan masuk ke ruangan.

Pemukiman adat Kampung Pulo


Kampung Pulo merupakan sebuah kampung kecil, terdiri dari enam buah rumah dan
enam kepala keluarga. Sudah menjadi ketentuan adat bahwa jumlah rumah dan
kepala keluarga itu harus enam orang dengan susunan tiga rumah disebelah kiri dan
tiga rumah disebelah kanan yang saling berhadapan ditambah satu masjid sebagai
tempat ibadah.
Oleh sebab itu kedua deretan rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun
dikurangi.
Jika seorang anak sudah dewasa kemudian nikah maka paling lambat dua minggu
setelah pernikahan harus meninggalkan rumah tempat asalnya, keluar dari
lingkungan keenam rumah adat tersebut. Dia bisa kembali keasalnya bila salah satu
keluarga meninggal dunia dengan syarat harus anak wanita dan ditentukan atas
pemilihan keluarga setempat.

Embah Dalem Arief Muhammad


Embah Dalem Arief Muhammad serta masyarakat setempat yang telah membendung
daerah ini, sehingga terbentuk sebuah danau dengan nama Situ Cangkuang. Setelah
daerah ini selesai dibendung, maka dataran yang rendah menjadi danau, dan bukit-
bukit menjadi pulau-pulau. Pulau tersebut antara lain Pulau Panjang (dimana
kampung pulo ada), Pulau Gede, Pulau Leutik (kecil), Pulau Wedus, Pulau Katanda,
dan Pulau Masigit. Embah Dalem Arief Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram,
Jawa Timur. Ia dan pasukannya datang dengan tujuan untuk menyerang tentara VOC
di Batavia dan menyebarkan agama Islam di Desa Cangkuang.

Desa Cangkuang, khususnya Kampung Pulo, waktu itu sudah dihuni oleh penduduk
yang menganut agama Hindu. Hal itu terbukti dari adanya candi Hindu yang
sekarang telah dipugar. Metode dakwah yang dilakukan Arief Muhammad tidak jauh
dari pola dakwah Wali Songo. Secara bijaksana Embah Dalem Arief Muhammad
mengajak masyarakat setempat untuk menganut Islam.

Pedoman dakwah yang diajarkan oleh Arief Muhammad berprinsip pada ajaran
Islam yang tidak mengenal kekerasan dan paksaan, melainkan dengan perdamaian
dan keikhlasan hati. Ajaran-ajaran yang disampaikan dan ditulis Arief Muhammad
dalam naskah-naskah tidak berbeda dengan apa yang kita dapatkan dari para ulama
sekarang ini. Dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits, beliau mengajarkan
berbagai hal untuk menghadapi segala kehidupan membentuk pribadi umat menjadi
muslim yang sejati dengan mentauhidkan Allah SWT, berakhlak baik, dan
meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.

Adapun hal-hal yang membuktikan adanya penyebaran Islam yang dilakukan pada
permulaan abad XVII, antara lain :

Naskah Khotbah Jum’at yang terbuat dari kulit kambing dengan memiliki ukuran
176 X 23 cm. Walaupun terlihat agak sedikit rusak, namun tulisan dalam naskah
tersebut masih terbaca jelas.
Kitab Suci Al Qur’an yang terbuat dari kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 33
X 24 cm. Karena sudah dimakan usia, kondisi kitab ini terlihat sobek. Walau
demikian kitab Al Qur’an ini masih bisa dibaca dengan jelas.
Kitab Ilmu Fikih yang terbuat dari bahan kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran
26 X 18,5 cm.
Makam Embah Dalem Arief Muhammad yang berada disebelah selatan Candi
Cangkuang. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kerukunan hidup beragama di
Nusantara sudah terbina sejak ratusan tahun yang lalu
Para penduduk Kampung Pulo berangsur-angsur menganut agama Islam, tapi
sebagian kepercayaan lamanya masih mereka laksanakan. Sebagai contoh, hari
Rabu menjadi hari besar bagi mereka, dan bukan hari Jum’at.

Candi Cibuaya

Candi Cibuaya terletak di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, tidak jauh


dari lokasi Candi Batujaya. Reruntuhan candi di Cibuaya ini pertama kali diketahui
Dinas Purbakala pada tahun 1952, di antaranya berupa dua buah ‘unur’ (gundukan
tanah di antara persawahan).

Pada mulanya kedua reruntuhan bangunan purbakala itu dianggap reruntuhan


benteng Belanda, namun pendapat tersebut berubah setelah ditemukan arca Wisnu di
dekat situs tersebut. Lima tahun kemudian (1957) ditemukan Arca Wisnu kedua.
Arca-arca tersebut saat ini disimpan di Museum Nasional di Jakarta dengan sebutan
Arca Wisnu I dan Arca Wisnu II.

Pada tahun 1975, ketika Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional melakukan
penggalian penelitian, ditemukan Arca Wisnu Cibuaya III. Sampai saat ini,
reruntuhan kedua candi yang dinamakan Candi Lanang dan Candi Wadon tersebut
masih belum dapat direkonstruksi.
CANDI DI JAWA TIMUR
1. Candi Penataran

Candi ini merupakan candi terluas di Jawa Timur. Candi ini diperkirakan didirikan
pada zaman Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi. Candi bercorak Hindu
Siwaitis ini berada di desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar Jawa
Timur.

Candi ini terdiri dari beberapa bangunan yang membujur dalam poros Barat laut-
tenggara. Pada bagian depan Candi terdapat dua arca raksasa yang bertugas sebagai
penjaga pintu (dwarapala). Lalu terdapat pula Bale Agung, yang diperkirakan
sebagai tempat musyawarah atau berkumpul para pendeta pada zaman dahulu.

Pada bagian tengah, Anda akan menemukan kembali dua arca dwarapala namun
dengan ukuran lebih kecil. Lalu, terdapat pula dua bangunan Candi yang bernama
Candi Angka Tahun dan Candi Naga.

Di bagian dalam atau bagian terakhir, terdapat candi yang paling besar dibanding
candi lainnya di komplek Candi Penataran. Candi tersebut bernama Candi Utama
atau Candi Induk. Lokasinya terletak di bagian paling belakang komplek candi.

2. Candi Singasari

Candi Singasari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten


Malang, Jawa Timur. Seperti namanya, Candi ini merupakan peninggalan bersejarah
Kerajaan Singasari.

Candi bercorak Hindu - Budha ini memiliki tinggi sekitar 15 meter. Bagian bawah
candi berbentuk persegi dengan relung pada masing-masing sisi candi. Sedangkan
bagian atap candi sendiri berbentuk meru bersusun yang semakin keatas semakin
mengecil.

3. Candi Kidal
Candi Kidal merupakan candi bercorak Hindu peninggalan Kerajaan Singasari.
Candi yang terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Malang ini dibangun
pada 1248 Masehi.

Candi ini memiliki bentuk ramping dengan ukuran badan candi lebih kecil di
banding kaki candi dan atap candi.pada bagian kaki candi terpahat 3 buah relief
bergambar garuda. Sementara pada bagian atap, terdapat tiga tingkat yang semakin
ke atas semakin mengecil dan di bagian paling atasnya mempunyai permukaan yang
cukup luas.

4. Candi Jago

Candi Jago didirikan pada abad ke-13 pada zaman Kerajaan Singasari. Candi ini
tersusun dari batu-batuan andesit, dan pada bagian atasnya hanya tersisa sebagian.
Menurut cerita, bagian atas candi rusak akibat sambaran petir.

Candi yang berlokasi di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Malang
ini memiliki relief yang menceritakan ajaran Hindu dan Budha. Relief ini terpahat
hampir diseluruh bagian candi. Candi Jago berbentuk teras punden berundak, dimana
semakin ke atas ukuran candi akan mengecil. Candi ini memiliki tinggi hampir 10
meter dan lebar sekitar 14 meter. Sementara panjang Candi Jago Sendiri sekitar 24
meter.

5. Candi Jawi

Candi ini terletak di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan.
Candi Jawi didirikan atas perintah Raja Terakhir Kerajaan Singasari, yakni
Kertanegara. Kertanegara adalah penganut ajaran Sywa-Budha.

Candi Jawi memiliki tinggi 24,5 meter, lebar 9,5 meter, dan panjang sekitar 14,2
meter. Bentuk candi ini memiliki kemiripan dengan Candi Prambanan di Jawa
Tengah. Bentuk atapnya merupakan Paduan antara stupa dan kubus bersusun yang
meruncing pada puncaknya.

Uniknya, dalam pembangunan candi Jawi digunakan dua jenis batu yang berbeda,
dari kaki sampai selasar candi dibangun menggunakan batu hitam, sementara tubuh
candi menggunakan batu putih. Diduga candi ini dibangun pada dua masa
pembangunan.

You might also like