You are on page 1of 4

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITAS

PENGELOLA SAGU DALAM PENINGKATAN MANFAAT


SAGU DI MALUKU TENGAH PROVINSI MALUKU

PROPOSAL PENELITIAN

diajukan sebagai satu syarat menyelesaikan Mata Praktikum Metodologi


Penelitian pada Laboratorium Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian
Progam Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Jember

Asisten Pembimbing
Fandy Adry Willy Putranto

Oleh
Siti Asiyah Nasution
NIM 171510601177

LABORATORIUM KOMUNIKASI DAN PENYULUHAN PERTANIAN


PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

Fenomena :
Maluku memiliki luas areal tanaman sagu yang berkisar 31.360 hektar
tersebar di seluruh wilayah Maluku. baik di daerah dataran rendah maupun
dataran tinggi. Potensi produksi pati sagu ditentukan berdasarkan jumlah pohon
masak tebang dan produksi pati per pohon. Rata-rata jumlah pohon masak tebang
tercatat 82,12 pohon/hektar dengan produksi sagu berupa semi olahan (pati sagu
basah) rata-rata antara 100-500 kg/pohon atau 292 kg/pohon tergantung jenisnya.
Berdasarkan potensi luas lahan dan jumlah pohon masak tebang, produksi sagu di
Maluku dapat mencapai 71,532 ton semi olahan atau 46,495.80 ton produk olahan
atau pati kering. Angka ini sangat baik bila dibandingkan dengan tanaman pangan
yang lain, seperti: padi 6 ton dan jagung 5,5 ton.
Sagu memiliki peran strategis, yakni sebagai bahan pangan sumber
karbohidrat (85,9 gram per 100 gram) dan kalori (357 kalori), fungsi sosial dan
budaya, ekonomi, kesehatan, ekologi dan politik. Peluang pengembangan sagu
baik sebagai bahan pangan maupun industri memiliki prospek yang menjanjikan.
Sentra produksi sagu di Provinsi Maluku adalah Maluku Tengah. Pengelola sagu
yang masih aktif di Maluku Tengah ±520 rumah tangga dan jumlah terbanyak
terdapat di sentra produksi Kecamatan Saparua, yaitu 200 rumah tangga.
Pengelola sagu cukup banyak, namun produktivitas produk olahan sagu masih
sulit untuk ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitas. Rendahnya produktivitas
sagu disebabkan oleh banyak tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen
akhirnya rusak, pemanfaatan produk olahan sagu masih rendah yang diperkirakan
hanya 15–20%, pemanfaatan sagu masih terbatas pada skala pengelola
sagu/industri rumah tangga dengan pengolahan secara manual karena kurangnya
sentuhan teknologi adaptif secara lokal dan kendala dalam. Keadaan ini berbeda
dengan eksploitasi sagu oleh industri skala menengah dan besar yang umumnya
kurang memperhatikan keseimbangan produksi. Degradasi pertumbuhan sagu
yang terjadi membutuhkan waktu cukup lama dalam pemulihan, sekitar lima
sampai tujuh tahun (Kapludin,2011). Keadaan ini jika dibiarkan terus, secara
langsung akan mengganggu ketersediaan sumber pangan karbohidrat bagi
masyarakat sekitar areal sagu. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi
pengembangan sagu di Maluku, termasuk Maluku Tengah terutama untuk
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pangan beras.
Sagu adalah komoditas pangan lokal yang masih menjadi pangan pokok
masyarakat Maluku, khususnya pada desa-desa sentra produksi sagu. Keberadaan
sagu juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Maluku karena sagu
memiliki nilai fungsi sosial dan budaya. Bagi masyarakat Maluku, fungsi sosial
sagu adalah sebagai perekat dan pemersatu kelompok kerabat, baik dalam
persekutuan kecil antar keluarga, desa/negeri maupun antar pulau di Maluku. Bagi
kelompok kerabat ataupun desa-desa/negeri-negeri yang tidak memiliki lahan
sagu (dusung sagu) atau kepemilikannya terbatas, dapat mengusahakan lahan sagu
milik kelompok kerabat lain, desa/negeri lain dengan istilah maano (manu) dan
babalu. Fungsi sosial lain dari sagu adalah adanya dorongan untuk berbagi produk
olahan pangan sagu dengan kelompok kerabat lain yang membutuhkan yang
dikenal dengan istilah sagu salempeng bage dua sebagai perwujudan dari sistem
kekerabatan bila timbul bahaya kelaparan. Fungsi budaya sagu selain sebagai
pangan pokok di tingkat rumah tangga, juga sering diidentikkan dengan indentitas
atau karakter dan solidaritas dari masyarakat Maluku.
Seiring perubahan gaya hidup masyarakat mengakibatkan perubahan
yang cukup nyata pada pola permintaan terhadap bahan makanan yang akan
dikonsumsi, begitu pula pada masyarakat Maluku. Beras akhirnya menjadi
standar, sehingga tanpa disadari telah menggeser peranan pangan lokal dan pola
makan masyarakat Maluku. Kebiasaan makan (food habit) nasi, akhirnya
membentuk perilaku ketergantungan masyarakat lokal terhadap beras. Dengan
demikian nasi menjadi bahan makanan prestise atau superior, sedangkan pangan
lokal termasuk sagu dianggap sebagai pangan inferior (bermutu rendah).
Pengolahan sagu masih secara tradisional. Sebagian besar produk sagu yang
dihasilkan dalam bentuk semi olahan atau pati basah. Pengolahan sagu secara
sederhana menyebabkan olahan sagu basah banyak terbuang menjadi ampas
karena proses ekstraksi yang kurang efisien.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat pemanfaatan sagu di Maluku Tengah Provinsi Maluku?
2. Bagaimana strategi pengembangan kapasitas pengelola sagu di Maluku
Tengah Provinsi Maluku?
Judul
Potensi dan Strategi Pengembangan Kapasitas Pengelola Sagu dalam Peningkatan
Manfaat Sagu di Maluku Tengah Provinsi Maluku

You might also like