You are on page 1of 4

Tugas Matrikulasi

STUDI KASUS EPIDEMIOLOGI

Oleh

dr. Iskandar

Magister Ilmu Kesehatan masyarakat


Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
Banjarbaru
Agustus, 2014
ILUSTRASI KASUS

Berdasarkan data epidemiologi buat usulan kebijakan upaya menurunkan


insiden demam berdarah di Kalimantan Selatan.

PENYELESAIAN KASUS

Iklim tropis negara Indonesia merupakan tempat yang baik bagi kehidupan
hewan dan tumbuhan, namun hal ini menjadikan tempat yang baik pula bagi
perkembangan penyakit terutama penyakit yang diperantarai vektor. Salah satu
penyakit diperantarai vektor, yaitu penyakit demam berdarah (DBD).
Penyakit DBD pertama kali ditemukan tahun 1968 di Surabaya dengan 58
kasus pada anak dengan 24 anak meninggal. Penyakit DBD menunjukkan
kecenderungan peningkatan jumlah kasus dan luas daerah terjangkit. Wilayah di
seluruh Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD, kecuali
daerah yang memiliki ketinggian lebih dari 1.000 meter DPL. Jumlah kasus DBD
di Indonesia tahun 2008 mencapai 137.469 kasus dengan jumlah kematian
sebanyak 1187 orang. Tahun 2009 kasus DBD meningkat mencapai 158.912
kasus dengan jumlah kematian 1420 orang. Selama tahun 2010, kasus DBD
menurun menjadi 156.806 kasus dengan jumlah 3 kematian 1358 orang. Data dari
Jawa Pos Nasional Network (JPNN) tahun 2011, jumlah kasus DBD di Indonesia
dari Januari-Oktober 2011 sebanyak 49.486 kasus dengan angka kematian 4403
orang.
Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menyatakan prevalensi
nasional DBD di Indonesia adalah 0,62% dan di Kalimantan Selatan kasus DBD
Klinis terdeteksi dengan prevalensi 0,26%. Berdasarkan data kasus di Dinas
Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan diketahui selama tahun 2008 sebanyak 18
orang meninggal akibat DBD dan pada tahun 2009 terjadi sebanyak 1.113 kasus
DBD dengan jumlah meninggal 20 orang. Tahun 2012 kasus DBD di Kalimantan
Selatan mencapai 1552 kasus dengan 25 orang diantaranya meninggal.
Pada tahun 2012 tercatat kasus DB di Kabupaten Banjar sebanyak 146
kasus, Tabalong 134 kasus, Hulu Sungai Tengah 125 kasus, Hulu Sungai Selatan
110 kasus dan Banjarmasin 56 kasus. Angka kematian tertinggi terletak pada
Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebanyak 7 orang, sedangkan pada Kabupaten
lain seperti Kabupaten Banjar sebanyak 5 0rang, Banjarmasin 3 orang, Tabalong 2
orang, Banjarbaru 1 orang, dan Tanah Bumbu 1 orang.
Berdasarkan data epidemiologi di atas dapat kita ketahui bahwa prevalensi
dan angka kematian penyakit DBD cukup tinggi di provinsi Kalimantan Selatan.
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan beberapa kebijakan untuk menurunkan
angka kematian dan prevalensi penyakit DBD. Kebijakan dalam rangka
penanggulangan menyebarnya DBD antara lain: (1) peningkatan perilaku dalam
hidup sehat dan keamandiriian masyarakat terhadap penyakit DBD; (2)
meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap penyakit DBD; (3)
meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program pemberantasan DBD; dan
(4) memantapkan kerjasama lintas sektor/lintas program.

 Pemberdayaan masyarakat
Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya
pemberantasan penyakit DBD. Untuk mendorong meningkatnya peran aktif
masyarakat, maka upaya-upaya KIE, social marketing, advokasi, dan berbagai
upaya penyuluhan kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan
berkesinambungan melalui berbagai media massa dan sarana.

 Peningkatan Kemitraan Berwawasan Bebas dari Penyakit DBD


Upaya pemberantasan penyakit DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sektor
kesehatan saja, peran sektor terkait pemberantasan penyakit DBD sangat
menentukan. Oleh sebab itu, maka identifikasi stakeholders baik sebagai mitra
maupun pelaku potensial, merupakan langkah awal dalam menggalang,
meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jaringan kemitraan diselenggarakan
melalui pertemuan berkala, guna memadukan berbagai sumber daya yang tersedia
di masing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai
tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian.
 Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program
SDM yang terampil dan menguasai IPTEK merupakan salah satu unsur
penting dalam pelaksanaan program P2 DBD. Pengetahuan mengenai Bionomic
vektor, virology dan faktor-faktor perubahan iklim, tata laksana kasus harus
dikuasai karena hal-hal tersebut merupakan landasan dalam penyususnan
kebijaksanaan program P2 DBD.

 Desentralisasi
Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelola kepada kabupaten/kota.
Penyakit DBD hampir tersebar luas di seluruh Indonesia kecuali di daerah yang di
atas 1000 m diatas permukaan air laut. Angka kesakitan penyakit ini bervariasi
antara satu wilayah dengan wilayah lain, dikarenakan perbedaan situasi dan
kondisi wilayah.

 Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan


Meningkatnya mutu lingkungan hidup dapat mengurangi angka kesakitan
penyakit DBD karena di tempat-tempat penampungan air bersih dapat dibersihkan
setiap minggu secara berkesinambungan, sehingga populasi vektor sebagai
penular penyakit DBD dapat berkurang. Orientasi, sosialisasi, dan berbagai
kegiatan KIE kepada semua pihak yang terkait perlu dilaksanakan agar semuanya
dapat memahami peran lingkungan dalam pemberantasan penyakit DBD.

Pokok-pokok program pemberantasan DBD mencakup: (1) Kewaspadaan


dini DBD; (2) Pemberantasan vektor melalui PSN dengan cara 3M Plus, dan
pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali; (3) Bulan
Bakti gerakan ”3M”; (4) Penanggulangan kasus, dimana Puskesmas
melakukanpenyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi persebaran lebih
luas dan tindakan yang lebih tepat; (5) penanggulangan KLB; (6) peningkatan
profesionalisme SDM; (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann PSN DBD;
(8) Penelitian.

You might also like