You are on page 1of 24

BAB III

Analisis Ragam Dan Implikasi Qira’at

Dalam Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Zuhaili

A. Biografi Wahbah Az-Zuhaili

1. Biografi Singkat

Nama lengkap dari Wahbah Zuhaili adalah Wahbah bin Syekh Musthafa al-

Zuhaili. Wahbah Zuhaili ialah seorang ulama’ dan intelektual Islam di Syam. Dalam

diktat yang dikeluarkan oleh kedutaan Republik Iran tentang Samahah al-Syaikh al-

Doktor Wahbah al-Zuhaili al-Mukhtaram‛ diuraikan tentang kehidupan pribadi dan

karya-karya yang dihasilkan oleh al-Zuhaili. Dalam diktat tersebut dijelaskan bahwa

Wahbah Zuhaili lahir pada tahun 1932 H di daerah Dir ‘Athyah Damaskus Syiriah.1

Bapaknya adalah ulama’ besar yakni Syaikh Musthafa al-Zuhaili seorang petani sekaligus

pedagang yang hafal Alquran pecinta al-Sunnah. Bapaknya dikenal sebagai seoarang

shaleh, wara’, peduli terhadap kehidupan sosial dan agama serta melibatkan diri dalam

gerakan keagamaan.2

Latar belakang pendidikannya Wahbah Zuhaili di mulai dari ibtidaiyah ditempat

kelahirannya, kemudian Śanawiyah dan fakultas syari’ah Damaskus selesai pada tahun

1952. Setelah itu Wahbah Zuhaili melanjutkan belajar di al-Azhar juga di fakultas

Syari’ah selesai pada tahun 1956 dan fakultas hukum di Universitas ‘Ain Syam di tahun

1957, kemudian mengambil tingkat magister di bidang Hukum di Universitas Kairo pada

1
Muhammad Faruq Yunaedi, Taubat Dalam Surat al-Nisā’ Ayat 17-18 “Perspektif Wahbah Zuhailī dan
Syaikh Mutawallī al-Sya’rawī”, Skripsi Prodi Tafsīr Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas IAIN Sunan Ampel
Surabaya, hlm. 45.
2
Yayuk Nuroniyah, Perkawianan Anatar Agama “Studi Perbandingan Antara Pendapat Nurchalish
Madjid dan Pendapat Wahbah Zuhailī”, Skripsi Prodi Ahwalus Syakhsiyah Fakultas Syari’ah Universitas IAIN
Sunan Ampel Surabaya, hlm. 36.

43
tahun 1959, lalu memperoleh gelar Doktor pada fakultas Syari’ah al-Azhar tahun 1963.

Setelah menyelesaikan studinya, Wahbah Zuhaili diangkat sebagai dosen dan kemudian

menjabat dekan fakultas Syari’ah di Damaskus.3

Dengan demikian, Wahbah Zuhaili adalah seorang yang dibesarkan dalam

lingkungan kampus. Kegiatan dan pengabdiannya banyak tercurah untuk kegiatan ilmiah

dan akademisi. Setelah tamat dari perguruan tinggi, Wahbah Zuhaili langsung

mengabdikan diri sebagai dosen dan bahkan menjabat sebagai dekan. Bahwa ilmu

pengetahuan yang dimiliki oleh Wahbah Zuhaili diperoleh secara formal tidak seperti

kebanyakan mufassir terdahulu yang umumnya belajar secara tradisioanal.4

2. Guru-gurunya

Dalam menuntut ilmunya Wahbah Zuhaili mendatangi ulama’ besar dalam

berguru, diantaranya:

a. Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafie

b. Abdul Razaq al-Hamasi

c. Mahmud Yassin

d. Judat al-Mardini

e. Hassan al-Shati

f. Hassan Habnakah al-Midani

g. Muhammad Shaleh Farfur

h. Muhammad Lutfi al-Fayumi

i. Mahmud al-Rankusi.

3. Karya-Karya

3
Ibid, 37
4
Ibid. 40

44
Melihat dari latar belakang yang digeluti selama pendidikannya, memberikan

gambaran jelas bahwa Wahbah Zuhaili adalah seorang ilmuan yang memilki spesialisasi

dalam bidang fiqh dan hukum. Namun demikian Wahbah Zuhaili juga dikenal sebagai

seorang ahli tafsir dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Karya karyanya Wahbah Zuhaili secara

keseluruhan lebih dari 30 buah buku, diantaranya ialah:5

a. Ushul Fiqh al-Islamī

b. Fiqh al-Islamī wā Adillatahū

c. Tafsīr al-Munīr

d. Aśar al-Hurbi fi Fiqh al-Islamī

e. Naẓariat al-Ẓaman au Aḥkam al-Mas’uliyah al-Madaniyah wa al-Jūnubiyah fi

Fiqh Islamī

f. Al-Waṣayā wa al-Waqf

g. Al-Tanwīr fi al-Tafsīr ‘ala Ḥamis Alquran al-‘Adzim

h. Alquran Syari’ah al-Mujtama’

i. Al-Usrah al-Muslamah al-Ma’āshir

4. Metode Penyusunan Kitab

Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab ‘Ulum

Al quran Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah Zuhaili pada setiap

awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat

tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang

diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa, dengan menjelaskan beberapa istilah yang

5
Ibid, 38

45
termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika

bahasanya.6

Dengan demikian, maka metode penafsiran yang dipakai adalah metode tahlili

dan tematik, karena beliau menafsirkan Alquran dari surat al-Fatihah sampai dengan

surat an-Naas dan memberi tema pada setiap kajian ayat yang sesuai dengan

kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat satu sampai lima, beliau

memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balasan bagi orang-orang yang bertaqwa.

Seterusnya sampai surat an-Naas selalu memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat

yang saling berhubungan.7

Corak tafsir al-Munir, dengan melihat kriteria-kriteria yang ada penulis dapat

simpulkan bahwa tafsir tersebut bercorak ‘addabi ‘ijtima’i dan fiqhi, karena memang

Wahbah Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya beliau

menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga

disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah

masyarakat. Sedikit sekali dia menggunakan tafsir bi al-‘ilmi, karena memang sudah

disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa dia akan meng-counter beberapa

penyimpangan tafsir kontemporer.8 Karakteristik Wahbah dalam penulisan tafsirnya

adalah sebagai berikut:

a. Pengelompokan tema.

6
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), 23
7
Ibid, 42
8
Ibid, 24

46
b. Menyajikan al-I’rab, al-balaghah, al-mufradat al-lughawiyah, asbab an-nuzul, at-

tafsir wa al-bayan, dan fiqh al-hayat aw al-ahkam pada tiap-tiap tema atau ayat-

ayat yang dikelompokan.

c. Mencantumkan materi-materi yang dimuat dalam ushul al-Fiqh

d. Mengakomodir perdebatan yang terjadi antar ulama madzhab pada tafsir ayat-ayat

ahkam.

e. Mencantumkan catatan kaki (footnote) dalam pengutipan karya orang lain.9

Secara sistematika sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah Zuhaili pada setiap

awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat

tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang

diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu: Pertama, aspek bahasa, yaitu

menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan

segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.10

Kedua, tafsir dan bayan yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat,

sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya

dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya. Dalam kolom ini, beliau

mempersingkat penjelasannya jika dalam ayat tersebut tidak terdapat masalah, seperti

terlihat dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 97-98 Namun, jika ada

permasalahan diulasnya secara rinci, seperti permasalahan nasakh dalam ayat 106 dari

surat al-Baqarah.

9
Ibid, 25
10
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 57

47
Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan

yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan

manusia dan ketika terdapat masalah-masalah baru dia berusaha untuk menguraikannya

sesuai dengan hasil ijtihadnya.

Wahbah Zuhali sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir Al-qur’an

yang didasarkan pada Al qur’an sendiri dan hadis-hadis shahih, mengungkapkan asbab

an-nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat, riwayat yang buruk,

dan polemik, serta bersikap moderat. Dengan melihat fakta data-data di atas, maka

Wahbah Zuhaili memenuhi sebagian besar kriteria yang diajukan oleh Khalid Abd ar-

Rahman bagi seorang mufassir, diantara kriterianya adalah sebagai berikut:

a. Muthabaqat tafsir dan mufassir, dengan tidak mengurangi penjelasan makna yang

diperlukan , tidak ada tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan dan makam serta

menjaga dari penyimpangan makna dan yang dikehendaki Alquran.

b. Menjaga makna haqiqi dan makna majazi, yang dimaksud makna haqiqi tapi di

bawa kedalam makna majazi atau sebaliknya.

c. Muraat ta’lif antara makna dan tujuan yang sesuai dengan pembicaraan dan

kedekatan antar kata.

d. Menjaga tanasub antar ayat.

e. Memperhatikan asbab an-nuzul

f. Memulai dengan bahasa, sharf dan isytiqaq (derivasi) yang berhubungan dengan

lafadz disertai dengan pembahasan dengan tarakib.

48
g. Menghindari idd’a pengulangan Alquran.11

5. Penilaian Ulama’ tentang tafsir al-Munir

Banyak komentar positif ulama dan pemikir kontemporer tentang kitab Tafsir al-

Munir ini. Dalam Pengantar Penerjemah buku biografi Syaikh Wahbah, Dr. Ardiansyah

menjelaskan, Tidaklah berlebihan kiranya saya mengatakan bahwa Syaikh Wahbah

adalah ulama paling produktif dalam melahirkan karya pada abad ini, sehingga dapat

disamakan dengan Imam as Suyuti. Demikian pula dengan sambutan luar biasa dari

kalangan akademisi dan masyarakat luar terhadap karya-karya monumentalnya seperti al-

Fiqh al-Islamiy wa Adillahtu, at-Tafsir al-Munir, dan Ushul al-Fiqh, sehingga layak

disamakan dengan karya-karya al-Imam an-Nawawi. Prestasi dan keberhasilan yang

langkah diraih oleh siapa pun pada masa sekarang ini, merupakan anugrah dari Allah

SWT, serta kesungguhan beliau dalam membaca, menelaah, dan menulis.

Syaikh Muhammad Kurayyim Rajih, dan ahli qira’at di Syam sangat memuji

tafsir al-Munir ini, Kitab ini sungguh sangat luar biasa, sarat ilmu, disusun dengan

metode ilmiah, memberikan pelajaran layaknya seorang guru, sehingga setiap orang yang

membacanya memperoleh ilmu. Kitab ini layak dibaca setiap kalangan, baik yang

berilmu maupun orang awam. Mereka akan mendapatkan inspirasi dari kitab ini dalam

kehidupannya, sehingga ia tidak perlu lagi merujuk kepada kitab-kitab yang lain.

Tidak hanya sampai di situ, kitab ini juga dinikmati oleh kalangan Syi`ah. Hal ini

terbukti ketika kitab ini mendapat penghargaan karya terbaik untuk tahun 1995 M dalam

kategori keilmuan Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik Islam Iran.

Kitab ini juga disambut oleh berbagai Negara dengan cara menerjemahkannya dalam

berbagai bahasa, seperti Turki, Prancis, Malaysia, dan menyusul Indonesia.


11
Ibid, 58.

49
B. Ragam Qira’at Dalam Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah Wa Al-Syari’ah Wa Al-Manhaj

Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa metode tafsir Al-Munir adalah

gadungan antara metode tahlili dan maudhu’I, dengan sistematika penyusunan tafsir

mengkolaborasikan antara tafsir klasik dan kontemporer, ini terbukti didalam karyanya

beliau mencantumkan beberapa sub tema yang dilengkapi dengan pemaparan kajian

bahasa, balaghah dan gramatikanya, asbab an-Nuzul, penjelasan dan tafsir dan lainnya.

Selain itu, Wahbah Zuhaili juga tidak meninggalkan aspek qira’at dalam penafsirannya,

hal ini dapat dilihat dalam tafsirnya disetiap ayat yang mempunyai ragam qira’at beliau

selalu mencantumkan bentuk versi bacaan dari para imam qira’at.

Adapun dalam pencantuman bentuk qira’at dalam tafsirnya Wahbah Zuhaili

sering kali mencantumkan bentuk qira’at dari qira’at sab’at. Dan adakalanya di beberapa

ayat-ayat al-Qur’an Wahbah Zuhaili menjadikan qira’at sebagai sumber penafsiran. Hal

ini dapat dilihat dalam penyusunan tafsirnya berikut ini:

1. Mencantumkan sub tema dengan judul ‫القراءات‬

Salah satu aspek pembahasan dalam menafsirkan yang digunakan oleh Wahbah

Zuhaili adalah dengan mencantumkan ragam qira’at. Aspek ini disusun dengan

memberikan sub tema ‫ القراءات‬pada awal setelah poin pengelompokkan ayat, salah

satu contohnya seperti berikut ini:

a. Q.S al-Fatihah[1]:1-712

12
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), 55-56

50
‫يمِ‪َٰ ِِ٣‬م ِل ِكِي ۡو ِمِ‬
‫لر ِح ِِ‬
‫نِٱ َ‬ ‫بِٱ ۡل َٰعل ِمينِِ‪ِ٢‬ٱ َ‬
‫لر ۡح َٰم ِِ‬ ‫يمِ‪ِ١‬ٱ ۡلح ۡمدِِ ِ َّللِِر ِ‬
‫لر ِح ِِ‬
‫نِٱ َ‬‫لر ۡح َٰم ِِ‬ ‫بِ ۡس ِِمِٱ َِ‬
‫ّللِِٱ َ‬
‫ص َٰرطِ ِٱلَذِينِِ‬ ‫لص َٰرطِ ِٱ ۡلم ۡست ِقيمِ ِ‪ِ ِ ٦‬‬
‫ِين ِ‪ِ ٤‬إِيَاكِ ِنعۡ بد ِوإِيَاك ِن ۡست ِعين ِ‪ِ ٥‬ٱ ۡهدِنا ِٱ ِ‬ ‫ٱلد ِِ‬
‫ضا ٓ ِلينِِ‪ِ ِ٧‬‬
‫بِعل ۡي ِه ۡمِوَلِٱل َ‬ ‫أ ۡنع ۡمتِعل ۡي ِه ۡمِغ ۡي ِرِٱ ۡلم ۡغضو ِِ‬
‫القراءت‪:‬‬
‫ك)ِ‪ِ:‬قرئ‪ِ :‬‬ ‫( َٰم ِل ِِ‬
‫‪( -‬مالك)ِعلىِوزنِ(فاعل)ِبالخفض‪ِ,‬وهيِقراءةِعاصم‪ِ,‬والكسائي‪ِ,‬وهيِ‬
‫قراءةِكثيرِمنِالصحابة‪ِ,‬منهمِأبي‪ِ,‬وإبنِمسعود‪ِ,‬وابنِعباس‪.‬‬
‫‪( -‬ملك) ِعلى ِوزن ِ(فعل) ِبالخفض‪ِ ,‬وهي ِقراءة ِباقي ِالسبعة‪ِ ,‬وزيد ِبنِ‬
‫ثابت‪ِ,‬وأبيِالدارداء‪ِ,‬وابنِعمر‪ِ,‬وكثيرِمنِالصحابةِوالتابعين‪.‬‬
‫لص َٰرطِ)ِ‪ِ:‬قرئ‪ِ :‬‬
‫(ٱ ِ‬
‫‪( -‬الصراط) ِبالصاد‪ِ ,‬وهي ِقراءة ِالجمهور‪ِ ,‬وهي ِالفصحى‪ِ ,‬وهي ِلغةِ‬
‫قريش‪.‬‬
‫‪( -‬السراط)ِبالسينِعلىِاألصل‪ِ,‬وهيِقراءةِقنبل‪.‬‬
‫(عل ۡي ِه ِۡم)ِقرئ‪ِ :‬‬
‫‪( -‬عليهم)ِبكسرِالهاءِوإسكانِالميم‪ِ,‬وهيِقراءةِالجمهور‪.‬‬
‫‪( -‬عليهم)ِبضمِالهاءِوإسكانِالميم‪ِ,‬وهيِقراءةِحمزة‪.‬‬
‫‪Pada surat Al-Fatihah ini terdapat beberapa bentuk qira’at yang berbeda‬‬

‫ك ‪dari para qari’. Ada yang membaca dengan lafadz‬‬


‫‪ ia menyebutkan bahwa‬ما ِل ِِ‬

‫‪ dengan kasrah merupakan bacaan‬فاعل ‪bentuk bacaan itu dinisbatkan pada wajan‬‬

‫‪‘Ashim dan al-Kisa’i dan banyak dibaca oleh para shahabat seperti Ubay, Ibn‬‬

‫ك ‪Mas’ud dan Ibn ‘Abbas. Selanjutnya ahli qira’at yang lainnya membaca‬‬
‫م ِل ِِ‬

‫‪ dengan kasrah, bacaan ini merupakan qira’at Nafi’, Ibn Katsir,‬فعل ‪dengan wajan‬‬

‫‪Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir dan Hamzah. Selain itu Zaid bin Tsabit, Abi Darda, Ibn‬‬

‫ك ‪‘Umar dan sahabat juga para tabi’in yang lainnya membaca dengan bacaan‬‬
‫‪ .‬م ِل ِِ‬

‫‪51‬‬
Kemudian pada lafadz ‫ الصراط‬dengan huruf ‫ ص‬dan ada yang memabaca

dengan huruf ‫ س‬yaitu ‫ السراط‬ini merupakan bacaan dari qanbul. Seterusnya pada

lafadz ‫ عليهم‬ada versi bacaan lain dengan membaca ‫ عليهِم‬ini merupakan bacaan

Hamzah.

b. Q.S al-Baqarah[2]:1-513

ِِ‫ب ِوي ِقيمون‬ِِ ‫ ِ ِٱلَذِينِ ِي ۡؤ ِمنون ِبِِ ۡٱلغ ۡي‬٢ِ ‫ ِ َٰذ ِلكِ ِ ۡٱل ِك َٰتبِ َِل ِر ۡي َۛب ِفِي َۛ ِه ِهدٗ ى ِِل ۡلمت َِِقين‬١ِ ‫ا ٓل ِٓم‬
ِ‫نزل ِ ِمن‬ِ ‫نزل ِ ِإل ۡيكِ ِومِا ٓ ِأ‬ ِ ‫ ِوٱلَذِينِ ِي ِۡؤ ِمنون ِ ِبما ٓ ِأ‬٣ِ ‫صل َٰوةِ ِو ِم َما ِرز ۡق َٰنه ۡم ِين ِفقون‬ َ ‫ٱل‬
ٓ ٓ
ِ ٥ِِ‫نِر ِب ِه ۡۖۡمِوأ ِْو َٰل ِئكِِهمِ ۡٱلمِ ۡف ِلحون‬ ِ ٗ‫ِأ ْو َٰل ِئكِِعل َٰىِهِد‬٤ِ‫ق ۡب ِلكِوِِب ۡٱأل ٓ ِخر ِِةِه ۡمِيو ِقنون‬
َ ‫ىِم‬
ِ :‫القراءت‬
ِ .‫ِوهيِقراءةِابنِكثير‬,‫ِموصوَلًِبياء‬,)‫ِ(فيهي‬:‫( ِفي َۛ ِِه)ِقرئ‬

ِ :‫(وبِِ ۡٱأل ٓ ِخرةِِ)ِقرئ‬


ِ‫ِوهي‬,‫ (وباألخرة)ِبتسكينَِلمِالتعريفِوإقرارِالهمزةِالتيِبعدهاِللقطع‬-
.‫قراءةِالجمهور‬
.‫ِوهيِقراءةِورش‬,‫ِونقلِالحركةِإلىِالالم‬,‫ (وبِِاَل ِخرة)ِبحذفِالهمزة‬-

Bacaan ‫ وباألِخرة‬dengan mensukunkan lam ta’rif adalah bacaan dari kebanyakan

pada qari’. Sedangkan versi bacaan ‫ وبِِاَل ِخرة‬adalah versi bacaan Warsy’.

2. Menjadikan ragam bacaan al-Qur’an sebagai sumber penafsiran

Banyaknya ragam qira’at yang dicantumkan Wahbah Zuhaili bukan semata-mata

dicantumkan begitu saja akan tetapi mempunyai fungsi tersendiri. Tentunya Wahbah

Zuhaili menjadikan ragam qira’at sebagai kepentingan salah satu sumber dalam

penafsiran, hal ini dapat dilihat didalam tafsirnya berikut ini:

13
Ibid, 75-76

52
Q.S Al-Maidah[5]:614

ِ‫ِ(أرجِِلكم)ِفمحمولة‬:‫ِواماِقراءةِالجر‬.)‫ِ(وا ْرجلك ْم‬:‫هذاِكلهِعلىِقراءةِالنصب‬


ِ‫وم‬
ٍ ‫ِ(إنىِأخافِعليكمِعذاب ِي‬:‫ِكماِفيِقولهِتعالىِفيِسورةِهود‬,‫علىِالجوار‬
ِ.)‫ ِ(ألي ًما‬:‫ِ(يوم) ِالمجرور ِإذ ِكان ِحقه ِأن ِيقال‬
ٍ ‫ِ(أليم) ِلمجاورة‬
ٍ ‫أليم) ِبجر ِميم‬
ٍ
ِ‫ِالتنبيهِعلىِأنهِينبغيِاَلقتصاد‬:)‫ ِ(وأرجلكم‬:‫وفائدةِالجرِللجوارِهناِفيِقوله‬
ِ‫ِألنهاِمظنةِاإلسرافِلما‬,‫ِوخصِاألرجلِبذلك‬,‫فيِصبِالماءِعلىِاألرجل‬
ِ .‫يعلقِبهاِمنِاألدران‬
Dalam hal ini kebanyakan para qori’ menbaca dengan nasab )‫(وا ْرجلك ِْم‬. Adapun

yang membaca dengan jar itu dimahmul kepada makna ‫( الجوار‬berdekatan), seperti dalam

firman Allah SWT didalam surat Hud )‫ِأليم‬


ٍِ ‫ِيوم‬
ٍ ‫ (إنىِأخافِعليكمِعذاب‬dengan menjarkan

huruf mim karena berdekatan dengan )‫يوم‬


ٍِ ( yang dijarkan karena sesungguhnya yang

benar )‫(ألي ًما‬. dan faidah jar terhadap ‫( الجوار‬berdekatan) disana pada firman Allah

(‫ )ا ْرجلكم‬sebagai peringatan untuk pantas seharusnya berniat mengucurkan pada kaki dan

dikhususkan kaki pada hal tersebut. Karena sesunggguhnya kaki merupakan tempat

sesuatu yang dikaitkan dari kotoran-kotoran.

C. Analisis Implikasi Qira’at Terhadap Penafsiran Dalam Tafsir Al-Munir Fi Al-

Aqidah Wa Syari’ah Wa Al-Manhaj

Penggunaan qira’at yang berbeda dalam penafsiran adakalanya mempengaruhi

makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur’an. Hal ini diperlihatkan Wahbah Zuhaili

14
Ibid, 449

53
seorang ulama yang ahli dibidang fiqh dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hukum,

berikut ini:

1. Q.S al-Baqarah[2]: 222

ِ‫يض ِوَل ِت ۡقربوه َن‬ ِ ِ ‫يض ِق ۡل ِهو ِأ ٗذىِفِٱ ۡعت ِزلوِاِْٱ ِلنسآءِ ِ ِفيِٱ ۡلم ِح‬
ِ ۡۖ ِ ‫وي ۡسِلونكِ ِع ِن ِٱ ۡلم ِح‬
ِِ‫ّلل ِي ِحبُّ ِٱلت َ َٰ َوبِين‬ ِ‫ِم ۡن ِح ۡيث ِأمركم ِٱ َه‬
َِ ‫ّلل ِ ِإ َن ِٱ‬ ِ ‫حت َ َٰى ِي ۡطه ۡر ۖۡن ِفإِذا ِتط َه ۡرن ِف ۡأتوه َن‬
ِ ِ٢٢٢ِِ‫وي ِحبُّ ِٱ ۡلمتط ِه ِرين‬
”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu

kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu

haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka

telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah

kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai

orang-orang yang mensucikan diri”

ِ‫َلِت ۡقربوه َنِحت َ َٰىِي ۡطه ۡرن‬

Potongan
Penafsiran Riwayat
ayat

Janganlah kamu bersetubuh dengan

mereka sampai mereka suci berhenti َِ ‫ي‬


ِ‫ط َِه ۡرن‬ Hamzah, Al-Kisa’I

keluar darah haid mereka )ِ‫)الطهر‬

Sedangkan berdasarkan qira’at


Ibn Katsir, Nafi’, Abu
َِ ‫ ي‬maka penafsirannya akan
َِ‫ط َِه ۡرن‬
ِ‫ي ۡطه ۡرن‬ ‘Amr, Ibn ‘Amir dan
bergeser menjadi, janganlah kamu
‘Ashim.
bersenggama dengan mereka sampai

54
mereka bersuci (‫)الطهر‬15

Namun demikian, ulama masih berbeda pendapat dalam menafsirkan ‫ الطهر‬disini.

Ada yang menafsirkan sebagai al-istighsal bi al-ma’I (mandi dengan air), ada yang

menafsirkannya menjadi al-wudhu’ (berwudhu), ghasl al-farj (mencuci farji), dan ghasl

al-mauhi wa al-wudhu’ (mencuci tempat keluarnya dan berwudhu’).16

Imam Malik, Imam Syafi’i, Al-awzal dan Al-Sawri berpendapat bahwa seorang

suami haram hukumnya, bersetubuh dengan isterinya yang sedang dalam keadaan haid

sampai isterinya berhenti dan mandi karena darah haidnya.17

Kemudian imam Syafi’i menjelaskan. Pertama, bahwa qira’at mutawatir (dalam

hal ini qira’at sab’at) adalah dapat dijadikan hujjah secara ijma’. Oleh karena itu, apabila

َِ ‫ي‬-ِ‫ِي ۡطه ۡرن‬dan keduanya dapat digabungkan dari segi


ada dua versi qira’at mutawatir ِ‫ط َِه ۡرن‬

ۡ ‫حت َ َٰى ِي‬


kandungan hukumnya, maka kita wajib menggabungkannya. Pada kalimat ِ‫طه ۡرن‬

mengandung arti, sampai mereka suci atau berhenti dari darah haid mereka. Sedangkan

َِ ‫ حت َ َٰى ِي‬mengandung arti, sampai mereka suci dengan air (mandi).


pada kalimat ِ‫ط َِه ۡرن‬

Kedua ketentuan hukum dalam kedua qira’at tersebut, dapat digabungkan yaitu sampai

َِ ‫ط َه ۡرن ِف ۡأتوه‬
terpenuhinya kedua ketentuan hukum tersebut. Kedua, dalam kalimat ‫ن‬ َِ ‫فإِذاِت‬

menunjukkan bahwa seorang suami dibolehkan bersetubuh dengan isterinya yang telah

menjalani haid, apabila telah menjalani persyaratan ‫ الطهر‬yaitu bersuci dengan cara

mandi.

15
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), Juz.1, 666-676
16
Hasanuddin AF, “Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum
dalam Al-Qur’an”, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995). Hlm. 203
17
Ibid, hlm 203

55
َِ ‫ ت‬menunjukkan secara jelas, bahwa batas
Al-Qosimi juga menjelaskan kata ِ‫ط َه ۡرن‬

seseorang menyetubuhi isterinya yang sedang haid adalah sampai isterinya mandi karena

ۡ ‫ ي‬menunjukkan bahwa pengharaman tersebut adalah


darah haidnya. kemudian ِ‫طه ۡرن‬

sampai berhentinya darah haid, akan tetapi apabila dikaitkan dengan potongan ayat

َِ ‫ فإِذا ِت‬maka maknanya sampai mereka bersuci


selanjutnya dalam ayat tersebut ِ‫ط َه ۡرن‬

dengan cara mandi, oleh karenannya jadilah kedua ketentuan hukum tersebut (berhenti

dari darah haid dan bersuci dengan cara mandi) menjadi batas keharamana dalam kasus

dimaksud oleh ayat.

ۡ ‫ َل ِت ۡقربوه َن ِحت َ َٰى ِي‬Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang


Pada kalimat ِ‫طه ۡرن‬

dimaksud dalam potongan ayat tersebut adalah janganlah bersetubuh dengan mereka

sampai mereka suci, dalam arti telah berhenti dari darah haid mereka. Dengan demikian,

para suami dibolehkan bersetubuh dengan isteri mereka setelah haid mereka berhenti.18

Q.S An-Nisa[4]:43

ِ‫صل َٰوةِ ِوِأنتِ ۡم ِسِ َٰكر َٰى ِحِت َ َٰى ِتعۡ لمواْ ِما ِتقِولون ِوَل‬َ ‫َٰ ٓيأيُّها ِٱلَذِينِ ِءامنواْ َِل ِت ۡقربواْ ِٱل‬
ِ ٞ‫جنبًاِ ِإ ََلِعا ِب ِريِس ِبي ٍلِحت َ َٰى ِت ۡغتِسِلو هاِْو ِإنِكِنتِمِ َمرِۡض َٰ ٓىِأ ۡوِعِل َٰى ِسف ٍرِأ ۡوِجآءِِأحد‬
ِْ‫مِمن ِٱ ۡلغآئِ ِط ِأ ۡو َِٰلم ۡستم ِٱلنِسآءِ ِفل ۡم ِتِ ِجدِواْ ِمِا ٓ ٗء ِفتي َِممواْ ِص ِعيدٗاِطيِبِٗاِفِٱمۡ سحوِا‬ِ ‫ِمنك‬
ِ ِ٤٣ِ‫ّللِكانِعف ًّواِغِفو ًرا‬ َِ ‫بِوجو ِهك ۡمِوأ ۡيدِيك ۡۗۡمِإِ َنِٱ‬
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan

mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid)

sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau

kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka

18
Lihat:Imam Muhammad al-Razi, op. cit, Juz ke 6, hlm. 73. Juga al-Qurthubi, op. cit, Juz ke 3, hlm. 88-
89. Lihat:Hasanudin AF, hlm 205

56
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.

Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”

‫أ ۡو َِٰلم ۡستمِٱلنِسا ٓ ِء‬

Potongan
Penafsiran Riwayat
ayat

Pada kata ini ditafsirkan (ِ ‫التقاء‬

‫ )البشرتين‬yaitu bertemunya kedua Ibn Katsir, Nafi’, Ashim


ِ‫َٰلم ۡستم‬
kulit/bersentuhan. baik dengan bentuk dan Ibn Amir

apapun.

kata ِ‫ لِم ۡستم‬berarti ‫( جام ْعتم‬bersetubuh),

ِ‫( باش ْره ْم‬bersentuhan), atau ِ ‫يجْ مع ِبيْن‬

ً ‫( األ ْمري ِْن ِج ْمعِا‬keduanya, bersetubuh ِ‫لِم ۡستم‬ Hamzah dan al-Kisa’I

dan bersentuhan), Wahbah Zuhaili

menafsirkannya dengan menyentuh.19

Dalam memaknai ِ‫ َٰلم ۡستم‬seperti Wahbah Zuhaili, mengartikan denganِ ‫ِقب ْلتم‬

(berciuman dan sebangsanya), bersifat aktif, sementara makna ِ‫ لِم ۡستم‬adalah ِ‫مسْتم‬

(menyentuh) karena pihak wanita (yang disentuh) dalam hal ini tidak aktif.20

19
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), Juz.3, hlm.83-98
20
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), 83

57
Beberapa ulama berpendapat menurut Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah

dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh (‫)الجماع‬.

Sedangkan Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakh’I dan Imam Syafi’I mamaknai kata ِ‫َٰلم ۡستم‬

dalam ayat ini dengan (‫ْن‬ ْ ‫ ) ْإلتِق‬bertemunya kedua kulit/bersentuhan (baik dalam
ِِ ‫اءِالب ِشيْرتي‬

bentuk bersetubuh maupun dalam bentuk apapun).

Jika kita perhatikan kedua qira’at di atas ( ‫ ِلمستم‬dan ‫ )َلمستم‬mempunyai perbedaan

yang tipis. Jika dikelompokkan kesemua arti di atas, keduanya ditafsirkan sebagai ulama

dengan “bersentuh” dan sebagian yang lain dengan “bersetubuh”. Bedanya, ‫لمستم‬

bermakna pasif sedangkan ‫ َلمستم‬bermakna aktif kedua pihak.

Masing-masing penafsiran berimplikasi terhadap istinbath hukum, batalnya

wudhu’ terjadi hanya jika bersentuhan dengan perempuan, atau bersetubuh dengan

perempuan. Bisa pula dari segi sengaja ataupun tidak (pasif atau tidaknya), artinya batal

jika bersentuhan secara sengaja atau tetap batal meski tidak disengaja.

Dalam hal ini Wahbah Zuhaili cenderung berpendapat, batal wudhunya orang

yang menyentuh, atau bersentuhan dengan sengaja anggota tubuh laki-laki dan wanita.

Hal ini mengingat arti dari kata (‫ )لمستم‬yaitu: menyentuh, dan kata (‫ )َلمستم‬yaitu:

bersentuhan.

Q.S al-Maidah[5]:6

ِ‫ق‬ِِ ِ‫صل َٰوةِِ ِفِٱ ۡغسِلوِاْ ِوجوهك ۡم ِوأ ۡيدِيك ۡم ِ ِإلىِٱ ۡلمراف‬ َ ‫َٰ ٓيأيُّها ِٱلَذِينِ ِءامن ٓواْ ِإِذاِق ۡمت ۡم ِ ِإلىِٱل‬
ِ‫ط َهروهِاْ ِو ِإن ِكنتم‬ َ ‫ن ِو ِإن ِكنت ۡم ِجنبٗ ا ِفِٱ‬ ِِ ‫وِٱ ۡمسحوِاْ ِ ِبرءو ِسك ۡم ِوأ ۡرجلك ۡم ِ ِإلى ِٱ ۡلكعۡ ب ۡي ه‬
ِْ‫ط ِأ ۡو َِٰلم ۡستم ِٱ ِلنِسآءِ ِفل ۡم ِت ِجدوا‬
ِِ ِ‫مِمن ِٱ ۡلغآئ‬ِ ‫ِمنك‬ ِ ٞ‫َم ۡرض َٰ ٓى ِأ ۡو ِعل َٰى ِسف ٍر ِأ ۡو ِجآء ِأحد‬

58
َِ ‫ِم ۡن هه ِما ِي ِريد ِٱ‬
ِ‫ّلل ِ ِلي ۡجعل‬ ِ ‫ما ٓ ٗء ِفتي َممواْ ِص ِعيدٗا ِطيِبٗ ا ِفِٱمۡ سحوِاْ ِبِوجو ِهك ۡم ِوأ ۡيدِيكم‬
ِ ِ٦ِ‫مِم ۡنِحر ٖجِوَِٰل ِكنِي ِريدِ ِليط ِهرك ۡمِو ِليتِ َمِنِعۡ متهِۥِعل ۡيك ۡمِلعلَك ۡمِت ۡشكرِون‬
ِ ‫عل ۡيك‬
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka

basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan

(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,

dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)

atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah

dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan

menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

ِ‫وأ ۡرجلك ۡمِإِلىِٱ ۡلكعۡ ب ۡي ه ِن‬

Potongan
Penafsiran Riwayat
ayat

Qira’at yang membaca dengan bentuk

ini menunjukkan,bahwa kedua kaki


Nafi’, Ibn Amir, al-Kisa’i,
(dalam berwudhu) wajib dicuci, yang ِ‫وأ ۡرجلك ۡم‬
dan ‘Ashim.
dalam hal ini ma’thuf kepada (ِ ْ‫فِٱ ۡغسِلوِا‬

ِ‫)وجوهك ۡم‬

Sementara qira’at yang


Ibn Katsir, Hamzah, Abu
mengkasrohkan pada huruf lam ِ‫وأ ۡرجِِلك ۡم‬
‘Amr.
menurut zahirnya menunjukkan,

59
bahwa kedua kaki (dalam berwudhu)

hanya wajib diusap dengan air, dalam

hal ini ma’thuf kepada (ِ ْ‫وِٱمۡ سحوِا‬

ِ‫)بِرءو ِسك ۡم‬

Pada ayat ini Wahbah Zuhaiili menjelaskan bahwa pada kelompok ayat ini adalah

penjelasan tentang wudhu’. Pada fardu wudhu’ yang keempat itu adalah membasuh

kedua kaki sampai kedua mata kaki,yang mana kedua mata kaki itu adalah dua tulang

yang muncul pada pergelangan betis dan telapak kaki pada dua sisi, maka Rosulullah

menyuruh “basuhlah kaki kalian sampai kedua mata kaki”. Maka wajib hukumnya untuk

membasuh kedua kaki dengan dalil yang telah ditetapkan, karena Rasulullah, sahabat dan

tabiin mencontohkan hal tersebut, dan telah di syahkan oleh ijma’ ulama.

Telah ditetapkan dalam hadits bukhari muslim dari jalan malik dari umar bin

yahya almazini dari ayahnya bahwa sesungguhnya ada seseorang yang berkata kepada

abdillah bin zayid bin ‘asyim, ia adalah kake dari umar bin yahya, termasuk dari sahabat-

sahabat Nabi. Apakah kamu dapat memperlihtkanku bagaimana cara Rasul berwudhu?

Maka abdillah bin zayid berkata:benar, maka abdillah bin zayid mengajak ia untuk

berwudhu. Maka ia menyelesaikan dengan kedua tangannya sebanyak dua kali dua kali,

kemudian dia berkumur dan memasukan air kedalam hidungnya sebanyak tiga kali dan

membasuh wajahnya sebanyak tiga kali kemudian membasuh kedua tangannya dua kali

sampai kedua siku kemudian mengusap kepalanya dengan tangannya, kemudian memulai

dengan kepala kemudian menggerakan kedua tangannya sampai tengkuknya, kemudian

60
mengembalikan kedua tangannya sampai kembali pada tempat dimana ia memulai

megusap kemudian ia membasuh kedua kakinya.

Diriwayatkan dari mu’awiyah dan mikdad bin mu’ad sulit mencontoh sifat wudhu

Rasul Imam muslim meriwayatkan dari hadits yang diriwayatkan oleh imam abu

hurairah, bahwa sesungguhnya Rasul berudhu membasuh wajanya kemudian

menyempurnakan wudhu kemudian membasuh bagian kedua tangannya bagian siku

sampai bahu kemudian membasuh tngan bagian kiri disyariatkan membasuh tangan

bagian siku sampai bahu, kemudian mengusap kepalanya kemudian membasuh kaki

bagian kanan disyaria’tkan sampai betis, kemudian membasuh kaki bagian kiri sampai

betis kemudia ia berkata seperti itulah saya melihat cara Rasul berwudhu.

Imam muslim meriwayatkan juga dari hadits abu hurairah, bahwa sesungguhnya

nabi melihat seseorng yang tidak membasuh tumitnya maka nabi bersabda “Api neraka

ganjarannya bagi orang mengabaikan mencuci tumit (dalam berwudhu)”. Hal ini

diulanginya sampai dua atau tiga kali.

Imam bukhori dan imam muslim meriwayatkan dari ibn umar, Rasulullah

tertinggal dari kita ketika melakukan sebuah perjalanan kemudian ia menyusul kita dan

sungguh waktu shalat ashar sudah hamper masuk kemudian kami berwudhu dan

mengusap kaki kami maka nabi bersabda berteriak dengan suara yang lantang celakalah

bagi orang-orang yang tidak membasuk tumit sebanyak 2 kali dan 3 kali. Dan benar

bahwa sesungguhnya nabi berwudhu sekal sekali, dua kali dua kali dan perbuatan itu

dilakukan sebanyak 3 kali.

61
Dalam hal ini kebanyakan para qori’ menbaca dengan nasab )‫(وا ْرجلك ِْم‬. Adapun

yang membaca dengan jar itu dimahmul kepada makna ‫( الجوار‬berdekatan), seperti dalam

firman Allah SWT didalam surat Hud )‫ِأليم‬


ٍِ ‫ِيوم‬
ٍ ‫ (إنىِأخافِعليكم ِعذاب‬dengan menjarkan

huruf mim karena berdekatan dengan )‫يوم‬


ٍِ ( yang dijarkan karena sesungguhnya yang

benar )‫(ألي ًما‬. dan faidah jar terhadap ‫( الجوار‬berdekatan) disana pada firman Allah

(‫ )ا ْرجلكم‬sebagai peringatan untuk pantas seharusnya berniat mengucurkan pada kaki dan

dikhususkan kaki pada hal tersebut. Karena sesunggguhnya kaki merupakan tempat

sesuatu yang dikaitkan dari kotoran-kotoran.

Boleh mengusap sepatu sebagai pengganti dari membasuh kedua kaki setelah

menggunakan dua sepatu dalam keadaan suci yang beraal dari hadis at-Thari, bagi orang

yang mukim satu hari satu malam dan bagi orang yang dalam perjalanan 3 hari,

pensyariatannya telah ditetapkan dalam hadis mutawatir, Hasan Basri berkata kepadaku

70 orang sahabat Rosul bahwa Rosulullah saw mengusap 2 sepatu. Dan Ibnu Hajar

berkata sekumpulan para hafidz telah menjelaskan bahwa sesungguhnya hadis yang

menjelaskan mengusap kedua sepatu adalah hadis mutawatir, hadis ini diperkuat oleh

hadis Ibn Jarir, imam ahmad imam bukhari imama muslim dan abu dauud telah

meriwayatkan, sesungguhnya- jarir- kencing kemudian berwudhu dan mengusap kdua

sepatunya maka ditanyakan kepadanya apakah kau melakukan hal tersebut? Dia berkata

iya saya melihat Rasulullah kencing kemudian berwudhu dan mengusap kedua

sepatunya.21

21
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), Juz.4, hlm. 449-464

62
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at (‫)وأ ۡرجلك ِۡم‬. Karena mereka berpendapat

bahwa dalam berwudhu kedua kaki wajib dicuci dan tidak cukup diusap dengan air.

Mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:

1. Beberapa hadis menjelaskan, bahwa Nabi saw mengancam orang-orang yang

mengabaikan mencuci tumit mereka ketika berwudhu, antara lain hadits berikut:22

“Dari Abdullah ibn umarberkata: dalam suatu perjalanan bersam kami, Rasulullah

saw. tiba belakangan. Kami menunggu beliau, sampai-sampai kami mengakhirkan

shalat ashar. Setelah beliau tiba, kami lalu berwudhu dan kaki hanya kami usap

(dengan air). Abdullah ibn Umar berkata: lalu Nabi saw berseru dengan suara

tinggi: “Api neraka ganjarannya bagi orang mengabaikan mencuci tumit (dalam

berwudhu)”. Hal ini diulanginya sampai dua atau tigakali. (H.R. Bukhari).

Sehubungan dengan hadits tersebut, Ibn katsir23 memberikan komentar, seandainya

dalam berwudhu kedua kaki hanya wajib diusap (dengan air), tentu Nabi saw tidak

akan mengancam orang yang tidak mencuci kaki dalam berwudhu. Hal ini, lanjut ibn

Katsir, karena kata (‫ )المسح‬konotasinya hanya sebatas pengertian “mengusap” sama

halnay mengusap sepatu boot, tidak meliputi seputar kaki.

2. Dalam ayat tersebut Allah SWT membatasi kaki (‫ )أرجلكم‬sampai dengan mata kaki,

sebagaimana halnya membatasi tangan (‫ )أيديكم‬sampai siku (‫)المرفقين‬. Hal ini

menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana

diwajibkannya mencuci kedua tangan.

22
Lihat: AL-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut, Idar al-Thaba’at al-Munirriyar, t.t.), juz ke-4, hlm 27.
23
Liahat: Jamaludin al-Qasmi, op.cit, Juz ke-6, hlm. 1890.

63
Selain itu, jumhur berupaya mentaqwilkan qira’at (‫ )وأرجلكم‬sebagai berikut:24

a. Sebenarnya, qira’at (‫ )وأرجلكم‬kedudukannya ma’thuf kepada kata (‫ )وأيديكم‬akan

tetapi kata (‫ )وأرجلكم‬dibaca majrur disebabkan karena, berdekatan (ِ ,‫للجور‬

‫ )للمجاورة‬dengan kata sebelumnya yang juga majrur yaitu (‫)رءوسكم‬. hal seperti ini

dibolehkan. Sebagaimana halnya dalam firman Allah SWT. berikut:

ِ٣٥ِ‫ان‬
ِ ِ‫صر‬ ٞ ‫ِمنِنَ ٖارِونح‬
ِ ِ ‫اسِفالِتنت‬ ٞ ‫ي ۡرسلِِعل ۡيكماِشو‬
ِ ‫اظ‬

Kata (‫ )نحاس‬dalam ayat tersebut dibaca: (‫ )نحاس‬dengan syakal majrur,

karena berdekatan (‫ ِللمجاورة‬,‫ )للجور‬dengan kata sebelumnya yang juga majrur

yaitu (‫)تار‬. Namun demikian pentaqwilan jumhur ulama sebagaimana disebutkan

diatas, dibantah sementara ulama. Al-Razi misalnya, menyatakan bantahannya

sebagai berikut.25

1) Menyamakan bacaan satu lafadz (dalam kedudukan I’rabnya) dengan

bacaan lafadz tersebut berdekatan (‫ ِللمجاورة‬,‫ )للجور‬biasanay hanya

berlaku dalam sya’ir, itupun dilakukan karena keterpaksaan. Al-Qur’an

sebagai kalam Allah, terbatas dari hal semaccam ini.

2) Dibolehkannya menyamakan bacaan antara dua lafadz dengan alas an

karena keduanya berdekatan (‫)للمجاورة‬, hanya berlaku apabila aman dari

kemungkinan adanya keracunan (‫)اَلتباس‬. Contohnya, seperti dalam

kalimat:

ِ‫ب‬
ٍ ‫بِخِ ِْر‬
ٍِ ِ‫هِادِاِجِحِْرِض‬

24
Liahat: Mustafa Sa’id al-Khann, op.cit, Hlm. 39-40.
25
Lihat: Muhammad al-azi, op.cit, Juz ke-11, hlm. 164-165.

64
Lafadz (‫ب‬
ٍِ ‫ )خر‬yang setatusnya marfu’ (ِ‫)خرب‬, bias dibaca majrur

(‫ب‬
ٍِ ‫ )خر‬karena diketahui dengan pasti, bahwa lafadz (‫ )خرب‬merupakan

sifat dari lafadz (ِ‫)جحر‬, dan tidak mungkin merupakan sifat dari lafadz

(‫)ضب‬. Sedangkan dalam ayat al-Qur’an yang menjadi topik pembicaraan

dalam hal ini, yaitu lafadz (‫)ضب‬, keamanan dari keracunan seperti ini

tidak terdapat.

3) Dibolehkannya menyamakan bacaan antara dua lafafdz, dengan alasan

seperti tersebut pada butir (1) dan (2), hanya berlaku apabila natara kedua

lafadz tersebut, tidak dihubungkan dengan huruf ‘athf (‫)حرفِعطف‬.

b. Lafadz (‫ )أرجِِلكم‬dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf

(mengikut) kepada lafadz (‫ )وأرجلكم‬yang majrur. Akan tetapi am’thuf-nya hanya

dari segi lafadz, dan tidak dari segi makna (dalam pengertian: usaplah kepalamu

dan (cucilah) kakimu, dengan alasan, hadits Ibn Umar di muka (lihat hl. 211).

Hal ini dibolehkan, sebagaimana dalam kalimat bahasa arab berikut ini: (ِ ِ‫اِكلت‬

‫واللَبن‬
ِ ِ‫ )الخِبز‬lafadz (‫ )اللبن‬dalam kalimat diatas, ma’thuf kepada (‫ )الخبز‬hanya dari

segi lafadz, tetapi tidak dari segi makna. Karena itu, terjemah dari kaliamat

tersebut bukan: “saya makan roti dan susu”, tetapi: “saya makan roti dan (minum)

susu”.26

Dari uraian diatas tampak dengan jelas, bahwa perbedaan qira’at dalam hal ini,

dapat meniimbulkan perbedaan istinbath hukum, baik dalam cara istinbath

maupun ketentuan hukum yang di-istinbath-kan.

26
Hasanuddin AF, op.cit, Hlm 214.

65
Qira’at (‫ )وأرجلكم‬dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan

ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki.

Sementara qira’at versi lainnya (‫ )وأرجلكم‬dipahami oleh sebagian ulama dengan

menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan

mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya (dengan air).

Dalam pada itu, sementara ulama lainnya mengakui dengan adanya

ketentuan hukum yang berbeda dalam kedua versi qira’attersebut, sehingga

diantara mereka ada yang membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua

ketentuan hukum tersebut, dan adapula yang mewajibkan untuk menggabungkan

kedua ketentuan hukum tersebut.

Dalam hal ini Wahbah Zuhaili berpendapat, wajib mencuci kaki dalam

berwudhu, sesuai dengan bayan yang ada dalam hadits.27

27
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), 449-464

66

You might also like