Professional Documents
Culture Documents
Referat Tetanus Neuroo
Referat Tetanus Neuroo
TETANUS
Disusun Oleh :
Pembimbing :
Dr.Mukhdiar, Sp. S
Bab II
II.1 Definisi ……………………………………. 3
II.2 Patofisiologi ……………………………………. 3
II.3 Faktor resiko ……………………………………. 5
II.4 Klasifikasi ……………………………………. 6
II.5 Diagnosis ……………………………………. 10
II.6 Diagnosis banding …………………………………… 10
II.7 Tatalaksana …………………………………….. 10
II.8 Komplikasi …………………………………….. 18
II.9 Prognosis …………………………………….. 18
Bab III
III.1 Edukasi ……………………………………. 19
III.2 Saran ……………………………………. 19
i
DAFTAR GAMBAR
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
BAB I
I.1. PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkaan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospasmin meripakan neurotoksin yang diproduksi oleh
Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan “Seven day Disease”. Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang
di isolasi dari tanah anerob yang mengandung bakteri. Imunisasi dengan mengaktivasi
derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada
kulit oleh karena terpotong, tertusuk atau pun luka bakar serta infeksi pada tali pusat.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan
yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai
case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara
dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.
Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat
mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan
dan prognosis dari penyakit tetanus.
BAB II
II.1. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan
tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat
dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus
hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem
saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan
spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh
drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan
kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah,
debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis
toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui
kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro,
sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang
menyebabkan spasme otot dan kejang.
II.2. ETIOLOGI
II.3. KLASIFIKASI
Modifikasi Ablett’s :
I. Trismus ringan dan sedang dengan kekakuan umum. Tidak disertai dengan
kejang, gangguan respirasi dengan sedikit atau tanpa gangguan menelan
II. Trismus sedang, kaku disertai spasme kejang ringan sampai sedang yang
berlangsung singkat disertai disfagia ringan dan takipnea > 30 – 35 x/ menit
III. Trismus berat, kekakuan umum, spasme dan kejang spontan yang
berlangsung lama. Gangguan pernapasan dengan takipnea > 40 x/menit,
kadang apnea, disfagioa berat dan takikardia > 120x/menit. Terdapat
peningkatan aktivitas saraf otonom yang moderat dan menetap.
IV. Gambaran tingkat III disertai gangguan saraf otonom berat dimana dijumpai
hipertensi berat dengan takikardi berselang dengan hipotensi relatif dan
bradikardia atau hipertensi diastolik yang berat dan menetap (tekanan
diastolik >110 mmHg) atau hipotensi sistolik yang menetap (tekanan sistolik
<90 mmHg). Dikenal juga dengan autonomic storm
Sedangkan Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan
berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
I. Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
II. Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
III. Inkubasi antara 7 hari atau kurang
IV. Waktu onset adalah 48 jam atau kurang
V. Kenaikan suhu rektal sampai 100 0 farenheit dan aksila sampai 990 farenheit
III. Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari dan onset
kurang dari 2 hari, mortalitas 32%
IV. Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%
V. Biasanya mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya adalah
tetanus neonatorum maupun puerpurium
II.4. PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka
dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.
Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi
toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut
selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium
tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian
para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas
percobaan pada hewan.
Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut :
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke
otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam
susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah
sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun
dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh
darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya
penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh
darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian
antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak
masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk
menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa
menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah,
sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan
saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara
retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan
autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus
motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf
inhibitor.
5. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan
gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika
pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :
Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis,
infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa,
yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit
penilaian dari hasil penelitian.
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu
dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan
memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma
dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen
tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah
dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya.
Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan
menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan
ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai
antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk.
Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang
sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai
terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia
akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan
alertness dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari
batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut
saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf
tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin,
TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme
umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.
Ada Trias Gejala yaitu rigiditas atau kekakuan, spasme dari otot, jika parah
maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa
menyebabkan trismus atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot muka
menyebabkan ekspresi khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada otot
menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi
kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan kesulitan
bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.
Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik ini
seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok otot. Bisa
spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme bervariasi
untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan patah tulang dan
robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-menerus yang bisa
mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti spasme laring dan
berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada
umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf pusat,
sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang lebih lama.
Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup tinggi. Pada
tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari setelah lahir
dengan rata-rata 7 hari.
II.6. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa. Tetanus tidaklah
mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan
vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Pemeriksaan laboratorium hanya dipakai untuk
eksklusi diagnosa-diagnosa yang lain.
Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme Clostridium tetani,
dan elektromiogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau
tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan
non-spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin
meningkat.
II.7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
- Meningitis bakterialis
- Rabies
- Poliomielitis
- Epilepsi
- Ensefalitis
- Keracunan striknin
- Sindrom Shiffman
- Peritonsiler abses
II.9. KOMPLIKASI
II.10. PENATALAKSANAAN
1. Dasar
1. Antibiotik
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain
1,2 juta 1 kali sehari.
2. Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti
toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan
betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Benzodiazepin
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk
neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan
dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat
diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang
diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang.
Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10
mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3. Fenotiazin
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah
penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-
125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat
tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan
mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih
dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik, HTIG/anti
toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b. Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan
pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila
perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif,
trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3
jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti
propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.
II.11. PROGNOSIS
1. Masa inkubasi : semakin pendek masa inkubasi semakin tinggi angka mortalitasnya.
Masa inkubasi kurang dari 7 hari umumnya berakibat fatal.
2. Usia : Neonatus atau 0rang tua, angka mortalitasnya tinggi
4. Suhu badan
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. Diagnosis dan Penatalaksanaan pada Tetanus dalam Info Obat. Available at :
http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-penatalaksanaan-pada-tetanus.html.