You are on page 1of 32

LAPORAN PORTOFOLIO

Topik : Retensio Urin et causa BPH

Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di RSUD Simo Boyolali

Disusun oleh :

dr. Rakhmat Nugroho

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAHSAKIT UMUM DAERAH SIMO

KABUPATEN BOYOLALI

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

Retensio Urin et causa BPH

Disusun oleh :
Rakhmat Nugroho

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, mei 2018

Pembimbing,

dr. Dwi Putri Yulianita

2
BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Topik : Retensio Urin et causa BPH


Tanggal MRS : 01 April 2018
Presenter : dr. Rakhmat Nugroho
Tanggal Periksa : 01 april 2018
Tanggal Presentasi : Mei 2018 Pendamping : dr. Dwi Putri Y
Tempat Presentasi :
Objektif Presentasi :
□ Tinjauan
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran
Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia
Bumil
□ Deskripsi : Laki, 64 tahun dengan keluhan susah kencing
□ Tujuan : Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat.
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama :Tn. M, 66 tahun No. Registrasi : 170201xxxx
Nama RS : RSUD SIMO Telp : Terdaftar sejak:
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
Diagnosis / Gambaran Klinis : Pasien datang ke poli penyakit bedah RSUD SIMO
Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), pasien mengeluh sulit mengeluarkan
kencing (masih mengejan untuk kencing), terasa nyeri dan perih dan panas saat kencing,
kencing tidak disertai dengan darah, dan keluar hanya menetes saja.
Sejak 6 bulan yang lalu pasien sudah mulai ada keluhan nyeri saat kencing yang tidak
disertai dengan darah. Pasien harus menunggu untuk memulai kencing, pancaran kencing
lemah, bila sudah keluar, kadang pancaran kencing terputus-putus. Pasien juga mengeluh
sering tidak puas saat selesai berkemih, seperti ingin kencing lagi sesudah kencing dan

3
keluarnya sisa kencing menetes pada akhir berkemih.
Pasien juga mengeluh sering kencing, bahkan saat malam hari, sehingga pasien sering
terbangun dari tidurnya. Kadang pasien kencing di celana karena sulit menahan
kencing.keluhan kencing berpasir disangkal.
1. Keluhan demam disangkal, mual muntah disangkal, keluhan lain disangka.

2. Riwayat Pengobatan : Pengobatan penyakit yg sama 6 bulan


3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Pasien terdiagnosis Diabetes mellitus tipe 2,HT
disangkal
4. Riwayat Keluarga : Riwayat keluhan serupa disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan : Wirasswasta
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :Status ekonomi keluarga pasien termasuk
cukup
7. Lain-lain :
Sosial ekonomi mampu, pasien menggunakan BPJS NON PBI

Daftar Pustaka :

Gosmanov AR, Gosmanova EO, Dillard-Cannon E. Management of adult diabetic


ketoacidosis (2014). Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and
Therapy 7:225-264.

Kitabchi A, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic Crises in Adult Patients
With Diabetes (2009). Diabetes Care 32:7.

Ministry of Health. Management of Diabetic Foot Sepsis (2010). Surgical CSN-Guideline for
Diabetic Foot Sepsis.

Mishra SC, Chhatbar KC, Kashikar A, Mehndiratta A. Diabetic Foot (2017). BMJ 359:Supp
1.

Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, Sanusi H,


Lindarto D, Shahab A, Pramono B, Langi YA, Purnamasari D, Soetedjo NN,
Saraswati MR, Dwipayana MP, Yuwono A, Sasiarini L, Sugiarto, Sucipto KW, Zufry
H. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia
2015 (2015). PB PERKENI: Cetakan Pertama 2015.

4
Hasil Pembelajaran :
1. Retensio Urin et causa BPH
2. Penegakan diagnosis BPH
3. Tatalaksana BPH

Keterangan Umum :
Nama : Tn. M
Usia : 66 tahun
No RM : 170201xxxx
Alamat : Tlatah , Simo
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
Pekerjaan : menikah
Status pernikahan : Menikah
A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : Susah BAK
pasien mengeluh sulit mengeluarkan kencing (masih mengejan untuk
kencing), terasa nyeri dan perih dan panas saat kencing, kencing tidak
disertai dengan darah, dan keluar hanya menetes saja.
Sejak 6 bulan yang lalu pasien sudah mulai ada keluhan nyeri saat kencing
yang tidak disertai dengan darah. Pasien harus menunggu untuk memulai
kencing, pancaran kencing lemah, bila sudah keluar, kadang pancaran
kencing terputus-putus. Pasien juga mengeluh sering tidak puas saat selesai
berkemih, seperti ingin kencing lagi sesudah kencing dan keluarnya sisa
kencing menetes pada akhir berkemih.
Pasien juga mengeluh sering kencing, bahkan saat malam hari, sehingga
pasien sering terbangun dari tidurnya. Kadang pasien kencing di celana
karena sulit menahan kencing.keluhan kencing berpasir disangkal.
B. PEMERIKSAAN FISIK

5
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Lemah
 Kesadaran : compos mentis
 Vital sign
o Tekanan Darah : 160/100
o Nadi: 89x/menit
o RR: 21x/menit
o Temp: 36,4 C
 Kepala leher:
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 2mm/2mm , konjunctiva anemis
-/-, ikterus -/-.

o THT :

 Telinga: sekret (-)


 Hidung : nafas cuping hidung (-)
 Tenggorokan : dbn

o Bibir: sianosis (-)


o pembesaran KGB (-)
 Thorax:
o Pulmo:
 Inspeksi : simetris, retraksi (-)
 Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
 Nafas Kussmaul -
o Cor:
 Inspeksi: tak tampak ictus cordis
 Palpasi: ictus cordis di ICS 5 MCL S
 Perkusi: batas jantung dalam batas normal

6
 Auskultasi: s1 s2 tunggal m- g- regular
 Abdomen:
o Inspeksi : flat, distensi (-)
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : Hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan + epigastrium
o Perkusi : tymphani (+)
o Turgor Dbn
 Vu terisi penuh
 Ekstrimitas : Dingin Akral (-),Capillary Refill Time < 2, edema (-),
 RT: tidak dilakukan

Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap


Hb 12.6g/dl Hbsag negatif
Leukosit 2.900 sel/mm3 ureum 31
Trombosit 342.000sel/mm3 kreatin 1,07
MCV 92,5 fL GDS 95
MCH 25,1 pg pt 14,0
MCHC 27.0 g/dl aptt 33.0
Eritrosit 4,38jutasel/mm3
Hematokrit 40,5%

Hasil EKG

C. DIAGNOSIS BANDING

Retensio Urin et causa BPH

D. DIAGNOSIS KERJA
Retensio Urin et causa BPH

E. PENATALAKSANAAN

7
a) Planning Therapi
1. IVFD RL 20tpm
2. Inj. Ranitidin 1 amp 1 amp/8 jam
3. Inj. Cipro 1 ampl 1 amp/12 jam
4. Inj.kalnek 1ampl /12jam
5. Injk Antrain 1 ampl/8jam
6. Injek MP 1ampl/12jam
7. Amlodipine 5mg 1x1 po
8. Irbestan 1x1 po
9. Metformin 1x1
b) Planning Monitoring
1. Keluhan Subyektif
2. Tanda Vital
3. Awasi draine dan urin

c) Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin
2. EKG
3. USG

I. Perkembangan pasien di bangsal

01/4/2018 Ku kesakitan, susah bak infus RL dalam 15 tpm


Compos Mentis td injek cipro 1ampl/12 jam
160/100 s 36,2 amlodipine 5mg 1x1 po
Rr 21x suhu 36,5 irbestan 1x1 po

02/4/2018 Ku lemah,nyeri post op Infus Rl 25tpm


Kesadaran CM, 130/80 s Inj cipro 1amp/12jam
36,7c Injk ranit 1 vial/8jma
Rr 18x Injek antrain1ampl/8jam
Injek kalnek 1ampl/12
Injek MP 125/12jam
amlodipin 1x1 po
irbestab1x1po

8
03/4/2018 KU compos mentis Infus Rl 25tpm
Nyeri luka post op Inj cipro 1amp/12jam
TD: 130/70mmHg s 36,5 Injk ranit 1 vial/8jma
Rr 18x Injek antrain1ampl/8jam
Injek kalnek 1ampl/12
Injek MP 125/12jam
amlodipin 1x1 po
irbestab1x1po
04/4/2018 KU compos mentis
Nyeri luka post op Infus Rl 25tpm
TD: 140/70mmHg s Inj cipro 1amp/12jam
36,5c Rr 19x Injk ranit 1 vial/8jma
Injek antrain1ampl/8jam
Injek MP 125/12jam
amlodipin 1x1 po
irbestab1x1po
dulcolak sup
05/04/2018 KU compos mentis Infus Rl 25tpm
Nyeri luka post op Inj cipro 1amp/12jam
berkurang Injk ranit 1 vial/8jma
TD: 140/70mmHg s Injek antrain1ampl/8jam
36,5c Rr 19x Injek MP 125/12jam
amlodipin 1x1 po
irbestab1x1po

06/04/2018 KU compos mentis Infus Rl 25tpm


Nyeri luka post op Inj cipro 1amp/12jam
Darah + di draine Injk ranit 1 vial/8jma
TD: 155/70mmHg s Injek antrain1ampl/8jam
36,5c Rr 19x Injek kalnek 1ampl/12
Injek MP 125/12jam
amlodipin 1x1 po
irbestab1x1po
07/04/2018 KU compos mentis Infus Rl 25tpm
Nyeri luka post Inj cipro 1amp/12jam
berkurang Injk ranit 1 vial/8jma
TD: 145/70mmHg s Injek antrain1ampl/8jam
36,5c Rr 19x Injek MP 125/12jam
amlodipin 1x1 po
irbestab1x1po

08/04/2018 KU compos mentis Blpl


Nyeri luka post berkuang
TD: 135/70mmHg s
36,5c Rr 19x

9
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetic ketoacidosis (DKA) atau ketoasidosis diabetikum (KAD) dan


keadaan hiperglikemik hiperosmolar (HHS) adalah dua penyakit akut yang
merupakan komplikasi metabolik paling serius dari diabetes. KAD merupakan
penyebab dari bertambahnya hari rawat di rumah sakit hingga lebih dari 500.000
hari dirawat per tahun dengan perkiraan tahunan biaya medis langsung dan biaya
tidak langsung 2,4 milyar USD. Trias yang terdiri dari hiperglikemia yang tidak
terkontrol, metabolik asidosis, dan peningkatan total konsentrasi keton tubuh
mencirikan KAD. HHS ditandai oleh hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan
dehidrasi serta tidak adanya ketoasidosis yang signifikan. KAD merupakan
kerusakan metabolik hasil dari kombinasi defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra-regulasi (glukagon, katekolamin, kortisol, dan
hormon pertumbuhan). Sebagian besar pasien dengan KAD memiliki diabetes tipe
1; namun, pasien dengan diabetes tipe 2 juga berisiko selama stres katabolik
penyakit akut seperti trauma, operasi, atau infeksi 2.
Pada tahun 2009, ada 140.000 rawat inap untuk ketoasidosis diabetik
(KAD) dengan rata-rata lama tinggal 3,4 hari. Pemakaian insulin yang tidak
teratur adalah penyebab KAD yang paling umum. Infeksi, penyakit medis akut
yang melibatkan sistem kardiovaskular (infark miokard, stroke) dan saluran
pencernaan (perdarahan, pankreatitis), penyakit pada endokrin (akromegali,
sindrom Cushing), dan stres akibat prosedur bedah dapat berkontribusi pada
terjadinya KAD dengan menyebabkan dehidrasi, peningkatan hormon kontra-
regulasi insulin, dan memburuknya resistensi insulin perifer. Obat-obatan seperti

10
diuretik, beta-blocker, kortikosteroid, antipsikotik, dan / atau antikonvulsan dapat
mempengaruhi metabolisme karbohidrat serta status volume dan dapat
mempercepat terjadinya KAD. Faktor-faktor lain yang dapat berkontribusi untuk
KAD termasuk masalah psikologis, gangguan makan, kerusakan pompa insulin,
dan penggunaan zat ilegal. Diabetes mellitus tipe 2 yang baru terdiagnosis pun
dapat bermanifestasi dengan KAD 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
1. Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut,
kronik difus, atau lokal dengan karakteristik anoreksia, rasa penuh, tidak
enak pada epigastrium, mual dan muntah.
2. Gastritis merupakan sutau keadaan peradangan atau perdarahan mukosa
lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
3. Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan
mukosa gaster.
Gastritis adalah peradangan lokal atau penyebaran pada mukosa lambung dan
berkembang dipenuhi bakteri11

Klasifikasi
a. Gastritis stress akut
yaitu disebabkan akibat pembedahan besar, luka, trauma, luka bakar atau infeksi
berat yang menyebabkan gastritis serta perdarahan pada lambung.
b. Gastritis erosife hemoragik difus
Biasanya terjadi pada peminum berat dan pengguna aspirin, dan dapat
menyebabkan perlunya reseksi lambung. Penyakit yang serius ini akan dianggap
sebagai ulkus akibat stress, karena keduanya memiliki banyak persamaan.
Etiologi
- Kesembronoan diit, misalnya: makan terlalu banyak, terlalu cepat, makan
makanan yang terlalu banyak bumbu, atau makanan yang terinfeksi

11
- Alkohol
- Aspirin
- Refluks empedu
- Terapi radiasi
- Gastritis akut yang lebih parah disebabkan oleh asam kuat atau alkali,
yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi
Manifestasi Klinis
1. Dapat terjadi ulserasi superficial dan mengarah pada hemoragi
2. Rasa tidak nyaman pada abdomen dengan sakit kepala, kelesuan, mual,
dan anoreksia. Mungkin terjadi muntah dan cegukan
3. Beberapa pasien menunjukkan asimptomatik
4. Dapat terjadi kolik dan diare jika makanan yang mengiritasi tidak
dimuntahkan, tetapi malah mencapai usus
5. Pasien biasanya pulih kembali sekitar sehari, meskipun napsu makan
mungkin akan hilang selama 2 sampai 3 hari

2. Gastritis Kronis
Definisi
Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung
yang menahun. Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan
mukosa lambung yang berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus lambung
jinak maupun ganas atau oleh bakteri Helicobacter pylori.10
Etiologi
Gastritis kronik disebabkan oleh gastritis akut yang berulang sehingga terjadi
iritasi mukosa lambung yang berulang-ulang dan terjadi penyembuhan yang tidak
sempurna akibatnya akan terjadi atrhopi kelenjar epitel dan hilangnya sel pariental
dan sel chief. Karena sel pariental dan sel chief hilang maka produksi HCL.
Pepsin dan fungsi intrinsik lainnya akan menurun dan dinding lambung juga
menjadi tipis serta mukosanya rata, Gastritis itu bisa sembuh dan juga bisa terjadi
perdarahan serta formasi ulser.11

12
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif. Organisme ini menyerang
sel permukaan gaster, memperberat timbulnya desquamasi sel dan muncullah
respon radang kronis pada gaster yaitu : destruksi kelenjar dan metaplasia.
Metaplasia adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh terhadap iritasi, yaitu
dengan mengganti sel mukosa gaster, misalnya dengan sel desquamosa yang lebih
kuat. Karena sel desquamosa lebih kuat maka elastisitasnya juga berkurang. Pada
saat mencerna makanan, lambung melakukan gerakan peristaltic tetapi karena sel
penggantinya tidak elastis maka akan timbul kekakuan yang pada akhirnya
menimbulkan rasa nyeri. Metaplasia ini juga menyebabkan hilangnya sel mukosa
pada lapisan lambung, sehingga akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah
lapisan mukosa. Kerusakan pembuluh darah ini akan menimbulkan perdarahan.12
a. Gastritis tipe A:
- Dihubungkan dengan penyakit autoimun, misalnya anemia pernisiosa.
b. Gastritis tipe B:
- Dihubungkan dengan bakteri Helicobacter pylori.
- Faktor diet, seperti minum panas dan pedas.
- Penggunaan obat
- Alkohol
- Merokok
- Refluks isi usus ke lambung
Manifestasi klinis
- Bervariasi dan tidak jelas
- Perasaan penuh, anoreksia
- Distress epigastrik yang tidak nyata
- Cepat kenyang
- Mual dan muntah
- Nyeri epigastrium setelah makan
- Rasa pahit pada mulut

13
Klasifikasi
Klasifikasi gastritis kronis berdasarkan :
1. Gambaran histopatology
- Gastritis kronik superficial
- Gastritis kronik atropik
- Atrofi lambung
- Metaplasia intestinal
- Perubahan histology kalenjar mukosa lambung menjadi kalenjar-kalenjar
- mukosa usus halus yang mengandung sel goblet.
2. Distribusi anatomi
- Gastritis kronis korpus ( gastritis tipe A).
Sering dihubungkan dengan proses autoimun dan berlanjut menjadi anemia
pernisiosa karena terjadi gangguan absorpsi vitamin B12 dimana gangguan
absorpsi tersebut disebabkan oleh kerusakan sel parietal yang menyebabkan
sekresi asam lambung menurun.
- Gastritis kronik antrum (gastritis tipe B)
Paling sering dijumpai dan berhubungan dengan kuman Helicobacter pylori.
- Gastritis tipe AB
Anatominya menyebar ke seluruh gaster dan penyebarannya meningkat seiring
bertambahnya usia.

C. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah. Tes ini digunakan untuk memeriksa adanya antibodi
H. pylori dalam darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien
pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam hidupnya, tapi itu
tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena infeksi. Tes darah dapat
juga dilakukan untuk memeriksa anemia, yang terjadi akibat pendarahan
lambung akibat gastritis.
b. Pemeriksaan pernapasan. Tes ini dapat menentukan apakah pasien
terinfeksi oleh bakteri H. pylori atau tidak.

14
c. Pemeriksaan feces. Tes ini memeriksa apakah terdapat H. pylori dalam
feses atau tidak. Hasil yang positif dapat mengindikasikan terjadinya
infeksi. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap adanya darah dalam feces.
Hal ini menunjukkan adanya pendarahan pada lambung.
d. Endoskopi saluran cerna bagian atas. Dengan tes ini dapat terlihat adanya
ketidak normalan pada saluran cerna bagian atas yang mungkin tidak
terlihat dari sinar-X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah
selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam
esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih
dahulu dimati-rasakan (anestesi) sebelum endoskop dimasukkan untuk
memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan
dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil
sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan
dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang
lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang
ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi
menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko
akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa tidak nyaman
pada tenggorokan akibat menelan endoskop.
Ronsen saluran cerna bagian atas. Tes ini akan melihat adanya tanda-tanda
gastritis atau penyakit pencernaan lainnya. Biasanya akan diminta menelan cairan
barium terlebih dahulu sebelum dilakukan ronsen. Cairan ini akan melapisi
saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di ronsen

D. KOMPLIKASI
1. Gastritis akut
Komplikasi yang dapat timbul pada gastritis akut adalah hematemesis atau
melema.
2. Gastritis kronis
Pendarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi dan anemia karena
gangguan absorpsi vitamin B12 (anemia pernisiosa).

15
G. Penatalaksanaan
Gastritis Kronik
1. Eradikasi Helicobacter pyroli
 Dapat mengembalikan gambaran histopatologi menjadi normal.
2. Eradikasi dikombinasikan dengan penghambat pompa proton dan
antibiotik. Antibiotik dapat berupa tetrasiklin, metronidasol,
klaritromisin, dan amoksisilin. Untuk hasil pengobatan yang lebih baik
dapat digunakan lebih dari satu macam antibiotik.
3. Antagonis H2 (seperti ranitidine) dikombinasikan dengan penghambat
pompa proton
 Dapat menurunkan sekresi asam lambung.
4. Pemberian vitamin B12 melalui parenteral
 Untuk memperbaiki keadaan anemianya.
Gastritis Akut
1. Pemberian antasida
 Mengatasi perasaan bengah (penuh) dan tidak enak di abdomen
dan menetralisir asam lambung dengan meningkatkan pH lambung
sekitar 4-6.
2. Gastrektomi
 Pembedahan gaster dengan indikasi yang absolut.
Untuk klien dengan keluhan mual dan muntah dianjurkan untuk bedrest dengan
status NPO (nothing per oral), pemberian antimietik, dan pemasangan infus untuk
mempertahankan cairan tubuh.
o Bila muntah berlanjut, maka dipertimbangkan pemasangan NGT
(Nasogastric Tube)
o Klien yang mengalami anemia pernisiosa, maka diberikan injeksi
intravena cobalamin.
Klien yang merupakan pengguna aspirin atau antiinflamasi nonsteroid dapat
dicegah dengan misoprostol, suatu derivat prostaglandin mukosa.

A. Definisi

16
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl),
disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap.5

B. Epidemiologi
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa angka rawat inap untuk KAD di
Amerika terus meningkat. Pada 1996 hingga 2006, terdapat peningkatan 35%
pada jumlah kasus, dengan total 136.510 kasus dengan diagnosis utama KDA di
2006 — peningkatan ini lebih banyak dan cepat daripada peningkatan keseluruhan
dalam diagnosis diabetes. Sebagian besar pasien dengan KAD berusia antara 18
hingga 44 tahun (56%) dan 45 hingga 65 tahun (24%), dengan hanya 18% pasien
berusia <20 tahun. Dua pertiga pasien KAD memiliki diabetes tipe 1 dan 34%
menderita diabetes tipe 2; 50% adalah perempuan, dan 45% kulit hitam. KAD
adalah penyebab kematian paling umum pada anak-anak dan remaja dengan
diabetes tipe 1 dan menyumbang setengah dari semua kematian pada pasien yang
lebih muda dari 24 tahun. Angka kematian <1% telah dilaporkan pada subyek
dewasa dengan KAD, sedangkan pada usia lanjut dan pasien yang memiliki
komorbid mengancam jiwa, tingkat kematian telah dilaporkan >5%. Kematian
dalam kondisi ini jarang terjadi karena komplikasi metabolik hiperglikemia atau
ketoasidosis tetapi berhubungan dengan penyakit pencetus yang mendasari.
Prognosis dari KAD secara substansial memburuk pada ekstrem usia dengan
penyulit koma, hipotensi, dan komorbid yang berat 7

C. Patofisiologi
Defisiensi insulin, peningkatan hormon kontra-regulasi insulin (kortisol,
glukagon, hormon pertumbuhan, dan katekolamin), dan resistensi insulin perifer
menyebabkan hiperglikemia, dehidrasi, ketosis, dan ketidakseimbangan elektrolit,
yang mendasari patofisiologi KAD. Peningkatan lipolisis dan penurunan

17
lipogenesis menyebabkan asam lemak bebas yang melimpah diubah menjadi
badan keton: β-hidroksibutirat (β-OHB) dan asetoasetat. Diuresis osmotik yang
diinduksi hiperglikemia, jika tidak disertai dengan asupan cairan oral yang cukup,
menyebabkan dehidrasi, hiperosmolaritas, kehilangan elektrolit, dan penurunan
tingkat filtrasi glomerulus. Dengan penurunan fungsi ginjal, glikosuria berkurang
dan hiperglikemia memburuk. Gangguan kerja insulin dan kondisi hiperosmolar
menyebabkan serapan kalium oleh otot skeletal berkurang secara signifikan;
hiperosmolaritas juga dapat menyebabkan habisnya kalium dari sel. Hal ini
menyebabkan deplesi kalium intraseluler dan kehilangan kalium melalui diuresis
osmotik, menyebabkan pengurangan kalium total tubuh 3–5 mmol / kg berat
badan. Namun demikian, pasien KAD dapat hadir dengan berbagai konsentrasi
serum kalium. Konsentrasi kalium plasma “normal” dapat menunjukkan bahwa
total penyimpanan kalium tubuh sangat berkurang, dan pemberian terapi insulin
serta koreksi hiperglikemia akan menyebabkan hipokalemia. Rata-rata, pasien
dengan KAD mungkin mengalami defisit air dan elektrolit penting per kg berat
badan berikut: air bebas 100 mL / kg; natrium 7-10 mEq / kg; kalium 3–5 mEq /
kg; klorida 3-5 mmol / kg; dan fosfor 1 mmol / kg .1
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa hiperglikemia pada pasien
dengan krisis hiperglikemik dikaitkan dengan inflamasi berat yang ditandai oleh
tingginya sitokin proinflamasi (tumor necrosis factor-α dan interleukin-β, -6, dan -
8), protein C-reaktif, spesies oksigen reaktif, dan peroksidasi lipid, serta faktor
risiko kardiovaskular, plasminogen activator inhibitor-1 dan asam lemak bebas
dengan tidak adanya infeksi yang jelas ataupun patologi kardiovaskular. Semua
parameter ini kembali ke mendekati nilai normal dengan terapi insulin dan hidrasi
dalam 24 jam. Prokoagulan dan keadaan inflamasi dapat disebabkan karena
fenomena stres nonspesifik dan dapat sebagian menjelaskan asosiasi krisis
hiperglikemik dengan keadaan hiperkoagulasi.2

18
Gambar 1. Patofisiologi KAD dan HHS 2
D. Diagnosis
Proses HHS biasanya berkembang beberapa hari hingga minggu,
sedangkan perkembangan episode KAD akut pada diabetes tipe 1 atau pada
diabetes tipe 2 cenderung menjadi jauh lebih pendek. Meskipun gejala diabetes
yang tidak terkontrol dengan baik tampak selama beberapa hari, perubahan
metabolik khas dari ketoasidosis biasanya berkembang dalam rentang waktu yang
singkat (< 24 jam). Kadang-kadang, seluruh gejala dapat berkembang lebih cepat
dan pasien dapat jatuh dalam keadaan KAD tanpa petunjuk atau gejala
sebelumnya. Gambaran klinis klasik KAD maupun HHS termasuk riwayat
poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, muntah, dehidrasi, kelemahan, dan
perubahan status mental. Temuan fisik mungkin termasuk turgor kulit yang buruk,
respirasi Kussmaul (KAD), takikardia, dan hipotensi. Status mental dapat
bervariasi dari kewaspadaan penuh hingga mengantuk atau koma, dengan yang
terakhir lebih sering terjadi HHS. Meskipun infeksi adalah faktor pencetus yang
umum untuk KAD dan HHS, pasien bisa menjadi normotermik atau bahkan

19
hipotermik terutama karena vasodilatasi perifer. Hipotermia berat, jika ada, adalah
tanda prognostik yang buruk. Mual, muntah, nyeri perut difus sering terjadi pada
pasien dengan KAD (>50%) tetapi jarang terjadi di HHS. Hati-hati pada pasien
yang mengeluh sakit perut saat presentasi karena gejalanya bisa merupakan hasil
dari KAD atau indikasi dari penyebab KAD, terutama pada pasien yang lebih
muda atau dalam ketiadaan asidosis metabolik berat. Evaluasi lebih lanjut
diperlukan jika keluhan ini tidak berkurang dengan resolusi dehidrasi dan asidosis
metabolik.
Laboratorium awal yang dievaluasi pada pasien adalah glukosa plasma,
BUN, kreatinin, elektrolit (dengan penghitungan anion gap), osmolalitas, keton di
serum dan urin, urinalisis, gas darah arteri awal dan hitung darah lengkap dengan
diferensial.
Elektrokardiogram, rontgen dada, dan kultur urine, sputum, atau kultur
darah seharusnya juga diperiksa. Tingkat keparahan KAD diklasifikasikan sebagai
ringan, sedang, atau berat berdasarkan pada keparahan asidosis metabolik (pH
darah, bikarbonat, dan keton) dan perubahan status mental. Hiperglikemia berat
dan dehidrasi dengan status mental yang berubah dalam ketiadaan karakterisasi
asidosis yang signifikan dapat berarti adanya HHS, yang secara klinis hadir
dengan kurangnya
ketosis dan hiperglikemia lebih besar dari KAD.
Fitur diagnostik utama dalam DKA adalah tingginya konsentrasi keton
dalam sirkulasi darah. Penilaian ketonemia biasanya dilakukan oleh reaksi
nitroprusid, yang menyediakan estimasi semikuantitatif dari kadar asetoasetat dan
aseton. Meskipun tes nitroprusid (baik dalam urin dan dalam serum) sangat
sensitif, tidak dapat menentukan beratnya ketoasidosis karena pengujian ini tidak
mengenali β-hidroksibutirat, produk metabolik utama dalam ketoasidosis.
Akumulasi asam keton meningkatkan anion gap asidosis metabolik. Anion gap
dihitung dengan mengurangi jumlah klorida dan konsentrasi bikarbonat dari
konsentrasi natrium: [Na - (Cl +HCO3)]. Anion gap normal adalah antara 7 dan 9
mEq / l dan anion gap > 10–12 mEq / l menunjukkan adanya peningkatan anion
gap asidosis metabolik.

20
Hiperglikemia adalah kriteria diagnostik utama dari KAD; Namun,
berbagai macam tingkat glukosa plasma bisa didapatkan. Sekitar 10% dari
populasi KAD datang dengan yang disebut "KAD euglikemik" dengan glukosa
≤250 mg / dl. Hal ini dapat disebabkan oleh kombinasi faktor, termasuk injeksi
insulin eksogen dalam perjalanan ke rumah sakit, pembatasan makanan
sebelumnya dan penghambatan glukoneogenesis.
Leukositosis dengan sel dalam kisaran 10.000 –15.000 mm3 sering
didapatkan pada KAD dan bisa jadi tidak mengindikasikan infeksi. Namun,
leukositosis dengan jumlah sel >25.000 mm3 mungkin menunjukkan infeksi dan
membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Dalam ketoasidosis, leukositosis disebabkan
oleh stres dan mungkin berkorelasi dengan peningkatan kadar kortisol serta
norepinefrin. Tingkat natrium serum biasanya rendah karena aliran osmotik air
dari intraseluler ke ruang ekstraseluler akibat hiperglikemia. Peningkatan atau
bahkan konsentrasi natrium serum normal saat hiperglikemia menunjukkan
keparahan dehidrasi. Untuk menilai keparahan defisit natrium dan air, serum
natrium dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mg / dl ke natrium serum yang
diukur untuk setiap 100 mg / dl glukosa di atas 100 mg / dl .1
Kriteria diagnostik untuk KAD adalah glukosa darah >250 mg / dL, pH
arteri ≤7.30, tingkat bikarbonat ≤18 mEq / L, dan anion gap >10–12. Keton serum
dan urin yang positif dapat mendukung diagnosis KAD.

Gambar 2. Kriteria diagnosis KAD dan HHS 2


Pada KAD awal, konsentrasi asetoasetat rendah, tetapi merupakan substrat
utama untuk pengukuran keton oleh banyak laboratorium; Oleh karena itu,

21
pengukuran keton dalam serum dengan teknik laboratorium biasa memiliki
spesifisitas tinggi tetapi sensitivitas rendah untuk diagnosis KAD. Sebaliknya, β-
OHB adalah asam ketoasida awal dan berlimpah, yang mungkin pertama kali
menandakan perkembangan KAD. Namun, penentuannya membutuhkan
penggunaan alat tes khusus yang berbeda dari yang digunakan untuk pengukuran
badan keton standar. Tingkat β-OHB sebesar ≥ 3,8 mmol / L yang diukur dengan
alat tes spesifik terbukti sangat sensitif dan spesifik untuk diagnosis KAD. Pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 4-5, diagnosis KAD bisa menjadi
tantangan karena bersamaan dengan asidosis metabolik kronis atau gangguan
asam-basa campuran. Anion gap >20 biasanya mendukung diagnosis DKA pada
pasien-pasien ini .1

E. Terapi Cairan
Tujuan manajemen terapeutik KAD termasuk optimalisasi 1) status
volume; 2) hiperglikemia dan ketoasidosis; 3) kelainan elektrolit; dan 4) faktor
pencetus potensial. Mayoritas pasien dengan KAD datang ke ruang gawat darurat.
Oleh karena itu, dokter jaga harus memulai manajemen krisis hiperglikemik
sementara pemeriksaan fisik dilakukan, parameter metabolisme dasar diperoleh,
dan diagnosis akhir dibuat. Beberapa langkah penting harus diikuti pada tahap
awal pengelolaan KAD:
1. mengumpulkan darah untuk profil metabolik sebelum memulai cairan
intravena;
2. infus 1 L natrium klorida 0,9% selama 1 jam setelah pengambilan sampel darah
awal;
3. memastikan kadar kalium 0,3,3 mEq / L sebelum memulai terapi insulin
(suplemen kalium intravena jika diperlukan);
4. memulai terapi insulin hanya ketika langkah 1–3 dieksekusi.
Harus ditekankan bahwa pengobatan yang berhasil membutuhkan pemantauan
parameter klinis dan metabolik yang mendukung resolusi KAD.

22
Gambar 3. Manajemen KAD pada dewasa (Gosmanov, 2014)

Kehilangan cairan rata-rata sekitar 6–9 L di KAD. Tujuannya adalah untuk


mengganti total volume yang hilang dalam 24-36 jam dengan 50% cairan
resusitasi yang diberikan selama 8-12 jam pertama. Cairan kristaloid adalah cairan
awal pilihan. Rekomendasi saat ini adalah untuk memulai pemulihan kehilangan
volume dengan bolus-cairan saline isotonik (0,9% NaCl) secara intravena
berdasarkan status hemodinamik pasien. Setelah itu, infus intravena 0,45% larutan
NaCl berdasarkan konsentrasi natrium serum yang dikoreksi akan memberikan
pengurangan lebih lanjut dalam osmolalitas plasma dan membantu air untuk
masuk ke kompartemen intraseluler. Hiponatremia hiperosmolar akibat
hiperglikemia sering ditemukan di KAD dan biasanya berhubungan dengan
dehidrasi dan peningkatan konsentrasi natrium terkoreksi.
Setelah hidrasi awal, cairan dapat diberikan pada tingkat penurunan 4-14
mL / kg / jam. Tonisitas larutan berikutnya tergantung pada status hidrasi,
keseimbangan elektrolit, dan output urin. Koreksi cepat natrium serum dan,
karenanya, osmolalitas serum oleh cairan hipotonik dapat meningkatkan risiko
edema serebral. Di sisi lain, terapi cairan isotonik kontinu pada pasien anak
ditemukan memiliki peningkatan risiko asidosis hiperkloremik non-anion yang

23
mungkin menyebabkan rawat inap yang lebih lama karena diagnosis ketoasidosis
yang salah. Dengan demikian, praktik resusitasi cairan yang aman pada pasien
KAD termasuk penyediaan bolus isotonik awal pada 15-20 mL / kg / jam diikuti
oleh larutan garam hipotonik (0,45% saline) pada tingkat 4-14 mL / kg / jam
selama pasien hemodinamik stabil dan natrium serum yang dikoreksi normal ke
tinggi. Jika pasien menjadi hiponatremia berdasarkan natrium serum yang
dikoreksi, inisiasi saline 0,9% pada tingkat 150-250 mL / jam dianjurkan sampai
eunatremia tercapai. Penggantian defisit air menggunakan pemberian cairan
intravena tingkat tinggi belum diteliti pada populasi pasien anak dan, oleh karena
itu, pendekatan ini tidak dapat direkomendasikan untuk pengelolaan KAD
pediatrik.
Resusitasi volume intravaskular dan ekstravaskuler akan menurunkan
hiperglikemia dengan menstimulasi diuresis osmotik jika fungsi ginjal tidak
terganggu dan meningkatkan kerja perifer insulin (efek insulin pada transport
glukosa menurun oleh hiperglikemia dan hiperosmolaritas). Ketika kadar glukosa
turun di bawah 200-250 mg / dL, cairan intravena harus dialihkan ke larutan NaCl
0,45% yang mengandung dekstrosa untuk mencegah hipoglikemia, dan / atau
tingkat infus insulin harus menurun. Pertimbangan khusus harus diberikan kepada
pasien dengan gagal jantung kongestif dan penyakit ginjal kronis. Pasien-pasien
ini cenderung mempertahankan cairan; oleh karena itu, kewaspadaan harus
dilakukan selama resusitasi volume pada kelompok pasien ini. Pemantauan output
urin merupakan langkah penting pada pasien dengan krisis hiperglikemik.1

F. Pengobatan DKA dengan insulin intravena


Pemberian insulin sangat penting dalam pengobatan DKA karena
membantu pemanfaatan glukosa oleh jaringan perifer, mengurangi glikogenolisis
dan glukoneogenesis, dan menekan ketogenesis. Infus intravena adalah rute
pemberian insulin yang lebih disukai pada pasien dengan KAD. Infus insulin
tanpa resusitasi volume awal tidak disarankan karena hanya memperburuk
dehidrasi. Pengobatan insulin telah berevolusi dari penggunaan insulin dosis
tinggi, dengan dosis hingga 100 U / jam oleh berbagai rute pemberian, kemudian

24
menurunkan dosis dalam kisaran 5–10 U / jam. Rekomendasi adalah bolus awal
insulin reguler. 0,1 U / kg diikuti dengan infus insulin terus menerus. Jika glukosa
plasma tidak turun paling sedikit 10% pada jam pertama setelah infus insulin, 0,1
U / kg bolus insulin dapat diberikan sekali lagi sambil melanjutkan infus insulin.
Signifikansi klinis adalah fenomena resistensi insulin yang diinduksi
hiperglikemia. Dengan pengurangan hiperglikemia, dapat terjadi penurunan
kebutuhan insulin secara nonlinier. Ketika glukosa plasma mencapai 200-250 mg /
dL, tingkat insulin dapat menurun 50% atau ke tingkat 0,02-0,05 U / kg / jam.
Kepentingan klinis dari bolus insulin awal dalam manajemen insulin KAD
baru-baru ini diteliti dalam penelitian yang membandingkan efikasi dan keamanan
dua strategi infus insulin - dengan dan tanpa bolus. Para peneliti menemukan
bahwa tidak ada perbedaan hasil antara sekelompok pasien yang diobati dengan
infus insulin reguler dengan dosis 0,14 U / kg / jam tanpa pemberian bolus insulin
awal dan sekelompok pasien yang dilakukan pemberian insulin bolus priming
0,07 U / kg diikuti oleh infus insulin terus menerus di 0,07 U / kg / jam.
Kemanjuran pendekatan terapeutik dengan dosis insulin 0,1 U / kg tidak dinilai
dalam penelitian itu.
Sebuah penelitian yang lebih baru menunjukkan tidak ada perbedaan
signifikan dalam kejadian hipoglikemia, tingkat perubahan glukosa atau
kesenjangan anion, lama tinggal di unit gawat darurat, atau rawat inap di rumah
sakit pada pasien yang menerima laju infus 0,1 U / kg / jam dengan atau tanpa
bolus insulin. Tidak ada studi sebelumnya yang membandingkan hasil klinis pada
pasien KAD pediatrik yang diobati dengan dan tanpa bolus insulin. Oleh karena
itu, penggunaan bolus priming pada perawatan KAD pediatrik tidak dianjurkan.
Dasar untuk penggunaan bolus priming berasal dari penelitian pada pasien
dengan diabetes hiperosmolar hiperglikemik non-ketotik, yang menunjukkan
bahwa bolus awal dapat membantu memperbaiki resistensi insulin relatif KAD.
Dengan demikian, hasil yang tidak konsisten mungkin disebabkan oleh variabel
pasien seperti tidak adanya ketosis dan / atau adanya hiperglikemia berat.

25
Gambar 4. Manajemen pasien KAD atau HHS (Kitabchi, 2009)
Rekomendasi Asosiasi Diabetes Amerika saat ini menyarankan salah satu
dari dua opsi di atas untuk terapi insulin intravena (dengan atau tanpa bolus
insulin), mempertimbangkan serum potasium .3,3 mEq / L. Mayoritas pasien
dengan KAD dapat dengan cepat menjadi insulin sensitif setelah pemberian cairan
intravena dan perbaikan hiperglikemia. Oleh karena itu, untuk menghindari
hipoglikemia dan pergeseran glukosa dan air yang cepat antara kompartemen
ekstraseluler dan intraseluler, tingkat infus insulin yang lebih besar harus
disediakan untuk pasien KAD yang obesitas dan lebih resisten terhadap insulin.
Pemberian bolus insulin priming dapat dilakukan pada pasien KAD yang resisten
terhadap insulin awal atau dengan hiperglikemia ekstrim 1.

26
Gambar 5. Fase manajemen KAD (Gosmanov, 2014)

G. Transisi ke insulin subkutan


Pasien dengan KAD dan HHS seharusnya diobati dengan intravena insulin
yang terus menerus sampai krisis hiperglikemik terselesaikan. Kriteria untuk
resolusi ketoasidosis termasuk glukosa darah < 200 mg / dl dan dua dari kriteria
berikut: tingkat bikarbonat serum ≥15 mEq / l, pH vena >7.3, dan anion gap ≤12
mEq / l. Setelah terjadi resolusi, terapi insulin subkutan bisa dimulai. Untuk
mencegah terulangnya hiperglikemia atau ketoasidosis selama masa transisi ke
insulin subkutan, penting untuk memungkinkan 1–2 jam pemberian insulin
subkutan sambil dilakukan penghentian insulin intravena. Jika pasien harus tetap
puasa / tidak ada asupan melalui mulut, lebih baik untuk melanjutkan 27egula
insulin intravena dan penggantian cairan. Pasien dengan diabetes yang telah
diketahui sebelumnya dapat diberikan insulin sesuai dosis yang didapat sebelum
onset KAD selama itu mengendalikan glukosa dengan baik. Pada pasien yang
belum pernah menggunakan insulin, regimen insulin multidosis harus dimulai
dengan dosis 0,5- 0,8 unit/kg/hari. Insulin manusia (NPH dan regular) biasanya
diberikan dua atau tiga dosis per hari. Baru-baru ini, regimen basal-bolus dengan
basal (glargine dan detemir) dan analog insulin kerja cepat (lispro, aspart, atau
glulisine) diusulkan sebagai insulin yang lebih fisiologis pada pasien dengan
diabetes tipe 1.
Uji coba acak prospektif yang membandingkan pengobatan regimen basal-
bolus insulin, seperti glargine sekali sehari dan glulisine sebelum makan, dengan
splitmix regimen NPH ditambah insulin regular dua kali sehari setelah resolusi

27
DKA. Transisi ke insulin subkutan, glargine dan glulisine menghasilkan kontrol
glikemik yang serupa dengan NPH dan insulin 28egular; namun, perawatan
dengan basal bolus dikaitkan dengan tingkat kejadian hipoglikemik yang lebih
rendah (15%) daripada tingkat pengobatan dengan NPH dan insulin 28egular
(41%) 1

Gambar 6. Farmakokinetik dan farmakodinamik insulin subkutan (Gosmanov,


2014)

H. Manajemen utama KAD


• Mulai cairan intravena sebelum terapi insulin.
• Kadar potasium harus >3,3 mEq / L sebelum memulai terapi insulin (suplemen
kalium intravena jika diperlukan).
• Berikan insulin bolus pada 0,1 U / kg dan mulai infus insulin kontinyu pada 0,1
U / kg / jam. Ukur glukosa di samping tempat tidur setiap 1 jam untuk
menyesuaikan laju infus insulin.

28
• Hindari hipoglikemia selama infus insulin dengan memulai cairan yang
mengandung dextrose dan / atau pengurangan tingkat infus insulin sampai KAD
teratasi.
• Transisi ke insulin subkutan hanya ketika resolusi dari KAD.

I. Komplikasi
Hipoglikemia adalah komplikasi KAD yang paling sering dan dapat
dicegah dengan penyesuaian dosis insulin yang tepat waktu dan sering memantau
kadar glukosa darah. Hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah di
bawah 70 mg / dL. Jika KAD tidak teratasi dan kadar glukosa darah di bawah
200-250 mg / dL, penurunan tingkat infus insulin dan / atau penambahan 5% atau
10% dextrose ke cairan intravena saat ini dapat diimplementasikan. Ketika KAD
teratasi, strategi untuk mengelola hipoglikemia akan tergantung pada apakah
pasien mampu mempertahankan asupan oral atau tidak. Untuk pasien yang dapat
minum atau makan, konsumsi 15-20 g karbohidrat, misalnya, empat tablet
glukosa, 6 ons jus jeruk atau apel, atau soda, disarankan. Pada pasien yang tidak
bisa makan, tidak mampu menelan, atau memiliki tingkat kesadaran yang
berubah, pemberian 25 mL dekstrosa 50% intravena atau 1 mg glukagon secara
intramuskular dapat diberikan, jika tidak ada akses intravena. Glukosa darah harus
diperiksa ulang setelah 15 menit; hanya jika kadar glukosa <70 mg / dL, langkah-
langkah di atas harus diulang.
Asidosis metabolik hiperkloremik non-anion sering terjadi selama
pengobatan KAD dan diyakini terjadi karena kehilangan urin ketoanion, yang
diperlukan untuk regenerasi bikarbonat, dan reabsorpsi khusus klorida di tubulus
ginjal proksimal setelah pemberian cairan klorida yang intensif. Asidosis ini
biasanya menghilang secara spontan dalam beberapa hari dan tidak
mempengaruhi perawatan. Edema otak karena penurunan cepat osmolalitas serum
telah dilaporkan pada pasien dewasa muda. Kondisi ini dimanifestasikan oleh
munculnya sakit kepala, kelesuan, perubahan papil, atau kejang, dengan tingkat
kematian mencapai 70%. Infus manitol dan ventilasi mekanis harus digunakan
untuk mengobati kondisi ini. Rabdomiolisis adalah komplikasi lain yang dapat

29
disebabkan oleh hiperosmolalitas dan hipoperfusi. Edema pulmonal dapat terjadi
akibat penggantian cairan yang berlebihan pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis atau gagal jantung kongestif.

J. Pencegahan
Perencanaan untuk pulang harus mencakup pendidikan mengenai diabetes,
pemilihan regimen insulin yang tepat yang dipahami oleh dan terjangkau untuk
pasien, dan persiapan persediaan untuk pemberian insulin awal di rumah. Banyak
kasus KAD dapat dicegah dengan akses yang lebih baik ke perawatan medis,
pendidikan yang layak, dan komunikasi yang efektif dengan penyedia layanan
kesehatan selama penyakit yang terjadi. Manajemen hari sakit harus ditinjau
dengan semua pasien dan termasuk informasi spesifik pada 1) kapan harus
menghubungi penyedia layanan kesehatan, 2) target glukosa darah dan
penggunaan insulin kerja pendek tambahan selama sakit, 3) penggunaan insulin
selama demam dan infeksi , dan 4) inisiasi diet cair yang mudah dicerna yang
mengandung karbohidrat dan elektrolit. Yang paling penting, pasien harus
disarankan untuk tidak pernah menghentikan insulin dan mencari nasihat
profesional di awal perjalanan penyakit.
Keterlibatan anggota keluarga / pengasuh bila perlu harus didorong.
Keluarga perlu dididik tentang regimen insulin dan bagaimana melakukan
pengukuran glukosa darah dan β-OHB menggunakan alat pendeteksi cepat ketika
glukosa darah >300 mg / dL. Rencana perawatan tertulis harus diberikan kepada
pasien dan / atau pengasuh, karena ini meningkatkan pemahaman dan
menekankan pentingnya pengelolaan diri pasien diabetes. Kemajuan teknologi
telah menyediakan cara yang lebih efisien untuk memantau diabetes dan
mempertahankan kontrol glikemik dalam pengaturan rawat jalan. Penggunaan
pemantauan glukosa terus menerus secara real-time pada pasien dewasa dengan
diabetes tipe 1 telah terbukti secara signifikan menurunkan hemoglobin A1c.
Pemantauan glukosa kontinyu secara terus-menerus juga memiliki keuntungan
yaitu memberi sinyal kepada pasien untuk mendeteksi secara dini kelainan
glukosa dan memungkinkan intervensi yang cepat. Penggunaan keton-meter yang

30
mendeteksi β-OHB di darah juga dapat membantu pada awal deteksi dan
manajemen ketosis, yang dapat menurunkan kebutuhan akan perawatan khusus. β-
OHB umumnya tidak mencapai level >1.0 mmol / L di luar ketidakstabilan
metabolic. Oleh karena itu, ketika kadar β-OHB 1,1-3,0 mmol / L terdeteksi,
tambahan insulin kerja pendek dapat diberikan dengan cairan sejak dini untuk
mencegah KAD 1

DAFTAR PUSTAKA

Gosmanov AR, Gosmanova EO, Dillard-Cannon E. Management of adult diabetic


ketoacidosis (2014). Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets
and Therapy 7:225-264.

Kitabchi A, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic Crises in Adult
Patients With Diabetes (2009). Diabetes Care 32:7.

Ministry of Health. Management of Diabetic Foot Sepsis (2010). Surgical CSN-


Guideline for Diabetic Foot Sepsis.

Mishra SC, Chhatbar KC, Kashikar A, Mehndiratta A. Diabetic Foot (2017). BMJ
359:Supp 1.

Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, Sanusi


H, Lindarto D, Shahab A, Pramono B, Langi YA, Purnamasari D,
Soetedjo NN, Saraswati MR, Dwipayana MP, Yuwono A, Sasiarini L,
Sugiarto, Sucipto KW, Zufry H. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia 2015 (2015). PB PERKENI:
Cetakan Pertama 2015.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jilid I. Jakarta: FKUI.
Sistem Gastrointestinal. Jakarta: TIM
Sylvia Price. 2005. Edisi 6 Vol 1 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Diane C. Baughman & Joann C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC
LM, Wilson, Dkk.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – proses Penyakit.
Jakarta : EGC

31
Setiadi. 2007. Anatomi Fisiologi Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu
Price, and Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta : EGC.
Hirlan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi Ketiga. Jakarta:
EGC

32

You might also like