You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kinerja suatu bank merupakan hal yang penting karena merupakan

cerminan dari kemampuan bank dalam mengelola aspek permodalan dan asetnya

dalam mendapatkan laba, serta implikasi dari fungsi bank sebagai intermediary

dimana likuiditas bank diukur berdasarkan kredit yang disalurkan kepada

masyarakat dibanding dana yang diberikan oleh pihak ketiga.

Bank merupakan nyawa dalam menggerakkan perekonomian. Menurut

Undang-Undang No.10 tahun 1998 yang dimaksud dengan bank adalah badan

usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk

lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Menurut Deborah

K. Dilley (2010: 2), bank is an establishment for custody, loan, exchange, or issue

of money, for the extension of credit, and for fascilitating the transmission of

funds. Dari definisi tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa bank adalah lembaga

yang berhubungan dengan penitipan, pinjaman, pertukaran, dan hal-hal lain yang

berhubungan dengan uang dalam rangka perluasan kredit dan proses transmisi

atau perpindahan dana.

Dalam sistem perekonomian bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi.

Menurut Matthews and Thompson (2008:35), financial intermediation is a

process that involves suplus units depositing funds with financial institutions that

1
in turn lend to deficit units. Ini berarti bahwa bank menerima dana dari berbagai

sumber yang kemudian digunakan untuk membuat pinjaman atau investasi lain

baik untuk individu maupun korporasi. Menurut Deborah K. Dilley (2010:3),

selain sebagai lembaga intermediasi bank juga mempunyai peranan sebagai

berikut:

1. Creating financial products and services that benefit business and

consumers

2. Facilitating the creation of money

3. Being involved in the transfer of funds

4. Reinventing the financial future

Berdasarkan pendapat di atas, pada dasarnya tujuan dari adanya bank

adalah untuk melancarkan sistem pembayaran, melalui penciptaan produk dan

jasa keuangan bank demi terciptanya akses yang lebih fleksibel dalam berbagai

transaksi ekonomi. Di negara-negara berkembang umumnya, sektor keuangan

masih didominasi oleh sektor perbankan. Sampai tahun 2015, di Indonesia

terdapat Bank Persero, 42 BUSN Devisa, 32 BUSN Non Devisa, 28 Bank

Campuran, dan 11 Bank Asing (www.bi.go.id, diakses pada tanggal 23 -3 Oktober

2016). Begitu banyaknya jumlah bank tentu menambah risiko yang dihadapi,

apalagi jika ada bank besar yang mempunyai risiko sistemik akan dapat

mengancam perekonomian Indonesia. Maka dari itu, bank harus menjaga

kepercayaan masyarakat berkaitan fungsinya sebagai agent of trust.

2
Salah satu hal penting untuk memprediksi prospek bank ke depan dapat

dilihat dari kinerjanya dalam menghasilkan laba yang ditunjukkan lewat laporan

keuangan. Menurut Bernstein dalam Kasmir (2010:65), financial statement is the

judgmental process that aims to evaluate the current and past financial position

and results of operation of an enterprise, with primary objective of determining

the best possible estimate and prediction about future condition and performance.

Laporan keuangan dapat digunakan untuk mengevaluasi posisi keuangan pada

masa lalu dan saat ini dari hasil operasi perusahaan, dengan tujuan utama untuk

memberikan kemungkinan estimasi dan prediksi tentang kinerja di masa yang

akan datang.

Perusahaan perbankan merupakan lembaga keuangan yang berfungsi

sebagai perantara keuangan, dimana landasan kegiatan usaha bank adalah

kepercayaaan dari nasabah, sebagai lembaga kepercayaan, bank dalam operasinya

lebih banyak menggunakan dana masyarakat dibanding dengan modal sendiri dari

pemilik atau pemegang saham, oleh karena itu pengelola bank dalam melakukan

usahanya dituntut untuk dapat menjaga keseimbangan antara pemeliharaan

likuiditas yang cukup dengan pencapaian rentabilitas yang wajar, serta

pemenuhan modal yang memadai, dengan kondisi yang demikian maka kinerja

keuangan bank dapat dikatakan baik.(Abidin, 2007).

Selain menghasilkan pendapatan, bank juga dituntut dapat menjalankan

kegiatan operasionalnya dengan efisien. Bank juga harus mampu menjaga resiko

yang mungkin terjadi atas penyaluran kredit yang diberikannya. Dengan kata lain,

bank harus mampu mengelola kegiatannya dengan sebaik-baiknya, agar tujuan

3
perusahaan tercapai.Pengelolaan organisasi yang maksimal dengan memanfaatkan

sumber-sumber yang ada merupakan suatu cara agar sebuah perusahaan dapat

mencapai tujuan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Untuk itu diperlukan

pengukuran kinerja keuangan perusahaan agar perusahaan dapat mengetahui

pemanfaatan sumber daya yang dimilikinya dan untuk mengetahui apakah

perusahaan dapat bertahan di lingkungan industrinya.

Kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait,

baik pemilik, pengelola bank, masyarakat sebagai pengguna jasa bank dan Bank

Indonesia selaku otoritas pengawas bank. Per Januari 2012 seluruh Bank Umum

di Indonesia sudah harus menggunakan pedoman penilaian tingkat kesehatan bank

yang terbaru berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/1/PBI/2011

tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, yang mewajibkan Bank

Umum. Tatacara terbaru tersebut, kita sebut saja sebagai metode RGEC, yaitu

singkatan dari Risk Profile, Good Corporate Governance, Earning, dan Capital.

Pedoman perhitungan selengkapnya diatur dalam Surat Edaran (SE) Bank

Indonesia No.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 tentang Penilaian Tingkat

Kesehatan Bank Umum tersebut merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan

Bank Indonesia No.13/1/PBI/2011, yang mewajibkan Bank Umum untuk

melakukan penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank dengan

menggunakan pendekatan Risiko (Risk-based Bank Rating/RBBR) baik secara

individual maupun secara konsolidasi.

Oleh karena itu dalam bisnis perbankan, untuk dapat meningkatkan total

revenue maka harus meningkatkan jumlah produk yang dijual, yakni berupa

4
produk simpanan maupun produk pinjaman yang diberikan. Dengan demikian

apabila suatu bank jumlah penjualan produknya dalam jumlah yang relatif besar,

maka mengakibatkan total asset bank tersebut relatif besar pula, karena

outstanding simpanan disisi pasiva dan outstanding pinjaman yang diberikan

disisi aktiva jumlahnya meningkat.

Deskripsi tersebut memberikan suatu anggapan bahwa bank dengan total

asset yang besar akan mempunyai kinerja yang lebih baik karena memiliki total

revenue yang relatif besar. Dengan meningkatnya total revenue akan

meningkatkan kemampuan bank dalam menghasilkan pendapatan dan laba bank.

Pengukuran kinerja bank juga diperlukan berkaitan dengan bertambahnya jumlah

bank yang menimbulkan persaingan untuk menarik dana dari masyarakat yang

semakin meningkat. Persaingan yang semakin ketat tersebut menjadikan bank

bertindak kurang berhati-hati sehingga seringkali melanggar aturan-aturan yang

telah ditetapkan, yang pada akhirnya merugikan para deposan dan investor, karena

adanya kredit macet yang dimiliki oleh bank.

Analisis industri bank penting dilakukan sebagai dasar untuk menilai dan

mengukur kinerja industri perbankan nasional. Pengukuran kinerja bank

menggunakan rasio CAMELS masih menemui berbagai kesulitan dan ketidak

jelasan dalam mengukur dan membedakan kinerja keuangan antar kelompok bank

dan antar jenis bank, yang sangat bergantung pada kondisi pasar dan eksternal,

oleh karena itu perlu penelitian yang lebih mendalam dan mengarah pada

penelitian bank menurut jenis dan skala operasinya dengan metode baru yaitu

5
metode RGEC (Risk Profile, Good Corporate Governance, Earning, dan

Capital). (Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/1/PBI/2011).

Kinerja bank dapat diamati dari kemampuannya dalam menghasilkan laba

atau profitabilitas yang dapat diukur dengan Return on Equity (ROE) maupun

Return on Asset (ROA). Menurut Dendawijaya (2003:120), ROA memfokuskan

kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dalam operasi perusahaan,

sedangkan ROE hanya mengukur return yang diperoleh dari investasi pemilik

perusahaan dalam bisnis bank. ROA dipilih sebagai ukuran kinerja bank. Hal ini

didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, ROA dapat digunakan untuk

mengukur seberapa baik kemampuan bank dalam mengatur aset yang dimilikinya

secara keseluruhan. Rasio ini sekaligus merupakan indikator efisiensi manajerial

bank yang mengindikasikan kemampuan manajeman dalam mengelola asset-

assetnya untuk memperoleh keuntungan (Kuncoro, 2002:234). Kedua, ROA dapat

digunakan untuk membandingkan kinerja antar bank dari suatu periode ke periode

yang lain. Valentina Flamini dalam IMF Working Paper (2009:8), menyatakan

bahwa ROA tends to tell how effectively an organization is taking earning

adventage of its base assets. This used to be the most popular way of comparing

banks to each other and to monitor their own performance from period to period.

Jadi, selain berguna untuk mengetahui tingkat efisiensi pengelolaan asset dalam

menghasilkan laba, ROA juga menjadi rasio populer untuk membandingkan

kinerja antar bank dari satu periode ke periode berikutnya.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kinerja (profitabilitas) bank

sesuai dengan metode RGEC yaitu, penilaian atas Risk Profile meliputi rasio LDR

6
(Loan to Deposit Ratio) dan NPL (Non Performing Loan), penilaian atas Good

Corporate Governance meliputi persentase Dewan Komisaris, penilaian atas

Earning meliputi rasio NPM (Net Profit Margin), penilaian atas Capital meliputi

rasio CAR (Capital Adequancy Ratio), dan penilaian atas faktor eksternal yaitu

inflasi yang digunakan sebagai indikator kinerja keuangan perbankan terhadap

profitabilitas ROA (Return On Asset).

Menurut Dendawijaya (2010). Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu

seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang

dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber

likuiditasnya. Jika bank dapat menyalurkan seluruh dana yang dihimpun memang

akan menguntungkan, namun hal ini terkait resiko apabila sewaktu-waktu pemilik

dana menarik dananya atau pemakai dana tidak dapat mengembalikan dana yang

dipinjamnya. Sebaliknya apabila bank tidak menyalurkan dananya maka bank

juga akan terkena resiko karena hilangnya kesempatan untuk memperoleh

keuntungan. Ketentuan Bank Indonesia tentang Loan to Deposit Ratio (LDR)

antara 80% hingga 110%. (PBI No. 13/1/PBI/2011). Semakin tinggi Loan to

Deposit Ratio (LDR), maka laba bank semakin meningkat (dengan asumsi bank

tersebut mampu menyalurkan kreditnya secara efektif), dengan meningkatnya

laba bank, maka kinerja bank juga meningkat. Besar kecilnya rasio Loan to

Deposit Ratio (LDR) suatu bank akan mempengaruhi kinerja bank tersebut.

Hasil penelitian mengenai Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap ROA

(Return On Asset) seperti penelitian yang dilakukan oleh Prasanjaya (2013) dan

Kusuma (2013), memperlihatkan hasil bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR)

7
berpengaruh positif dan siginifikan terhadap ROA. Hal ini berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2015) dan Oskar (2014) yang menunjukan

bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

ROA.

Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah merupakan salah satu

indikator kunci untuk menilai kinerja fungsi bank. Salah satu fungsi bank adalah

sebagai lembaga intermediary atau penghubung antara pihak yang memiliki

kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Bank Indonesia (BI)

melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan bahwa rasio kredit

bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%.(PBI No. 13/1/PBI/2011). Apabila suatu

bank mempunyai kondisi Non Performing Loan (NPL) tinggi, karena tidak

terpenuhinya kewajiban nasabah kepada bank yang menyebabkan bank menderita

kerugian, maka akan memperbesar biaya, baik biaya pencadangan aktiva

produktif maupun biaya lainnya, sehingga berpotensi terhadap kerugian bank

(Mawardi, 2004). Semakin tinggi nilai Non Performing Loan (NPL) maka akan

semakin tinggi risiko yang dihadapi bank atas pengembalian dana kredit yang

telah disalurkan, hal ini akan mempengaruhi kinerja bank tersebut.

Hasil penelitian Kusuma (2013), Made Ria (2014), dan Pranata (2014)

tentang pengaruh Non Performing Loan (NPL) terhadap ROA (Return On Asset)

memperlihatkan bahwa Non Performing Loan (NPL) berpengaruh negatif dan

siginifikan terhadap ROA. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Lestari (2014) yang menunjukan bahwa Non Performing Loan (NPL)

berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap ROA.

8
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.13/24/DPNP/2011 yang

menyatakan bahwa penilaian faktor GCG merupakan penilaian terhadap kualitas

manajemen Bank atas pelaksanaan prinsip-prinsip GCG. Prinsip-prinsip GCG dan

fokus penilaian terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip GCG berpedoman pada

ketentuan Bank Indonesia mengenai Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum dengan

memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha Bank. Bank dalam menilai

faktor GCG menggunakan parameter atau indikator dengan berpedoman pada

Peraturan Bank Indonesia No. 13/1/PBI/2011.

Penetapan dalam menentukan peringkat faktor GCG dilakukan oleh Bank

berdasarkan analisis atas:

1. Pelaksanaan prinsip-prinsip GCG Bank

2. Kecukupan tata kelola (governance) atas struktur, proses, dan hasil

penerapan GCG pada Bank.

3. Informasi lain yang terkait dengan GCG Bank yang didasarkan pada

data dan informasi yang relevan.

Peringkat faktor GCG dikategorikan dalam 5 (lima) peringkat yaitu

sebagai berikut :

1. Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas Tingkat

Kesehatan Bank.

2.Penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana

dimaksud dilakukan paling kurang setiap semester untuk posisi akhir

bulan Juni dan Desember.

9
3. Bank wajib melakukan pengkinian self assesment Tingkat Kesehatan

Bank sewaktu-waktu apabila diperlukan.

4. Hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud

yang telah mendapat persetujuan dari Direksi wajib disampaikan

kepada Dewan Komisaris.

5. Bank wajib menyampaikan hasil self assessment Tingkat Kesehatan

Bank kepada Bank Indonesia sebagai berikut:

a. Untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara individual, paling

lambat pada tanggal 31 Juli untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank

posisi akhir bulan Juni dan tanggal 31 Januari untuk penilaian

Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember.

b. Untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi, paling

lambat pada tanggal 15 Agustus untuk penilaian Tingkat Kesehatan

Bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian

Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember.

Penetapan peringkat faktor GCG dilakukan berdasarkan analisis yang

komprehensif dan terstruktur terhadap hasil penilaian pelaksanaan prinsip-prinsip

GCG Bank dan informasi lain yang terkait dengan GCG Bank. Penetapan

peringkat faktor GCG dilakukan dengan berpedoman pada Peraturan Bank

Indonesia No. 13/1/PBI/2011.

Proksi dari Good Corporate Governance (GCG) yang dipakai dalam

penelitian ini adalah dewan komisaris. Alasannya adalah karena dewan komisaris

dapat mengawasi secara efektif aktivitas yang dilakukan oleh komisaris eksternal

10
sebagai pusat dari pecahan masalah agency (antara manajer dan pemegang saham)

(Pranata, 2012), sehingga dewan komisaris dapat menyiapkan suatu perangkat

pengukuran kinerja yang berhubungan dengan tujuan perusahaan. Fungsi dewan

komisaris independen sendiri adalah sebagai alat pemantauan dan pengendalian

kinerja perusahaan (Kakabadse dan Kouzmin, 2010).

Dewan komisaris mempunyai peran yang sangat penting dalam

peningkatan kinerja perusahaan dan meminimalisirkan masalah-masalah agency

yang timbul. Dengan adanya dewan komisaris maka dengan mudah mengatur

setiap laba yang didapat oleh perusahanan (Riyanto, 2010). Menurut Penman

(2010), mengemukakan bahwa tingkat kemampuan suatu perusahaan dalam

memperoleh laba dapat dilihat dari rasio profitabilitasnya dan melaporkan bahwa

lebih besar dan terkonsentrasi kepemilikan dewan komisaris lebih sering terjadi

pada bank dengan efisiensi keuntungan yang tinggi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramana (2016) tentang pengaruh

Dewan Komisaris terhadap ROA (Return On Asset) menunjukan bahwa Dewan

Komisaris berpengaruh positif dan siginifikan terhadap ROA. Hal ini berbeda

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chariri (2013) yang menunjukan

bahwa Dewan Komisaris berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ROA.

Net profit margin (NPM) merupakan rasio antara laba bersih (net profit)

dibandingkan dengan pendapatan operasional. Penggunaan Net Profit Margin

(NPM) sebagai variabel yang dapat mempengaruhi profitabilitas bank didasarkan

pada kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada

Bank Indonesia dan atau pihak lainnya. (PBI No. 13/1/PBI/2011). Semakin tinggi

11
NPM maka semakin baik operasi suatu perusahaan karena menampakkan

keberhasilannya dalam meningkatkan penjualan/pendapatan. Semakin tinggi net

income yang dicapai oleh bank dalam menghasilkan laba bersihnya, maka dengan

meningkatnya NPM menunjukan bahwa semakin baik kinerja bank dan

keuntungan yang diperoleh bank. Sehingga hubungan antara NPM dengan. tingkat

profitabilitas yaitu return on asset (ROA) dapat ditingkatkan.

Hasil penelitian tentang Net Profit Margin (NPM) terhadap ROA (Return

On Asset) menunjukan. bahwa Net Profit Margin (NPM) berpengaruh positif dan

siginifikan terhadap ROA sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pranata

(2014). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chariri

(2013) yang menunjukan bahwa Net Profit Margin (NPM) berpengaruh positif

dan tidak signifikan terhadap ROA.

Capital Adecuacy Ratio (CAR) adalah rasio yang memperhitungkan

seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan,

surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank

di samping memperoleh dana–dana dari sumber–sumber di luar bank, seperti

masyarakat, pinjaman (utang), dan lain–lain. (Abdullah, 2004). Dengan kata lain

Capital Adequancy Rasio adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan

modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau

menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan (Sudiyatno dan Suroso,

2010). Semakin besar CAR maka semakin tinggi kemampuan permodalan bank

dalam menjaga kemungkinan timbulnya risiko kerugian kegiatan usahanya

sehingga kinerja bank juga akan meningkat.

12
Hasil penelitian mengenai pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR)

terhadap ROA (Return On Asset) menunjukan hasil bahwa CAR (Capital

Adequacy Ratio) berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA (Return On

Asset), sesuai dengan penelitian Kusuma (2013), Hal ini berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2015) dan Prasanjaya (2013), yang

menunjukan bahwa CAR (Capital Adequacy Ratio) berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap ROA (Return On Asset), serta hasil penelitian yang dilakukan

oleh Made Ria (2014), yang menunjukan bahwa CAR (Capital Adequacy Ratio)

berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap ROA (Return On Asset).

Inflasi didefinisikan sebagai kecenderungan kenaikan harga secara umum.

Kecenderungan yang dimaksudkan disini adalah bahwa kenaikan tersebut bukan

terjadi sesaat (Djohanputro, 2006). Di bidang moneter, laju inflasi yang tinggi dan

tidak terkendali dapat mengganggu upaya perbankan dalam mengerahkan dana

masyarakat. Hal ini disebabkan, karena tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan

tingkat suku bunga riil menjadi menurun. Fakta demikian akan mengurangi hasrat

masyarakat untuk menabung sehingga pertumbuhan dana perbankan yang

bersumber dari masyarakat akan menurun, hal ini akan mempengaruhi laba yang

diperoleh oleh bank, sehingga dapat mempengaruhi besar kecilnya profitabilitas

(ROA) bank.

Hasil penelitian mengenai pengaruh Inflasi terhadap ROA (Return On

Asset) yang dilakukan oleh Lindayani (2016), menunjukan bahwa Inflasi

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA (Return On Asset). Hal ini

berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendrayanti (2013), yang

13
menunjukan bahwa Inflasi tidak berpengaruh dan tidak signifikan terhadap ROA

(Return On Asset).

Berdasarkan dari fenomena dan uraian di atas, maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah adanya temuan yang berbeda (research gap) dan ketidak

konsistenan dari hasil penelitian tentang beberapa faktor yang mempengaruhi

profitabilitas Return On Asset (ROA), maka peneliti akan melakukan penelitian

kembali mengenai: “PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

TERHADAP PROFITABILITAS BANK (Studi Pada Bank Umum Yang Go

Public di BEI Periode Tahun 2013-2015)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah

sebagai berikut ::

1. Bagaimana pengaruh LDR terhadap ROA?

2. Bagaimana pengaruh NPL terhadap ROA?

3. Bagaimana pengaruh GCG terhadap ROA?

4. Bagaimana pengaruh NPM terhadap ROA?

5. Bagaimana pengaruh CAR terhadap ROA?

6. Bagaimana pengaruh Inflasi terhadap ROA?

14
1.3 Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Menganalisis pengaruh LDR terhadap ROA.

2. Menganalisis pengaruh NPL terhadap ROA.

3. Menganalisis pengaruh GCG terhadap ROA.

4. Menganalisis pengaruh NPM terhadap ROA.

5. Menganalisis pengaruh CAR terhadap ROA.

6. Menganalisis pengaruh Inflasi terhadap ROA.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai

berikut :

1. Aspek Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau referensi

untuk penelitian selanjutnya.

2. Aspek Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber

pengetahuan nasabah dalam memilih bank yang sehat terutama untuk

melakukan proses transmisi dana.

15
3. Aspek Organisasional

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada

Bank Indonesia dan OJK mengenai profitabilitas bank dan faktor-faktor

yang mendukung maupun menghambat profitabilitas perbankan.

16

You might also like