You are on page 1of 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN GANGGUAN RASA

NYAMAN (NYERI PERUT) DI UPT PLSU TRESNA WERDA MAGETAN

1.1 Pengertian Lansia

Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami

suatu proses perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu (Fatmah,

2010).

Lanjut usia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang

ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres

lingkungan (Muhith & Siyoto, 2016).

Penuaan adalah perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan

yang terjadi pada semua orang saat mereka mencapai usia tahap perkembangan

kronologi tertentu (Stanley & Beare, 2007).

1.2 Batasan Lansia

1)Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (Muhith & Siyoto, 2016) :

a) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun

b) Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun

c) Lanjut usia tua (old), antara 75 - 90 tahun

d) Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun

2) Menurut Undang-undang No 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut

Usia (Notoatmodjo, 2007) :

a) Kelompok Umur Pertengahan

1
2

Kelompok usia dalam masa persiapan usia lanjut yang memperlihatkan

keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun).

b) Kelompok Usia Lanjut Dini

Kelompok dalam masa pensiunan, yaitu kelompok yang mulai memasuki

usia lanjut (55-64 tahun).

c) Kelompok Usia Lanjut

Kelompok dalam masa usia 65 tahun ke atas.

a) Kelompok Usia Lanjut dengan Risiko Tinggi

Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang

hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat.

1.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketuaan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan menurut Bandiyah (2009) dalam

Muhith & Siyoto (2016) adalah:

1) Hereditas atau genetic

Secara genetik sudah terprogram bahwa material di dalam inti sel dikatakan

bagaikan memiliki jam genetis terkait dengan frekuensi mitosis. Hal ini

didasarkan pada kenyataan bahwa spesies-spesies tertentu memiliki harapan

hidup yang berbeda pula.

2) Nutrisi atau makanan

Konsumsi makan yang cukup dan seimbang yang dilakukan pada masa muda

akan berpengaruh pada kesehatan lansia yang prima dan tetap produktif di

hari tua.
3

3) Status kesehatan

Setiap individu memiliki riwayat penyakit semasa hidupnya. Individu yang

memiliki riwayat kesehatan kurang baik mempunyai resiko mengalami proses

penuaan lebih cepat dan mengalami penyakit-penyakit degeneratif.

4) Pengalaman hidup

Setiap orang mempunyai gaya hidup tertentu yang di bentuk dan dilakukan

sepanjang masa hidupnya. Gaya hidup yang kurang baik pada masa muda

akan berakibat buruk pada masa tuanya. Misal gaya hidup merokok, akan

beresiko menderita penyakit jantung.

5) Lingkungan

Seseorang yang hidup di lingkungan yang kurang baik, misal memiiki tingkat

polusi udara yang tinggi seperti di sekitar pabrik-pabrik beresiko mengalami

penyakit paru-paru di masa tuanya.

6) Stress

Setiap orang mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah dan

mengendalikan emosinya.Tingkat sress yang tinggi berpengaruh pada masa

tuanya.

1.4 Proses Menua

Menua (aging) merupakan proses yang harus terjadi secara umum pada

seluruh spesies secara progresif seiring waktu yang menghasilkan perubahan yang

menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau

sistem tubuh tertentu (Muhith & Siyoto, 2016).

Proses menua bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu masa

atau tahap hidup manusia, yaitu; bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, dan lanjut usia.
4

Orang mati bukan karena lanjut usia tetapi karena suatu penyakit, atau juga suatu

kecacatan.

Akan tetapi proses menua dapat menyebabkan berkurangnya daya tahan

tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun

demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering

menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak

seseorang mencapai usia dewasa. Misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan

pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi

sedikit.

1.5 Teori Proses Penuaan

Menurut Bandiyah (2009) dalam Muhith & Siyoto (2016) secara individual

tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda-beda. Masing-masing

lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda sehingga tidak ada satu faktor pun

ditemukan untuk mencegah proses menua. Teori-teori itu dapat digolongkan

dalam tiga kelompok, yaitu kelompok teori biologis, teori kejiwaan sosial, dan

teori psikologis.

1) Teori Biologi

Teori biologi adalah ilmu alam yang mempelajari kehidupan dan

organisme hidup, termasuk struktur, fungsi, pertumbuhan, evolusi, persebaran,

dan taksonominya. Ada beberapa macam teori biologis, di antaranya sebagai

berikut:

a) Teori Genetik dan Mutasi (Somatic Mutation Theory).

Menurut Hayflick (1961) dalam Muhith & Siyoto (2016), menua telah

terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai


5

akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA

dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas

adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsi sel).

b) Teori Interaksi Seluler

Menurut Berger (1994) dalam Muhith & Siyoto (2016), bahwa sel-sel yang

saling berinteraksi satu sama lain dan memengaruhi keadaan tubuh akan baik-

baik saja selama sel-sel masih berfungsi dalam suatu harmoni. Akan tetapi, bila

tidak lagi demikian maka akan terjadi kegagalan mekanisme feed-back dimana

lambat laun sel-sel akan mengalami degenerasi.

c) Teori Replikasi DNA

Teori ini mengemukakan bahwa proses penuaan merupakan akibat akumulasi

bertahap kesalahan dalam masa replikasi DNA sehingga terjadi kematian sel.

Kerusakan DNA akan menyebabkan pengurangan kemampuan replikasi

ribosomal DNA (rDNA) dan memengaruhi masa hidup sel. Sekitar 50% rDNA

akan menghilang dari sel jaringan pada usia 70 tahun.

d) Teori Stres

Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.Regenerasi

jaringan tubuh tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal,

kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel lelah terpakai.

e) Teori Ikatan Silang

Merupakan akibat dari terjadinya ikatan silang yang progresif antara protein-

protein intraselular dan interselular serabut kolagen.Ikatan silang meningkat

sejalan dengan bertambahnya umur.Hal ini mengakibatkan penurunan


6

elastisitas dan kelenturan kolagen di membran basalis atau di substansi dasar

jaringan penyambung.

f) Teori Radikal Bebas

Tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik

yang selanjutnya menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.

g) Reaksi dari Kekebalan Sendiri (auto immune theory)

Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus.

Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga

jaringan tubuh menjadi lemah atau sakit.

2) Teori Kejiwaan Sosial

Teori kejiwaan sosial meneliti dampak atau pengaruh sosial terhadap

perilaku manusia.Teori ini melihat pada sikap, keyakinan, dan perilaku lansia.

Ada beberapa macam teori kejiwaan sosial menurut Muhith & Siyoto (2016),

diantaranya sebagai berikut:

a) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)

Teori ini mengatakan bahwa penuaan yang sukses tergantung dari

bagaimana lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas dan

mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin.

(1) Moral dan kepuasan berkaitan dengan interaksi sosial dan keterlibatan

sepenuhnya dari lansia di masyarakat.

(2) Kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lansia.

b) Teori kesinambungan (Continuity Theory)

Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan

lansia. Dengan demikian, pengalaman hidup seseorang pada suatu saat


7

merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Dan hal ini

dapat terlihat bahwa gaya hidup perilaku dan harapan seseorang ternyata tak

berubah walaupun ia menjadi lansia.

c) Teori Penarikan Diri (Disengagement Theory)

Teori ini menerangkan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan

menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara

perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan sekitarnya.Selain hal tersebut,

dari pihak masyarakat juga mempersiapkan kondisi agar para lansia menarik

diri.Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lansia menurun, baik secara

kualitas maupun secara kuantitas.

d) Teori Perkembangan (Development Theory)

Teori ini mempelajari psikologi perkembangan guna mengerti perubahan

emosi dan sosial seseorang selama fase kehidupannya. Pokok-pokok dalam

development theory adalah:

(1) Masa tua merupakan saat lansia merumuskan seluruh masa

kehidupannya.

(2) Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan sosial

yang baru, yaitu pensiun dan/atau menjanda atau menduda.

(3) Lansia harus menyesuaikan diri akibat perannya yang berakhir dalam

keluarga, kehilangan identitas, dan hubungan sosialnya akibat pensiun

atau ditinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-temannya.


8

3) Teori Psikologi

a) Teori Kebutuhan Manusia menurut Hierarki Maslow

Menurut teori ini, setiap individu memiliki hierarki dari dalam diri,

kebutuhan yang memotivasi seluruh perilaku manusia.Kebutuhan ini

memiliki urutan prioritas yang berbeda.Ketika kebutuhan dasar manusia

sudah terpenuhi, mereka berusaha menemukannya pada tingkat selanjutnya

sampai urutan yang paling tinggi dari kebutuhan tersebut tercapai.

b) Teori Individual Jung

Teori ini membahas perkembangan dari seluruh fase kehidupan, yaitu mulai

dari masa kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda, usia

pertengahan, sampai lansia. Kepribadian individu terdiri dari ego,

ketidaksadaran seseorang, dan ketidaksadaran bersama.Menurut teori ini

kepribadian digambarkan/diorientasikan terhadap dunia luar (ekstrovert)

atau ke arah subjektif, pengalaman-pengalaman dari dalam diri

(introvert).Keseimbangan antara kekuatan ini dapat dilihat pada setiap

individu, dan merupakan hal yang paling penting bagi kesehatan mental.

1.6 Perubahan – Perubahan yang Terjadi pada Lansia

Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh,

diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem

musculoskeletal, sistem genetalia urinaria, perubahan kondisi mental, dan

psikososial (Bandiyah, 2009 dalam Muhith & Siyoto, 2016)

Perubahan fisik

a) Sel
9

Jumlahnya lebih sedikit tetapi ukurannya lebih besar, berkurangnya cairan

intra dan ekstraseluler.

b) Sistem Pernafasan

Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume udara

inspirasi berkurang.Sehingga pernafasan cepat dan dangkal.Penurunan

aktivitas silia menyebabkan penurunan reflek batuk sehingga potensial

terjadi penumpukan sekret.

c) Sistem Persarafan

Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf

penciuman dan perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu.

d) Sistem Penglihatan

Timbul sklerosis pada sfingter pupil dan hilangnya respon terhadap

sinar.Lensa lebih suram (keruh) dapat menyebabkan katarak.Menurunnya

lapang pandang dan menurunnya daya untuk membedakan antara warna

biru dengan hijau pada skala pemeriksa.

e) Sistem Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa

darah menurun 1% setiap tahun setelah berumur 20 tahun sehingga

menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume, kehilangan elastisitas

pembuluh darah, tekanan darah meninggi.

f) Sistem Genetalia Urinaria

Pada kandung kemih terjadi penurunan kerja otot, kapasitasnya menurun

sampai 200 ml dan menyebabkan frekuensi BAK meningkat.Pada ginjal


10

terjadi pengecilan nefron sehingga aliran darah ke ginjal menurun sampai

50%.

g) Sistem Muskuloskeletal

Terjadi tulang rapuh, risiko terjadi fraktur, kifosis, persendian besar dan

kaku, pada diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tinggi

badan berkurang).

Perubahan Kondisi Mental

Pada lansia biasanya terjadi kemunduran daya ingat (memori/kenangan).

Terdapat dua macam kenangan, yaitu:

a) Kenangan jangka panjang: berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu.

b) Kenangan jangka pendek: 0-10 menit, kenangan yang buruk.

Pada intelligence quotient (IQ):

a) Tidak berubah dengan informasi matematika dan kepekaan verbal.

b) Berkurangnya penampilan, persepsi, dan keterampilan psikomotor terjadi

perubahan pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor

waktu.

Perubahan Psikososial

a) Pensiun: nilai seseorang diukur oleh produktivitasnya, identitas dikaitkan

dengan peranan dalam pekerjaan.

b) Merasakan atau sadar akan kematian.

c) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan dengan

lingkup gerak lebih sempit.

d) Perkembangan Spiritual
11

Lanjut usia semakin matur dalam kehidupan keagamaannya karena agama

semakin terintegrasi dalam kehidupan (Nugroho, 2008).

2.1 Konsep Gangguan Rasa Nyaman (Nyeri)

2.1.1 Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial atau di

gambarkan dalam ragam yang yang menyangkut kerusakan atau sesuatu yang

digambarkan dengan kerusakan (International association of the study of pain,

1979 dalam Zakiyah, 2015): “Nyeri adalah sebagai suatu fenomena yang sulit

dipahami, kompleks dan bersifat misteri yang mempengaruhi seseorang serta

eksistensinya diketahui bila seseorang mengalami”. Nyeri adalah sensasi

ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai suatu penderitaan yang

diakibatkan oleh persepsi yang nyata, ancaman dan fantasi luka (Kozier dan Erb,

1983 dalam Zakiyah, 2015).

2.1.2 Klasifikasi Nyeri Dan Karakteristik Nyeri

Berdasarkan lama keluhan atau waktu kejadiannya nyeri dibagi menjadi dua

macam yaitu:

1. Nyeri Akut

Nyeri akut adalah respon fisiologis normal yang diramalkan terhadap

rangsangan kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatu pembedahan, trauma

dan penyakit akut. Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan kerusakan

jaringan yang nyata dan akan hilang seirama dengan proses penyembuhannya.

Terjadi dalam waktu singkat dari satu detik sampai kurang dari enam bulan

(Federation Of State Medikal Boards Of United States dalam Zakiyah Ana, 2015).
12

2. Nyeri Kronis

Menurut The International Association For Study Of Pain dalam Zakiyah Ana

(2015), nyeri kronis sebagai nyeri yang menetap melampaui waktu penyembuhan

normal yakni enam bulan. Nyeri kronis dibedakan menjadi dua yaitu nyeri kronis

maligna dan nyeri kronis non maligna. Karakteristik penyembuhan nyeri kronis

tidak dapat diprediksikan meskipun penyebabnya mudah ditentukan.Namun pada

beberapa kasus penyebabnya kadang sulit ditentukan.

2.1.3 Etiologi Nyeri

Menurut Hidayat (2006), etiologi nyeri adalah sebagai berikut:

1. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya pada pembedahan mengakibatkan

kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.

2. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadi

kerusakan penekan pada reseptor nyeri.

3. Tumor, dapat juga menekan reseptor nyeri.

4. Iskemik pada jaringan, misalnya terjadi blockade pada arteri koronaria yang

menstimulasi reseptor nyeri akibat bertumpuknya asam laktat.

5. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

2.1.4 Fisiologi Nyeri

Nyeri selalu dikaitkan dengan reseptor nyeri yaitu organ tubuh yang

berfungsi sebagai penerima rangsang nyeri. Organ ubuh yang berfungsi sebagai

reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang hanya berespon terhadap

stimulus yang berpotensi merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor yang

berdasarkan letaknya dapat dikelompokan dalam beberapa bagian tubuh yaitu

kulit somatik dalam dan pada daerah viseral. Oleh karena perbedaan letak
13

nosiseptor inilah menyebabkan nyeri yang timbul memilki sensasi yang berbeda

(Porth, 2004 dalam Zakiyah, 2015).

Reseptor jaringan kulit terbagi dalam dua komponen yaitu:

1. Serabut delta A

Serabut nyeri aferen cepat dengan kecepatan transmisi 6-30 meter/detik yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan hilang apabila penyebab nyeri

dihilangkan. Impuls yang dihasilkan oleh serabut ini sifatnya tajam dan

memberikan sensasi yang akut.

2. Serabut delta B

Serabut nyeri aferen lambat dengan kecepatan tranmisi 0,5-2 meter/detik

terdapat pada daerah yang lebih dalam. Nyeri biasanya lebih tumpul dan sulit

untuk dialokasikan.Nyeri pertama kali dirasakan sebagai sensasi tertusuk tajam

yang singkat dan mudah diketahui lokasinya (Zakiyah Ana, 2015).

2.1.5 Patofisilogi Nyeri

Nyeri merupakan sensasi yang penting bagi tubuh yang merupakan hasil

stimulus dari reseptor sensorik.Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi

menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri

adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimuli yang

kuat secara potensial.

Rangsang nyeri disebabkan oleh rangsangan reseptor nyeri (pain reseptors)

yang disebut nosiseptor di ujung saraf bebas (free nerve endings), reseptorsaraf

tersebut tersebar dalam lapisan kulit dan jaringan tertentu yang lebih dalam.Ujung

saraf bebas dapat terstimuli oleh rangsang mekanik, panas (Thermos) dan

kimia.Selanjutnya ditransmisikan melalui saraf perifer ke tanduk dorsal medulla


14

spinalis.Di tempat ini mereka bersinaps dengan sel-sel dari jarak spinotalamik

yang membawa rangsangan (impuls) ke atas medulla spinalis, melalui batng otak

ke thalamus. Dari thalamus impuls diserahkan ke berbagai daerah korteks serebral

yang membangkitkan persepsi nyeri serta reaksi terhadap nyeri tersebut (Mander,

2004)

Menurut Guyton (1996) pada dasarnya ada lima macam reseptor sensori

didalam tubuh yaitu:

1. Mekanoseptor yaitu reseptor yang mendeteksi perubahan bentuk reseptor

atau sel didekat reseptor tersebut.

2. Termoreseptor yaitu reseptor yang mendeteksi perubahan suhu.

3. Nosiseptor yaitu reseptor yang mendeteksi kerusakan di dalam jaringan baik

kerusakan fisik maupun kimia.

4. Reseptor elektromagnet yaitu reseptor yang mendeteksi cahaya pada retina

mata.

5. Kemoreseptor yaitu reseptor yang mendeteksi pengecapan di dalam mulut,

bau di dalam hidung, kadar O2 dalam darah arteri, osmolitas cairan tubuh,

kadar CO2 dan bahan kimia tubuh lainnya.

2.1.6 Reaksi atau Respon Terhadap Nyeri

Reaksi nyeri terdiri atas respon fisiologis, psikologis dan perilaku yang terjadi

setelah mempersepsikan nyeri.

1. Reaksi fisiologis

Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju batang otak dan

thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon
15

stress.Nyeri dengan intenstas ringan hingga sedang dan nyeri superficial

menimbulkan reaksi “or flight” dan ini merupakan sindroma adaptasi umum.

2. Respon psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien tentang

nyeri.Klien yang mengartikan nyeri sebagai suatu “negatif” cenderung

memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan dan dapat berbalik

menjadi rasa marah atau frustasi.Sebaliknya, klien yang memiliki persepsi

“positif” cenderung menerima nyeri yang di alaminya.

3. Respon perilaku

Meinhart dan Mc Caffery, 1983 dalam Zakiyah Ana, 2015 mendeskripsikan

dalam tiga fase pengalaman nyeri:

a. Fase Anstisipasi (Terjadi Sebelum Menerima Nyeri)

Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya

untuk menghilangkan nyeri tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa

membantu klien untuk mengembangkan koping psikologis (memberi posisi,

nafas dalam), memberi penjelasan tentang rasa tidak nyaman yang akan

dirasakan serta memberi informasi tentang prosedur akan membuat klien

lebih sedikit melaporkan nyeri.

b. Fase Sensasi (Terjadi Saat Nyeri Terasa)

Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Klien bereaksi terhadap

nyeri dengan cara yang beda-beda. Toleransi bergantung pada sikap,

motivasi dan nilai yang diyakini seseorang.Klien dengan tingkat toleransi

tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya


16

orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya

mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

c. Fase Akibat (Terjadi Ketika Nyeri Berkurang Atau Berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Perawat berperan

dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut

akan kemungkinan nyeri berulang.

2.1.7 Pengukuran Intensitas Nyeri

Karakteristik paling subyeksif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau

intensitas nyeri tersebut.Klien seringkali diminta untuk mendiskripsikan nyeri-

nyeri sebagai nyeri ringan, sedang, dan berat. Terdapat beberapa skala nyeri yang

dapat digunakan untuk mengetahui tingkat nyeri, antara lain: (Potter & Perry)

1. Numerical Rating Scale (NRS)

NRS merupakan skala nyeri yang populer dan lebih banyak digunakan

diklinik, khususnya pada kondisi akut, mengukur intensitas nyeri sebelum dan

sesudah intervensi teraupetik, mudah digunakan dan didokumentasikan. Cara

penggunaan skala ini adalah : berilah tanda salah satu angka sesuai dengan

intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Dalam pengukuran skala nyeri yang

menggunakan Numerical Rating scale (NRS) dapat menggunakan gambar

seperti di bawah ini:

Gambar 2.1 Numerik Ranting Scale (NRS)

Sumber: Sigit Nian Prasetyo, 2010


17

Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan

baik

4-6 : Nyeri sedang, Secara obyektiff klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukan

lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi

dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.

10 : Nyeri sangat berat : pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.

2. Verbal Descriptor Scale (VDS)

Merupakan salah satu alat ukur tingkat keparahan yang bersifat obyektif. Cara

penggunaan skala nyeri ini dengan menunjukkan skala nyeri tersebut kepada

pasien dan meminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang saat itu

dirasakan. Dalam pengukuran skala nyeri dengan Verbal Deskriptor Scale

(VDS) dapat menggunakan gambar seperti di bawah ini:

Gambar 2.2 Verbal Deskriptor Scale (VDS)

Sumber: Sigit Nian Prasetyo, 2010


18

3. Visual Analog Scale (VAS)

Skala ini memberikan kebebasan penuh pada pasien untuk

mengidentifikasikan tingkat keparahan nyeri yang ia rasakan.

Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)

Sumber: Sigit Nian Prasetyo, 2010

4. Face Pain Ranting Scale

Skala tersebut terdiri dari 6 wajah yang menggambarkan wajah tersenyum

yang artinya tidak ada rasa nyeri sampai dengan menangis artinya merasakan

nyeri yang paling berat.

Gambar 2.4 Face Pain Ranting Scale

Sumber: Sigit Nian Prasetyo, 2010

2.1.8 Penatalaksanaan Nyeri

Manajemen nyeri pasca operasi adalah pengelolaan menyeluruh untuk

mengatasi nyeri pasca operasi. Penatalaksanaan nyeri pasca operasi terdapat 2

bagian yaitu:

1. Farmakologi
19

Prinsip penatalaksanaan pada nyeri fraktur femur adalah penilaian nyeri secara

menyeluruh.Pemeriksaan harus percaya laporan nyeri penderita karena nyeri

bersifat subjektif.Derajat nyeri penderita bisa di tentukan dengan skala nyeri

0-10 dimana 0 tanpa nyeri dan 10 nyeri terberat. Berikut ini merupakan 3

langkah dalam penatalaksanaan nyeri fraktur femur dengan farmakologi

sebagai berikut:

a. Untuk nyeri ringan dengan skala nyeri (1-4).

Obat-obat nyeri non opioid, yaitu analgetik atau anti nyeri (Asetaminofen),

Aspirin (NSAID/ Non Steroid Anti Inflammatory Drungs), adjuvant atau

tambahan (antidepressant, antikonvulsan atau anti kejang, antimuntah).

b. Untuk nyeri sedang skala nyeri (5-7).

Opioid lemah ditambah dengan obat nyeri lainnya. Apabila dengan obat-

obatan yang pertama nyeri tidak berkurang, maka bisa diberikan narkotik

dan kombinasi dengan obat-obatan yang pertama narkotik lemah seperti

codein, darvon.

c. Untuk nyeri hebat (8-10).

Opioid kuat ditambah obat nyeri lainnya. Opioid kuat antara lain

Morfin,Methadone, Diloudid, Numorphan.

2. Non-farmakologi

Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk

menanggulangi nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi

nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan berdasarkan :

a. Penanganan fisik/ stimulasi fisik meliputi:

1) Stimulasi kulit
20

Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan

otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut

berdiameter besar, sehingga mampu memblok atau menurunkan

impuls nyeri.

2) Stimulasi elektrik (TENS)

Transcutans electrial nerve stimulation (TENS) merupakan stimulasi

pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan

melalui elektroda luar.

3) Akupuntur

Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan

untuk mengobati nyeri.Jarum-jarum kecil yang dimasukkan pada kulit,

bertujuan menyentuh titik-titik tertentu.

4) Plasebo

Plasebo dalam bahasa latin berarti saya ingi menyenangkan.

Merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang

dikenal sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan

sebagainya.

b. Intervensi perilaku kognitif meliputi:

1) Relaksasi

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan

merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri.Teknik

relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil

optimal.Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi terhadap

nyeri.
21

2) Umpan balik biologis

Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu

informasi tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih

kontrol volunter terhadap respon tersebut.

3) Hipnotis

Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.

4) Distraksi

Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal di

luar nyeri, yang dengan demikian diharapkan dapat menurunkan

kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi

terhadap nyeri. Salah satu kerugian tindakan ini yang perlu dipikirkan

adalah apabila stimulasi distraksi berakhir maka nyeri yang dirasakan

biasanya semakin bertambah berat.

3.1 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d iritasi akibat peningkatan asam lambung.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan tubuh

yang kurang akibat anoreksia dan tidak nafsu makan.

3. Defisit pengetahuan tentang penyakitnya (faktor penyebab dan terapi diet) b/d

kurang terpaparnya informasi.

4.1 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kiteria Hasil Intervensi


Gangguan rasa 1.
Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian
nyaman nyeri pada tindakan keperawatan nyeri secara
efigastrium b/d selama 1x24 jam klien komprehensif termasuk
iritasi mukosa tidak mengalami nyeri, lokasi, karakteristik,
22

lambung dengan kriteria hasil: durasi, frekuensi,


1. Klien dapat kualitas dan faktor
mengontrol nyeri presipitasi
2. Klien melaporkan 2. Observasi reaksi
nyeri berkurang nonverbal dari
dengan sklala 1-2 ketidaknyaman
3. Tanda-tanda vital 3. Kontrol lingkungan yang
normal: dapat mempengaruhi
- TD : 120/80 nyeri seperti suhu
mmHg ruangan, pencahayaan
- N : 60-80 dan kebisingan
x/menit 4. Ajarkan tentang teknik
- S : 36-37‫ﹾ‬C non farmakologi: napas
- RR : 16-20 dala, relaksasi, distraksi,
x/menit kompres hangat/ dingin
4. Klien tidak 5. Berikan analgetik untuk
mengalami mengurangi nyeri:
gangguan selama ……...
tidur 6. Tingkatkan istirahat
7. Berikan informasi
tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur.
8. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
2.
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Indentifikasi dan batasi
nutrisi kurang dari
tindakan keperawatan makanan yang
kebutuhan tubuh
23

tubuh b.d selama 1 x24 jam menimbulkan


menurunnya nafsu
diharapkan masalah ketidaknyaman
makan
dapat teratasi 2. Kolaborasi pemberian
Kriteria Hasil : obat analgetik
1. Kondisi umum 3. Buat jadwal masukan
baik tiap jam
2. Klien 4. Timbang BB tiap hari
mengatakan 5. Berikan makanan sedikit
nafsu makan. tapi sering sesuai
3. Klien dapat indikasi
menghabiskan 6. Berikan diet makanan
makan 1 porsi ringan dengan tambahan
4. Klien dapat makanan yang disukai
minum 6-7 gelas
perhari
24

Defisit Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat pengetahuan


pengetahuan tindakan keperawatan tentang penyakitnya
tentang selama 1 x24 jam 2. Berikan pendidikan
penyakitnya (faktor diharapkan masalah kesehatan tentang
penyebab dan dapat teratasi : penyakitnya
terapi diet) b/d Kriteria Hasil : 3. Motivasi klien
kurang terpaparnya 1. Klien untuk melakukan anjuran
informasi. mengatakan dalam pendidikan
Paham tentang kesehatan
penyakitnya 4. Beri kesempatan untuk
2. Mengetahui klien bertanya tentang
penyebab penyakitnya
penyakit
3. Mengetahui
tanda dan gejala
4. Memahami obat
yang
dikonsumsi.
25

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2009. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba
Medika.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Volume 1 Edisi 8.
Jakarta: EGC.
Doenges, Merylyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Margareth, TH & Rendy, M.C. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Penyakit Dalam. Yogjakarta: Nuha Medika.
Prasetyo, Sigit N. (2007). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogjakarta:
Graha Ilmu.
Santosa, Budi. 2012. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima
Medika.
Tarwoto dan Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika.
Potter dan Perry. 2005. Buku ajar Fundamental Keperawatan Volume 2,Edisi 4 .
Jakarta : EGC

You might also like