You are on page 1of 17

UNIVERSITAS GADJAH

MADA
PROGRAM STUDI
FISIKA FMIPA

Bahan Ajar 8:
Teori Kuantum
(Minggu ke 12 dan 13)

FISIKA DASAR II
Semester 2/3 sks/MFF 1012
Oleh

Muhammad Farchani Rosyid

Dengan dana BOPTN P3-UGM tahun


anggaran 2013

Nopember 2013
PENGANTAR TEORI KUANTUM
Fisika klasik, yakni fisika sebelum abad keduapuluh, didominasi oleh mekanika
Newton dan elektromagnetika klasik yang digambarkan oleh persamaan Maxwell. Hal ini
tidak mengherankan karena gejala-gejala alamiah yang teramati oleh manusia pada waktu
itu dapat dijelaskankan secara memuaskan dan diprediksi (diramalkan) secara akurat oleh
kedua teori itu. Keteraturan gerakan planet-planet mengelilingi pusat suatu tatasurya
(matahari untuk sistem tata surya kita) dirumuskan secara empiris oleh Kepler melalui
hukum-hukumnya. Ketiga hukum Kepler itu dibangun dengan berdasarkan pada data-data
yang telah dikumpulkan oleh Brahe. Hukum-hukum Kepler itu ternyata secara mendasar
dapat dijelaskan oleh hukum Newton tentang gerak dan gravitasi. Ketiga hukum Kepler itu
berhasil diturunkan dari hukum-hukum Newton. Sementara itu, gejala-gejala alamiah
seperti pemantulan dan pembiasan cahaya, defraksi (pelenturan) cahaya, interferensi
cahaya, polarisasi cahaya dan lain sebagainya dapat dijelaskan dengan baik oleh
elektromagnetika klasik berdasarkan keyakinan bahwa cahaya sesungguhnya merupakan
gelombang elektromagnetik. Keyakinan manusia akan kebenaran kedua teori tersebut
meningkatkan status kedua teori itu menjadi hukum-hukum dasar ilmu fisika, lalu
membangun anggapan bahwa semua gejala-gejala alamih sudah semestinya dapat
dijelaskan berdasarkan kedua teori itu. Lalu, benarkah anggapan semacam itu? Sejarah
mencatat kejadian yang lain.
Keyakinan kita bahwa fisika klasik (mekanika Newton dan elektromagnetika
Maxwell) dapat menjelaskan semua gejala alamiah itu agaknya mulai menyusut ketika para
eksperimentator berhasil mencapai kemampuan yang mengagumkan dalam menjelajahi
dunia mikroskopis, sehingga mampu mendapatkan data-data baru dalam ranah itu. Mereka
banyak menyadari adanya gejala-gejala alamiah yang sukar bahkan sama sekali tidak dapat
dijelaskan oleh kedua teori klasik itu. Beberapa eksperimen memaksa orang mulai ragu
terhadap kebenaran mekanika Newton. Beberapa yang lain membawa kita kepada
kesangsian akan elektromagnetik klasik. Dalam bab ini kita hendak membicarakan
beberapa eksperimen tersebut dan bagaimana orang keluar dari permasalahan yang
dihadapi oleh fisika klasik itu.

1. Radiasi Benda Hitam


1.1 Radiasi Termal, Hukum Stefan dan Pergeseran Wien
Gejala alamiah paling awal yang gagal dijelaskan oleh elektromagnetika klasik
adalah radiasi termal. Radiasi, seperti telah anda ketahui, adalah pemindahan tenaga melalui
pancaran gelombang elektromagnetik. Jadi, radiasi termal adalah pemancaran gelombang
elektromagnetik oleh suatu benda semata-mata karena suhunya. Semakin tinggi temperatur
benda itu semakin banyak tenaga yang dipancarkan dalam bentuk radiasi. Untuk benda-
benda yang memiliki temperatur kurang dari kira-kira 700° C, radiasi cahaya tampak (yaitu
gelombang elektromagnetik pada daerah panjang gelombang 4000 Å < λ < 7000 Å)
sebegitu lemahnya sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Radiasi pada
panjang gelombang tersebut baru dapat dilihat dengan mata telanjang pada temperatur di
atas 700° C. Pada saat itu benda yang bersangkutan berpijar. Spektrum pancarannya
bersifat kontinyu (malar) dan semua padatan menampakkan kecenderungan untuk
mempunyai spektrum pancaran yang sama pada suhu yang sama. Semuanya mendekati
spektrum pancaran benda hitam sempurna. Apa yang dimaksud dengan benda hitam
sempuran? Kita akan uraikan di belakang.
Gambar 8.1 memperlihatkan susunan peralatan guna mengukur spektrum radiasi
termal. Benda bersuhu T1 yang akan diukur spektrumnya diletakkan dibelakang kolimator.
Benda itu memancarkan radiasi elektromagnetik ke segala arah. Adanya kolimator
memungkinkan kita hanya memilih pancaran-pancaran ke arah tertentu saja. Radiasi yang
berhasil melalui kolimator kemudian dilewatkan prisma atau peranti-peranti dispersif
(pengurai) yang lain. Radiasi-radiasi dengan panjang gelombang berbeda akan terlihat pada

Gambar 8.1 Seketsa Pe-


ngamatan spektrum radi-
asi termal

 Detektor

Benda pada
suhu T1
Prisma
pengurai d

Kolimator

sudut  yang berbeda. Oleh karena itu dengan menggerakkan detektor dari satu sudut ke
sudut yang lain kita dapat mengukur intensitas pada masing-masing sudut, yakni intensitas
masing-masing panjang gelombang yang bersesuaian dengan sudut-sudut itu. Tetapi
penampang detektor bukanlah titik geometris, sehingga yang terukur bukan intensitas
radiasi pada sudut tunggal, melainkan intensitas radiasi pada selang sudut d di sekitar ,
yakni bersesuaian dengan intensitas radiasi pada selang panjang gelombang d di sekitar .
Besaran yang terukur ini disebut rapat intensitas radiasi atau intensitas radiasi spektral
dan dilambangkan dengan I. Hasil-hasil pengukuran itu kemudian diplot sebagaimana
grafik yang ditunjukkan pada gambar 8.2 untuk dua suhu yang berbeda T2 > T1.
Dari hasil-hasil eksperimen yang telah dilakukan didapatkan bahwa intensitas
radiasi keseluruhan yang dipancarkan oleh sebuah benda, yakni intensitas radiasi yang
menyangkut keseluruhan panjang gelombang berbanding lurus dengan pangkat empat dari
suhu mutlak benda. Jika W(T) intensitas radiasi keseluruhan yang dimaksud, maka

W(T) = eT4, (8.1)


dengan  dikenal sebagai tetapan Stefan-Bolztmann yang besarnya 5,6703 × 10-8
watt/m2.K4 dan e adalah emisivitas yang nilainya antara 0 sampai 1. Emisivitas tergantung
dari sifat-sifat permukaan benda yang ditinjau. Tetang konsep emisivitas ini akan dijelaskan
pada subbagian mendatang. Persamaan (8.1) dikenal sebagai hukum Stefan. W(T) tidak
lain adalah luas wilayah di bawah kurva I pada suhu T.

T2
Gambar 8.2
Rapat intensitas

mak

mak
T2

Panjang gelombang
1.2 Radiasi Benda Hitam
Sekarang saatnya kita bicarakan benda hitam. Benda hitam sempurna (selanjutnya
sebut saja benda hitam) ialah sesuatu yang menyerap radiasi pada semua panjang
gelombang. Berapapun panjang gelombangnya, bila suatu radiasi mengenai benda hitam,
maka radiasi itu akan diserap. Dengan kata lain benda hitam adalah benda yang koefisien
pantulannya nol untuk semua panjang gelombang. Dari eksperimen diperoleh kenyataan
bahwa selain sebagai penyerap yang baik, benda hitam merupakan pemancar radiasi yang
baik pula. Salah satu contoh benda hitam adalah matahari kita (dan tentu saja adalah
bintang-bintang lain di jagad raya ini). Contoh lain yang cukup memadai untuk benda hitam
ialah lubang kecil pada suatu rongga (lihat gambar 8.4a). Semua radiasi yang jatuh pada
lubang itu tidak lagi dapat keluar melalui lubang itu. Hal ini sebagai akibat terjadinya
pantulan berulang-kali yang menyusutkan intensitas radiasi itu hingga pudar sama sekali
(gambar 64.a). Bila benda berongga itu dipanasi sampai berpijar, maka justru lobang itulah
yang paling terang.
Sifat-sifat permukaan suatu benda, seperti telah disinggung di depan, ikut
berpengaruh pada intensitas spektral radiasi yang dipancarkan oleh benda itu. Lebih jauh
sifat permukaan ini termasuk kemampuan memantulkan radiasi, warna permukaan dan lain
se-bagainya. Jadi, intensitas radiasi kese-luruhan semata-mata bukan hanya tergantung dari
suhu benda itu. Sifat-sifat permukaan benda ini pada hukum Stefan dicerminkan oleh
emisivitas benda. Tetapi pada benda hitam, sifat-sifat itu lenyap sama sekali sehingga
intensitas radiasi keseluruhan hanya tergantung pada suhu permukaan benda hitam. Benda
hitam dari bahan apapun akan memiliki intensitas radiasi kese-luruhan yang sama asalkan
suhu permukaanya sama. Hukum Stefan un-tuk benda hitam diberikan oleh

(a) (b)

(a) (b)

Gambar 8.3 (a) Lubang pada silinder berongga dapat dianggap sebagai benda hitam
sempurna. Setiap radiasi yang masuk ke dalam lubang itu praktis tidak dapat keluar. Hal
ini disebabkan karena beberapa kali pemantulan mengakibatkan penyusutan intensitas
radiasi itu hingga sangat rendah (nol). (b) Bila Silinder itu di pijarkan maka lobang akan
tampak paling cerah.

W(T) = T4, (8.3)

Keistimewaan inilah yang kemudian menjadikan benda hitam sebagai acuan dalam kajian
tentang radiasi termal. Intensitas spektral benda hitam hasil eksperimen untuk berbagai
suhu diperlihatkan pada gambar 8.5.

Gambar 8.4 Radiasi


benda hitam
Sekarang kita siap untuk memahami batasan yang lebih rinci tantang emisivitas.
Emisivitas suatu benda ialah nisbah (rasio) antara tenaga keseluruhan yang diradiasikan
oleh benda itu tiap satu satuan waktu pada temperatur T dengan tenaga yang diradiasikan
oleh benda hitam dengan luas yang sama pada temperatur yang sama tiap satu satuan
waktu. Jadi, secara matematik
Tenaga total yang dipancarkan oleh benda itu tiap satu satuan waktu pada suhu T
e =
Tenaga total yang dipancarkan oleh benda hitam tiap satu satuan waktu pada suhu T

Dari batasan di atas tentu saja berlaku bahwa emisitas benda hitam bernilai 1. Selanjutnya
perlu pula dipahami definisi berikut. Emisivitas spektral e suatu benda ialah nisbah
tenaga yang diradiasikan oleh benda itu pada selang panjang gelombang ∆λ di sekitar  tiap
satu satuan waktu terhadap tenaga pada selang panjang gelombang yang sama yang
diradiasikan oleh benda hitam dengan luas dan pada suhu yang sama.
atau
Tenaga radiasi pada selang ∆λ disekitar λ yang dipancarkan oleh benda
e = Tenaga radiasi pada selang ∆λ di sekitar λ yang dipancarkan oleh benda hitam

Lalu, bagaimanakah hasil eksperimen radiasi termal benda hitam tersebut dapat
dijelaskan oleh teori klasik? Harapan tinggal harapan. Pada kenyataan mengatakan bahwa
teori klasik tidak mampu memberi penjelasan yang memadai. Gambar 8.6 menyajikan
ketidakcocokan antara penjelasan yang diberikan oleh fisika klasik dengan hasil
eksperimen. Pada grafik itu, lingkaran-lingkaran kecil merupakan hasil eksperimen. Untuk
menjelaskan spektrum radiasi benda hitam secara klasik, mula-mula radiasi benda hitam
dipandang sebagai sekumpulan getaran elektromagnetik yang berada pada keseimbangan
panas dengan lingkungannya. Secara klasik, masing-masing getaran mempunyai tenaga
sebesar (1/2)kT. Perhitungan selanjutnya (yang tidak atau belum perlu untuk disuguhkan di
dalam buku sini) menghasilkan rumus untuk intensitas radiasi persatuan panjang
gelombang IRJ sebagai berikut

2 ckT
IRJ = . (8.4)
4

Persamaan (8.4) diturunkan pertama kali oleh Rayleigh dan Jeans sehingga dikenal sebagai
rumus Rayleigh-Jeans. Dengan adanya faktor λ−4 pada persamaan (8.4), maka kita
mendapatkan masalah yang cukup pelik, yakni munculnya ketakterhinggaan (singularitas)
saat  mengecil. Masalah ini dikenal sebagai bencana ultraungu. Mengapa disebut
bencana ultra ungu? Hal ini mudah dipahami mengingat daya total yang diradiasikan oleh
benda hitam persatuan luas adalah

 
d
 I  d = 2ckT 
RJ
4
= luas daerah di bawah kurva IRJ
0 0
(lihat gambar 8.5). Nilai integral
ini menuju ke tak terhingga. Kalau
Teori Planck hal ini benar, tentulah terjadi
kerusakan hebat akibat adanya
radiasi gelombang pendek. Itulah
sebabnya sebutan “bencana
Fisika Klasik ultraviolet”. Tetapi kenyataannya
tidak.
Terhadap kesulitan ini,
Max Planck mengajukan gagasan
yang dianggap cukup radikal kala
itu, yaitu gagasan kuantisasi tenaga
yang dimiliki oleh getaran-getaran
elektromagnetik. Maksudnya,
suatu getaran elektromagnetik
tidak boleh memiliki sembarang
nilai tenaga, tetapi tenaga getaran
merupakan kelipatan bulat dari
Gambar 8.5 Teori kuantum Planck vs. Fisika Klasik paket atau catu tenaga (kuanta
tenaga) senilai h, dengan h
tetapan Planck senilai 6,63 × 10 J.dt dan  adalah frekuensi getaran. Jadi, tenaga osilator
-34

terkait dengan frekuensinya hal yang tidak benar menurut teori klasik (sebagaimana kita
ketahui, secara klasik, tenaga suatu getaran tergantung pada amplitudonya). Tenaga getaran
juga bukan (1/2)kT sebagaimana yang dipakai dalam analisa secara klasik, melainkan nhv
(n bilangan bulat). Berdasarkan gagasan ini, dengan cara perhitungan yang sama, Planck
mendapatkan hasil yang menakjubkan. Menurut Planck intensitas radiasi persatuan panjang
gelombang I  diberikan oleh

2c 2 h 1
I = . (8.5)
5
 hc 
exp   1
 kT 

Gambar 8.6 memperlihatkan kesesuaian persamaan (8.5) dengan hasil eksperimen.


Ternyata persamaan (8.5) ini merupakan perumuman (perluasan) hukum Stefan. Hal ini
terlihat jelas karena Hukum Stefan untuk benda hitam segera dapat diperoleh dengan
mengintegralkan persamaan (8.5) dengan batas dari   0 sampai    . Hasilnya adalah

2 5 k 4 4
W(T) =  I  d = 2 3
T = (5,6703 × 10-8 watt/m2.K4)T4.
0 15c h
Dari persamaan ini bersama batasan emisivitas, maka segera diperoleh hukum Stefan, yakni
persamaan (8.1).
2. Gejala (Efek) Fotolistik

Efek Fotolistik adalah satu dari gejala lepasnya elektron dari permukaan suatu
benda. Bila seberkas cahaya (yang memenuhi syarat tertentu) jatuh pada permukaan suatu
benda maka elektron-elektron pada permukaan benda itu akan terbebaskan dari ikatannya
sehingga elektron-elektron tersebut
cahaya terlepas. Begitulah efek fotolistik.
Skema eksperimen efek fotolistik
diperlihatkan oleh gambar 8.6. Pada
lempeng anoda (A) dijatuhkan
K A seberkas cahaya. Jika berkas cahaya
A ini memenuhi syarat, maka akan
terjadi pelepasan elektron-elektron
dari permukaan anoda itu. Elektron-
elektron yang terlepas dari anoda itu
V mempunyai tenaga kinetik sehingga
berhamburan keberbagai arah.
Elektron-elektron tersebut ada yang
P sampai di katoda (K) apabila mampu
mengatasi beda potensial yang
dipasang antara katoda dan anoda.
Gambar 8.6 Sketsa Eks- Jatuhnya elektron-elektron pada
perimen Gejala Foto-listrik permukaan katoda menyebabkan
terjadinya arus yang dapat dibaca
pada Ampermeter. Arus ini disebut
fotoarus if. Beda potensial antara
anoda A dan katoda diatur dengan potensiometer P. Dengan mengatur P kita dapat
mengusahakan agar tidak ada elektron yang mampu mencapai katoda K.

Berikut adalah beberapa gejala yang teramati :

(a) Arus if mengalir hampir sesaat setelah cahaya yang memenuhi “syarat” dijatuhkan pada
pada permukaan anoda A, walaupun intensitas cahaya itu cukup rendah (10−10 W/m2).
Dibutuhkan waktu tidak lebih dari 10−9 detik untuk melepaskan elektron dari saat
pertama kali cahaya dijatuhkan. (Gambar 8.7a)
(b) Untuk frekuensi cahaya v dan potensial V yang dipasang tetap pada suatu nilai, arus i f
berbanding lurus dengan intensitas I. (Gambar 8.7b)
(c) Untuk frekuensi v dan intensitas I yang dibuat tetap, arus if berkurang dengan naiknya
potensial V dan akhirnya mencapai nol pada saat V sama dengan V0. Potensial V0
disebut potensial penghenti dan nilainya sama untuk semua nilai intensitas I, Jadi V0
tidak tergantung pada intensitas cahaya yang dipakai (Gambar 8.7c)
(d) Untuk sembarang bahan anoda, potensial V0 tergantung pada frekuensi sinar yang
dijatuhkan pada anoda. Terdapat frekuensi batas (ambang), katakanlah v 0 , agar efek
fotolistrik terjadi. Bila sinar yang dijatuhkan pada anoda memiliki frekuensi yang
nilainya di bawah frekuensi ini, maka efek fotolistrik tidak dapat berlangsung. Lalu,
bila sinar yang dipakai diganti dengan yang berfrekuensi di atas frekuensi v 0 , maka
efek fotolistrik dapat berlangsung. Frekuensi v 0 tergantung pada jenis zat (logam) yang
dipakai untuk anoda (Gambar 8.7d).

( dan V tetap)
(I dan  tetap) if
if

Waktu t
−9
Intensitas I
10 dt (a) (b)

Cs K
if eV0 Cu
I1 0 untuk K

I2
0 untuk Cs
I3
0 untuk Cu

V0 V 
(c) (d)

Gambar 8.7

Nah, sekarang bagaimanakah gejala-gejala ini dapat dijelaskan? Pertama,


bagaimana teori klasik memberi penjelasan?

Penjelasan fisika klasik :


Fisika klasik memandang cahaya sebagai gelombang elektromagnetik. Tenaganya bersifat
kontinyu dan tidak tergantung pada frekuensinya. Menurut teori klasik, intensitas adalah
energi cahaya yang jatuh pada suatu permukaan seluas satu satuan tiap satu satuan waktu.
Jadi, semakin lama sinar dijatuhkan pada permukaan anoda semakin banyak pula energi
yang diterima oleh elektron-elektron di permukaan anoda itu.

Tentang fenomena (a), teori klasik gagal memberi penjelasan. Perhitungan secara klasik
meramalkan bahwa dengan seberkas sinar berintensitas 10−10 W/m2 tidak mungkin terjadi
bila waktu penyinaran kurang dari 10-9 detik. Hal ini secara klasik disebabkan elektron
membutuhkan waktu untuk mengumpulkan energi yang dibawa oleh cahaya. Padahal
secara klasik energi yang dibawa oleh cahaya berbanding lurus dengan intensitasnya. Oleh
karena itu bila intensitas cahaya rendah, maka butuh waktu yang lama untuk mendapatkan
energi yang cukup.

Tentang fenomena (b), teori klasik menjelaskan bahwa semakin tinggi intensitas sinar yang
dipakai semakin banyak energi yang diterima oleh permukaan anoda sehingga semakin
banyak elektron yang dilepaskan olehnya. Semakin banyak elektron yang dilepaskan,
semakin besar pula arus i f yang mengalir. Penjelasan ini mudah sekali dan bisa diterima.

Tentang fenomena (c) teori klasik tidak mampu memberi penjelasan mengapa untuk
intensitas yang berbeda diperlukan tegangan V0 yang sama guna menghentikan mengalirnya
elektron dari anoda ke katoda?. Logikanya, secara klasik, semakin tinggi intensitas semakin
besar energi yang diterima oleh elektron-elektron. Semakin banyak energi elektron-elektron
itu semakin tinggi potensial yang diperlukan untuk menghentikan arus elektron itu. Namun,
kenyataannya tidak : intensitas berapapun memerlukan potensial penghenti yang sama,
yakni V0.

Tentang fenomena (d), jelas sekali bahwa teori klasik menentangnya, karena secara klasik
tenaga cahaya tidak tergantung dari frekuensi melainkan amplitudo.

Kedua, bagaimana teori kuantum menjelaskan fenomena-fenomena (a), (b), (c) dan (d)?

Penjelasan fisika kuantum :


Teori kuantum memandang cahaya sebagai semburan paket-paket atau partikel-partikel
yang disebut foton. Tenaga tiap foton sebesar h. Intensitas berbading lurus dengan jumlah
foton yang jatuh pada suatu permukaan seluas satu satuan secara tegak lurus tiap satu
satuan waktu. Tepatnya,
Intensitas = I = nh, (8.6)
dengan n adalah jumlah foton yang jatuh secara tegak lurus pada permukaan seluas satu
satuan tiap satu satuan waktu. Bila sebuah foton menabrak elektron di permukaan anoda,
maka terjadi pengalihan tenaga foton kepada elektron. Tenaga ini dipergunakan untuk
melepaskan ikatan elektron itu dengan permukaan anoda. Jika tenaga tersebut kurang dari
tenaga ikat elektron dengan permukaan anoda, maka elektron itu tidak dapat lepas. Efek
fotolistrik terjadi bila tenaga yang diterima elektron itu cukup untuk mengatasi tenaga
ikatnya dengan permukaan anoda. Fraksi (bagian) tenaga yang digunakan untuk mengatasi
ikatan elektron itu disebut fungsi kerja . Fungsi kerja  tergantung pada jenis logam
anoda. Fungsi kerja  terkait dengan frekuensi ambang v 0 melalui

 = h 0 . (8.7)

Sisa tenaga setelah digunakan untuk mengatasi ikatan merupakan tenaga kinetik maksimum
elektron. Jadi, bila sebuah foton berfrekuensi  menyerahkan tenaganya sebesar h kepada
elektron, maka
h =  + Energi kinetik maksimum
1
= h0 + mvmak2 . (8.8)
2
Tentang fenomena (a), teori kuantum menjelaskan bahwa karena tenaga yang diterima
elektron tidak tergantung lama penyinaran tetapi tergantung pada frekuensi foton, maka
tidaklah diperlukan waktu yang cukup lama untuk menimbulkan efek fotolistrik asalkan
frekuensi cahaya melebihi v 0 .
Tentang fenomena (b), dengan mudah dapat dijelaskan oleh teori kuantum. Intensitas
berbanding lurus dengan jumlah foton. Tiap foton melepaskan satu elektron. Semakin
banyak jumlah foton yang jatuh pada permukaan anoda, semakin banyak elektron yang
lepas. Dengan kata lain semakin tinggi intensitas cahaya semakin besar arus yang mengalir.

Tentang fenomena (c), dijelaskan bahwa tenaga kinetik maksimum elektron tergantung
pada frekuensi cahaya (foton) dan tidak tergantung pada intensitas cahaya, maka sangat
layak bila potensial V0 bernilai sama untuk berbagai intensitas pada frekuensi yang sama.

Tentang fenomena (d), dengan sendirinya telah jelas.

3 Efek Compton
Efek Fotolistik adalah salah satu eksperimen yang mendukung teori korpuskuler
tentang cahaya. Teori ini mengatakan bahwa cahaya merupakan semburan butiran-butiran
yang sangat kecil. Efek fotolistrik menandai bangkitnya teori tersebut yang pada abad
sebelumnya tergusur oleh teori undulasi Huygens dan kawan-kawan. Bangkitnya teori
korpuskuler ini juga ditandai oleh eksperimen yang dilakukan oleh Compton pada tahun
1923 yang selanjutnya dikenal sebagai effek Compton. Eksperiemn Compton termasuk
eksperimen yang disebut eksperimen hamburan, yakni jenis eksperimen yang memegang
peranan penting dalam ilmu fisika. Skema effek Compton tersaji pada Gambar 8.8.
foton terhambur

k2, 2

k1, 1

foton datang
mec2

p2, E2
Elektron terpental

Gambar 8.8 Hamburan Compton


Pada gambar 8.8 tersebut terlihat sebuah foton dengan tenaga 1 bermomentumkan
k1 menabrak elektron diam bermassa me. Foton tersebut terhambur dan elektronnya
terpental. Foton yang terhambur ditangkap dengan detektor D dan diukur panjang
gelombangnya (juga frekuensinya). Secara klasik, panjang gelombang foton setelah
terhambur sama dengan panjang gelombang foton sebelum terhambur. Sedang menurut
teori kuantum, foton terhambur mempunyai panjang gelombang yang berbeda dengan foton
sebelum hamburan tergantung dari sudut hamburannya. Pada gambar 8.10 itu, foton
terhambur dan elektron terpental masing-masing memiliki (momentum, tenaga) berturut-
turut (k2,2) dan (p2,E2). Secara kuantum berlaku 1 = h1, k1 = h/1, 2 = h2, dan k2 = h/2.
Setelah melalui perhitungan yang tidak begitu panjang, diperoleh bahwa
2  1 
h
1  cos  (8.9)
me c
dengan θ adalah sudut hambur foton. Tetapan
h
c =
me c
disebut panjang gelombang Compton. Gambar 8.9 memperlihatkan hasil eksperimen yang
dilakukan oleh Compton untuk empat sudut  yang berbeda, yakni 0, 45, 90 dan 135.
Terlihat adanya perbedaan panjang gelombang sebelum dan sesudah hamburan. Artinya,

2 − 1 = , (8.10)

dengan  tidak sama dengan nol. Hasil ini tentu sebuah pukulan lagi bagi teori klasik.

Gambar 6.11 Hasil eksperimen hamburan Compton


4. Eksperimen Frank-Hertz

Teori klasik tak mengenal konsep


kuantisasi suatu besaran. Teori klasik
beranggapan bahwa semua besaran fisis
bersifat kontinyu. Model atom yang
dikemukakan oleh Bohr menentang
anggapan ini dengan memasukkan kuantisasi
momentum sudut. Akibatnya diperoleh aras-
aras tenaga elektron pada atom. Adanya
aras-aras tenaga tersebut dibuktikan dengan
eksperimen Franck-Hertz. Susunan alatnya
sebagaimana disajikan oleh gambar 8.12.
Suatu filamen digunakan untuk
memanasi katoda K sehingga terjadi
pancaran termionik, yakni pancaran
Gambar 6.10 elektron-elektron akibat adanya pemanasan.
Elektron yang terlepas tersebut bergerak ke
arah kisi yang diberi tegangan positif lebih
tinggi dari pada anoda. Pada rangkaian Gambar 8.10 itu tampak bahwa kisi selalu memiliki
potensial 0,5 volt lebih tinggai dibandingkan anoda. Elektron-elektron itu selanjutnya
menuju ke anoda. Bila elektron-elektron tersebut mampu mencapai anoda, maka di
ampermeter akan terbaca adanya arus i yang mengalir. Sepanjang perjalanan dari katoda
menuju ke kisi elektron-elektron tersebut bertabrakkan dengan atom-atom gas yang telah
dimasukkan ke dalam tabung itu. Bila tenaga elektron diserap oleh atom-atom gas maka
elektron itu bisa jadi tidak akan mampu mengatasi beda potensial antara kisi dan anoda.
Akibatnya, grafik arus terhadap tegangan V (yakni beda potensial antara katoda dan kisi)
diperlihatkan oleh gambar 8.13. Terlihat adanya penurunan arus secara periodik.
Dalam eksperimen ini, tenaga elektron Te terkait dengan beda potensial V melalui Te
= eV. Arus i diukur untuk berbagai nilai V.
Terlihat dari hasil eksperimen bahwa pada
potensial V tertentu saja terjadi penurunan
kuat arus i. Artinya, hanya untuk tenaga
elektron tertentu saja terjadinya penurunan
kuat arus. Karena penurunan kuat arus
berarti terjadinya penyerapan tenaga
elektron, maka hal ini menandakan bahwa
penyerapan tenaga elektron-lektron oleh
atom-atom gas bersifat diskret. Mengapa
harus begitu? Teka-teki ini segera terjawab
bila diingat kembali model atom Bohr-
Rutherford. Sebuah elektron dalam suatu
atom dapat menyerap sejumlah tenaga
untuk pindah ke aras tenaga di atasnya.
Karena aras-aras tenaga yang ada tidak
Gambar 6.11 Hasil eksperimen Franck-Hertz
sembarangan, atau diskret, maka sejumlah tenaga yang dibutuhkan oleh elektron untuk
berpindah araspun tidak sembarangan. Tidak boleh lebih tidak boleh kurang.

5. Hipotesa de Broglie
Telah terbukti bahwa teori undulasi (yang mengatakan bahwa cahaya adalah
gelombang) telah secara sempurna dapat menjelaskan gejala difraksi, interferensi, refleksi,
polarisasi, dispersi dan refraksi cahaya. Sementara bagi teori kospuskuler gejala-gejala
alamiah seperti itu merupakan ganjalan yang sangat berarti, sulit bahkan gagal untuk
dijelaskan. Tetapi, sebaliknya, untuk efek fotolistrik dan efek Compton teori korpuskuler
tampak cukup memuaskan dalam memberikan penjelasannya. Kemudian, pertanyaannya
adalah yang manakah dari keduanya yang benar? Betulkah cahaya merupakan gelombang
elektromagnetik? Betulkah cahaya merupakan partikel-partikel? Sintesa (gabungan) dua
pandangan ini memunculkan padangan baru yang dikenal sebagai paham dualisme
cahaya. Paham ini mengatakan bahwa cahaya memiliki dua aspek : aspek gelombang dan
aspek partikel. Aspek gelombang terlihat pada fenomena difraksi, interferensi, refleksi,
polarisasi, dispersi dan refraksi. Aspek partikel terlihat pada efek fotolistrik dan efek
Compton.
Pada tahun 1924, L. de Broglie mencoba melihat kemungkinan berlakunya paham
dualisme untuk partikel-partikel semisal elektron, proton, netron dan lain sebagainya.
Dalam disertasi doktornya, dia mengemukakan hipotesa tersebut. Bila suatu partikel
mempunyai momentum p, maka partikel tersebut terkait dengan gelombang partikel yang
memiliki panjang gelombang
h
= . (8.11)
p
Kemudian karena partikel dihipotesakan memiliki aspek gelombang, maka logis bila
kemudian ditanyakan kemungkinan partikel-partikel juga mengalami gejala-gejala difraksi,
interferensi, refleksi, polarisasi, dispersi, dan refraksi? Jawabnya, “ya, betul sekali bahwa
partikel-partikel itu mengalami gejala-gejala itu“. Hal ini dibuktikan, misalnya, dengan
eksperimen difraksi elektron yang dilakukan oleh Dvisson dan Germer, difraksi neutron
dan interferensi elektron.

6. Mekanika Kuantum
Tahap lanjutan pemikiran de Broglie adalah lahirnya mekanika gelombang yang
“dibidani“ oleh Erwin Schrödinger dan mekanika matriks yang dibidani oleh Werner
Heisenberg. Keduanya ternyata ekivalen satu dengan yang lain. Artinya, kedua teori itu
selalu memberikan ramalan dan penjelasan yang sama kalau diterapkan untuk menjelaskan
permasalahan yang sama. Tetapi, secara matematispun dapat dibuktikan bahwa mekanika
gelombang dapat diperoleh dari mekanika matriks dan sebaliknya, mekanika matriks dapat
diturunkan dari mekanika gelombang. Kedua mekanika itu kemudian dirangkum dalam
bentuk yang lebih kompak sebagai mekanika kuantum.
Dalam mekanika kuantum peluang memegang peran yang sangat penting. Peluang
mengatur segalanya. Orang tidak dapat menentukan secara pasti di mana posisi sebuah
partikel pada suatu waktu, kecuali ia melakukan pengukuran posisi partikel itu. Untuk dua
buah partikel identik yang berada pada keadaan yang sama, belum tentu pengukuran posisi
kedua partikel itu memberikan hasil ukur posisi yang sama. Jadi, situasinya seperti ketika
anda main dadu. Anda sama sekali tidak mengetahui angka berapa pada dadu itu yang akan
keluar ketika dilempar. Oleh karena itu, dalam mekanika kuatum tidak dikenal adanya
lintasan partikel dalam ruang. Yang diketahui adalah bahwa nilai peluang partikel itu
melewati suatu titik dalam ruang pada suatu saat. Demikian pula halnya dengan
momentum. Momentum sebuah partikel tidak dapat diketahui kecuali diukur. Tetapi hasil
ukur yang akan diperoleh tidak dapat dipastikan. Untuk dua partikel identik yang berada
pada keadaan yang sama, belum tentu pengukuran momentum kedua partikel itu
memberikan hasil ukur yang sama. Hal ini bukan saja berlaku untuk momentum dan posisi
tetapi berlaku pula untuk besaran-besaran fisika yang lain.
Sifat “aneh“ mekanika kuantum yang lain adalah bahwa nilai yang akan keluar
sebagai hasil ukur ketika orang mengukur suatu besaran fisis tidak sembarang nilai. Hal ini
sama saja bila anda melempar dadu, yang akan muncul hanyalah salah satu dari enam
macam angka yang tertera pada setiap sisinya. Ketika anda melempar dadu, tak sekalipun
anda akan mendapatkan angka 10. Hal ini, dalam fisika atom, tercermin bila anda melihat
kembali aras-aras tenaga atom hidrogen. Tak akan pernah sebuah elektron dalam atom
hidrogen akan memberikan hasil ukur, misalnya −10 eV atau − 6eV, bila tenaganya diukur.
Hasil yang akan didapatkan di kala orang melakukan pengukuran tenaga atom hidrogen
adalah nilai-nilai yang tertera pada aras-aras tenaganya (lihat gambar 5.12 atau 5.13).
Secara umum, untuk setiap besaran fisika terdapat sekumpulan nilai-nilai yang disebut
himpunan sampel bagi besaran fisika itu. Nilai-nilai yang termuat dalam himpunan sampel
itulah yang dimungkinkan akan keluar sebagai hasil ukur bila besaran fisika itu diukur.
Nilai-nilai yang tidak termuat dalam himpunan sampel itu tidak mungkin akan keluar
sebagai hasil ukur.

Contoh: Ditinjau sebuah partikel bermassa m yang dimasukkan ke dalam kubus yang
sangat kedap (sehingga tak dapat ditembus oleh partikel itu). Andaikan kubus itu berukuran
L×L×L. Energi partikel tersebut memiliki himpunan sampel yang anggota-anggotanya
ditentukan oleh persamaan

h2
En = n2 2
= n2E1,
8mL

dengan n adalah bilangan asli dan h tetapan Planck. Jika E1 = h2/8mL2, maka himpunan
sampel bagi energi partikel dalam kubus itu adalah

{ E1, 4E1, 9E1, 16E1, 25E1, 36E1, ... }.

Jika massa partikel itu 9,12 × 10−31 kg dan rusuk kubus itu 5 mm, maka

(a) sebutkanlah nilai-nilai yang dimungkinkan akan keluar sebagai hasil ukur energi
bila energi partikel dalam kubus itu diukur!
(b) bila tenaga partikel itu diukur, mungkinkah akan didapatkan hasil ukur senilai 2,2 ×
10-31 J?
(c) bila tenaga pertikel itu diukur, mungkinkah akan didapatkan hasil ukur senilai 1,92
×10-31 J?

Jawab :
(a) Karena tetapan Planck senilai 6,63 × 10-34 J.dt, maka

(6,63  10 -34 J.dt.) 2


E1 = = 1,2 × 10-32 J.
(8)(9,12  10 kg)(5  10 m)
-31 -3 2

Dengan cara yang serupa didapatlah nilai-nilai tenaga yang lain. Jadi, nilai-nilai yang
mungkin akan keluar sebagai hasil ukur energi partikel dalam kubus adalah (1,2 ×10-32 J),
(4,8 ×10-32 J), (1,08 ×10-31 J), (1,92 ×10-31 J, 3,0 ×10-31 J), (4,32 × 10-31 J), dst.

(b) Tidak akan didapatkan hasil ukur senilai 2,2 × 10-31J karena nilai ini bukan anggota
himpunan sampel.

(c) Nilai ini dimungkinkan akan keluar sebagai hasil ukur karena nilai ini salah satu
anggota himpunan sampel untuk energi partikel.

Kalau anda melempar dadu secara fair (adil), maka masing-masing angka pada dadu
memiliki peluang yang sama untuk keluar sebagai hasil pelemparan. Bila salah satu muka
dadu diberi pemberat, maka pelemparan dadu dikatakan tidak fair dan peluang masing-
masing angka pada dadu tidak sama. Bagaimana dengan pengukuran besaran fisika secara
kuantum? Pengukuran suatu besaran fisika pada umumnya merupakan “pelemparan dadu“
yang tak fair. Semua ini ditentukan oleh yang disebut keadaan partikel. Jadi, berapa
peluang masing-masing anggota himpunan sampel sebuah besaran fisika untuk keluar
sebagai hasil ukur sangat tergantung pada keadaan partikel.
Sifat “aneh“ dalam mekanika kuantum selanjutnya adalah apa yang dikenal sebagai
ketakpastian Heisenberg. Dalam mekanika Newton, dimungkinkan untuk mendapatkan
hasil pengukuran momentum dan posisi kedua-duanya dengan kepastian, yakni ralatnya
nol. Jadi, dalam mekanika Newton dapat dikatakan bahwa orang selalu dapat
mengusahakan secara bersamaan diperolehnya hasil pengukuran momentum dan posisi
suatu partikel secara pasti. Seperti telah dijelaskan pada buku jilid satu bab 1, bahwa
pengukuran suatu besaran fisika dikatakan pasti bila ralat pengukurannya nol. Jadi, ralat
pengukuran posisi (x) tidak ada hubungannya dengan ralat pengukuran momentum (p).
Tetapi, sesuatunya tampak lain dalam mekanika kuantum. Pengukuran dua besaran seperti
posisi dan momentum harus tunduk pada kaitan ketakpastian Heisenberg, yaitu

xp ≈ h. (8.12)
Persamaan (8.12) dapat ditulis menjadi

x ≈ h/p.

Terlihat bahwa x menuju ke tak terhingga (yakni pengukuran posisi menjadi sangat tidak
teliti) manakala p menuju nol (yakni jika pengukuran momentum diusahakan seteliti
mungkin). Bila x menuju ke tak terhingga, maka kita tidak tahu lagi di mana posisi
partikel itu. Sebaliknya dari persamaan (8.12) kita dapatkan

p ≈ h/x

yang berarti bahwa p menuju ke tak terhingga (yakni pengukuran momentum menjadi
sangat tidak teliti) bila x diusahakan sekecil mungkin (yakni, pengukuran posisi
diusahakan seteliti mungkin). Ketakpastian Heisenberg bukan saja berlaku bagi momentum
dan posisi, tetapi berlaku pula untuk pasangan-pasangan besaran fisika yang lain, semisal
sudut rotasi dan momnetum sudut.
Pasangan energi dan waktu juga memiliki perilaku seperti di atas. Relasi
ketidakpastian Heisenberg untuk pasangan ini adalah

Et ≈ h. (8.13)

Contoh: Hitunglah ralat minimum pengukuran momentum sebuah atom Helium 4He yang
dikukung dalam wilayah sepanjang 0,40 nanometer!

Jawab : Yang kita tahu adalah bahwa atom helium itu berada di dalam selang 0,40 nm.
Oleh karena itu, ralat pengukuran posisi maksimum adalah x = 0,40 nm. Dan ralat
minimum pengukuran momentum adalah

p ≈ h/x = 1,66 × 10−24 kg.m/dt.

Daftar Pustaka
1. Haken, H., Wolf, H.C. 1984. Atomic and Quantum Physics. Springer-Verlag. Berlin.
2. Hewitt, P.G., 2002, Conceptual Physics, ninth edition, Addison Wesley, New York.
3. Krane, K.S., 1983, Modern Physics, John Wiley & Sons, New York.
4. Lang, K.R., 1995, Sun, Earth, and Sky, Springer-Verlag, Berlin
5. Resnick, R. 1972. Basics Concept of Relativitynand Early Quantum Theory. John
Wiley & Son. New York.
6. Rosyid, M. F., 2005, Mekanika Kuantum, Laboratorium Fisika Atom dan Fisika Inti,
Jurusan Fisika FMIPA UGM, Yogyakarta.
7. Serway, R. A. dan Beichner, R.J., 2000, Phyisics for Scientists and Engineers with
Modern Physics, Saunders College Publishing, New York.
8. Sproull, R.L., Phillips, W.A. 1980. Modern Physics, Third Edition, John Wiley & Son.
New York.
9. Weidner, R.T., Sells, R.L. 1980. Elementary Modern Physics, Third Edition, Allyn and
Bacon, Inc. Boston.

You might also like