You are on page 1of 14

Referat

RINITIS ATROFI

Oleh :
Wahyu Wijayanti
NIM. 1608438194

Pembimbing :

dr. Yolazenia, M.Biomed, Sp. THT- KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2018
RINITIS ATROFI
I. DEFINISI
Rinitis atrofi merupakan bagian dari rinitis kronis yang ditandai dengan
atrofi progresif pada mukosa hidung dan tulang konka disertai pembentukan
sekret yang kental dan tebal yang cepat mengering lalu membentuk krusta,
menyebabkan sumbatan hidung, tidak bisa menghidu dan mengeluarkan bau
busuk. Rinitis atrofi sering juga disebut rinitis sika, rinitis kering atau ozaena.1

II. ANATOMI
Hidung terdiri dari hidung bagian luar dan rongga hidung. Hidung luar
berbentuk pyramid dengan bagian-bagian nya :
 Pangkal hidung (bridge)
 Dorsum nasi.
 Puncak hidung
 Ala nasi
 Kolumela
 Lubang hidung

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk
terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian
tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Lubang belakang disebut nares
posterior atau koana yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.2

1
Gambar 1. Anatomi hidung dan Rongga Hidung2
Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut rambut panjang yang disebut vibrise. Cavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yatiu dinding lateral, medial, inferior dan
superior. Dinding medial adalah septum nasi, septum nasi terdiri dari tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatine. Bagian tulang
rawan adalah kartilago septum tampak kolumela. Bagian depan dinding
lateral lebih licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-
konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letak nya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil dari konka
inferior ialah konka media, yang lebih kecil lagi adalah konka superior,
sedangkan yang paling kecil disebut konka superma ini biasanya rudimenter.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak, meatus terdiri dari superior,
inferior, media.2

2
III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi rinitis atrofi bervariasi di berbagai negara. Penyakit ini banyak
terdapat di negara berkembang dan negara tropis seperti India (Asia Selatan),
Afrika, dan Eropa timur. Sering ditemukan pada masyarakat dengan sosial
ekonomi rendah dan sanitasi lingkungan yang jelek.1 Rinitis atrofi biasanya
sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas
dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal). Rinitis
atrofi banyak menyerang wanita dari pada pria dengan perbandingan 3 : 1.3

IV. ETIOLOGI
Etiologi dari Rinitis atrofi belum diketahui secara pasti tapi banyak teori
mengenai etiologi rinitis atrofi yang dikemukakan oleh para ahli.
Rinitis atrofi diklasifikasikan menjadi 2 tipe:
1. Rinitis atrofi primer
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, ada beberapa teori yang
menjelaskan tentang penyebab rinitis atrofi:
a. Faktor herediter
Penyakit ini diketahui berhubungan dengan keluarga yang berdekatan.
b. Defisiensi nutrisi
Nutrisi yang buruk disebutkan sebagai faktor penting pada perkembangan
rinitis atrofi. Beberapa penulis menyebutkan pemyakit ini berhubungan
dengan defisiensi Fe, Defisiensi vitamin A dan Vitamin C juga
dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penyebab.
c. Infeksi
Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini dapat
menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain
golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain
Stafilokokus, Cocobacillus foetidus ozaena, Streptokokus, Pseudomonas
aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli.

3
d. Defisiensi phospolifid
Analisis biokimia dari aspirasi hidung pada kasus rinitis atrofi ditemukan
adanya penurunan phospolipid total yang signifikan dibandingkan pada
hidung normal.
e. Ketidakseimbangan hormonal
Defisiensi estrogen sebagai faktor penyebab rinitis atrofi. Insidensi
penyakit ini pada perempuan pubertas, gejala yang memberat pada saat
menstruasi dan kehamilan, dan berkurangnya gejala pada beberapa kasus
setelah pemberian estrogen.
f. Autoimun
Beberapa faktor seperti infeksi virus, malnutrisi, penurunan daya tahan
tubuh sebagai faktor pemicu destruksi proses autoimun dengan
melepaskan antigen mukosa hidung ke sirkulasi.1,3

2. Rinitis atrofi sekunder


Pada keadaan ini umumnya rinitis atrofi disebabkan oleh kelainan
yang telah ada sebelumnya seperti:
a. Infeksi hidung kronik seperti sinusitis kronis, tuberkulosis, sifilis, dan
lepra.
b. Kerusakan jaringan yang luas oleh karena operasi hidung dan trauma
serta efek samping dari radiasi. Radiasi pada hidung umumnya segera
merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mucus dan hamper
selalu menyebabkan rinitis atrofi.1,3

V. KLASIFIKASI
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis yang diklasifikasi oleh
dr. Spencer Watson (1875) sebagai berikut :
a. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan
mudah ditangani dengan irigasi.
b. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang
berbau.

4
c. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis dan
ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.1

Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas :


a. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang
didiagnosis perekslusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung
atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella
Ozenae.
b. Rinitis atrofi sekunder merupakan bentuk yang paling sering ditemukan
di negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus,
selanjutnya radiasi, trauma serta penyakit granuloma dan infeksi.1

VI. PATOGENESIS
Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel
mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan
hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan
debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama
sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada
pembuluh darah kecil, endarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab
terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi
itu sendiri).1,4
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I,
adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi
kronik yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen dan tipe II,
terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.1,4
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui
infiltrasi sel bulat di submukosa. Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi
positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang
yang aktif.Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan
pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran
nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun,

5
dimana terdeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein
A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi
hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan
pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik
terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir
dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia.
Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel,
membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk
pertumbuhan kuman.4

VII. GEJALA KLINIS


Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah :
- Obstruksi hidung (buntu)
- Anosmia
- Epistaksis pada pelepasan krusta
- Bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain
yang ada di sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi
dari mukosa olfaktoria.
- Sakit kepala
- Faringitis sikka
- Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk
ke orofaring.1,3
Tanda Rhinitis Atrofi:
- Foeter ex nasi
- Krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam
- Pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa
hidung
- Mukosa secara umum atrofi, dengan metaplasia epitel skuamosa. Volume
kavum nasi terlihat membesar, yang mungkin terjadi karena adanya
laserasi dinding lateral hidung.1,3

6
Di bawah ini merupakan contoh gambaran Rinitis atrofi (ozaena) dengan
endoskopi.

Gambar 2. Krusta pada rongga hidung yang mengalami rinitis atrofi.3

Rinitis atrofi secara klinik terbagi dalam tiga tingkat :


a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,
krusta sedikit.
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring,
terdapat anosmia yang jelas.3

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, gejala klinis berupa
pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapat perlekatan, penebalan,
serta krusta yang berwarna hijau – kuning. Selain dari anamnesis, diagnosis
rinitis atrofi dapat ditegakan dari pemeriksaan THT dan ditunjang dengan
pemeriksaan histopatologi berupa biopsi, radiologi berupa pemeriksaan foto
polos ataupun CT Scan dan pemeriksaan mikrobiologi atau uji resistensi
kuman.1,3
Pada gambaran foto polos menunjukan adanya pembengkokan dinding
hidung, hilangnya konka atau adanya penurunan kelenturan sinus maksilaris.

7
Beberapa penemuan yang didapat pada gambaran CT Scan dengan penderita
rinitis atrofi adalah:
 Adanya penebalan mukoperiosteal dari sinus paranasalis
 Hipoplasia sinus maksilaris
 Pembesaran kavum nasi dengan adanya erosi dan pembengkokan dinding
lateral pada hidung
 Resorpsi tulang dan atrofi mukosa di konka inferior dan media.5

Gambar 3. CT Scan potongan koronal pada penderita rinitis atrofi5

Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi berupa :


 Mukosa hidung berubah menjadi lebih tipis
 Silia hidung meghilang
 Epitel respiratori hidung yang awalnya berupa epitel torak bersilia
menjadi epitel gepeng berlapis
 Kelenjar hidung mengalamai degenerasi menjadi atrofi atau berkurang
jumlah nya. Dengan terjadinya atrofi kelenjar mukosa, sekresi berubah
menjadi berkrusta dan mukopurulen.
 Fibrosis pembuluh darah.3

IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis rinitis
atrofi: 6-9
 Kultur dan uji sensitifitas sekret hidung.
 Test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.

8
 Tes serologi yang lain :
− Protein Serum.
− Pemeriksaan Fe serum
− Pemeriksaan darah rutin
− ANA dan anti-DNA antibodi.
 Radiologi
Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada penyakit
primer maupun sekunder, tapi tidak ada tanda yang dapat membedakan di
antara keduanya. Perubahan kavum hidung bisa ditemukan dengan foto
sederhana atau CT scan. Foto sederhana dapat menunjukkan pembengkokan
dinding lateral hidung, kehilangan atau penipisan konka atau hipoplastik
sinus maksilaris.
Pada CT scan dapat ditemukan:
• Penebalan mukoperiosteum sinus paranasal
• Kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk meresobsi
bula etmoid dan prosesus unsinatus.
• Hipoplasia sinus maksilaris
• Pelebaran kavum hidung dengan erosi dan pembengkokan dinding lateral
hidung .
• Resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.

X. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada rinitis atrofi ditujukan untuk mengatasi etiologi dan
menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan bersifat konservatif
berupa pemberian antibiotik spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi
kuman dengan dosis adekuat, obat cuci hidung, simptomatik dan jika tidak
berhasil dapat dilakukan pembedahan. Lama pengobatan bervariasi
tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan.1

Konservatif
 Antibiotik Spektrum luas
Penelitian terakhir merujuk pengobatan infeksi akut adalah dengan
menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi.

9
Meskipun penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari
obat akan muncul setelah kurun waktu 2 tahun pemakaian.
 Irigasi hidung dengan menggunakan larutan berikut :
1. Betadin solution 1 sendok makan (15cc) dalam 100 cc air hangat
2. Campuran : NaCl, NH4Cl, NaHCO3, Aqua ad 300 cc dengan
perbandingan 1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air
hangat
3. Larutan garam dapur ½ sendok teh dicampur segelas air hangat
4. Campuran : Na bikarbonat 28,4 g, Na diborat 28,4 g, NaCl 56,7 g
dicampur 280 ml air hangat
 Vitamin A 3x50.000 unit selama 2 minggu
 Preparat Fe selama 2 minggu.1,9

Pembedahan
Pembedahan dilakukan jika penatalaksanaan konservatif tidak ada
perbaikan, teknik operasi yang dilakukan antara lain penutupan lubang
hidung dan penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir
osteoperiosteal. Tindakan ini diharapkan akan mengurangi turbulensi udara
dan pengeringan sekret, inflamasi mukosa berkurang, penutupan rongga
hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana selama 2 tahun.
Untuk menutup koana digunakan flap palatum.1
Pada kasus Rinitis atrofi, akhir-akhir ini dilakukan bedah sinus
endoskopik fungsional (BSEF). Dengan dilakukan pengangkatan sekat-sekat
tulang yang mengalami osteomilitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi
ventilasi dan drainase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi
mukosa.1

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi dari rinitis atrofi dapat berupa : perforasi septum dan
hidung pelana, faringitis atrofi, serta miasis nasi.1

10
XII. PROGNOSIS
Rinitis atrofi tidak dapat sembuh secara penuh, namun
penatalaksanaan dengan operasi dapat membantu perbaikan mukosa dan
keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa
kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan yang rutin.1,10

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardani RS, Mangunkusumo E. Infeksi Hidung: Rinitis Atrofi. Dalam :


Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restusti RD, editor. Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher (Edisi
keenam). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. h. 140-41.

2. Hilger PA.Hidung: Anatomi dan Fisiologi. Dalam: Adams GL, Boeis LR,
Higler PA, editor. Buku ajar penyakit THT (Edisi keenam). Jakarta:
EGC;1997.h.173-200

3. Thiagarajan, Balasubramanian. Athropic Rhinitis. A Literature Review.


WebmedCentral: ENT Scholar Review articles. 2012;3(4):WMC003261.

4. Al-Fatih M. Rinitis Atrofi [homepage on the internet] No date [cited 18


April 2018]. Available from: http://hennykartika.wordpress.com

5. Hagras MAE, Gamae AM, el-sherief SG. Radiological and endoscopic


study of the maxillary sinus in primary atrophic rhinitis. J Laryngol
Otol.1992. 702-3

6. Yucel A, Aktepe O, Aktepe F. Derekoy F. Atrophic Rinitis : A Case


Report. Turk J Med Sci. 2003. p405-403

7. Groves J, Gray RF, Downton D, Blau JN. A Synopsis of Otolaryngology.


4th edition. Bristol: Jhon Wright, 1985. 193-194.

8. Tanja H. Rhinitis sicca, dry nose ang anthropic rhinitis: a review of the
literature. Eur Arch Otorhinolaryngol, July 25, 2010. 4 (2): 34-9.

9. Han-Sen C. The ozaena problem. Clinical analysis of atrophic rhinitis in


100 cases. Acta Otolaryngol.1982;93(5-6):461-4.

12
10. Naumann HH. Head and Neck Surgery. Indication, Technique, Pitfalls.
New York: George Thieme Publisher; 2004: 1 (2); 349-51, 381-2.

13

You might also like