You are on page 1of 28

LAPORAN KASUS

BRONKOPNEUMONIA

Oleh :
dr. Fera Novianti, S.Ked

Pembimbing :
Dr.I Gede Doddy Kurnia Indrawan , Sp.A (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP


RSUD WANGAYA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya
maka laporan kasus yang berjudul “Bronkopeumonia” ini dapat terselesaikan. Pada
kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian laporan ini. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu
syarat mengikuti Program Internship di wahana RSUD Wangaya Denpasar. Ucapan
terimakasih kami tujukan kepada:
1. Dr.I Gede Doddy Kurnia Indrawan , Sp.A (K) sebagai pembimbing dan evaluator laporan
ini
2. Rekan – rekan sejawat yang bertugas di RSUD Wangaya
3. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu saya
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyusunan selanjutnya dan
semoga bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, November 2017

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneuomonia masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia
dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih
kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia (Afrika dan Asia
Tenggara). Di Indonesia sendiri terjadi kematian bayi sebesar 27,6% dan kematian balita
sebesar 22,8% karena pneumonia.

Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas


pneumonia pada anak balita di negara berkembang, diantaranya: pneumoni yang terjadi
pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak
mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens
kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara
(polusi industri atau asap rokok).

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru, yang sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh karena hal lain
(aspirasi). Pneuomonia oleh karena bakteri biasanya awitannya cepat, batuk produktif,
pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.
Bakteri yang paling sering sebagai penyebab pneumonia di negara berkembang adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus.

Berdasarkan tempat infeksi, dikenal 2 bentuk pneumoniae, yaitu: pneumonia


masyarakat (community acquaired pneumonia) – infeksi yang terjadi di masyarakat,
pneumonia RS/nosokomial (hospital acquaired pneumonia) – infeksi yang terjadi di RS.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan pada
paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat
yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal. 1
Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan
inflamasi, namun sangat sulit untuk merumuskan satu definisi tunggal yang universal.
Pneumonia adalah sindrom klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda
klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah satu definisi klinis klasik menyatakan
pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak napas,
demam, ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada foto rontgen toraks. 2 Dikenal
istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya lebih kurang sama. Banyak
yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah inflamasi paru karena proses
infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru non-infeksi. Namun hal inipun
tidak sepenuhnya ditaati oleh para ahli.2

2.2 FISIOLOGI
2.2.1 Anatomi

Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama neonatus
dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia tidak
simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah cabang
yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi fisiologi yang
berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara,
sehingga menyebabkan distribusi udara atau partikel yang terhisap tidak merata. Cabang
dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian
disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis membuka saat pertukaran udara dalam
paru-paru.

Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel
kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat
pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas
ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting dalam mekanisme
pertahanan paru. Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam
retikulum endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada
beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus
dan peningkatan produksi sputum.

Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus distal sampai
terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli.

Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat dibanding pulmo
sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut incissura interlobaris
dalam beberapa Lobus Pulmonis. Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobi, yaitu:

1. Lobus Superior

Dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior

2. Lobus Medius

Dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis

3. Lobus Inferior

Dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal, posterobasal

Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:

1. Lobus Superior

Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior, lingularis


inferior.

2. Lobus Inferior

Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan posterobasal

2.2.2 Mekanisme Pertahanan Paru


Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun bersebelahan
dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring dan terpajan oleh
mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup. Sterilitas saluran napas
bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan pembersihan yang efektif. 3

1. PEMBERSIHAN UDARA

Temperatur dan kelembapan udara bervariasi, dan alveolus harus terlindung dari
udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi hidung, orofaring dan nasofaring,
mempunyai suplai darah yang besar dan memiliki area permukaan yang luas. Udara
yang terhirup melewati area-area tersebut dan diteruskan ke cabang trakeobonkial,
dipanaskan pada temperatur tubuh dan dilembapkan. 3

2. PEMBAU

Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung dibandingkan dengan di


trakhea dan alveoli, sehingga seseorang dapat mencium untuk mendeteksi gas yang
secara potensial berbahaya, atau bahan-bahan berbahaya di udara yang dihirup.
Inspirasi yang cepat tersebut membawa udara menempel pada sensor pembau tanpa
membawanya ke paru-paru. 3

3. MENYARING DAN MEMBUANG PARTIKEL YANG TERHIRUP

Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya difiltrasi oleh bulu
hidung. Gerakannya menyebabkan partikel berukuran besar dapat dikeluarkan.
Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil terjadi akibat gravitasi di jalan nafas yang
lebih kecil. Partikel-partikel tersebut terperangkap dalam mukus yang ada di saluran
pernafasan atas, trakhea, bronkus dan bronkhiolus. Partikel kecil dan udara iritan
mencapai duktus alveolaris dan alveoli. Partikel kecil lainnya disuspensikan sebagai
aerosol dan 80% nya dikeluarkan. 3

Pembuangan partikel dilalui dengan beberapa mekanisme :

- Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis

Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakhea, laring, dan tempat lain
di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi untuk mencegah penetrasi
lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan juga menghasilkan batuk atau bersin.
Bersin terjadi akibat stimulasi reseptor di hidung atau nasofaring, dan batuk
terjadi sebagai akibat stimulasi reseptor di trakhea. Inspirasi yang dalam demi
mencapai kapasitas paru total, diikuti oleh ekspirasi melawan glotis yang terutup.
Tekanan intrapleura dapat meningkat lebih dari 100mmHg. Selama fase refleks
tersebut glotis tiba-tiba membuka dan tekanan di jalan nafas menurun cepat,
menghasilkan penekanan jalan nafas dan ekspirasi yang besar, dengan aliran udara
yang cdepat melewati jalan nafas yang sempit, sehingga iritan ikut terbawa
bersama-sama mukus keluar dari traktus respiratorius. Saat bersin, ekspirasi
melewati hidung; saat batuk ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut juga
membantu mengeluarkan mukus dari jalan nafas. 3

- Sekresi trakheobronkial dan transport mukosilier

Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia dimana terdapat mukus
yang dihasilkan oleh sel goblet. “Eskalator mukosilier” adalah mekanisme yang
penting dalam menghilangkan dalam menghilangkan partikel yang terinhalasi.
Partikel terperangkap dalam mukus kemudian dibawa ke atas kefaring.
Pergerakan tersebut dapat meningkat cepat selama batuk. Mukus yang mencapai
faring dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut atau hidung. Karenanya, pasien
yang tidak bisa mengeluarkan sekret trakheobronkial (misal tidak dapat batuk)
terus menghasilkaan sekret yang apabila tidak dikeluarkan dapat menyebabkan
sumbatan jalan nafas. 3

4. MEKANISME PERTAHANAN DARI UNIT RESPIRASI TERMINAL

- makrofag alveolar

- pertahanan imun

Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit-unit yang
dibentuk melalui percabangan progresif jalan napas. Kurang lebih 80% sel yang
membatasi jalan napas di bagian tengah merupakan epitel bersilia, bertingkat,
kolumner dengan jumlah yang semakin berkurang pada jalan napas bagian perifer.
Masing-masing sel bersilia memiliki kira-kira 200 silia yang bergerak dalam
gelombang yang terkoordinasi kira-kira 1000 kali per menit, dengan gerakan ke
depan yang cepat dan kembali dalam gerakan yang lebih lambat. Gerakan silia
juga terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga setiap gelombang
disebarkan ke arah orofaring. 3

Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa permukaan hidung


sebelah distal biasanya akan dibersihkan pada saat bersin, sementara partikel yang
terkumpul pada permukaan bersilia yang lebih proksimal akan disapukan ke
sebelah posterior ke lapisan mukus nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau
dibatukkan. Penutupan glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran
napas bagian bawah. Partikel infeksius yang melewati pertahanan di dalam
saluran napas dan diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel
fagosit dan faktor humoral. Makrofag alveolar merupakan fagosit utama di dalam
saluran napas bagian bawah. Makrofag alveolar akan menyiapkan dan menyajikan
antigen mikrobial pada limfosit dan mensekresikan sitokin yang mengubah proses
imun dalam limfosit T dan B. 3

2.3 EPIDEMIOLOGI

Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan


kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek
umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau
di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia nosokomial/PN).4
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza.
Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun
dan merupakan penyebab kematian akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.
Angka kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian
akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara invasif pun
penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan
memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia
dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal
pneumonia diberikan antibiotik secara empiris.1
2.4 KLASIFIKASI

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis
dan memberikan terapi yang lebih relevan. 5
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis
Pneumonia intersitialis
b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired pneumonia)
Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten

Klasifikasi berdasarkan Lingkungan dan Pejamu

Tipe Klinis Epidemiologi

Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemis; orang tua atau orang muda

Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS

Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakit paru kronik

Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua

Pneumonia pada gangguan imun Pasien transplantasi, onkologi, AIDS


2.5 ETIOLOGI

Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan


tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab pneumonia
pada anak bervariasi tergantung : 5
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)

Usia pasien mrupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak,
terutama dalam sprectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan.

Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari
data di negara maju : 5,6

Usia Etiologi tersering Etiologi terjarang

Lahir – 20 hari Bakteri : E.colli, Bakteri : Bkateri anaerob,


Streptococcus grup B, Listeria Streptococcus grup D,
monocytogenes Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumoniae

Virus : CMV, HMV

3 minggu – 3 bulan Bakteri : Clamydia Bakteri : Bordetella pertusis,


trachomatis, Streptococcus Haemophilus influenza tipe B,
pneumoniae Moraxella catharalis,
Staphylococcus aureus
Virus : Adenovirus, Influenza,
Parainfluenza 1, 2, 3 Virus : CMV

4 bulan – 5 tahun Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus


pneumoniae, Mycoplasma influenza tipe B, Moraxella
pneumoniae, Streptococcus catharalis, Staphylococcus
pneumoniae aureus, Neisseria meningitidis

Virus : Adenovirus, Rinovirus, Virus : Varicela zoster


Influenza, Parainfluenza

5 tahun - remaja Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus


pneumoniae, Mycoplasma influenza, Legionella sp.
pneumoniae

2.6 PATOGENESIS

Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa atau
seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang umum
adalah pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus.
Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami
peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel
darah putih keluar dari darah masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang
terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi
disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus. 3
Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai parenkim
paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme
pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme
pertahanan imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah
makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin
lain. 5
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena
mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema,
dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah.
Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
kelabu. Berikutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, dimana sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium
resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. 5
Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang jalan napas atas
yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan obstruksi jalan napas
akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler. Diameter jalan napas yang kecil
pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema
intersitial, dan ventilation-perfusition mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering
disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat
meningkatkan risiko terhadap infeksi bekteri sekunder dengan mengganggu mekanisme
pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial.
5

Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi
tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae menempel pada epitel
respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan memicu
respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas,
sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan onstruksi jalan napas, dengan penyebaran
infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S.
pneumoniae menyebabkan edema lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan
penyebarannya ke bagian paru lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai
bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru. 7,8
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi yang lebih
difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi terdiri atas
nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang compang-camping
dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat
meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang
disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan cepat menjadi jelek yang disertai
dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal.
Stafilokokus menyebabkan penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau
lebih mencolok pada sati sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan
kaverna tidak teratur. 1

2.7 MANIFESTASI KLINIK


Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman penyebab,
usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya
berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada
neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi
(nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi
demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami
gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut.
Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah gejala
awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan
timbul apnu. Otot bantu napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk
umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. 2
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit.
Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tata laksana pneumonia.
Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO
telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan
batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkan sebagai
pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan pemberian antibiotik.
Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai diagnostik karena umumnya kelainan
patologinya menyebar; suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. 2
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah halus
yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi
dan balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan
sulit untuk diidentifikasi. 2
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral.
Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat,
batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada
pemeriksaan radiologis. 2
Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.

2.7.1 Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil

Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang


berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan
amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari
RS. infeksi juga dapat terjadi karena kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran
klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan
apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak,
mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam. Pada bayi
BBLR sering terjadi hipotermi. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan
sepsis dan meningitis. 6

2.7.2 Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar

Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita dan anak
yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan
kadang-kadang keluhan gastrointestinal (muntah dan diare). Secara klinis gejala
respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), napas cuping
hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersama konjungtivitis,
otitis media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya
ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Bila terjadi efusi pleura atau empiema,
gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila
terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan
semakin bertambah, tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan berubah
menjadi nyeri tumpul. 6
Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang
menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat menyebar ke kuadran kanan bawah
dan menyerupai appendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung
yang disebabkan oleh aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba bila tertekan
oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif
sebagai akibat komplikasi pneumonia. 6

2.7.3 Pneumonia atipik

Mikroorganisme penyebab adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia spp,


Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum. Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab potensial infeksi respiratori dan
pneumonia pada anak, terutama pada anak usia sekolah dan remaja. Chlamydia
trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi akut respiratori pada bayi
melalui transmisi vertikal (proses kersalinan) dan merupakan etiologi infeksi
perinatal yang penting. Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum
jarang dilaporkan menyebabkan ifeksi pada anak. 6

2.7.3.1 Infeksi oleh Mycoplasma pneuoniae

Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat (di asrama, keluarga
dengan jumlah anggota keluarga yang sangat banyak). Masa inkubasi lebih
kurang 3 minggu. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala
menyerupai influenza (influenza like flu syndrome) seperti demam (jarang
lebih dari 380C), malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal dan batuk.
Kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe
necrotizing pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi
pleura pernah dilaporkan. Kadang dapat berlanjut menjadi bronkitis,
bronkiolitis, dan pneumonia. 6
Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan penyakit, awalnya tidak produktif tetapi
kemudian menjadi produktif. Sputum mungkin berbercak darah dan batuk
dapat menetap hingga berminggu-minggu. Mengi dapat ditemukan pada 30-
40% kasus pneumonia mikoplasma dan lebih sering ditemukan pada anak
yang lebih besar. Kultur bakteri memerlukan waktu 2 minggu dan uji serolig
hanya bermanfaat bila telah terjadi pembentukan antibodi (ketika penyakit
telah sangat berkembang). Gambaran foto rontgennya sangat bervariasi,
meliputi gambaran infiltrat intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak
konsolidasi, pembesaran kelenjar hilus, dan kadang-kadang disertai efusi
pleura. 6

2.7.3.2 Infeksi oleh Chlamydia penumoniae

Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia,
sakit kepala, malaise, pilek, dan demam yang tidak tinggi. Pada pemeriksaan
auskultasi dada tidak ditemukan kelainan. Gejala respiratori umunya tidak
mencolok. Leukosit darah tepi biasanya normal. Gambaran foto rontgen
toraks menunjukan infiltrat difus atau gambaran peribronkial nonfokal yang
jauh lebih berat daripada gejala klinis. Pneumonia Klamidia lebih sering
ditemukan di daerah tropis, bersifat endemik, dan epidemik dengan interval
3-4 tahun. Infeksi Klamidia juga dapat berperan dalam patogenesis asma. 6

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Darah Perifer Lengkap


Pada pneumonia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3 ). Dengan prdominan PMN.
Leukopenia ( < 5000/mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi
Chlamydia kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel
PMN pada cairan eksudat berkisar 300-100.000/mm 3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa
relatigf lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan
dan LED yang meningkat. Secara umum hasil peneriksaan darah perifer lengkap tidak
dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti. 6

b) C- Reaktif Protein ( CRP )


CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP
sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak. 6
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis
atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus atau infeksi
superfisialis daripada profunda. 6

c) Uji Serologis
Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak
terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik
seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG. 6

d) Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau aspirasi paru.
Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau
aspirasi paru.6
Kultur darah jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia. 6

e) Pemeriksaan rontgen Thoraks


Secara umum gambaran foto thoraks terdiri dari :
 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi. 6
 Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia lobaris ), atau terlihat sebagai lei
tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas,
menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia. 6
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke daerah perifer paru, disertai
dengan peningkatan corakan peribronkial. 6

Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga
konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian, ditemukan bahwa lesi
pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila
ditemukan di paru kiri dan terbanyak di lobus bawah, hal itu merupakan prediktor
perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar. 6

2.9 DIAGNOSIS

Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau serologis


merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri penyebab tidak
selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang memadai. Prediktor paling kuat
adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai
berikut : takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara nafas melemah
serta didukung oleh gambaran radiologis. 6

Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam
upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana
pneumonia yang sederhana. 6

Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut. 6,8


 Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun

o Pneumonia sangat berat

 Tidak dapat minum/makan

 Kejang

 Letargis

 Malnutrisi

o Pneumonia berat

 Bila ada sesak nafas, ada retraksi

 Harus dirawat dan diberikan antibiotik

o Pneumonia ringan

 Bila tidak ada sesak nafas

 Ada nafas cepat dengan laju nafas

 > 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun

 > 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun

 Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral

 Bayi berusia dibawah 2 bulan

o Pneumonia sangat berat

 Tidak mau menetek/minum

 Kejang

 Letargis
 Demam atau hipotermi

 Bradipnea atau pernapasan ireguler

o Pneumonia berat

 Bila ada nafas cepat ( > 60 x / menit ) atau sesak nafas

 Retraksi berat

 Harus dirawat dan diberikan antibiotik

2.10 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi tersering


oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi
ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis (tekanan sistolik ventrikel
kanan meningkat, kreatinin kinase juga meningkat, dan gagal jantung) juga dilaporkan
cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. 6

2.11 PENATALAKSANAAN

Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,distres pernafasan, tidak
mau makan atau minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap. 6
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian
cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, dan gula
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi
vitamin A tidak terbukti efektif. 6
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi
antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh
bakteri. 6

a. Pneumonia Rawat Jalan


Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin, ko-amoksiklav atau eritromisin, claritromisin dan azitromisin.
Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/kgBB.6
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan
adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin
30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin
diberikan 2 kali sehari dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari
10mg/kgBB 3-5 hari (hari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari
berikutnya. 6
b. Pneumonia Rawat Inap
Kriteria rawat inap:
 Bayi saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis, frekuensi napas > 60 kali/menit, distres
napas, grunting, tidak mau minum, keluarga tidak bisa merawat di rumah.
 Anak saturasi oksigen < 92%, frekuensi napas > 50 kali/menit, distres napas,
grunting, terdapat tanda dehidrasi, keluarga tidak bisa merawat di rumah.
Pada pneumonia rawat inap, diberikan terapi cairan dengan memperhatikan
balans cairan dan terapi suportif seperti pemberian oksigen, anti piretik dan
nebulisasi. Antibiotik yang diberikan adalah beta laktam, ampisilin atau amoksisislin
dikombinasikan degan kloramfenikol. Antibiotik yang diberikan berupa: Penisilin G
intravena ( 25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6
jam ), dan seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan
selama 10 hari. 6

Kriteria pulang:

- Gejala dan tanda pneumonia menghilang

- Asupan per oral adekuat

- Pemberian antibiotic dapat dilanjutkan per oral

- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol

- Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah


2.12. PREVENTIF
2.12.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap
kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: 9
a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi
DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan
4 bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI
pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi
pada balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-
anak juga perlu mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam
ruangan dan polusi di luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.
2.12.2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang
yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: 9
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
parenteral dan penambahan oksigen.
b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin,
atau amoksisilin.
c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan
terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan
hidung pada anak yang mengalami pilek dengan menggunakan lintingan
kapas yang diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan,
beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.
2.12.3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munculnya
penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita,
mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini
dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan
dan pengobatan. Upaya yang dilakukan dapat berupa : 9
a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri
antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan
anak memburuk.
b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana
kesehatan terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak
menimbulkan kematian.

2.13. PROGNOSIS
Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan
yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi. 1

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : An. DCN
Umur : 1 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jln. Tukad Batanghari II/14A
Suku : Bali
Agama : Hindu
Tanggal lahir : 7 April 2016
Tanggal pemeriksaan : 23 Mei 2017
No. Rekam Medis : 626062

3.2ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak napas

Anamnesa
 Menurut ibunya, px sesak sejak kemarin, nafas berbunyi grok-grok. Saat tidur kadang
px mengorok dengan mulut terbuka lebar
 Batuk (+) sejak 5 hari yang lalu, batuk berdahak (+) kental warna kuning
dengan lendir
 Panas (+) sejak 5 hari yang lalu
 Makan berkurang sejak sakit, minum (+) banyak terutama susu
 BAB cair 1 kali Jumat sore
 Muntah (+) 1 kali Jumat malam
 BAK (+) lancar biasa

3.3 Riwayat Penyakit Dahulu


 Px pernah MRS karena panas saat usia 1 bulan.
 Px tidak memiliki riwayat penyakit kejang demam
 Px tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya

3.4 Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluarga (ibu kandung dan nenek dari ibu) memiliki riwayat penyakit asma

3.5 Imunisasi status imunisasi pasien lengkap


3.6 Riwayat diit
 Px mengkonsumsi ASI sampai umur 2 bulan, kemudian dilanjutkan susu formula
sampai saat ini
 Px juga mengkonsumsi nasi tim, bubur halus, buah saring (pisang dan pepaya) sejak
umur 6 bulan

3.7 Riwayat perkembangan


Ibu pasien mengatakan perkembangan anak baik
3.8 Riwayat Persalinan
Px lahir di bidan, Spt-B dengan BBL 3600g
3.9 Objektif
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : kompos mentis
Berat badan : 10 kg
Panjang badan : 89 cm
Status gizi : 89% (mild malnutrition)
Nadi : 130x/menit
Pernafasan : 44x/menit
Suhu : 38,1°C
Kepala
 A/I/C/D :-/-/-/+
 PCH : Negatif
 Faring tidak hiperemi
 Tidak ada nyeri telan

Leher
 Pembesaran KGB : Negatif

Dada
 Bentuk : Simetris +/+
 Retraksi dinding dada: +/+ minimal

Jantung
 S1 S2 Tunggal
 Murmur: Negatif

Paru-paru: ves/ves
 Rhonki +/+ di seluruh lapang paru
 Wheezing-/-

Abdomen
 Supel (+)
 Meteriorismus (-)
 Turgor kulit baik
 Bising usus positif normal

Genitalia
 Laki-laki dengan genitalia normal

Ekstremitas
Akral hangat: +/+ //+/+
Oedem: -/-//-/-
Status neurologis : Kaku kuduk negatif
1.10 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 23 Mei 2017

Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Hematokrit 38 % 37-49

Hemoglobin 13,1 g/dL 13-18

Leukosit 19.890 /mm3 4.000 ̴ 11.000

Hitung Jenis

Eosinofil 0 % 0 ̴ 8

Basofil 0 % 0 ̴ 3

Neutrofil 86 % 25 ̴ 80

Limfosit 20 % 16 ̴ 46

Monosit 8 % 4 ̴ 11

Trombosit 283.000 /mm3 150.000 ̴ 350.000

Eritrosit 5.0 juta/µL 4,5 ̴ 5,3

Total Eosinofil 30 /µL 50 ̴ 300

3.11 Assessment
Diagnose : Bronkopneumonia
Diagnose banding : Bronkiolitis
3.12 Planning
Diagnosis : Laboratorium darah lengkap, dan foto thoraks
Konsultasi : dr Sp.A

Terapi : O2 nasal 2 lpm


Combivent nebul 1/2 ampul setiap 6 jam
Inf RL 12 tpm
Inj. Paracetamol 100 mg IV setiap 8 jam
Inj. Cefotaxime 250 mg IV setiap 12 jam
Bolus Inj. Dexamethasone 1 ampul, selanjutnya inj. dexamethasone 3x
sepertiga ampul.
BAB III
PENUTUP

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan pada paru
dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi
di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal. Etiologi pneumonia sulit
dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga
tidak dilakukan. Bakteri yang diduga menjadi penyebab pneumonia adalah Clamydia
pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Streptococcus pneumoniae. Pneumonia juga dapat
disebabkan oleh Adenovirus, Influenza, Parainfluenza 1, 2, 3.

Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Gejala dan tanda pneumonia dapat
dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, atau
ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah.
Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung,
diare, atau sakit perut.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis pneumonia


diantaranya pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CRP, kultur dahak, uji serologis dan
rontgen thoraks. Penatalaksanaan pada pneumonia dibedakan menjadi rawat jalan dan rawat
inap tergantung klinis pasien. Prinsip terapi yaitu dengan pemberian antibiotic dan terapi
suportif. Terapi suportif meliputi pemberian cairan, pemberian oksigen, antipiretik dan
nebulisasi. Pilihan antibiotik pada pneumonia yaitu golongan beta lactam, makrolida dan
sephalosporin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Bronkopneumoni. Diunduh dari : http://id.scribd.com


2. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh
dari : Sari Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6

3. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta
: 1997. Hal 633.

4. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: 1999. hal: 695-705.
5. Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005
6. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter
Anaka Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64.
7. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia. Bandung: 2005.
8. Pedoman Pelayan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.
9. Definisi Pneumoni. Diunduh dari : Chapter II.pdf

You might also like