You are on page 1of 26

DEMAM BERDARAH DENGUE

DEFINISI
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan dapat juga ditularkan oleh Aedes
albopictus, yang ditandai dengan : Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi perdarahan, termasuk uji Tourniquet
positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/μl), hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit ≥ 20%), disertai dengan atau tanpa perbesaran hati. (Depkes RI, 2005)

Penyakit DBD adalah penyakit menular yang sering menimbulkan wabah dan menyebabkan
kematian pada banyak orang penyakit ini di sebabkan oleh virus dengue dan di tularkan oleh
nyamuk aedes aegypti. Nyamuk ini tersebar luas di rumah-rumah, sekolah dan tempat-tempat
umum lainnya seperti tempat ibadah, restoran, kantor, balai desa dan lain-lain sehingga setiap
keluarga dan masyarakat mengandung risiko untuk ketularan penyakit DBD. Obat untuk
penyakit DBD belum ada, dan vaksin untuk pencegahannya juga belum ada, sehingga satu-
satunya cara untuk memberantas penyakit ini adalah dengan memberantas nyamuk aedes
aegypti. (Depkes RI, 1996)

ETIOLOGI
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Suhendro, 2006). Virus ini
termasuk genus flavivirus dari family Flaviviridae. Ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-
3, DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-kasus
parah. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi
tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di
daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.
Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Faktor risiko penting pada
DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi
genetis. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah perkotaan) dan
Aedes albopictus (didaerah pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah :
 Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih

1
 Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC,
tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, pot tanaman,
tempat minum burung, dan lain – lain.
 Jarak terbang ± 100 meter
 Nyamuk betina bersifat ‘ multiple biters’ (mengigit beberapa orang karena sebelum
nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
 Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi

EPIDEMIOLOGI

Demam berdarah dengue ( DBD ) merupakan penyakit arbovirus dari keluarga flavivirus yang
memiliki empat serotype berbeda (DEN-1, -2, -3, and -4) yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Demam berdarah dengue ( DBD ) menjadi
perhatian di seluruh dunia terutama di Asia dikarenakan sebagai penyebab utama kesakitan dan
kematian anak. Data dari WHO menunjukkan sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari populasi
berisiko dengue di seluruh dunia yang tinggal di negara anggota WHO wilayah Asia Tenggara
dan Pasifik Barat, menderita hampir 75% dari beban penyakit global saat ini disebabkan oleh
demam berdarah dengue ( DBD ).

Gambar 1. Negara dengan risiko transmisi virus Dengue. Sumber : WHO, 2012

Epidemi demam berdarah dengue ( DBD ) adalah masalah kesehatan utama masyarakat di
Indonesia, Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste yang berada di zona hujan tropis

2
dan katulistiwa dimana nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah perkotaan dan pedesaan,
tempat beberapa serotype virus beredar.

Demam berdarah dengue ( DBD ) pertama kali digunakan di Asia Tenggara tahun 1953 di
Filipina. DBD di Indonesia pertama kali dicurigai pada tahun 1968 terdapat di Surabaya dan
konfirmasi virologisnya diperoleh pada tahun 1970. Tahun 1972 epidemi pertama di luar Jawa
dilaporkan terdapat di Sumatera Barat dan lampung kemudian tahun 1973 disusul Riau,
Sulawesi Utara dan Bali. Saat ini demam berdarah dengue ( DBD ) sudah endemis di kota besar
dan penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan.

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2012 menyebutkan jumlah
penderita DBD di Indonesia sebanyak 90.245 kasus dengan jumlah kematian 816 orang (Indeks
Rate/IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate/CFR= 0,90 %). Jumlah kasus
penyakit DBD terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663 kasus diikuti oleh Jawa
Timur (8.177 kasus), Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta (6669 kasus). Keempatnya
merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar dimana ini merupakan faktor
risiko dari penyebaran penyakit dengue.

Gambar 2. Jumlah Kasus Infeksi Dengue per Provinsi pada Tahun 2012.

Sumber : Kementrian Kesehatan, 2013

Sedangkan untuk jumlah kematian penyakit demam berdarah dengue ( DBD ) tiap provinsi
pada tahun 2012, tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 167 kematian yang diikuti oleh
Provinsi Jawa Timur (114 kematian) dan Jawa Tengah (108 kematian) dan Provinsi DKI

3
Jakarta dengan jumlah kematian DBD yang rendah yaitu 4 kematian, hal tersebut dikarenakan
sistim surveilans dan manajemen penatalaksanaan kasus DBD di DKI Jakarta yang cukup baik.

Gambar 3. Jumlah Kematian Infeksi Dengue per Provinsi pada Tahun 2012.

Sumber : Kementrian Kesehatan, 2013

PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue (Suhendro,
2006).
Virus dengue (Aedes aegypti), setelah memasuki tubuh akan melekat pada monosit dan
masuk ke dalam monosit. Kemudian terbentuk mekanisme aferen (penempelan beberapa
segmen dari sehingga terbentuk reseptor Fc). Monosit yang mengandung virus menyebar ke
hati, limpa, usus, sumsum tulang, dan terjadi viremia (mekanisme eferen). Pada saat yang
bersamaan sel monosit yang telah terinfeksi akan mengadakan interaksi dengan berbagai
system humoral, seperti system komplemen, yang akan mengeluarkan substansi inflamasi,
pengeluaran sitokin, dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan
mengaktifasi faktor koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Selain itu masuknya virus dengue akan membangkitakn respons imun melalui system
pertahanan alamiah (innate immune system), pada system ini komplemen memegang peran
utama. Aktifitas komplemen tersebut dapat memalui monnosa-binding protein, maupun melaui

4
antibody. Komponen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, dekstruksi dan
lisis virus dengue.
Untuk menghambat laju intervensi virus dengue, interferon α dan interferon β berusaha
mencegah replikasi virus dengue di intraselular. Pada sisi lain limfosit B, sel plasma akan
merespons melalui pembentukan antibodi. Limfosit T mengalami ekpresi oleh indikator
berbagai molekul yang berperan sebagai regulator dan efektor.
Limfosit T yang teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein permukaan yang disebut
ligan CD40, yang kemudian mengikat CD40 pada limfosit B, makrofag, sel dendritik, sel
endotel serta mengaktivasi berbagai tersebut. CD40L merupakan mediator penting terhadap
berbagai fungsi efektor sel T helper, termasuk menstimulasi sel B memproduksi antibodi dan
aktivasi makrofag untuk menghancurkan virus dengue.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks
virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi
makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akn mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator radang seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi
yang dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

5
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody
Kompleks virus antibody

Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen

Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman


trombosit oleh RES platelet faktor III
Anafilatoksin
Trombositopenia Koagulopati Sistem kinin
konsumtif
Gangguan Kinin Peningkatan
fungsi trombosit penurunan faktor permeabilitas
pembekuan kapiler
FDP meningkat
Perdarahan massif syok

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD


MANIFESTASI KLINIS
Demam dengue ditandai oleh gejala-gejala klinik berupa demam, tanda-tanda perdarahan,
hematomegali dan syok. Gejala - gejala tersebut yaitu demam tinggi yang mendadak, terus –
menerus berlangsung selama 2 sampai 7 hari, naik turun (demam bifosik). Kadang – kadang

suhu tubuh sangat tinggi sampai 400C dan dapat terjadi kejan demam. Akhir fase demam
merupakan fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada saat fase demam sudah mulai
menurun dan pasien seakan sembuh hati – hati karena fase tersebut sebagai awal kejadian syok,
biasanya pada hari ketiga dari demam.

Gejala klasik dari demam berdarah dengue ditandai dengan 4 manifestasi klinis utama yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit dan seringkali disertai pembesaran hati
(hepatomegali) dan kegagalan peredaran darah (Nimmannitya, 2009). Demam tinggi
mendadak selama 2 - 7 hari, dengan muka kemerahan. Demam tinggi ini dapat menimbulkan
kejang terutama pada bayi. Keluhan lain seperti anoreksia, nyeri kepala, otot, tulang dan sendi,
serta mual dan muntah sering ditemukan. Biasanya juga ditemukan nyeri perut di epigastrium
dan dibawah tulang iga. Pada beberapa penderita kadang mengeluh nyeri telan dengan faring

6
hiperemis saat dilakukan pemeriksaan, namun jarang didapatkan batuk – pilek (Depkes RI,
2007). Bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan adalah pada uji tourniquet, kulit
mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau bekas pengambilan darah.
Umumnya ditemukan petekie halus yang tersebar didaerah ekstremitas, aksila, wajah dan
palatum mole pada fase awal demam. Epistaksis dan perdarahan pada gusi lebih jarang
ditemukan serta perdarahan pada saluran cerna kadang ditemukan pada fase demam. Hati
biasanya membesar dengan perabaan mulai dari hanya teraba sampai 2 - 4 cm di bawah arcus
costae kanan. Pembesaran hati ini tidak berhubungan dengan berat dan ringannya penyakit
tetapi pembesaran hati ini lebih sering didapatkan pada penderita dengan syok (Depkes, RI,
2007). Fenomena patofisiologi utama yang membedakan DBD dari DD adalah meningkatnya
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, hipotensi,
trombositopenia, peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), hipoproteinemia (FK UI, 1997).
Masa krisis terjadi pada akhir fase demam, dimana terjadi penurunan suhu tiba - tiba yang
seringkali disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi beratnya. Pada kasus dengan
gangguan sirkulasi ringan terjadi perubahan minimal dan hanya sementara, sedangkan pada
kasus berat penderita dapat mengalami syok (Depkes RI, 2007)

Usia

Usia merupakan faktor host yang terpenting dalam munculnya penyakit. Hal ini berhubungan
dengan kerentanan yang ada pada host yang dipengaruhi faktor usia. Ada beberapa penyakit
yang dominan menyerang pada kelompok anak-anak usia tertentu dan sebaliknya ada yang
hanya menyerang pada golongan usia lanjut. Usia termasuk dalam faktor host dimana dapat
mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dari penyakit DBD. Terdapat perbedaan dalam
menentukan batasan usia.

 Usia menurut World Health Organization (WHO)

Menurut WHO tahun 2003 batas usia anak adalah 0-14 tahun dan usia dewasa adalah di atas
14 tahun. Sedangkan batasan usia anak menurut WHO tahun 2010 adalah 0-19 tahun dan usia
dewasa adalah di atas 19 tahun.

7
 Usia menurut peraturan perundang-undangan Indonesia

Menurut peraturan perundang-undangan Indonesia juga tidak memuat secara tegas mengenai
batasan usia seorang anak. Misalnya dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, pasal 330
menentukan bahwa yang dikatakan belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 tahun dan
belum kawin, pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa anak yang
belum dewasa apabila belum berumur 16 tahun, pasal 1 ayat 2 Undang- Undang nomor 4 tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin, Undang-Undang nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

 Hubungan usia dan sistem imun pada infeksi dengue

Sistem imunitas dalam pertahanan tubuh melawan penyakit berhubungan dengan usia. Sistem
imun pada anak usia satu sampai lima tahun masih belum matang. Terdapat jumlah sel T yang
tinggi pada neonatus tetapi berupa sel naï f dan tidak memberikan respon adekuat terhadap
antigen. Pada bayi usia beberapa bulan pertama sangat tergantung pada IgG ibu. Pada usia
lanjut lebih mudah mendapat infeksi dibandingkan usia muda dikarenakan atrofi timus, fungsi
timus menurun. Penyakit autoimun pada usia lanjut akan sering timbul disebabkan penurunan
aktivitas sel T.

Kelompok umur < 12 tahun berisiko terkena DBD sebesar 10,00 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok umur > 45 tahun. Kelompok umur 12 – 18 tahun berisiko terkena DBD
sebesar 2,00 kali lebih tinggi dibandingkan dengan umur > 45 tahun. Kelompok umur 19 – 45
tahun berisiko terkena DBD sebesar 0,778 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
umur > 45 tahun. Semakin muda umurnya, besar risiko terkena DBD semakin tinggi. Pasien
demam berdarah dengue ( DBD ) banyak terdapat di usia lebih muda karena memiliki respon
imunitas yang lebih kuat dibanding orang dewasa. Apabila anak terinfeksi oleh virus dengue,
proses immunopatologi yang terjadi akan lebih hebat sehingga manifestasi klinis dan warning
sign yang muncul pada anak lebih hebat dibandingkan dengan usia dewasa.

8
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Langkah Diagnostik
Klinis
Gejala klinis berikut harus ada, yaitu:

 Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-
7 hari
 Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
o uji bendung positif
o petekie, ekimosis, purpura
o perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
o hematemesis dan atau melena
 Pembesaran hati
 Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi (
20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab,
capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.

Langkah diagnostik demam dengue dapat dilakukan melalui:


a. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan
darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya
antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
 Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis relative (>45%
dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit
pada fase syok akan meningkat.
 Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

9
 Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin awal,
umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
 Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada keadaan yang
dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
 Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
 Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
 Serelogi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang setelah 60-
90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi sekunder).
 NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari kedelapan.
Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur virus. Hasil negatif
antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai kedua hemitoraks. Pemeriksaan
foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan
sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbuk gejala
prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang, belakang dan perasaan lelah.
Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas, seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.
Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada table berikut:
DD/DBD Derajat Gejala Lab
DD Demam disertasi 2  Leukopenia
atau lebih tanda :

10
sakit kepala, nyeri  Trombositopenia,  Serologi
retro-orbital, tdk ada kebocoran dengue
mialgia, artralgia plasma (+)
DBD I Gejala diatas, Trombositopenia
ditambah dgn uji (<100.000), bukti
bendung (+) ada kebocoran
plasma
II Gejala diatas, Trombositopenia
ditambah dgn (<100.000), bukti
perdarahan spontan ada kebocoran
plasma
III Gejala diatas Trombositopenia
ditambah dengan (<100.000), bukti
kegagalan sirkulasi ada kebocoran
(kulit dingin dan plasma
lembab, serta
gelisah)
IV Syok berat disertai Trombositopenia
dengan tekanan (<100.000), bukti
darah dan nadi ada kebocoran
tidak terukur plasma
Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah ditemukannya semua
kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan
lemah, tekanan darah turun (≤20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit
dingin dan lembab serta gelisah.
Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya,
leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi
dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada DC
biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan
influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam

11
mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam
makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak
ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak sakit
berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas terdapat
leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis).
Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus.
Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan
pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat
menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase
penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukimia demam
tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi
dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia. pada pemeriksaan darah
ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien
dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein dapat membantu
menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai
tanda perembesan plasma.
TATALAKSANA (FARMAKO DAN NON FARMAKO)
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD
terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of
defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan
observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis
DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.

12
Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/µl atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata
dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan
suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan
merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai
cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit.
Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan
penurunan jumlah trombosit <50.000/µl. Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat
dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas
B dan A.
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan
oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam
pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat disederhanakan seperti
tertera pada Tabel 1.
Tabel 1
Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur
Umur (tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)
dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1
>12 500-1000 1-2

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama. Setelah
keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam
berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oralit. Bila
terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.

13
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis
adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan
pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu
kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak
terlalu sensitif.
Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan
menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan
pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam
berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume
urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran
plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) terus menerus muntah, tidak mau minum,
demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat
pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat
asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan.
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5
sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.

14
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5-8%)
Berat Badan Waktu Masuk RS Jumlah cairan
(kg) ml/kg berat badan per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi.
Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur
yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.
Tabel 3
Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat Badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
>20 1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)

Misalnya untuk berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20) =1900
ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma tidak
konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan
pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui
dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus
setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika
memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam
intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan
distres pernafasan
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah,
letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi
menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar

15
hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan
intravena.
Jenis Cairan (rekomendasi WHO)
Kristaloid
• Larutan ringer laktat (RL)
• Larutan ringer asetat (RA)
• Larutan garam faali (GF)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
• Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh


larutan yang mengandung dekstran)
Koloid
• Dekstran 40
• Plasma
• Albumin
Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kg BB. Tetesan diberikan
secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai
berat BB ideal dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan
kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri
cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian
kristaloid dan beri cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya
pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari,
sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid
dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi
perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap
> tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30
ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai
keadaan klinis dan kadar hematokrit.

16
Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan kemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan
CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht
sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan
sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok
teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi
reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah
pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru
dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap
sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah
normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis
gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada
anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok,
terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah
diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah
dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien

17
dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti
waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus
diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan
hematologis tersebut juga menentukan prognosis.
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
• Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih
sering, sampai syok dapat teratasi.
• Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien stabil.
• Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan
tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
• Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang
jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema,
pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian
dopamin perlu dipertimbangkan.
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan diagnosis
DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat dibagi dalam 3 bagian,
yaitu:
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD derajat II
tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit. (Bagan 4)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV. (Bagan 5)

18
Bagan 2. Tatalaksana kasus tersangka DBD

Tersangka
Tersangka DBD
DBD
Demam tinggi, mendadak
terus menerus <7 hari
tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
badan lemah/lesu

Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan


Tanda syok Periksa uji torniquet
Muntah terus menerus
Kejang Uji torniquet (+) Uji torniquet (-)
Kesadaran menurun (Rumple Leede) (Rumple Leede)
Muntah darah
Berak darah
Jumlah trombosit Jumlah trombosit Rawat Jalan
<100.000/µl >100.000/µl Parasetamol
Kontrol tiap hari
Tatalaksana sampai demam hilang
disesuaikan,
(Lihat bagan 3,4,5)
Rawat Inap
(lihat bagan 3)
Rawat Jalan Nilai tanda klinis &
Minum banyak 1,5 liter/hari jumlah trombosit, Ht
Parasetamol bila masih demam
Kontrol tiap hari hari sakit ke-3
sampai demam turun
periksa Hb, Ht, trombosit tiap
kali

Perhatian untuk orang tua


Pesan bila timbul tanda syok:
gelisah, lemah, kaki/tangan
dingin, sakit perut, BAB hitam,
BAK kurang

Lab : Hb & Ht naik


Trombosit turun

Segera bawa ke rumah sakit

19
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II
tanpa peningkatan hematokrit

DBD
DBDderajat I atau
derajat II tanpa
I atau peningkatan
II tanpa hematokrit
peningkatan hematokrit
Gejala klinis:
Demam 2-7 hari
Uji torniquet (+) atau
perdarahan spontan
Laboratorium:
Hematokrit tidak meningkat
Trombositopenia (ringan)

Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minum


Beri minum banyak 1-2 liter/hari Pasien muntah terus menerus
Atau 1 sendok makan tiap 5 menit
Jenis minuman; air putih, teh manis,
Sirup, jus buah, susu, oralit
Bila suhu >39oC beri parasetamol Pasang infus NaCl 0,9%:
Bila kejang beri obat antikonvulsi dekstrosa 5% (1:3)
Sesuai berat badan tetesan rumatan sesuai berat badan
Periksa Ht, Hb tiap 6 jam, trombosit
Tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan laboratorium


Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari Ht naik dan atau trombosit turun
Awasi perdarahan
Periksa Ht, Hb tiap 6-12 jam

Infus ganti RL
Perbaikan klinis dan laboratoris (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
• Nafsu makan membaik
• Secara klinis tampak perbaikan
• Hematokrit stabil
• Tiga hari setelah syok teratasi
• Jumlah trombosit >50.000/µl
• Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

20
Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan
hematokrit >20%

DBD
DBDderajat I atau
derajat II dengan
I atau peningkatan
II dengan hematokrit
peningkatan >20%
hematokrit >20%
Cairan awal
RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5
6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikan


Tidak gelisah Gelisah
Nadi kuat Distress pernafasan
Tek.darah stabil Frek.nadi naik
Diuresis cukup Tanda vital memburuk Ht tetap tinggi/naik
(12 ml/kgBB/jam) Ht meningkat Tek.nadi <20 mmHg
Ht turun Diuresis </tidak ada
(2x pemeriksaan)

Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan


10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan
5 ml/kgBB/jam Evaluasi 12-24 jam

Tanda vital tidak stabil

Perbaikan
Sesuaikan tetesan
Distress pernafasan Ht turun
3 ml/kgBB/jam Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHg
IVFD stop setelah 24-48 jam
Apabila tanda vital/Ht stabil dan Koloid Transfusi darah segar
diuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd Anak
- Syok yang belum teratasi
Perbaikan - Perdarahan masif

21
Bagan 5. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV
(Sindrom Syok Dengue/SSD)

DBD
DBDderajat
derajat
III III
&& IV IV

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit


2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balance cairan selama pemberian cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak teratasi


Kesadaran membaik Kesadaran menurun
Nadi teraba kuat Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis Distress pernafasan/sianosis
Ekstrimitas hangat Kulit dingin dan lembab
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan


10 ml/kgBB/jam 15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital 2. Tambahkan koloid/plasma
Tanda perdarahan Dekstran/FFP
Diuresis
Pantau Hb, Ht, Trombosit 3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasi
Ht stabil dalam 2x Syok
teratasi
Pemeriksaan Ht turun Ht tetap tinggi/naik

Tetesan 3 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar


10 ml/kgBB Koloid 20 ml/kgBB
dapat diulang sesuai
Infus stop tidak melebihi 48 jam kebutuhan
setelah syok teratasi

22
KOMPLIKASI
a. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik
seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya
ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga
disebabkan oleh trombosis pembuluh darah –otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi
intravaskular yang menyeluruh.
Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa
keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut (Hadinegoro,1999)
b. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak
teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk
mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular,
penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan
parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi.
Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan
baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok
berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin
c. Udem paru
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih
terjadi.Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan
diberikan berlebih ( kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan
hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto
rontgen dada.
PENCEGAHAN
Pemberantasan Demam Berdarah Dengue
Kegiatan pemberantasan DBD terdiri atas kegiatan pokok dan kegiatan penunjang.
Kegiatan pokok meliputi pengamatan dan penatalaksaan penderita, pemberantasan vektor,
penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi.

23
Kegiatan pokok
1. Pengamatan dan penatalaksanaan penderita
Setiap penderita/tersangka DBD yang dirawat di rumah sakit/puskesmas dilaporkan
secepatnya ke Dinas Kesehatan Dati II. Penatalaksanaan penderita dilakukan dengan cara
rawat jalan dan rawat inap sesuai dengan prosedur diagnosis, pengobatan dan sistem
rujukan yang berlaku.
2. Pemberantasan vektor
Pemberantasan sebelum musim penularan meliputi perlindungan perorangan,
pemberantasan sarang nyamuk, dan pengasapan. Perlindungan perorangan untuk
mencegah gigitan nyamuk bisa dilakukan dengan meniadakan sarang nyamuk di dalam
rumah dan memakai kelambu pada waktu tidur siang, memasang kasa di lubang ventilasi
dan memakai penolak nyamuk. Juga bisa dilakukan penyemperotan dengan obat yang
dibeli di toko seperti mortein, baygon, raid, hit dll.
Pergerakan pemberantasan sarang nyamuk adalah kunjungan ke rumah/tempat umum
secara teratur sekurang-kurangnya setiap 3 bulan untuk melakukan penyuluhan dan
pemeriksaan jentik. Kegiatan ini bertujuan untuk menyuluh dan memotivasi keluarga dan
pengelola tempat umum untuk melakukan PSN secara terus menerus sehingga rumah dan
tempat umum bebas dari jentik nyamuk Ae. aegypti. Kegiatan PSN meliputi menguras bak
mandi/wc dan tempat penampungan air lainnya secara teratur sekurang-kurangnya
seminggu sekali, menutup rapat TPA, membersihkan halaman dari kaleng, botol, ban
bekas, tempurung, dll sehingga tidak menjadi sarang nyamuk, mengganti air pada vas
bunga dan tempat minum burung, mencegah/mengeringkan air tergenang di atap atau
talang, menutup lubang pohon atau bambu dengan tanah, membubuhi garam dapur pada
perangkap semut, dan pendidikan kesehatan masyarakat.
Pengasapan masal dilaksanakan 2 siklus di semua rumah terutama di kelurahan
endemis tinggi, dan tempat umum di seluruh wilayah kota. Pengasapan dilakukan di dalam
dan di sekitar rumah dengan menggunakan larutan malathion 4% (atau fenitrotion) dalam
solar dengan dosis 438 ml/Ha.
3. Penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi
Penyuluhan perorangan dilakukan di rumah pada waktu pemeriksaan jentik berkala
oleh petugas kesehatan atau petugas pemeriksa jentik dan di rumah
sakit/puskesmas/praktik dokter oleh dokter/perawat. Media yang digunakan adalah leaflet,
flip chart, slides, dll.

24
Penyuluhan kelompok dilakukan kepada warga di lokasi sekitar rumah penderita,
pengunjung rumah sakit/puskesmas/ posyandu, guru, pengelola tempat umum, dan
organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
Evaluasi operasional dilaksanakan dengan membandingkan pencapaian target masing-
masing kegiatan dengan direncanakan berdasarkan pelaporan untuk kegiatan
pemberantasan sebelum musim penularan. Peninjauan di lapangan dilakukan untuk
mengetahui kebenaran pelaksanaan kegiatan program.
Kegiatan penunjang
Kegiatan penunjang yang dilakukan adalah peningkatan keterampilan tenaga melalui
pelatihan, penataran, bimbingan teknis dan penyebarluasan buku petunjuk, publikasi dll.
Pelatihan diberikan kepada teknisi alat semprot, petugas pemeriksa jentik, kader, dan tenaga
lapangan lainnya sedangkan pentaran diberikan kepada petugas sanitasi puskesmas,
dokter/kepala puskesmas, para medis, petugas pelaksana pemberantasan DBD Dinas
Kesehatan. Selain itu diadakan pertemuan/rapat kerja di berbagai tingkat mulai dari puskesmas
sampai tingkat pusat. Penelitian dilaksanakan dalam rangka mengembangkan teknologi
pemberantasan meliputi aspek entomologi, epidemiologi, sosioantropologi, dan klinik.
Penelitian diselenggarakan oleh Depkes, perguruan tinggi, atau lembaga penelitian lainnya.

PROGNOSIS
Secara umum demam dengue dan demam berdarah dengue memiliki prognosis baik bila

ditangani dengan baik. Permasalahan terjadi ketika terjadi kelalaian dalam mengontrol

terjadinya syok yang dapat segera menyebabkan kematian.

25
DAFTAR PUSTAKA
 Hadinegoro Sri Rezeki H.et al. Tata laksana Demam Berdarah dengue di Indonesia.
Dinas Kesehatan Propinsi riau: Riau.1999
 World Health Organization. Demam berdarah dengue (diagnosis ,pengobatan
,pencegahan, dan pengendalian): Jakarta.1999
 Notoadmijo.S.1999. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Edisi 1 Rineka Cipta :
Jakarta.
 Tim Editor. 2007. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen IPD FKUI.
 Depkes RI. 2005. Pencegahan Dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengu Di
Indonesia. Jakarta: Dirjen PP&PL
 Staff Pengajar Fkui 2005. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. Bagian IKA FKUI

26

You might also like