Professional Documents
Culture Documents
Jurnal Joko 2009
Jurnal Joko 2009
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Salah satu komoditas hortikultura yang baik dikembangkan secara komersial dan
berorientasi agribisnis adalah Labu jenis tanaman buah-buahan yang sekarang menjadi
komoditi unggulan lokal disamping mempunyai arti penting bagi perkembangan sosial
ekonomi rumah tangga maupun negara. Perkembangan budidaya komoditas ini
mempunyai prospek cerah karena dapat mendukung upaya peningkatan pendapatan
petani serta perbaikan ekonomi sosial masyarakat, daya tarik budidaya tanaman Labu
Juai terletak pada nilai ekonomis dan sosial yang tinggi.
Desa Juai Kecamatan Juai yang merupakan salah satu Desa yang berada di
Kecamatan Juai Kabupaten Balangan memiliki usaha pertanaman hortikultura yaitu
Labu. Dengan melihat kondisi daerah dan potensinya dalam menghasilkan komoditi
Labu yang berproduksi tersebut tentunya diperlukan peningkatan hasil persatuan luas
tanam dengan cara pengolahan lahan yang baik, pemupukan, pengendalian hama
penyakit, pemungutan hasil dan penyaluran hasil produksi sampai ketangan konsumen
dengan baik.
Labu merupakan jenis tanaman sayuran, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk
berbagai jenis panganan seperti dodol, kolak, tomato dan lain sebagainya, Labu
memiliki kandungan gizi yang lengkap seperti ; karbohidrat, protein, dan vitamin ( Yudo
Sudarto, 1993) Untuk mengetahui nilai kandungan gizi daging buah Labu dapat dilihat
pada tabel1.
Tabel 1. Hasil analisis Kadar gizi daging buah Labu per 100 gram
Budidaya Tanaman Labu Juai pada umumnya tumbuh dan berproduksi secara
optimal di daerah yang mempunyai ketinggian atara 200 m – 600 m dpl. Tanaman ini
membutuhkan keadaan lingkungan tumbuh yang ideal pada suhu udara antara 15 oC–
35oC, suhu optimum 27oC, tipe iklim basah samapi kering dengan curah hujan 1.200 –
2.500 mm per tahun dan merata sepanjang tahun, cukup mendapat sinar matahari atau
tempatnya terbuka. Keadaan TanahTanaman Labu Juai mempunyai sistem perakaran
yang dangkal, sehingga untuk pertumbuhannya secara optimal membutuhkan lapisan
tanah yang subur, gembur, dan banyak mengandung bahan organik. Hampir setiap jenis
tanah yang digunakan untuk pertanian cocok untuk budidaya Labu Juai. Namun tanah
yang paling baik adalah tanah yang mengandung humus yang tinggi ( lebak ) dengan
lapisan olah lebih kurang 25 cintemeter.
Tanaman Labu Juai mempunyai toleransi cukup tinggi terhadap derajat tanah (pH),
yakni pada kisaran pH 4,5 – 7,5. Hal yang penting diperhatikan dalam pemilihan lokasi
kebun Labu Juai adalah tanahnya tidak tergenang air permanen (becek), karena dapat
menyebabkan akar-akarnya membusuk dan akhirnya tanaman mati.
Usahatani labu di Desa Juai Kecamatan Balangan Propinsi Kalimantan Selatan,
ternyata mampu memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakatbya.
ternyata mampu memberikan sumbangan pendapatan kepada masyarakat di desa.
Tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui besarnya penerimaan,
pendapatan dan keuntungan usaha tani Labu Juai selama satu periode tanam.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Juai Kecamatan Juai merupakan salah satu
desa yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Balangan Propinsi Kalimantan Selatan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan
teknik observasi langsung di lapangan. Sedangkan data yang dikumpulkan meliputi data
sekunder dan data primer.
Sampel contoh adalah petani yang berusahatani labu di Desa Juai Kecamatan
Juai Kabupaten Balangan.Penentuan jumlah responden (petani) dilakukan secara
Systematik Random Sampling sebanyak 45 petani yang berusahatani Labu.
Analisis Data
I = TR - TEC
Dimana : I = Income/pendapatan
TR = Total Revenue/penerimaan total
TEC = Total Explicit Cost/biaya ekspisit total.
π = TR - TC
dimana : π = Profit/keuntungan
TR = Total Revenue/penerimaan total
TC = Total Cost/biaya total
Untuk menyatakan sejauh mana kelayakan ekonomis usahatani labu, maka digunakan
analisis Revenue Cost Ratio (RCR), yang dirumuskan sebagai berikut :
TR
RC Ratio =
TC
dimana
RCR = Revenue Cost Ratio (perbandingan antara penerimaan dengan
biaya total)
TR = Total Revenue/penerimaan total.
TC = Total Cost/biaya total
Bila RC ratio > 1, artinya usahatani labu layak diusahakan
Bila RC ratio = 1, artinya usahatani labu mengalami keseimbangan (impas)
Bila RC ratio < 1, artinya usahatani labu tidak layak diusahakan.
a. Karakteristik Responden
Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas pendidikan responden masih sangat
rendah yaitu tamat SD sebesar 62,22%. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat
pendapatan yang diperoleh petani dari usahatani labu Juai.
Luas lahan petani responden berkisar antara 6 borong sampai 70 borong (2 ha)
untuk lebih jelas dapa dilihat pada.
Sedang status kepemilikan dalam usahatanin labu yang diusahakan terbagi menjadi 2,
yaitu sebanyak 37 petani responden sebagai milik sendiri dan 8 orang petani responden
adalah penyewa.
Tabel 3: Biaya rata-rata sarana produksi dalam usahatani labu di desa Juai
Dari tabel 3, dapat diketahui bahwa persentasi biaya sarana produksi yang terbesar
digunakan untuk pupuk sebesar 87,39 % yang bila diuraikan menjadi pupuk SP36 sebesar
39,85 %, pupuk Urea 31,24 %, Pupuk kcl 10,61 %, dan pupuk NPK 5,68 %. Sedangkan
sisanya 9,90 untuk obat-obatan yang terdiri dari Furadan 1,57 %, Matador 1.17 %, Sevin
0,72 %, Diazinon 0,58 %, Gandasil 0,54 %, Darmabas 0,36 %, Bambu Ijo 0,18 % dan
Spain 0,06 % dan terakhir 2,71 % untuk benih.
2. Biaya lahan
Biaya lahan yang diperhitungkan adalah pajak tanah yang dibayarkan petani untuk
satu tahun. Dari hasil penelitian ternyata di desa Juai tidak dikenakan biaya pajak tanah
untuk lahan yang mereka usahakan, maka untuk itu biaya lahan tidak dihitung/dimasukan.
Biaya sewa lahan dimasukan ke dalam biaya eksplisit bagi petani responden yang
menyewa lahan untuk berusahatani labu, yang sebesar Rp 37.500,00 /ha / musim tanam.
Sedangkan bagi petani pemilik juga dikenakan sewa lahan tetapi dimasukan ke dalam
biaya implisit.
Tabel 4 : Total biaya eksplisit dalam usaha tani labu di Desa Juai
No. Nama Biaya Jumlah (Rp) Rata-rata (Rp) Persentase (%)
1 Sarana Produksi 13.261.700,00 249.704,44 12,62
2 Tenaga kerja luar keluarga 91.700.000,00 2.037.777,78 87.24
3 Sewa lahan 149.999,99 3.333.815,33 0,14
Jumlah 105.111.699,99 2.335.815,33 100,00
Sumber : Hasil Pengolahan data primer 2008
Biaya benih termasuk dapat dimasukkan kedalam biaya eksplisit untuk bibit
yang dibeli dan biaya implisit untuk biaya yang dibuat sendiri, bunga modal diperhitungkan
dari biaya eksplisit yang dikeluarkan ditambah dengan biaya tenaga kerja dalam keluarga
dikalikan dengan 18 % bunga dari bank dibagi 12 bulan kemudian dikalikan dengan masa
tanam labu (3 bulan), sehingga diketahui bunga modal Rp 6.415.036,49 atau rata-rata Rp
142.557,70/petani. Biaya penyusutan alat dimasukan ke dalalm implisit karena biaya ini
tidak nyata dikeluarkan petani, karena alat yang digunakan merupakan alat yang dibeli
beberapa tahun yang lalu.
Untuk bibit yang dibeli dan biaya implisit untuk biaya yang dibuat sendiri,
bunga modal diperhitungkan dari biaya eksplisit yang dikeluarkan ditambah
dengan biaya tenaga kerja dalam keluarga dikalikan dengan 18 % bunga dari
bank dibagi 12 bulan kemudian dikalikan dengan masa tanam labu (3 bulan),
sehingga diketahui bunga modal Rp 6.415.036,49 atau rata-rata Rp
142.557,70/petani. Biaya penyusutan alat dimasukan ke dalalm implisit karena
biaya ini tidak nyata dikeluarkan petani, karena alat yang digunakan merupakan
alat yang dibeli beberapa tahun yang lalu.
Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian antara total produksi dengan harga labu itu
sendiri. Dari hasil pengolahan data primer diperoleh total produksi labu sebesar 51.781
buah dengan rata-rata 1.150,69/Kg/petani. Harga labu berkisar antara Rp 5.500,00
sampai Rp 7.000,oo Hal ini disebabkan karena adanya permainan harga dari para
tengkulak. Total penerimaan sebesar Rp 332.125.000,oo atau rata-rata Rp
7.380.555,56/petani responden.
Penerimaan petani dapat ditingkatkan lagi dengan cara menjual labu saat harga tinggi
atau petani langsung menjualnya ke pasar, tetapi dengan syarat petani menanggung
segala biaya pemasarannya. Untuk diketahui, apabila menjual langsung ke pasar,
harga labu menjadi Rp 8.000,00 – Rp 10.000,00/buah.
Pendapatan usahatani adalah selisih antara total penerimaan dengan biaya eksplisit.
Untuk mengetahui besarnya pendapatan yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 10.
Dari tabel 6 dapat diketahui bahwa pendapatan petani responden usahatani labu
di desa Juai adalah sebesar Rp 227.013.300,01/petani. Pendapatan rata-rata Rp
5.004.740,00/petani atau Rp 213.308,24/petani/ borong.
Pendapatan dapat ditingkatkan melalui dua cara, yaitu pertama dengan meningkatkan
penerimaan dan mengurangi biaya eksplisit, cara kedua dapat dilakukan dengan
meningkatkan produksi melalui sapta usahatani yaitu dengan melakukan pemupukan,
pemberantasan hama penyakit, penggunaan bibit unggul, cara bercocok tanam yang
.baik, pasca panen dan pemasaran hasil.
8. Analisis keuntungan
Keuntungan diperoleh dari selisih penerimaan dikurangi dengan total biaya yang
dikeluarkan (biaya eksplisit + biaya implisit). Rata-rata keuntungan usahatani labu
sebesar Rp 4.690.145,80/petani.
Dari tabel 8 diketahui nilai RC ratio 2,74, artinya setiap pengeluaran biaya Rp
1,00 akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2.74, sedangkan keuntungannya
sebesar Rp 1,74. Dari kriteria yang ada, maka usahatani labu di desa Juai layak untuk
diusahakan, yaitu RC ratio > 1.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa usahatani labu di desa Juai adalah layak untuk
diusahakan, sehingga usahatani ini mempunyai potensi yang bagus untuk
dikembangkan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa usahatani labu di desa Juai adalah layak untuk
diusahakan, sehingga usahatani ini mempunyai potensi yang bagus untuk
dikembangkan.
Ada beberapa masalah yang dihadapi petani responden dalam pengembangan
usahatani labu ini, yakni tidak adanya kesamaan harga jual yang diterima petani satu
dengan yang lainnya, hal ini disebabkan ketidaktahuan mereka tentang informasi pasar,
terutama tentang harga. Akibatnya para pedagang pengumpul akan membeli hasil
panen mereka dengan harga yang rendah.
Modal yang dimiliki petani juga sangat berpengaruh dalam pengembangan usaha tani
labu ini. Karena terbatasnya modal yang dimiliki petani dan tingginya harga saprodi,
sehingga petani tidak bisa melaksanakan usahatani sesuai dengan yang dianjurkan.
Selain itu dengan modal sedikit, mereka tidak bisa memiliki lahan yang lebih luas dan
aman dari banjir.
Selain dua hal tersebut diatas, ada juga yang penting diperhatikan, yaitu masalah
kebijakan pemerintah daerah yang kurang memperhatikan usahatani labu tetapi lebih
memperhatikan usahatani karet. Hal ini dapat dilihat dari tidak bisanya petani
mengatasi penyakit yang menyerang tanaman mereka, akibatnya petani mggunakan
pestisida dan insektisida yang tidak sesuai dengan penyakit tanaman labu.
Dari hasil perhitungan pada luasan 17,5 borong atau 52,5 borong yang paling layak
diusahakan karena nilai RCR lebih tinggi dari luasan lahan lainnya. Dalam pengelolaan
untuk luasan 17,5 borong dan 52,5 borong lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar
keluarga sehingga pemeliharaannya lebih baik dibandingkan dengan luasan lainnya.
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan , maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari hasil analisis diketahui bahwa besarnya biaya yang digunakan dalam usahatani
labu adalah biaya eksplisit rata-rata sebesar Rp 2.335.815,56/ petani, biaya implisit
rata-rata Rp 354.594,20/petani dan total biaya rata-rata sebesar Rp
2.690.409,75/petani.
2. Produksi yang dihasilkan oleh petani rata-rata 1.150,69 buah/petani, dengan harga
yang bervariasi antara Rp 5.750,00 sampai Rp 7.000,00, maka diperoleh
penerimaan sebesar Rp 7.380.555,56/petani.
3. Pendapatan yang diperoleh petani rata-rata sebesar Rp. 5.044.740,00/petani.
Sedangkan keuntungan yang diperoleh petani rata-rata sebesar Rp
4.690.145,81/petani dalam satu kali proses produksi.
4. Usahatani labu di desa Juai menguntungkan , karena dari hasil analisis
diketahui nilai rata-rata RC ratio sebesar 2.74.
B. Saran
Dari hasil pengamatan di lapangan dan wawancara langsung dengan petani responden,
maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :
Kerjasama antar kelompok tani, dalam hal pemenuhan sarana produksi maupun
pemasaran, sehingga tidak tergantung kepada para tengkulak
DAFTAR PUSTAKA
________. 1983. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No 1. BPFE. Ekonomi Mikro.
Yogyakarta.
Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Penerbit PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Suherman Rosyidi, 1993. Pengantar Teori Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada Jakarta.