You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan yang besar di hampir semua negara
berkembang yang memiliki angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi dalam waktu yang
cepat. Penyakit menular adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme atau toxinnya
yang ditularkan oleh reservoir kepada manusia yang rentan. Salah satu penyakit menular yang
dapat mengakibatkan kematian adalah penyakit difteri.
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan imunisasi,
dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penularan
terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau
kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala berupa infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi (kurang dari
38,5º C), dan ditemui adanya pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring,
atau laring yang tak mudah lepas, serta berdarah apabila diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri
mengenai tonsil dan faring. Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan,
sesak nafas, stridor dan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck). Kematian
biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan
susunan saraf pusat dan ginjal.
Berdasarkan data World Health Organitation (WHO), jumlah kasus difteri di dunia
terjadi peningkatan tiap tahun dimulai dari tahun 2012 sampai 2014. Jumlah kasus difteri di
dunia tahun 2012 sebanyak 4490 kasus dan tahun 2013 sebanyak 4680 kasus. Peningkatan yang
besar terjadi pada tahun 2014 yaitu sebanyak 7321 kasus. Ada beberapa negara di dunia yang
masih tergolong endemik penyakit difteri. Negara tersebut adalah negara di bagian Asia, Afrika,
dan Amerika Selatan.
Diantara beberapa negara Asosiation Of South East Asia Nation (ASEAN), dari tahun
1999 hingga 2014 Indonesia menduduki posisi tertinggi jumlah kasus difteri setiap tahunnya.
Tahun 2011 negara Thailand merupakan negara kedua tertinggi setelah Indonesia dengan jumlah
28 kasus. Tahun 2012 negara Laos merupakan negara kedua tertinggi setelah Indonesia dengan
130 kasus. Tahun 2013 dan 2014 Myanmar merupakan negara tetinggi kedua setelah Indonesia
dengan 38 dan 29 kasus.
Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan
dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula
jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89
Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota.
Penyakit difteri dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Imunisasi merupakan upaya
untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit.
Pencegahan penyakit difteri dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi Difteri, Pertusis, dan
Tetanus (DPT) pada bayi dan vaksin Difteri, Tetanus (DT) pada anak usia sekolah dasar..
Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada tahun 1940an, maka secara global pada
periode tahun 1980 – 2000 total kasus Difteri menurun lebih dari 90%. Imunisasi DPT di
Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3 kali, yaitu pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan.
Selanjutnya Imunisasi lanjutan DT dimasukkan kedalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah
(BIAS) pada tahun 1984. Untuk semakin meningkatkan perlindungan terhadap penyakit Difteri,
imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib mulai dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin pada usia
18 bulan sejak tahun 2014, dan imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak sekolah
dasar.
Menurut penelitian Basuki Kartono tahun 2008 faktor paling dominan yang
mempengaruhi kejadian difteri adalah status imunisasi. Risiko terjadinya difteri pada anak
dengan status imunisasi DPT/DT yang tidak lengkap 46,403 kali lebih besar dibandingkan anak
dengan status imunisasi yang lengkap. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurul Rahayu K
tahun 2015, status imunisasi DPT merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kejadian
difteri dengan risiko sebesar 25,14 kali dibandingkan dengan anak yang diimunisasi. Apabila
tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematian adalah sekitar 50 %,
sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%, (CDC Manual for the Surveilans of
Vaccine Preventable Diseases, 2017). Angka kematian Difteri ratarata 5 – 10% pada anak usia
kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40 tahun).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya promosi dan pencegahan
penyakit difteri di Puskesmas Duri Kota Kecamatan Mandau.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana upaya promosi dan
pencegahan penyakit difteri di Puskesmas Duri Kota Kecamatan Mandau.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui penanganan KLB kasus difteri di wilayah kerja UPT Puskesmas Duri
kota.
2. Untuk mensosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya imunisasi difetri di wilayah
kerja UPT Puskesmas Duri Kota.
3. Untuk meningkatan pengetahuan masyarakat tentang penyakit difteri di wilayah kerja
UPT Puskesmas Duri Kota.
4. 1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi Dinas
Kesehatan Kabupaten Bengkalis untuk dalam mengetahui penanganan KLB kasus difteri
di wilayah kerja UPT Puseksams Duri Kota. Informasi yang didapatkan dari hasil
penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam pengambilan keputusan berdasarkan
pemetaan yang ada untuk menyusun rencana strategis yang tepat dalam menanggulangi
kejadian difteri.

2. Bagi UPT Puskesmas Duri Kota

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna mengenai
promosi dan pencegahan penyakit Difteri di UPT puskesmas Duri Kota.

3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi yang berguna tentang
pentingnya imunisasi difteri sehingga masyarakat mampu melakukan tindakan preventif
untuk dapat mencegah munculnya penyakit difteri.
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

Patofisiologi

Penyakit disebabkan oleh toxin diphtheria yang merupakan faktor virulensi dari C.
diphtheriae. Toxin ini dikode oleh gen tox yang dibawa oleh suatu bakteriofaga lisogenik yaitu
Beta-faga. Hanya galur C. diphtheriae yang memiliki gen tox ini lah yang dapat menimbulkan
penyakit. Galur lain yang tidak memiliki gen ini tidak bersifat patogenik, akan tetapi galur ini
dapat berubah menjadi patogenik bila ditransduksi oleh bakteriofaga lisogenik beta-faga. Spesies
bakteri coryneform lain yang dapat menghasilkan toxin ini adalah Corynebacterium
ulcerans yang juga dapat menimbulkan manifestasi klinis difteri.

Toxin diphtheria memiliki 2 subunit dan 3 regio. Subunit A memiliki regio katalitik,
sedangkan subunit B memiliki regio pengikat reseptor (receptor-binding region), dan regio
translokasi (translocation region). Reseptor untuk toxin ini adalah heparin-binding epidermal
growth factor yang terdapat pada permukaan banyak sel eukariotik, termasuk sel jantung dan sel
saraf. Hal ini yang mendasari terjadinya komplikasi kardiologis dan neurologis dari difteri.
Begitu toxin difteri berlekatan dengan sel host melalui ikatan antara heparin-binding epidermal
growth factor dan receptor binding region subunit B, regio translokasi disisipkan ke dalam
membrane endosome yang kemudian memungkinkan pergerakan region katalitik subunit A ke
dalam sitosol. Kemudian subunit A bekerja dengan cara menghentikan sintesis protein sel host.
Subunit A memiliki aktivitas enzimatik yang mampu memecah Nikotinamida dari Nicotinamide
Adenine Dinucleotide (NAD) dan kemudian mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil pemecahan
tadi menuju Elongation Factor-2 (EF-2). EF-2 yang ter-ADP ribosilasi ini kemudian menjadi
inaktif. EF-2 merupakan faktor yang penting dalam translasi protein, sehingga sintesis protein
seluler menjadi terganggu. Proses ini kemudian menyebabkan nekrosis sel disertai dengan
inflamasi dan eksudat fibrin yang memberikan gambaran pseudomembrane. Bentukan
pseudomembrane ini dapat menghambat jalan napas, sehingga kematian akibat difteri timbul
karena sumbatan jalan napas.

Patofisiologi

You might also like