You are on page 1of 5

Hati siapakah tidak akan tertarik oleh keindahan alam Indonesia di sekeliling Gunung

Merapi di Pulau Jawa? Ke sebelah barat laut puncak gunung ini membentang dengan cantiknya
Gunung Merbabu, Jakapekik, Telamaya, dan Ungaran; dari sini berleret sebelah barat suatu
pegunungan yang membujur di tengah-tengah Pulau Jawa, dengan puncak yang hijau-hijau:
Perahu, Butak, dan Selamat. Dan kiri-kanan Gunung Merapi yang mengeluarkan asap dan api itu,
terpisah sebagai jamrud tertabur Gunung Lawu di sebelah timur dan Sumbing-Sindoro di sebelah
barat. Di celah-celah dan di kaki pegunungan itu terhampar tiga dataran tanah Surakarta,
Yogyakarta, dan Kedu; segala dataran ini ialah tanah yang sangat subur, dan di sanalah dapat
ditinjau beribu-ribu desa yang makmur.

Dataran sekeliling Gunung Merapi-Merbabu, yang dibasahi oleh sungai-sungai yang


mengalir ke lautan Hindia di sebelah selatan dan lautan Indonesia di sebelah utara, telah tengah
dua ribu tahun menjadi pusat kerajaan Sana-Senjaya, Syailendra, Mataram-Lama, Demak, Pajang,
dan kemudian Mataram-Baru, jadi tempat turun-naiknya kekuasaan Mataram, yang berarti tumpah
darah itu. Dalam abad ke-19 taman Indonesia yang indah permai itu lima tahan lamanya menjadi
medan peperangan, yang menumpahkan darah sanak saudara dan darah lawan-seteru durjana.

Keindahan alam tanah pusaka dalam waktu damai lalu bergantilah dengan kegagahan dan
kemegahan, tempat putra dan putri Indonesia berjuang mempertahankan kedudukannya sebagai
bangsa dan hendak menyusun suatu masyarakat dan negara baru di bawah pimpinan seorang satria
yang diikut dan dijunjung tinggi. Peperangan itu akan kita ulangi dengan mengurutkan perjalanan
sejarah yang telah berlaku.

Adapun medan peperangan Dipanegara itu adalah berlainan daripada daerah yang akan
dimasukkan dalani rancangan perjuangan dalam abad ke-19. Memang orang berperang di tanah
Jawa Tengah, tetapi yang dipertaruhkan dalam peperangan waktu itu bukan sekali-kali soal di
sekeliling tanah Jawa. Ada dua barang yang dipertaruhkan dalam peperangan itu, yaitu nasib
bangsa dan tanah air Indonesia: akan teruskah menjadi jajahan atau akan dapatkah mendirikan
negeri baru di Indonesia, yang memang lebih tinggi dan lebih lebar daripada daerah perjuangan
tersebut? Selain daripada ini lagi yang dipertaruhkan lebih luhur dari luasnya tan ah tempat
perjuangan berlaku. Dalam peperangan Dipanegara ini yang diperjuangkan ialah hak bangsa yang
setinggi-tingginya pada tiap-tiap masa, yaitu kemerdekaan bangsa. Dalam perang itu akan
diperjuangkan dengan senjata, hidup merdeka atau hidup terus menerus dalam suasana penjajahan.
Jika kita menginjaki medan peperangan yang terletak di Jawa Tengah itu, maka tidaklah kita
memasuki dunia yang kecil, melainkan hendak membulatkan perhatian kepada dasar perjuangan
yang dua itu, yang menentukan nasib tumpah darah Indonesia dan kemerdekaan bangsa.

Adapun pelajaran peperangan ini akan dilangsungkan di dalam empat bagian berturut-
turut. Perlulah kita terangkan, bahwa oleh kesernpatan itu dapatlah kita menurunkan beberapa
pengetahuan sejarah Indonesia yang pendek sekali, yaitu dari tahun 1825 sampai 1830; dalam
waktu yang cuma 5 tahun lamanya. Ha1 itu agak istimewa. Kalau kita selidiki istimewanya itu
dapatlah ditinjau dalam beberapa hal. Pertama buat orang yang menyelidiki sejarah, maka
memanglah segala zaman sejarah itu hampir sama harganya, tetapi buat orang yang tertarik hatinya
hendak membaca, maka tiap-tiap zaman tidaklah sama harganya. Dalam umumnya segala gerak-
gerik bangsa Indonesia sekeliling peperangan Dipanegara tidak akan membosankan hati,
melainkan selalu akan menarik perhatian umum.

Kedua adalah zaman itu juga sangat istimewa. Dalam sejarah memang ada beberapa zaman
yang tidak ada hubungan dengan zaman sekarang, zaman angkatan bangsa yang sedang hidup.
Dan zaman itu boleh dikatakan ada juga harganya, tetapi tidak lagi bergantung kepada gerakan
sanubari bangsa yang diturunkan oleh bangsa dahulu.

Akan tetapi, sejarah Indonesia zaman Dipanegara itu tidak terpisah daripada gerak-gerik
bangsa Indonesia sekarang, malah kalau dipelajari lebih lanjut lagi, maka zaman sekarang
hanyalah sambungan dari zaman itu. Kita masih hidup dalam gelombang peperangan Dipanegara.
Cita-cita yang disebarkan oleh pahlawan Dipanegara sebelum tahun 1825 dan dalam peperangan
itu belumlah sampai atau berhasil sempurna. Setinggi-tinggi usaha bangsa Indonesia dalam
mencapai kemerdekaannya pada hari yang akan datang adalah usaha itu sebagian dari cita-cita
yang didahului oleh Dipanegara, sebagian daripada perjuangan kemerdekaan dalam tahun 1825
sampai 1830. Oleh sebab itu, zaman'peperangan Dipanegara sangat istimewa sekali; peperangan
Dipanegara boleh dikatakan sebagian sejarah sekarang. Di tanah luaran pernah dijadikan adat
istiadat, jika mempelajari sejarah, maka sejarah itu tidak dimulai dengan pergerakan partai politik,
melainkan didahului dengan gerakan peperangan dan pemberontakan bangsa, misalnya di Filipina
sejak masuknya bangsa Spanyol dan Amerika ke tanah itu.
Ketiga, karena jiwa yang memberi napas kepada peperangan Dipanegara itu, bukanlah jiwa
yang sudah terpendam, atau yang tidak berharga Iagi, melainkan jiwa atau semangat kebangsaan
yang dimulai dalam zaman peperangan Dipanegara itu ialah juga sebagian dari semangat yang
menyala-nyala dalam dada bangsa Indonesia dalam abad ke-20.

Atas tiga sebab ini, maka zaman peperangan Dipanegara itu menjadi sejarah kebangsaan
Indonesia yang bercita-eita cara pasti merdeka pada hari yang akan datang.

Empat kali karangan akan dilanjutkan berturut-turut. Dalam bagian pertama ini akan
diterangkan bagaimana masyarakat Indonesia sebelum peperangan Dipanegara itu dan bagaimana
pahlawan Dipanegara sebagai calon pemimpin pergerakan yang mahahebat itu menyediakan
dirinya lahir dan batin, supaya dapat memimpin dan mencapai Cita-cita yang memang terkandung
dalam hati sanubarinya.

Zaman itu penting sekali, karena zaman persediaan ini besar pengaruhnya bagi peperangan
yang akan datang. Zaman itu bertutup dalam tahun 1825. Dalam bagian kedua akan diterangkan
bagaimana Dipanegara sendiri memimpin gerakan itu sampai kepada puncak kekuasaan. Dalam
bagian yang ketiga akan diterangkan, bagaimana turun-naiknya peperangan, setelah sampai ke
puncak kemenangan dal am peperangan tahun l826. Dan akhir dari perjuangan Pangeran
Dipanegara sampai kepada waktunya dibuang ke Manado dan Makasar.

Untuk strategi peperangan yang digunakan yaitu adalah gerilya. Strategi gerilyanya
tersebut telah membuat penjajah di tahun 1825 menjadi resah. Dari stretegi tersebut dipercaya
orang sekitar telah meninggalkan sebuah tempat yaitu sebuah jalur. Jangan bayangkan jalan ini
beraspal. Hanya lorong tanah selebar tak lebih 2 meter. Permukaannya ditumbuhi rumput liar. Sisi
kanan berbataskan pematang sawah, sisi kiri dengan kanal irigasi. Namun, warga Desa Setrajenar,
Kecamatan Buluspesantren, Kebumen, percaya, menyusuri jalan ini akan sampai Yogyakarta.

Mereka percaya, jalan yang berjarak 1 kilometer dari Pantai Selatan itu sebagai jalan
gerilya pasukan Pangeran Diponegoro. Meskipun episentrum perlawanan Pangeran Diponegoro
di Yogyakarta, area gerilyanya luas mulai dari Madiun, Surakarta, Ambarawa, Wonosobo,
Temanggung, Magelang, Purworejo, hingga Kebumen. Tak heran, Belanda menyebut perang yang
terjadi pada tahun 1825-1830 tersebut sebagai perang Jawa. Selain karena cakupannya yang luas,
perang yang dikobarkan Diponegoro mampu memobilisasi kekuatan masyarakat untuk menentang
penjajah waktu itu. Untuk memadamkan perlawanan itu, kolonial Belanda harus mendatangkan
bala pasukan dari Batavia dan biaya yang sangat besar. Masyarakat Desa Setrajenar, khususnya di
sepanjang area Urut Sewu yang melintang dari barat ke timur pesisir selatan Kebumen percaya,
tempat mereka berpijak kini dahulu merupakan bagian dari wilayah gerilya Diponegoro.
Keberadaan Jalan Diponegoro adalah salah satu bukti nyata.

Pada masa Perang Diponegoro, ujar dia, Kebumen masuk wilayah mancanegara dalam
landskap wilayah Kesultanan Yogyakarta di bawah Hamengku Buwono. Di bagian barat, area
gerilya ini meliputi sepanjang perbukitan Menoreh, Bagelen (kini Purworejo), hingga Kebumen.
Di wilayah-wilayah tersebut, Diponegoro melalui panglima perangnya yang termahsyur, Senthot
Alibasyah Prawiradireja (orang setempat menyebutnya Tumenggung Senthot), merekrut
masyarakat yang anti-kolonial untuk bergabung dalam perang gerilya. Ada pula para begal dan
orang-orang sakti di padepokan yang turut serta. Sejumlah kerabat kadipaten dan pangeran yang
dianggap mbalelo pun banyak yang ikut. Salah satu yang terkenal adalah Ki Demang Bagelen asal
Purworejo. Nilai strategis kawasan mancanegara, selain untuk merekrut basis pasukan adalah area
pelarian dan menyusun kekuatan. Secara militer, Jalan Diponegoro terbilang strategis karena
letaknya tersembunyi, yaitu di pesisir selatan yang jauh dari jalan utama yang mungkin dilalui
pasukan Kompeni Belanda. Letak Jalan Diponegoro sekitar 15 kilometer dari Jalan utama
Kebumen.

Sayangnya, Jalan Diponegoro tersebut kini tak seperti yang dibayangkan. Banyak ruas
yang terpotong dan beralih fungsi menjadi tegalan, sawah, terpotong jalan umum, hingga
permukiman. Lebih mengenaskan lagi, proyek pembangunan jalur selatan selatan (JSS) Jawa bakal
melalui Jalan Diponegoro ini. Jalan Diponegoro yang melalui Urut Sewu, bahkan berada di tengah
ruang milik jalan (RMJ) proyek tersebut. Jalan Diponegoro kini memang tak menghubungkan apa
pun kecuali jalan setapak bagi petani untuk ke sawah. Namun, keberadaan nilai sejarah jalan ini
hendaknya membuka mata hati kita untuk selalu melestarikan peninggalan sejarah. (M
Burhanudin)
Daftar Pustaka :

Yamin, Muhammad. 1998. Sejarah Peperangan Dipanegara Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka

Kompas. (2009, 18 Juni). Setapak Jalan Peninggalan Pangeran Diponegoro. Diperoleh 5 Mei 2018

https://edukasi.kompas.com/read/2009/06/18/11295135/setapak.jalan.peninggalan.panger
an.diponegoro.

You might also like