Professional Documents
Culture Documents
Inkontinensia Urin
Inkontinensia Urin
Pendahuluan
1.2. Tujuan
a. Mengetahui dan memahami konsep dasar dari penyakit Inkontinensia Urin meliputi
definisi, etiologi, klasifikasi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
diagnostic, penatalaksanaan medis, dan komplikasi
b. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan Inkontinensia Urin pada kasus
BAB II
A. Definisi
Inkontinensia urin adalah kegagalan control volunter vesika urinaria dan sfingter uretra
sehingga terjadi pengeluaran urin secara involunter yang konstan atau frekuen
Inkontinesia urin merupakan pengeluaran urin secara involunter berlangsung konstan atau
frekuen akibat kehilangan control sfingter uretra eksterna yang bersifat sementara atau
menetap
Inkontinensia urin adalah gangguan miksi (pengeluaran urin secara involunter) yang
disebabkan karena proses fisiologis dalam setiap proses miksi tidak terpenuhi yaitu :
kapasitas buli-buli (Vesica urinaria) yang adekuat, pengosongan buli-buli (Vesica urinaria)
yang sempurna, proses pengosongan berlangsung dibawah control yang baik, serta setiap
pengisian atau pengosongan Vesica urinaria tidak berakibat buruk terhadap saluran kemih
bagian atas ginjal
B. Etiologi
Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar
prostat,penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedative. Menurut Morgan &
Hamilton (2009) penyebab inkontinensia adalah relaksasi dasar panggul (disfungsi), infeksi,
atrofi, obat-obatan, keluaran urine berlebihan, imobilitas, disfungsi usus.
Seiring bertambahnya usia, ada perubahan anatomi dan fungi organ kemih antara lain :
mlemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah,
atau batuk kronis sehingga mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu,
adanya kontraksi abnormal pada dinding vesika urinaria, sehingga walaupun vesika urinaria baru
terisi sedikit sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Inkontinensia urin juga terjadi akibat
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Dengan
menurunnya kadar hormone estrogen pada wanita menopause, akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan uretra.
Beberapa obat-obatan yang dapat menyebabkan inkontinensia menurut Morgan&Hamilton () :
a. Urgensi : diuretic dan kafein
b. Sering berkemih : diuretic
c. Retensi urine : antikolinergik, narkotik, antagonis alfa dan beta adrenergic, penyekat saluran
ion kalsium
d. Inkontinensia overflow : antikolinergik dan penyekat ion kalsium
e. Inkontinensia stress : antagonis alfa adrenergic
C. Klasifikasi
Klasifikasi Inkontinensia dan penyebab yang spesifik :
a. Inkontinensia Dorongan : pengeluaran urine involunter yang disebabkan oleh dorongan dan
keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan dengan kontraksi detrusor secara
involunter. Penyebabnya adalah gangguan neurologic (stoke, sclerosis multiple) serta infeksi
saluran kemih
b. Inkontinensia tekanan : pengeluaran urine involunter selama batuk, bersin, tertawa, atau
peningkatan tekanan intraabdomen lainnya. Paling sering terjadi pada wanita setelah usia
setengah baya (dengan kehamilan dan pelahiran pervagina berulang). Inkontinensia tekanan
sering disebabkan oleh kelemahan dasar panggul dan kurangnya dukungan unit sfingter
vesikouretra. Penyebab lainnya adalah kelemahan sfingter uretra intrinsic seperti akibat
mielomeningokel, epispadia, prostatektomi, trauma, radiasi atau lesi medulla spinalis bagian
sacral, kelebihan berat badan
c. Inkontinensia aliran berlebih : pengeluaran urine involunter akibat distensi vesika urinaria
yang berlebihan. Bisa terdapat penetesan urin yang sering atau berupa inkontinensia
dorongan atau tekanan. Dapat disertai dengan vesika urinaria yang kurang aktif, obstruksi
jalan keluar kandung krmih (tumor, hipertrofi prostat), obat-obatan (diuretic), impaksi feses,
nefropati diabetic, defisiensi vitamin B12, disfungsi neurologis, penyakit endokrin,
penurunan kelenturan dinding vesika urinaria
d. Inkontinensia fungsional : imobilitas, deficit kognitif, paraplegia atau daya kembang vesika
urinaria yang buruk. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih.
Stress inkontinensia dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
1. Tipe 0 : pasien mengeluh adanya kebocoran namun tidak dapat
dibuktikanmelalui pemeriksaan
2. Tipe 1 : inkontinensia urin dapat terjadi dengan pemeriksaan manuver stress danada sedikit
penurunan uretra pada leher vesica urinaria
3. Tipe 2 : inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher
vesica urinaria 2 cm atau lebih
4. Tipe 3 : uretra terbuka (lead peep) dan area leher vesica urinaria tampak kontraksi
D. Epidemiologi
Di Indonesia, survey Inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut di lingkungan
Pusat Santunan Keluarga di Jakarta (2002) mendapatkan angka kejadian Inkontinensia urin tipe
stress sebesar 32,2%. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Poli Geriatri RS Dr. Sardjito
didapatkan angka prevalensi Inkontinensia urin sebesar 14,47%.
Berdasarkan data dari Canadian Community Health Survey (CCHS) ditemukan prevalensi wanita
dengan inkontinensia urin yang mengalami depresi sebesar 15,5%. Menurut Melville et a; (2005)
angka atau tingkat prevalensi depresi yang terjadi pada wanita dengan inkontinensia urin itu
berbeda-beda tergantung pada tipe dan derajat keparahannya, 2,1% untuk derajat ringan, 5,7%
untuk derajat sedang, dan 8,3% untuk derajat berat. Sedangkan menurut tipenya sebesar 4,7%
untuk inkontinensia urin tipe stress dan 6,6% untuk tipe urge.
E. Patofisiologi
F. Faktor resiko
Beberapa faktor risiko yang telah diteliti dapat meningkatkan kejadian stres inkontinensia urin
pada wanita pasca persalinan adalah usia, paritas, cara melahirkan, berat bayi lahir, ruptur
perineum spontan, ekstrasi vakum dan forsep, dan riwayat stres inkontinensia urin saat hamil
a. Kehamilan
Stress inkontinensia urin pada wanita sering dihubungkan dengan kehamilan. Kehamilan
dapat merusak pelvik disebabkan karena perubahan hormonal dan penekanan kepala bayi.
Vesika urinaria akan lebih cenderung berada di abdomen daripada di pelvik. Hormone
estrogen akan meningkatkan kapasitas vesika urinaria pada saat penurunan kepala bayi.
b. Cara persalinan
I. Persalinan pervaginam
Partus pervaginam merupakan faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya
inkontinensia urin pada 3 bulan post partum
Kelahiran merusak dasar panggul sebagai konsekuensi dari regangan dan
melemahnya otot dan jaringsn ikat selama proses melahirkan
Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh laserasi dan episiotomy menyebabkan
pergeseran dan posisi organ pelvik dari tempat yang seharusnya
Regangan selama partus pervaginam dapat merusak saraf pudendus dan saraf-saraf di
pelvik sehingga bersamaan rusaknya otor dan jaringan ikat menyebabkan kontraksi
penutupan uretra tidak adekuat
II. Persalinan perabdominan
Seksio sesaria merupakan faktor yang protektif terhadap stress inkontinensia urin pasca
persalinan pada masa nifas tetapi tidak untuk 5 tahun post partum. Hal ini hanya
terbatas pada wanita yang menjalani seksio sesaria sebanyak satu atau dua kali saja. Hal
ini disebabkan oleh denervasi dari vesika urinaria saat operasi.
c. Berat bayi lahir
Faktor resiko obstetric seperti bayi melahirkan besar >4000 gram mempunyai faktor resiko
yang meningkat terhadap kejadian stress inkontinensia urin pada usia gestasi 16 minggu jika
dibandingkan dengan melahirkan bayi <4000 gram
d. Ekstrasi vakum atau forsep
Faktor resiko penggunaan vakum saat melahirkan mempunyai hubungan dengan kejadian
stress inkontinensia urin 5 tahun berikutnya, persalinan dengan ektrasi lebih ringan jika
dibandingkan dengan foresep.
e. Paritas
Regangan pada otot-otot dasar panggul yang terjadi saat persalinan pervaginam dapat
menyebabkan stress inkontinensia urin
f. Rupture perineum
Rupture perineum dapat merusak sebgaian otot dasar panggul yaitu otot Transversal
perinea.
g. Riwayat stress inkontinensia urin saat hamil
Studi prospektif selama 5 tahun, risiko jangka panjang terhadap stress inkontinensia urin
berhubungan dengan onset dan lama dari kejadian stress inkontinensia setelah kehamilan
pertama dan kelahiran. Risiko jangka panjang berhubungan dengan waktu timbulnya onset
dan lama dari stress inkontinensia urin serta kehamilan dan kelahiran anak pertama
G. Manifestasi klinis
a. Inkontinensia urgensi :
Tidak dapat menahan miksi
Frekuensi >7kali/hari
Pengeluaran urine dalam jumlah banyak
Bangun pada malam hari untuk berkemih
b. Inkontinensia stress
Kebocoran urin saat aktivitas fisik
Jumlah urine yang keluar sedikit
Kesulitan mencapai toilet tepat pada waktunya, mengikuti desakan untuk berkemih
c. Inkontinensia kombinasi : beberapa gejala baik inkontinensia stress dan inkontinensia
urgensi
H. Pemeriksaan diagnostic
a. Kultur urin : untuk menyingkirkan infeksi
b. IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula
c. Urodinamik
Uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran
Sistometri : menggambarkan kontraktur detrusor
Sistrometri video : menunjukkan kebocorsn urin saaat mengeden pada pasuen
dengan inkontinensia stress
Flowmetri tekanan uretra :mengukur tekanna uretra dan vesika urinaria saat
istirahat dan selama berkemih
d. Sistoskopi : jika dicurigai terdapat batu atau neoplasma vesika urinaria, perubahan
strukturvesika urinaria yang dapat menimbulkan inkontinensia
e. Pemeriksaan speculum vagina ±sistogram jika dicurigai terdapat fistula vesikovagina (At a
Glance)
f. Urethrosistografi : dapat memperlihatkan keadaan uretra, vesika urinaria, dan sudut antara
urethra dan vesica urinaria untuk memicu etiologi inkontinensia urin
g. USG : untuk melihat kelainan pada vesica urinaria
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Q-tip test adalah tes diagnostic yang menunjukkan hipermobilitas dari
urethrovesical junction yang sering terjadi pada wanita. Bila terdapat penyimpangan lebih
daei 30o maka penderita kemungkinan mengalami stress inkontinensia urin
b. Bony test : penekanan uretra dengan dua jari, bila vesika urinaria terisi, penderita disuruh
batuk maka urin tidak akan keluar dari uretra sedangkan kalau tidak ditekan urin akan keluar
c. Pemeriksaan pad test
Penderita disuruh minum sebanyak 500cc kemudian dalam waktu 30 menit penderita
disurug naik tangga, jalan dan batuk-batuk. Lima belas menit kemudian penderita disuruh
duduk berdiri sebanyak 10 kali dan batuk yang kuat serta mengambil barang yang jatuh di
lantai. Enam puluh menit setelah tes ini selesai (lama tes 60menit). Pad ditimbang dengan
hasil kemungkinan pertambahan pad :
2 gram, berarti tidak ada stress inkontinensia urin
2-10 gram disebut stress inkontinensia urin derajat ringan
10-20gram disebut stress inkontinensia derajat sedang
20-40 gram disebut stress inkontinensia derajat berat
40-50 gram disebut stress inkontinensia derajat sangat berat
I. Penatalaksanaan medis
Menurut Graber,Mark.dkk. 2006
a. Pelatihan vesika urinaria : memerlukan edukasi dan berkemih yang terjadwal. Tindakan
menghambat berkemih harus dilakukan sampai suatu waktu tertentu, dan jumlah waktu
yang ditentukan ini harus ditingkatkan secara progresif. Mulai dengan 2 sampai 3 jam dan
ditingkatkan. Paling baik dilakukan pada inkontinensia dorongan tapi dapat bermanfaat juga
pada inkontinensia tekanan
b. Pelatihan kebiasaan : dorongan pasien untuk berkemih di saat yang normal seperti di pagi
hari, sebelum tidur, setelah makan dll
c. Latihan dasar panggul (senam Kegel) : terutama berguna pada inkontinensia tekanan. Angka
kesembuhan 16% dan 54% membaik
d. Obat-obatan untuk inkontinensia tekanan adalah :
Fenilpropanolamin 25-100 mg dalam bentuk lepas-lambat 2x/hari
Pseudoefedrin 30-60mg sampai 4x/hari (atau preparat kerja-lama). Berguna pada
sfingter inkompeten
1. Farmakoterapi
Farmakologi pengobatan stress inkontinensia bertujuan meningkatkan kekuatan penutupan
intrauteral dengan meningkatkan kontraksi otot halus dan lurik uretra.
J. Komplikasi
Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi yaitu :
infeksi saluran kemih
lecet pada area gluteus sampai dengan ulkus decubitus karena selalu lembab
infeksi kulit daerah genital
masalah psikososial
dehidrasi karena umumnya pasien mengurangi asupan cairan agar tidak terjadi
inkontinensia urin
Dx : Inkontinensia Urin Stres b.d. perubahan degenerative pada otot-otot pelvik d.d. melaporkan
rembesan involunter sedikit urine pada saat batuk, bersin dan tertawa, penyimpangan Q-tip test >35o
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pengeluaran urin involunter klien
dapat berkurang
No Indikator 1 2 3 4 5
Keterangan Penilaian :
1. Konsisten terjadi
2. Sering terjadi
3. Kadang-kadang terjadi
4. Jarang terjadi
5. Tidak pernah terjadi
Dx : Gangguan Rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit (pengeluaran urin involunter) d.d
ansietas, takut, melaporkan perasaan tidak nyaman
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien dapat menunjukan
rasa nyaman
No Indikator 1 2 3 4 5 1. parah
2. berat
1. Ansietas √
3. sedang
2. Ketakutan √
4. ringan
3. Inkontinensia urin √
5. tidak ada
No Indikator 1 2 3 4 5 Keterangan
Penilaian :
1. Proses penyakit spesifik √
2. Penyebab dan faktor yang berkontribusi √ 1. Tidak tahu
3. Faktor resiko √ 2. Terbatas
4. Strategi untuk meminimalkan pregres penyakit √ 3. Sedang
5. Keuntungan manajemen penyakit √ 4. Besar
5. Luas
Penutup
3.1. Kesimpulan
Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin secara involunter akibat dari ketidakseimbangan
proses fisiologis dalam proses miksi (pengosongan maupun pengisian Vesika Urinaria) yang
disebabkan oleh relaksasi dasar panggul (disfungsi), infeksi, atrofi, obat-obatan, keluaran urine
berlebihan, imobilitas, disfungsi usus. Inkontinensia terdiri dari 4 jenis yaitu Inkontinensia tekanan
(Stress), Inkontinensia dorongan (Urgensi), Inkontinensia aliran berlebih (Overflow) dan
Inkontinensia fungsional. Penatalaksanaan dari Inkontinensia meliputi farmakoterapi, Terapi fisik
yaitu melatih otot-otot dasar panggul (senam kegell) dan juga terapi pembedahan.
3.2. Saran
Edukasi mengenai pentingnya melaporkan kejadian inkontinensia urin ini perlu ditingkatkan agar
pasien segera mendapatkan penanganan dari tenaga kesehatan dan mencegah timbulnya
komplikasi
Daftar Pustaka
Morgan&Hamilton. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik. Ed.2. Jakarta:Kedokteran EGC
Laporan PJBL 1
Inkontinensia Urin Stres
Oleh :
125070200131007
K3LN
Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
Malang
2014