You are on page 1of 37

Laporan Kasus

SYOK HEMORAGIK STAGE III-IV e.c HAP e.c RETENSIO PLASENTA

Oleh:

Ummi Rahmah, S.Ked 04054821719109


Angelina Hendesa, S.Ked 04084821820008
Nurul Yuli Permata Sari, S.Ked 04084821820046
Kang Yee Ming, S.Ked 04084821820056
Pavitra A/P Subramaniam, S.Ked 04084821820053
Shivaraj A/L Gobal, S.Ked 04084821820054

Pembimbing:
dr. Hari, SpAn
dr. Andi Miarta, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

SYOK HEMORAGIK STAGE III-IV e.c HAP e.c RETENSIO PLASENTA

Oleh:

Ummi Rahmah, S.Ked 04054821719109


Angelina Hendesa, S.Ked 04084821820008
Nurul Yuli Permata Sari, S.Ked 04084821820046
Kang Yee Ming, S.Ked 04084821820056
Pavitra A/P Subramaniam, S.Ked 04084821820053
Shivaraj A/L Gobal, S.Ked 04084821820054

Telah diterima sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik periode 26 Maret – 30 April
2018 di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya / RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, April 2018

dr. Hari, SpAn


BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
STATUS PASIEN

I. Identifikasi
Nama : Ny. SH
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Sumatera Selatan
Agama : Islam
Alamat : Mulya Guna, Kayuagung
No. RM : 00.12.66
MRS : 09 April 2018

II. Anamnesis (Autoanamnesis tanggal 09 April 2018, pukul 16.15 WIB)


A. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Perdarahan hebat sejak 2 jam SMRS post partum spontan
Riwayat Perjalanan Penyakit
+ 3 jam SMRS pasien melahirkan di bidan di puskeskmas teluk gelam, plasenta belum
lahir (+) dan sudah di drip oksitosin 3 ampul dalam 2 kolf Ringer Laktat
+ 2,5 jam SMRS dibawa ke praktik dokter dan terjadi perdarahan +1/2 pispot wanita dan
langsung dibawa ke RSUD Kayu Agung.

B. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi makanan disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat operasi disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat penggunaan zat anestesi disangkal

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit serupa pada keluarga atau riwayat keganasan disangkal
III. Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis GCS 14 E3M6V5
Tekanan darah : 78/52 mmHg
Pernafasan : 25x/menit, reguler
Nadi : 120 x/m, isi dan tegangan cukup
Suhu : 36,50C
BB : 50 kg

B. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Mata: Conjungtiva pucat (+/+), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, sentral Diameter:
3mm/3mm. Edema palpebral (-), gigi palsu (-)
Hidung: Kering, darah (-), deviasi septum (-)
Mulut:Mukosa bibir pucat (+) sianosis (-) atrofi papil lidah (-), buka mulut 3jari, gigi
goyang (-) ompong (-), gigi palsu (-), Malampati I, Faring/tonsil:Arkus faring simetris, uvula
ditengah, palatum mole (+), tonsil T1– T1 (-), detritus (-), kripta tidak melebar, tidak mudah
berdarah.
Leher: Jejas (-), deformitas (-), JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru: Statis dan dinamis simetris, stem fremitus kanan=kiri, sonor, vesikuler (+) normal,
ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung: BJ I-II (+) normal, HR = 120 x/menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: Datar, lemas, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-), timpani.
Ekstremitas: akral dingin, pucat (+), edema (-)

C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (09/04/2018)
Hb : 7,1 gr/dl
Eritrosit : 2,9 mm3
Leukosit : 26.200 mm3
Trombosit : 240.000 mm3
Ht : 22 %
D. Diagnosis Kerja
Diagnosa Obgyn : P2A0 Post Partum Spontan 37 minggu belum
inpartu dengan Retensio Plasenta
Diagnosa Anestesi : Syok Hemoragik Stage III-IV e.c. HAP e.c. Retensio
Plasenta

E. Terapi
a. Pre operatif
- IVFD RL gtt xx/mnt
- O2 Nasal kanul 2-4 L/menit
- Oksitosin 2 ampul
- Ondansetron 8 mg
- Sasar SpO2
- Cek darah, HbsAg
b. Intra operatif
- Ketamin 60mg
- Fentanyl 50 mcg
- Midazolam 1 x 2 mg
- O2 Nasal kanul 2-4 L/menit
- IVFD RL gtt xxx/mnt
- Ketorolac 1 x 30 mg
- PRC 1x300cc
c. Post operatif
- IVFD RL gtt xx/mnt
- O2 Nasal kanul 2-4 L/menit
- Ketoprofen 200 mg suppositoria
- PRC 2X300 cc
- Kopodex
- Oksitosin 2 ampul
- Ondansentron 8mg
IV. Rencana Anestesi
a. Jenis pembedahan : Curettage/ Kuretase dan Manual Plasenta
b. Jenis anestesi : Anestesi General
c. Lama anestesi: : 15 menit
d. Lama tindakan : 45 menit
e. Teknik anestesi : Anestesi General
f. Premedikasi :-
g. Medikasi tambahan :-

VI. Laporan anestesi durante operasi


a. Mulai anestesi : 09 April 2018 pukul 19.30 WIB
b. Lama anestesi : 15 menit
c. Lama operasi : 45 menit
d. Premedikasi :-
e. Induksi :-
f. Medikasi tambahan :-
g. Relaksasi :-
h. Respirasi : Spontan
i. Posisi : Supinasi
j. Cairan Durante Operasi:
input: RL 500 cc + PRC 300 cc
Output (perdarahan): 800cc
k. Selesai operasi : 09 April 2018 pukul 20.15 WIB

V. Laporan anestesi post operasi


a. Analgetik : Dexketoprofen 50 mg
b. NRS :0
c. Perawatan : ICU
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Shock
Syok adalah sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan
oksigen jaringan tubuh. 7

3.1.1 Stadium syok


1. Stadium kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi
fisiologis tubuh dengan cara meningkatkan reflex simpatis sehingga terjadi : 8
a. Resistensi sistemik meningkat:
o Distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer
(jantung, paru, otak).
o Resistensi arteriol meningkat  diastolic pressure meningkat
b. Heart rate meningkat  cardiac output meningkat
c. Sekresi vasopressin, rennin-angiotensi-aldosteron meningkat  ginjal
menahan air dan sodium didalam sirkulasi.
Manifestasi klinis: takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian
kapiler lambat (lebih dari 2 detik).

2. Stadium Dekompensasi
Pada stadium ini telah terjadi:
a. Perfusi jaringan buruk  O2 sangat turun  metabolism anaerob  laktat
meningkat  laktat asidosis, diperberat oleh penumpukan CO2 dimana CO2
menjadi asam karbonat.
Asidemia akan menghambat kontraktilitsa miokardium dan respons terhadap
katekolamin.
b. Gangguan metabolism energy dependent Na+ / K+ pump ditingkat seluler 
integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitochondria
memburuk  kerusakan sel.
c. Aliran darah lambat dan kerusakan rantai kinin serta system koagulasi, akan
diperburuk dengan terbentuknya agregasi thrombocyte dan pembentukan
thrombus disertai tendensi pendarahan.
d. Pelepasan mediator vaskuler : histamine, serotonin, cytokines (TNFalpha dan
Interleukin 1) xantin oxidase  membentuk oksigen radikal serta platelets
aggregating factor. Pelepasan mediator oleh makrofag menyebabkan
vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler meningkat  venous return
turun  preload turun  cardiac output turun.
Manifestasi klinis: takikardia, tekanan darah sangat turun, perfusi perifer
buruk, asidosis, oliguria dan kesadaran menurun.

3. Stadium Irreversible
Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel  multi
organ failure. Cadangan phosphate berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di
jantung dan hepar  tubuh kehabisan energi.
Manisfestasi klinis: nadi tidak teraba, tekanan darah tak terukur. Anuria dan
tanda-tanda kegagalan organ.

3.1.2 Klasifikasi 7
1. Hypovolemic (volume intravaskuler berkurang)
2. Cardiogenic (pompa jantung terganggu)
3. Obstructive (hambatan sirkulasi menuju jantung)
4. Distributive (vasomotor terganggu)

3.1.2.1 Hypovolemic Shock


Penyebab: Volume intravaskuler berkurang akibat pendarahan, kehilangan
cairan (diare, luka bakar, muntah-muntah dan third space loss). 8
Tujuan terapi untuk restorasi volume intravaskuler, dengan target optimalkan
tekanan darah, nadi dan perfusi organ. Bila hypovolemia telah teratasi baru
boleh diberikan vasoactive agent (dopamine, dobutamine).
1. Kehilangan cairan
Akibat muntah-muntah, diare atau luka bakar sehingga terjadi dehidrasi.

DERAJAT DEHIDRASI :
Dewasa Bayi dan Anak

Dehidrasi Ringan 4% BB 5% BB
Sedang 6% BB 10% BB
Berat 8% BB 15% BB
(Sumber : Hartanto, 2007)

TANDA KLINIS
Ringan Sedang Berat
Defisit 3-5% 6-8% >10%
Hemodinamik Takikardia Takikardia Takikardia
Nadi Nadi tidak
sangat teraba
lemah Akral
Volume dingin
collapse Sianosis
Hipotensi
ortostatik
Jaringan Lidah kering Lidah Atonia
Turgor turun keriput Turgor
Turgor buruk
kurang
Urine Pekat Jumlah Oliguria
turun
SSP Mengantuk Apatis Coma
(Sumber : Latief AS, 2002)
Tindakan:
1. Tentukan defisit
2. Atasi syok : cairan infus 20ml/kg dalam 1 jam, dapat diulang
3. Sisa deficit:
- 50% dalam 8 jam pertama.
- 50% dalam 16 jam berikutnya
Cairan : Ringer laktat atau NaCl 0,9%
Telah rehidrasi bila urine: 0,5-1 ml/kg/jam

Pada pendarahan >15% EBV perlu dilakukan transfuse darah, sedang pada bayi dan
anak bila pendarahan >10% EBV.
TRANFUSI dengan :
1. Whole blood : (Hb – Hb pasien ) x BB x 6 = ___ ml
2. Packed Red Cell : (Hb – Hb pasien) x BB x 3 = ___ml
Bila dipakai cairan kristaloid : 3 kali volume darah yang hilang
Cairan koloid : sesuai jumlah darah yang hilang.

Klasifikasi Syok Hemoragik


Kompensasi Ringan Sedang Berat
Hilang darah <1000 1000-1500 1500-2000 >2000
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Ortostatik Sangat turun Tidak terukur
Pengisian Normal Mungkin Sering Selalu
kapiler terlambat terlambat terlambat
Pernafasan Normal Peningkatan Takipnea Takipnea
ringan sedang nyata, gagal
nafas
Urine >30 20-30 5-20 Anuria
Status mental Normal atau Agitasi Konfusi Letargi, tidak
agitasi sadar
(Sumber :
3.1.2.2 Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi apabila terdapat gangguan kontraktilitas miokardium,
sehingga jantung gagal berfungsi sebagai pompa untuk mempertahankan curah
jantung yang adekuat. Disfungsi ini dapat terjadi pada saat sistolik atau
diastolik atau dapat terjadi akibat obstruksi pada sirkulasi jantung. 6
Terapi syok kardiogenik bertujuan untuk memperbaiki fungsi miokardium dan
sirkulasi. Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok
kardiogenik adalah CO↓, BP↓, SVR↑, dan CVP↑.
Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi syok kardiogenik adalah
sebagai berikut:
1. Infus cairan untuk memperbaiki sirkulasi
2. Inotropik
3. Apabila CO↓, BP↓, SVR↑, berikan dobutamine 5 μg/kg/min
4. Pada keadaan tekanan darah sangat rendah harus diberi obat yang berefek
inotropik dan vasopressor, seperti norepinephrine

3.1.2.3 Syok obstruktif


Syok obstruktif terjadi apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju
jantung (venous return) akibat tension pneumothorax dan cardiac tamponade.
Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada syok obstruktif adalah CO
menurun, BP menurun, dan SVR menurun. 6
Penanganan syok obstruktif bertujuan untuk menghilangkan sumbatan; dapat
dilakukan sebagai berikut:
1. Pemberian cairan kristaloid isotonik untuk mempertahankan volume
intravaskuler
2. Pembedahan untuk mengatasi hambatan/obstruksi sirkulasi

3.1.2.4 Syok distributif


Syok distributif apabila terdapat gangguan vasomotor akibat maldistribusi
aliran darah karena vasodilatasi perifer, sehingga volume darah yang
bersirkulasi tidak adekuat menunjang perfusi jaringan. Vasodilatasi perifer
dapat menyebabkan hipovolemia. Beberapa syok yang termasuk dalam
golongan syok distributif ini antara lain: 6
3.1.2.4.1 Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik adalah syok yang disebabkan reaksi antigen-antibodi
(antigen IgE). Antigen menyebabkan pelepasan mediator kimiawi endogen,
seperti histamin, serotonin, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
endotelial vaskuler disertai bronkospasme. Gejala klinis dapat berupa
pruritus, urtikaria, angioedema, palpitasi, dyspnea, dan syok. 6

Terapi syok anafilaktik:


 Baringkan pasien dengan posisi syok (kaki lebih tinggi)
 Adrenaline: Dewasa 0,3-0,5 mg SC (subcutaneous); anak 0,01 mg/kgBB
SC (larutan 1:1000)
 Fungsi adrenaline: meningkatkan kontraktilitas miokard, vasokonstriksi
vaskuler, meningkatkan tekanan darah dan bronkodilatasi
 Pasang infus RL
 Kortikosteroid: dexamethasone 0,2 mg/ kgBB IV (intravena)
Bila terjadi bronkospasme dapat diberi aminophyline 5-6 mg/kgBB IV
bolus secara perlahan, dilanjutkan dengan infus 0,4-0,9 mg/kgBB/menit

3.1.2.4.2 Syok Neurogenik


Umumnya terjadi pada kasus cervical atau high thoracic spinal cord injury.
Gejala klinis meliputi hipotensi disertai bradikardia. Gangguan neurologis
akibat syok neurogenik dapat meliputi paralisis flasid, refleks ekstremitas
hilang dan priapismus. 6
Penanganan syok neurogenik:
 Resusitasi cairan secara adekuat
 Berikan vasopressor

3.1.2.4.3. Insufisiensi Adrenal Akut


Insufisiensi adrenal akut dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti: 6
 Kegagalan adrenal gland: penyakit autoimun, adrenal hemorrhagic, infeksi
HIV, penggunaan ketoconazole dosis tinggi, meningococcemia, penyakit
granulomatous.
 Kegagalan hypothalamic/pituitary axis: efek putus obat dari terapi
glucocorticoid
Gejala klinisnya antara lain hiperkalemia, hiponatremia, asidosis, hipoglikemia,
azotemia prarenal. Kelompok pasien yang memiliki risiko tinggi insufisiensi
adrenal akut adalah pasien dengan sepsis, peng- gunaan antikoagulan pasca
CABG (coronary artery bypass graft), putus obat pada terapi glukokortikoid
dalam jangka 12 bulan, HIV AIDS, tuberkulosis diseminata. Gejala umumnya
meliputi lemah, mual/muntah, nyeri abdominal, hipotensi ortostatik, hipotensi
refrakter terhadap resusitasi volume atau agen vasopressor, dan demam.
Terapi:
 Infus D5% atau NS untuk mempertahan- kan tekanan darah
 Dexamethasone 4 mg IV, dilanjutkan dengan 4 mg tiap 6 jam
 Atasi faktor pencetus
 Bila diagnosis telah pasti, dapat diberikan hydrocortisone 100 mg setiap 8
jam atau infus kontinu 300 mg/24 jam
 Ambil sampel darah, periksa elektrolit dan kortisol

3.1.2.4.4. Syok Septik


Syok septik adalah sepsis yang disertai hipotensi (tekanan sistolik <90
mmHg) dan tanda-tanda hipoperfusi meskipun telah dilakukan resusitasi
cairan secara adekuat. Syok septik merupakan salah satu penyebab kematian
utama pada unit perawatan intensif. 6
Patofisiologi:
 Vasodilatasi akibat menurunnya SVR
 Kebocoran kapiler difus disebabkan peningkatan permeabilitas
endotelial vaskuler yang menyebabkan penurunan preload bermakna,
sehingga berdampak perburukan perfusi jaringan
Penanganan syok septik antara lain:
1. Pemberian antibiotik, umumnya dengan golongan spektrum luas
2. Perbaiki dan mempertahankan hemodinamik dengan terapi berikut:
a. Terapi cairan: Meskipun syok septik tergolong dalam syok
hiperdinamik (terjadi hipovolemi relatif akibat vasodilatasi dan
hipovolemi absolut akibat kebocoran kapiler), cairan yang
direkomendasikan tetap cairan kristaloid
b. Vasopressor: Norepinephrine
c. Inotropik: Dobutamine
d. Oksigen

3.1.2 Terapi Cairan



Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma ekspander) secara intravena.
Terapi cairan berfungsi untuk mengganti
defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti
kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi, dan
mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.8
 Terapi cairan resusitasi

Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut
cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk
memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar.
Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal
Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg
selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10
menit.
 Terapi rumatan 

Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan
nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari
dan elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat
pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.

Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu :
Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan
karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan
elektrolit yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan KA-EN,
dextran + saline, DGAA, Ringer’s dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan
yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan
tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel
sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi
rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti
sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek
samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak
mampu mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat
mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan
menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke luar
tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu
:

• 6-8 ml/kg untuk bedah besar

• 4-6 ml/kg untuk bedah sedang

• 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

A. Jenis-Jenis Cairan

1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Cairan
kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata
sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume
intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30
menit. 8
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut
akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid
lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih
dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis)
dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka
kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan
paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial.

2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau
pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang
banyak (misal luka bakar). 8

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:


a. Koloid alami: 
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan
2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam
untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. 

b. Koloid sintetis:
1. Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa.
Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik
dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki
aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan
(viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang
dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII,
meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran
melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-
rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46%
lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan
koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume
expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan
pada penderita gawat. 8

3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat


molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3
macam gelatin, yaitu:
– modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
–
Urea linked gelatin
– Oxypoly gelatin. 8

B. Terapi Cairan Preoperatif


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum
induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama
pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan
cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam
fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak
mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral
lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami
pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan
(hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera
diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi. 8
C. Terapi Cairan Intraoperatif
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan
dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan,
translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan
tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang. 8

1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama
pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk
pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6
ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau
Normosol-R.
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam
untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10
ml/kgBB/jam.

D. Terapi Cairan Postoperatif


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air
untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24
jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena
adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan
transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH
yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3
hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum
baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan
pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5
gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila
perlu larutan garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat
minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:

 Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan
1°C
suhu tubuh
 Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.

 Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi
dan
humidifikasi.

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang


belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan
transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi
nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
3.1. Anestesi Umum
3.1.1 Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Pada tindakan anestesi
umum terdapat beberapa teknik yaitu teknik intravena anestesi dan
inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik
intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau dengan teknik
gabungan keduanya yaitu inhalasi dan intravena. 1
Anestesi umum menurut Mangku dan Tjokorda (2010), dapat dilakukan
dengan 3 teknik, yaitu:
1. Anestesi umum intravena
Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan
jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam
pembuluh darah vena.

2. Anestesi umum inhalasi



Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang 
dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi.

3. Anestesi imbang

Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat
– obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi
atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.
3.1.2 Bagian Anestesi Umum
A. Anestesia Intravena
Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan
untuk rumatan anestesia, tambahan pada analgesia regional atau
untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin
dan propofol. Untuk anestesia intravena total biasanya
menggunakan propofol. 2
 Tiopental
Tiopental (pentotal, tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung atau
bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul
500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam
akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg). Tiopental
hanya boleh digunakan intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan
disuntikkan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intrakranial dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan
O2. Tiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya
30% dalam bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin
rendah dosis harus dikurangi.
 Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml
= 10 mg). suntikkan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Pengenceran propofol hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak-anak
<3 tahun dan pada wanita hamil tidak di anjurkan.
 Ketamin
Ketamin (ketalar) kurang digeamari untuk induksi anestesia,
karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi,
nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur, dan mimpi buruk. Kalau harus diberikan
sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi midasolam (dormikum)
atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01mg/kg.
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuskuler 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1ml = 50 mg) dan 10% (1
ml=100 mg).

B. Anestesia Inhalasi
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk
praktek klinik ialah N20 halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan
sevofluran.1
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit masih
merupakan misteri dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik
inhalasi melalui pernapasan menuju organ sasaran yang jauh
merupoakan suatu hal unik dalam dunia anestesiologi.
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh
sifat fisiknya:
1. Ambilan oleh paru
2. Disfusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan
oleh:
1. Konsentrasi inspirasi
2. Ventilasi alveolar
3. Koefisien darah/gas
4. Curah jantung atau aliran darah paru
5. Hubungan ventilasi-perfusi

3.1.3 Obat-Obat Pada Anestesi Umum


Obat anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya dibagi terdiri dari 3
golongan yaitu : 4
1. Obat Anestetika gas
 Berpotensi rendah
 Hanya digunakan pada induksi dan operasi ringan
 Contohnya : nitrogen monosida, siklopropan

2. Obat Anestetika yang menguap


 Diberikan setelah diberi zat anestetik yang lain untuk induksi yang
cepat
 Terdapat dua golongan yaitu golongan eter dan hidrocarbon
halogen.
 Contohnya : eter (golongan eter), halotan, efluran, isofluran
(golongan hidrocarbon halogen).

3. Obat Anestetika yang diberikan secara intravena


 Induksi anestesi, induksi dan pemeliharaan anestesi bedah singkat,
supplementasi hypnosis pada anestesi, dan sedasi.
 Contohnya : ketamin, droperidol dan fentanyl , diazepam,
propofol.

3.1.4 Persiapan Anestesi Umum


Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi umum adalah : 4
Anamnesis : Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sehingga dapat merancang anestesia berikutnya dengan lebih
baik. Contohnya dari segi obat yang kiranya ada masalah dimasa lampau,
jangan diulangi dipakai obat tersebut. Kebiasaan merokok (dihentikan 1-2
hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin). Kebiasaan minum alkohol
dicurigai adanya penyakit hepar.

Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan


ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang
akan terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi.

Pemeriksaan fisik : keadaan gigi geligi, tindakan muka mulut, lidah


relatif besar, leher pendek dan kaku untuk mengetahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan laboratorium anjuran: hendaklah sesuai atas indikasi


dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Uji laboratorium
secara rutin harus dilakukan misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb,
leukosit) dan urinalysis. Bagi pasien diatas 50 tahun dianjurkan
pemeriksaan EKG dan foto toraks.
3.1.5 Cara Memberikan Anestesi
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan
obat sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi
yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk
operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan
memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut
maintenance atau pemeliharaan. 3

a) Induksi
Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, atau
intramuskuler atau rektal :
 Induksi Inhalasi : sering disebut dengan istilah induksi lambat karena
membutuhkan waktu yang lama, sedangkan induksi intravena disebut
juga dengan induksi cepat karena penderita cepat tertidur. Tetapi pada
saat ini telah ditemukan sevoflurane yaitu obat inhalasi yang dapat
membuat tidur secepat obat intravena.
Induksi Inhalasi :
Diberikan dengan meminta penderita menghirup campuran gas anestesi
dengan udara atau oksigen, dengan memakai face mask (sungkup muka/
kap). Tergantung yang dipakai, gas anestesi bisa diambil dari tabung gas
(N2O ) atau dari obat anestesi cair yang diuapkan menggunakan alat yang
disebut vaporizer. Pada zaman dulu obat anestesi cair diteteskan pelan-
pelan langsung kesungkup muka yang berlubang –lubang kecil, cara ini
disebut open drop, karena obatnya ether maka disebut juga open drop
ether.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N20 dan
O2. Induksi dimuali dengan aliran O2 >4 liter/menit atau campuran N20:
O2= 3:1 aliran >4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai
konsentrasi yang dibutuhkan.
Umumnya induksi inhalasi dikerjakan pada bayi dan anak.

 Induksi Intravena
 Paling banyak dikerjakan dan digemari.
 Hendak dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan
terkendali.
 Pernafasan, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu
diberikan oksigen.
 Dikerjakan pada pasien yang kooperatif
 Contohnya :
1. Tiopental
Dosis : 3-7 mg/kgBB
2. Propofol
Dosis : 2-3mg/kgBB, diberikan lidokain 1mg/kgBB satu menit
sebelumya karena nyeri.
3. Ketamin
Dosis : 1-2mg/kgBB , dianjurkan menggunakan sedativa
seperti midasolam karena halusinasi dan tidak dianjurkan
dengan tekanan darah tinggi.
Total Intra Venous Anesthesia (TIVA) adalah metode anestesi umum
yang dicapai tanpa menggunakan gas volatile anestesi. Dapat
didefinisikan sebagai sesuatu teknik anestesi umum dimana induksi
dan pemeliharaan anestesi dengan menggunakan agen intravena
murni. Total Intra Venous Anestesia telah terjadi lebih popular karena
sifat farmakokinetik dan farmakodinamik propofol. Obat-obatan yang
sering dipakai untuk TIVA adalah ketamine, propofol, midazolam,
obat sintetik baru dimana model farmakokinetiknya dapat diprediksi.
Keuntungan dari penggunaan TIVA yaitu:
2. Onset induksi sangat cepat
3. KEO yang besar pada anak menghasilkan induksi yang sangat cepat
dan keseimbangan yang cepat antara plasma dan effect site.
4. Onset aksi yang cepat yang tidak tergantung pada ventilasi alveolar.
5. Perbaikan kualitas pada saat bangun dari anestesi.
6. Pemulihan yang lembut dan tenang
7. Tidak terdapat resiko polusi lingkungan
8. Pengurangan insidensi mual muntah post operasi.
9. Peningkatan kenyamanan pasien, kepuasan orang tua pasien pada
periode post operasi.
10. Propofol mengurangi metabolism otak dan CBF, sehingga
digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial.
11. Pilihan metode pada pasien dengan hipertermia maligna.
12. Pilihan metode pada pasien dengan miopati kongenital.
13. Propofol tidak menekan Sistem Saraf Pusat selama operasi spinal.
14. Dapat diterapkan secara administrative untuk mempertahankan
anestesi

 Induksi per rektal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau
midazolam.
Obat-obat anestesi dapat dimasukkan kedalam tubuh melalui inhalasi
(dengan menghirup), atau parenteral (dengan suntikan).
Yang melalui inhalasi antara lain
 N2O
 halothan
 enflurane
 ether
 isoflurane
 sevoflurane
 metoxiflurane
 trilene.

Yang melalui parenteral :


 intravena, antara lain :. pentothal, ketamin, golongan benzodiazepin.
 intramuskuler, antara lain : ketamin dan golongan benzodiazepin .

b) Maintenance (Pemeliharaan)
Rumatan anestesia/ maintenance dapat dikerjakan dengan cara
intravena, inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi yang
biasanya mengacu trias anestesia yaitu tidur ringan sekadar tidak sadar,
analgesia cukup, relaksasi otot

3.1.6 Stadium Anestesi


Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa
penderita tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman
anestesi dinilai berdasar tanda klinik yang didapat.
Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat
pernafasan , gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks
pada penderita yang mendapat anestesi ether. 8
Stadium I
 Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi
Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada
stadium ini operasi kecil bisa dilakukan.
Stadium II
 Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam
stadium ini penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular,
pupil melebar, refleks cahaya positif, gerakan bola mata tidak
teratur, lakrimasi (+),tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada,
dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau
defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnnya refleks menelan dan
kelopak mata, dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini
membahayakan penderita karena itu harus segera diakhiri.
Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang
adekuat, Persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan
tepat.
Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi pada fase
pemulihan dari anestesi. penderita bisa meronta ronta, pernafasan
irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif, gerakan bola mata tidak
teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada,
dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau
defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnnya refleks menelan dan
kelopak mata, dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini
membahayakan penderita karena itu harus segera diakhiri.
Stadium III.
 Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise
otot nafas
Dibagi menjadi 4 plane :
Plane I :
Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai
dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal Gerakan
bola mata berhenti, pupil mengecil , refleks cahaya (+), lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
Plane II:
Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa
otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal
menurun dan frekwensi nafas meningkat , mulai terjadi depresi nafas
torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya
menurun, refleks kornea menghilang, dan tonus otot makin menurun.
Plane III:
Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh
otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan
dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar
dan refleks cahaya menjadfi hilang, lakrimasi negatif, refleks laring
dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
Plane IV:
Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma
. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat ,
iregular dan tidak adekwat, terjadi jerky karena terjadi paralise
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.
Stadium IV :
 Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga
disebut stadium over dosis atau stadium paralysis.
Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi,
terjadi respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.
3.1.7 Kontraindikasi Anestesi Umum
Tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan,
(harus hindarkan pemakaian obat) 14
 Hepar  obat hepatotoksik, dosis dikurangi/diturunkan
 Jantung  obat-obat yang mendepresi miokard/ menurunkan aliran
darah koroner.
 Ginjal  obat yg diekskresi di ginjal
 Paru  obat yg merangsang sekresi Paru
 Endokrin  hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah/
hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes, penyakit basedow, karena biasa menyebabkan
peningkatan gula darah.

3.1.8 Komplikasi Anestesi Umum


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. 14
Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
a) Hipotensi : tekanan systole kurang dari 70mmHg atau turun 25%
dari sebelumnya.
b) Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode
induksi dan pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat
membahayakan khususnya pada penyakit jantung, karena jantung
akan bekerja keras dengan kebutuhan O2 mokard yang meningkat,
bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark miokard. Namun
bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan
menambah dosis anestetika.
c) Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi
dapat merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia.
Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin
d) Payah Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV
berlebihan.

2. Penyulit Respirasi
a) Obstruksi jalan nafas
b) Batuk
c) Cekukan (Hiccup)
d) Intubasi endobronkial
e) Apnu (Henti Nafas)
f) Atelektasis
g) Pneumotoraks
h) Muntah dan Regurgitas

3. Komplikasi Mata
a) Laserasi Kornea
b) Menekan bola mata terlalu kuat

4. Perubahan Cairan Tubuh


a) Hipovolemia
b) Hipervolemia

5. Komplikasi Neurologi
a) KonvulsiTerlambat sadar
b) Cedera saraf tepi (perifer)
6. Komplikasi Lain-Lain
a) Menggigil
b) Gelisah setelah anestesi
c) Mimpi buruk
d) Sadar selama operasi
e) Kenaiakn suhu tubuh
f) Hipersensitif
BAB IV
ANALISIS MASALAH

Ny. SH, perempuan, 30 tahun P2A0 belum inpartu datang ke IGD RSUD Kayu Agung
dengan diagnosis pre operatif perdarahan post partum ec sisa plasenta. Pasien mengallami
perdarahan sejak  3 jam sebelum masuk rumah sakit. Warna merah segar,  2 jam SMRS
pasien mengalami perdarahan hebat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 78/52 mmHg,
Nadi 120x/menit, RR 22x/menit, dan suhu 36,50C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kepala,
leher, thoraks, abdomen, ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang
laboratorium didaptkan hasil Hb 7,1 g/dL, RBC 2,9 mm3, WBC 26.200 mm3, Trombosit
240.000 mm3 dan Hematokrit 22%. Maka dari itu status pasien ASA III, dimana pasien
dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Pemilihan jenis anestesi pada Ny. SH yaitu anestesi umum karena beberapa
pertimbangan seperti kondisi pasien yang mengalami perdarahan hebat yang bisa membuat
pasien mengalami penurunan kesadaran pada saat intraoperatif, refleks protektif berkurang
sehingga memungkinkan untuk terjadinya aspirasi isi lambung.
Pada pasien dengan perdarahan dan dilakukan tindakan kuretase, hal yang
dikhwatirkan adalah terjadinya syok hemoragik. Selama intraoperative didapatkan
perdarahan sebanyak 300ml, Jumlah volume darah total pada pasien ini dengan berat badan
50 kg adalah 3250, dikarenakan estimasi jumlah darah yang hilang adalah sebanyak 25% dari
estimasi total volume darah maka terapi cairan yang diberikan adalah kristaloid dengan dosis
rumatan/maintenance. Ny. SH dengan berat badan 50 kg, perhitungan kebutuhan cairannya
adalah 40+20+30 = 90 ml/jam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. 2004. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta

2. Satriyandari Y. 2017. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian perdarahan post partum.


Yogjakarta

3. Chalik, TMA. 2010. Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan. Dalam:
Prawirohardjo,Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4, Cetakan I. Jakarta

4. Aitkenhead A, Smith G, Rowbotham D. Texbook of anaesthesia. 2007. Fifth edition.


United Kingdom

5. Morgan GE. 2008. Clinical Anesthesiology: 44th Edition

6. Leksana, Eri. 2015. Dehidrasi dan Syok.http://www.kalbemed.com/Portals/6/23_228Praktis–


Dehidrasi%20dan%20Syok.pdf.Semarang, Indonesia.

7. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

8. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.

9. Dahlan R, Nizar R. Syok pada Anestesiologi. CV Info Medika: Jakarta, 1989

10. Sunatrio S. Terapi Cairan Kristaloid dan Koloid untuk Resusitasi Pasien Kritis. Second
Fundamental Course on Fluid Therapy. PT Widara Bhakti: Jakarta, 2003: 1-19

11. Parello JE. Current Therapy in Critical Care Medicine. MC Craw-Hill Book: Singapore,
1992

12. Adelmen, R.D., Solhaug, M.J., 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi Cairan. In:
Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Arvin, Ann.M., Ilmu Kesehatan Anak Nelson ed 15,
jilid 2. Jakarta: EGC; 258-266

13. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

14. Ganiswara, Silistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology).
Alih Bahasa: Bagian Farmakologi F K U I. Jakarta

You might also like