You are on page 1of 21

Matahari dan bulan merupakan dua makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala yang sangat akrab dalam pandangan.

Peredaran dan silih bergantinya yang sangat yeratur merupakan ketetapan aturan Penguasa Jagad Semesta ini.
Allah Subhanahu wa ta’alaberfirman (yang artinya) :
”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (Ar-Rahman : 5)
Maka semua yang menakjubkan dan luar biasa pada matahari dan bulan menunjukkan akan keagungan dan
kebesaran serta kesempurnaan Penciptanya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala membantah fenomena
penyembahan terhadap matahari dan bulan. Yang sangat disayangkan ternyata keyakinan kufur tersebut banyak
dianut oleh ”bangsa-bangsa besar” di dunia sejak berabad-abad lalu, seperti di sebagian bangsa Cina, Jepang,
Yunani, dan masih banyak lagi. Allah Subhanahu wa ta’alaberfirman:
ِ َّ ِ ‫ش ْم ِس َو ََل ل ِْلقَ َم ِر َوا ْس ُجدُوا‬
َ‫لِل الَّذِي َخلَقَ ُه َّن إِن ُكنت ُ ْم إِيَّاهُ تَ ْعبُدُون‬ َّ ‫س َو ْالقَ َم ُر ََل تَ ْس ُجدُوا لِل‬ ُ ‫َومِ ْن آيَاتِ ِه اللَّ ْي ُل َوالنَّ َه‬
َّ ‫ار َوال‬
ُ ‫ش ْم‬
”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kaliann sujud
(menyembah) matahari maupun bulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika memang kalian
beribadah hanya kepada-Nya.”(Fushshilat: 37)
Syariat Islam yang diturunkan oleh Penguasa Alam Semesta ini memberikan bimbingan dan pencerahan
terhadap akal-akal manusia yang sempit dan terbatas. Membuktikan bahwa akal para filosof, rohaniawan, para
wikan, paranormal dan lain-lain adalah akal yang keliru dan sesat. Kebenaran dan hidayah hanya ada pada syariat
yang dibawa oleh para nabi dan rasul ’alaihimussalam.
Diantaranya ajaran yang digagas oleh para filosof, rohaniawan dan lain-lain tentang antariksa, semuanya
berbau mistis dan kesyirikan. Termasuk dalam memahami hakekat sebenarnya tentang gerhana matahari dan
gerhana bulan. Dua fenomena tersebut oleh banyak kalangan dihubung-hubungkan dengan akan terjadinya peristiwa
luar biasa di bumi tempat manusia tinggal. Misalnya saja selang beberapa hari atau beberapa minggu dari gerhana,
di daerah tertentu akan terjadi bencana alam, wabah penyakit, keributan atau bentrok antar massa dan sebagainya.
Biasanya, untuk mengantisipasinya berbagai ritual (baca: kesyirikan) digelar. Di samping adanya mitos bahwa
gerhana terjadi karena raksasa menelan matahari atau bulan, dengan berbagai macam versi ceritanya. Sementara di
kubu lain, masyrakat modern yang mengalami kemajuan tekhnologi dan ilmu antariksa ini, menganggap hal itu
sebagai fenomena alam biasa. Karena melalui berbagai riset ilmiah, mereka bisa mengetahui sebab terjadinya
gerhana tersebut secara pasti.
Dinul Islam yang asas utamanya adalah kemurnian tauhid dan kelurusan aqidah, menjelaskan hakekat
sebenarnya gerhana. Tentu saja penjelasan yang bersumber dari Pencipta dan Pengatur matahari-bulan dan
pergerakannya, bahkan seluruh alam semesta. Jauh dari kebatilan mitos, takhayul, dan kesyirikan para penyembah
alam, jauh pula dari kelalaian kaum rasionalis. Apabila kita membuka kitab-kitab para ulama dan fuqaha Islam dari
kalangan Ahlus Sunnah akan kita dapati penjelasan tentang gerhana dalam tinjauan Syariat Islam dengan
pembahasan lengkap dan mencukupi.

Definisi Gerhana
Gerhana matahari ( Khusufusy Syams ) adalah hilangnya cahaya matahari sebagian atau total pada waktu
siang. Adapun gerhana bulan ( Khusuful Qamar ) adalah hilangnya cahaya bulan sebagian atau total pada waktu
malam.

Sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam tentang Gerhana


Dari sahabat al-Mughirah bin Syu’bah, bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

‫ فَإِذَا‬,‫ َوالَ لَ ِحيَاتِ ِه‬,ٍ‫ت أ َ َحد‬ ِ َ‫ت هللاِ الَ يَ ْن َك ِسف‬


ِ ‫ان ِل َم ْو‬ ِ َ ‫س َو ْالقَ َم َر آيَت‬
ِ ‫ان ِم ْن آيَا‬ َّ ‫{ ِإ َّن ال‬
َ ‫ش ْم‬
}‫ِف‬ َ ‫صلُّوا َحتَّى ت َ ْن َكش‬َ ‫عوا هللاَ َو‬ ُ ‫َرأ َ ْيت ُ ُمو ُه َما فَا ْد‬
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) di antara ayat-ayat Allah. Tidaklah terjadi gerhana
matahari dan bulan karena kematian seseorang atau karena hidup (lahirnya) seseorang. Apabila kalian melihat
(gerhana) matahari dan bulan, maka berdoalah kepada Allah dan sholatlah hingga tersingkap kembali.” (HR. Al-
Bukhari no. 1043, dan Muslim no. 915)
Sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ’anhu mengatakan, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Tanda-tanda ini, yang Allah tampakkan, bukanlah terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang. Namun
dengannya Allah memberikan rasa takut kepada hamba-hamba-Nya. Maka apabila kalian melihat salah satu darinya,
bersegeralah untuk berdzikir, berdoa kepada-Nya dan memohon ampunan-Nya.” (HR. Al-Bukhori no. 1059)
Hadits baginda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam di atas menunjukkan kepada kita bahwa gerhana bukanlah
sekedar fenomena alam biasa. Gerhana merupakan fenomena alam yang memang Allah kehendaki sebagai salah
satu ayat (tanda) kebesaran-Nya. Hadits di atas memberikan pelajaran dan tuntunan kepada kaum mukminin terkait
gerhana sebagai berikut:
1. Sebab, gerhana adalah Allah menjadikannya sebagai perimgatan agar hamba-hamba-Nya takut kepada-Nya. Maka
tatkala terjadi gerhana hendaklah umat manusia segera ingat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan segera
menyadari bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala sedang mengingatkan kelalaian mereka dengan ancaman adzab-Nya.
Dari sini, jelaslah bagi kita kesalahan kebanyakan kebanyakan orang yang justru menjadikan fenomena gerhana
tersebut sebagai hiburan bagi mereka. Ketika ada informasi bahwa gerhana akan terjadi pada hari tertentu pada jam
tertentu, maka mereka bersiap dengan kamera dan teropong masing-masing, mencari tempat-tempat strategis untuk
menyaksikan peristiwa ”indah” tersebut. Sungguh sangat jauh dari mengingat Allah Subhanahu wa ta’ala, apalagi
menyadari itu sebagai peringatan dari-Nya. Kesalahan ini akibatmenganggap gerhana sebagai kejadian antariksa
biasa, yang bersumber dari sikap mengandalkan sains, tanpa mau mengundahkan berita dari Allah Subhanahu wa
ta’ala, Pencipta dan Penguasa seluruh alam dengan segenap galaksi dan langit yang ada didalamnya. Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Ini bantahan terhadap ahli astronomi yang mengira bahwa gerhana merupakan
peristiwa biasa, tidak akan maju atau mundur.”
2. Bantahan terhadap keyakinan-keyakinan/ mitos-mitos batil, atau legenda-legenda kosong. Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa sallam membantah keyakinan yang ada dikalangan musyrikin arab saat itu dengan sabdanya, ”Bukanlah
terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang.” islam memberantas segala keyakinan/ aqidah batil, diantaranya
yang bersumber dari astrologi (ahli nujum) yang meyakini bahwa pergerakan/ peredaran bintang, planet dan benda-
benda langit lainnya memberikan pengaruh/ ada kaitannya dengan kejadian-kejadian di bumi. Yang dikenal sebagai
zodiak, shio, atau nama yang lainnya sesuai dengan agama asal masing-masing yang digagas oleh para filosof,
rohaniawan atau paranormal. Termasuk kejadian gerhana yang diyakini sebagai tanda atau sebab (bakal) terjadi
peristiwa atau bencana besar di muka bumi. Ini semua adalah batil. Seorang mikmin yang berpegang pada
kemurnian tauhid harus meninggalkan keyakinan-keyakinan tersebut. Sangat disayangkan, ada sebagian di antara
kaum muslimin yang masih percaya dengan ramalan-ramalan bintang, termasuk pula mitos/ legenda seputar
gerhana, atau meyakini peristiwa gerhana ada hubungan dengan bencana alam atau lainnya. Al-Imam al-
Khaththabi Rahimahullah berkata, ”Dulu mereka pada masa jahiliyyah berkeyakinan bahwa gerhana menyebabkan
terjadinya perubahan di muka bumi, berupa kematian, bencana dan lain-lain. Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa
sallam mengajarkan bahwa itu adalah keyakinan batil. Sungguh matahari dan bulan itu adalah dua makhluk yang
tunduk kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Keduanya tidak memiliki kekuatan mempengaruhi sesuatu yang lainnya,
tidak pula memiliki kemampuan membela diri.” ( lihat Fathul Bari hadits no. 1040)
3. Tuntutan Islam ketika terjadi gerhana. Baginda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita tuntunan
syariat yang mulia ketika terjadi gerhana matahari maupun gerhana bulan, yaitu ada tujuh hal (sebagaimana dalam
hadits-hadits tentang gerhana):
1. Shalat gerhana
2. Berdoa
3. Beristighfar
4. Bertakbir
5. Berdzikir
6. Bershadaqah
7. Memerdekakan budak
(Lihat HR. Al-Bukhari no. 1040, 1044, 1059, 2519; Muslim no. 901, 912, 914)
Ini dilakukan sejak awal terjadinya gerhana, hingga berakhirnya yang ditandai dengan kembalinya cahaya
matahari atau bulan seperti sedia kala. Di antara doa yang beliau perintahkan adalah berlindung dari adzab kubur.
Karena gerhana mengakibatkan suasana gelap meskipun pada siang hari, dan dalam suasana tersebut hati manusia
pasti dihinggapi rasa takut. Suasana yang demikian mengingatkan kita akan suasana di alam kubur
kelak. (Lihat Fathul Bari hadits no.2519).
Karena gerhana merupakan peringatan akan adzab, maka sangat tepat dianjurkan pada kesempatan
tersebut untuk memerdekakan budak, sebab amal tersebut bisa memerdekakan seseorang dari api
neraka. (Lihat Fathul Bari hadits no. 2519).
Gerhana merupakan peristiwa penting dalam Islam. Islam bernar-benar mengajak hamba untuk menyikapi
gerhana yang sedang terjadi sebagai peringatan dari Rabbul ’Alamin Subhanahu wa ta’ala. Hikmah ini tidak bisa
diketahui dengan ilmu sains, namun hanya bisa diketahui melalui wahyu yang diturunkan kepada nabi
Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam.
4. Tidak melakukan shalat gerhana kecuali bila gerhananya terlihat. Sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam di atas,
”Apabila kalian melihat (gerhana) matahari atau bulan, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah.” Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam mengaitkan pelaksanaan shalat gerhana dengan ”melihat (ru’yah)”. Al-Hafidz Ibnu
Hajar Rahimahullah mengatakan, ”… karena pelaksanaan shalat (gerhana) dikaitkan dengan ru’yah.” (Lihat Fathul
Bari hadits no. 1041). Artinya, apabila telah diperkirakan dengan hisab astronomis terjadi gerhana namun terhalangi
oleh langit yang mendung, maka tidak dilakukan shalat gerhana. Atau gerhana terjadi di wilayah lain/ belahan bumi
lainnya, sehingga tidak terlihat. Misalnya gerhana terjadi di Eropa, tidak terjadi di Indonesia, maka orang Indonesia
tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat gerhana. Atau terjadinya gerhana matahari setelah tenggelamnya
matahari, atau gerhana bulan setelah terbitnya matahari sehingga tidak bisa teramati, maka tidak ada shalat gerhana
pula.
5. Gerhana bisa diketahui dengan hisab. Allah Subhanahu wa ta’ala Yang Maha Kuasa telah menjadikan pergerakan
matahari dan bulan berjalan dengan rapi dan teratur, sehingga bisa diamati dan dihitung oleh manusia. Termasuk
gerhana bisa diketahui dengan hisab astronomis kapan terjadinya, di belahan bumi mana sajakah terjadinya, serta
jenis gerhananya, apakah gerhana total, sebagian, cincin dan lain-lain. Namun tidak diambil darinya konsekuensi
hukum apapun terkait dengan shalat gerhana atau lainnya. Meskipun gerhana bisa diketahui kapan waktu terjadinya
berdasarkan hisab astronomis yang sangat akurat, namun apabila ternyata pada hari-H dan jam-J nya gerhana tidak
teramati atau tidak terjadi di wilayah tersebut, maka shalat gerhana tidak bisa dilaksanakan. Hal ini mirip dengan hilal
di awal bulan, khususnya ketika menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawwal. Meskipun diketahui secara pasti
berdasarkan hisab astronomi yang akurat posisi hilal sekian derajat dan dinyatakan memungkinkan untuk diru’yah,
namun apabila fakta di lapangan hilal tidak bisa diamati, maka berarti belum masuk Ramadhan atau Idul Fitri.
Kemudian, fakta bahwa gerhana bisa diketahui dengan hisab astronomis, tidak menghilangkan sebab dan fungsi
gerhana yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu ”Dengannya, Allah memberikan rasa takut
kepada hamba-hamba-Nya.” sekali lagi, gerhana bukan peristiwa biasa seperti halnya pasang-surutnya ombak di
lautan. Namun ada hikmah besar di balik itu. Oleh karena itu –sebagaimana pada hadits-hadits di atas- sampai-
sampai Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berdiri ketakutan, khawatir itu sebagai tanda datangnya Kiamat, dan beliau
memerintahkan dengan 7 hal.
Bersambung Insya Allah…
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber : Buletin Jum’at Al-Ilmu edisi 21 (Fikih) tahun 1434 H

Gerhana Matahari Dalam Perspektif Sains


Gerhana matahari adalah tertutupnya piringan matahari oleh piringan bulan jika dilihat
dari bumi karena bulan berada persis di tengah-tengah antara matahari dan bumi.
Bulan, bumi, dan matahari, semuanya adalah benda langit yang terus bergerak. Bulan
bergerak berlawanan arah jarum jam (jika dilihat dari atas) untuk mengelilingi bumi.
Bumi pun demikian, bergerak berlawanan arah jarum jam untuk mengelilingi matahari.
Bulan punya tiga putaran, berputar pada porosnya (berotasi) selama 27,3 hari, berputar
mengelilingi bumi selama 29,5 hari (bulan sinodik), dan berputar bersama-sama bumi
mengelilingi matahari. Adapun bumi punya dua putaran: berputar pada porosnya
(berotasi) selama 24 jam, dan berevolusi mengelilingi matahari selama 365 hari. Gerak
bulan dan bumi mengelilingi matahari digambarkan sebagai berikut:

Gambar Orbit bulan dan bumi mengelilingi matahari S

Saat bumi bergerak mengelilingi matahari, di saat yang sama bulan juga bergerak
mengelilingi bumi dan bersama-sama bumi bergerak mengelilingi matahari. Tentu
dalam perjalanannya mengelilingi bumi dan matahari, akan tiba masa ketika bulan
berada tepat di antara bumi dan matahari dalam satu garis lurus (fase bulan baru). Pada
saat ini lah akan terjadi gerhana matahari.
Jika bulan mengelilingi bumi selama 29,5 hari (1 bulan Qomariyah), mengapa gerhana
matahari tidak terjadi tiap bulan? Karena bulan bergerak dalam bidang orbitnya
mengitari bumi dengan kemiringan sekitar 5 derajat dari bidang edar bumi mengelilingi
matahari (bidang ekliptika). Walaupun bulan berada dalam fase bulan baru namun
posisi bulan tidak berada tepat di bidang ekliptika, maka gerhana matahari tidak akan
terjadi.
Garis edar bulan mengelilingi bumi berbentuk elips (bukan lingkaran), sehingga
adakalanya posisi bulan sangat dekat dengan bumi (perigee) dan ada kalanya posisinya
sangat jauh dari bumi (apogee). Ketika bulan berada posisi terdekat dengan bumi, dan
di saat yang sama bulan berada di bidang ekliptika pada fase bulan baru, maka akan
terjadi gerhana matahari total di bagian bumi yang terkena langsung bayangan bulan
(umbra), yaitu gerhana yag seluruh piringan matahari tertutupi oleh piringan bulan jika
dilihat dari bumi. Di saat yang sama, bagian bumi yang hanya terkena bayangan semu
bulan (penumbra), hanya akan terjadi gerhana sebagian, yaitu tertutupinya sebagian
piringan matahari oleh piringan bulan jika dilihat dari bumi. Adapun ketika bulan berda
dalam posisi terjauh dari bumi, maka yang terjadi adalah gerhana cincin, yaitu piringan
bulan menutupi bagian tengah matahari sehigga bagian matahari yang tidak tertutupi
oleh piringan bulan nampak seperti cincin. Jadi secara umum, ada tiga macam gerhana
matahari, yaitu gerhana matahari total, gerhana matahari sebagian, dan gerhana
matahari cincin.
Hari Rabu, 9 Maret 2016, diberitakan akan terjadi gerhana matahari di Indonesia karena
pada saat itu bulan berada di antara bumi dan matahari di bidang ekliptika dalam satu
garis lurus. Gerhana matahari yang terlihat di Indonesia saat itu adalah gerhana
matahari total dan gerhana matahari sebagian. Wilayah-wilayah yang akan dilalui
gerhana matahari total mencakup 11 provinsi. Diantaranya Bengkulu, Sumatera Selatan,
Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Sedangkan kota-kota besar
yang dilalui seperti Penarik, Palembang, Koba, Tanjung Pandan, Kendawangan,
Pembuang, Sampit, Palangkaraya, Amuntai, Tanah Grogot, Balikpapan, Palu, Poso,
Ampana, Luwuk, Ternate, Jailolo hingga Maba. Adapun daerah lain di Indonesia akan
mengalamai gerhana matahari sebgaian.
Ketika terjadi gerhana matahari total, bumi tak terkena cahaya matahari beberapa saat
sehingga suasana di bumi bagaikan malam hari, suhu bumi menurun, dan binatang
segera beradaptasi seakan malam telah tiba. Waktu maksimal terjadinya gerhana
matahari selama 7 menit 30 detik.
Berdasarkan penelitian, gerhana matahari terjadi tiap tahun paling sedikit dua kali dan
paling banyak lima kali, namun di tempat yang berbeda-beda dan dengan jenis gerhana
matahari yang berbeda-beda. Jika gerhana matahari dapat terjadi setiap tahun, megapa
gerhana matahari hari Rabu 9 Maret 2016 nampak sangat istimewah? Pertama, karena
inilah gerhana matahari total pertama di Indonesia di millenium ke tiga dan abad 21.
Kita ketahui, tahun 2000 merupakan millennium ke tiga dan abad 21. Sejak tahun 2000,
tak pernah sekalipun terjadi gerhana matahari total di Indonesia hingga hari ini. Gerhana
matahari total terakhir di Indonesia 24 Oktober 1995 (20 tahun yang lalu), itupun kurang
terekspos media karena hanya terjadi di pulau Sangihe Sulawesi Utara. Gerhana
matahari total yang terekspos luas oleh media juga pernah terjadi 11 Juni 1983, namun
saat itu ada himbauan secara massif dari pemerintah orde baru kepada masyarakat agar
tidak keluar rumah untuk menghidari kebutaan bila melihat langsung gerhana matahari.
Kedua, gerhana matahari kali ini hanya bisa terlihat di daratan Indonesia. Terlebih,
daerah yang dilalui cukup banyak, terdiri dari tiga pulau besar: Sumatra, Kalimantan, dan
Sulawesi, dan beberapa pulau dalam ukuran sedang: Bangka, Halamhera, dll. Serta
melintasi 11 propinsi sebagaimana yang penulis tuliskan di atas. Bandingkan dengan
tahun 1995 yang hanya melewati satu propinsi. Gerhana total terdekat yang akan terjadi
di Indonesia setelah tahun ini adalah 20 April 2023 (7 tahun ke depan) namun hanya
melewati Indonesia bagian timur saja. Gerhana matahari total berikutnya 20 April 2042
(26 tahun dari tahun ini), hanya melwati Indonesia bagian barat saja. Gerhana matahari
total tahun ini semakin istimewah karena bertepatan dengan hari libur nasional tanggal
9 Maret 2016 (hari Raya Nyepi).
Jika gerhana matahari total maksimal (sekitar 2-3 menit) pada tangal 9 Maret nanti, para
ahli astronomi mengatakan bahwa tidak apa-apa melihatnya dengan mata telanjang
karena saat itu cahaya matahari akan tertutupi oleh bulan sehinga tidak berbahaya bagi
mata. Yang berbahaya bagi mata ketika piringan matahari belum tertutup penuh atau
telah melewati batas maksimalnya sehingga cahaya matahari mulai nampak lagi. Ini bisa
merusak mata karena mata tak mampu menahan besarnya intentitas cahaya matahari
yang mengenai mata. Selama matahari tidak tertutup sempurna, setidaknya ada tiga
cara yang dapat digunakan untuk tetap dapat menikmati fase-fase terjadinya gerhana
tersebut, yaitu: dengan menggunakan teleskop yang dilengkapi fiter cahaya atau
menggunakan kacamata matahari. Ketiga, bila tak memiliki kedua alat tersebut, bisa
merakit sendiri alat sederhana yang diistilahkan ‘proyeksi lubang jarum’ (teknis
perakitannya bisa dicari di google).

GERHANA MATAHARI DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Bagi orang-orang Barat atau sekuler, apabila mereka telah mampu menjelaskan
epistimologi gerhana matahari sebagaimana yang penulis jelaskan di atas, maka bagi
mereka penjelasan tentang gerhana matahari total sudah cukup, titik. Namun sebagai
muslim, penjelasan epistimologi gerhana matahari semacam itu, belumlah cukup, karena
apapun yang terjadi di alam, semuanya terjadi atas izin Allah dan tentu akan ada syariat
atau hikmah yang terkandung di dalamnya yang bisa meningkatkan keimanan. Di sinilah
perbedaan worldview (cara pandang) ilmuan sekuler dan ilmuan muslim.
Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam masih hidup, juga telah terjadi gerhana
matahari yang menjadi awal disyariatkannya sholat sunnah gerhana. Selama periode
Mekah dan Madinah, telah terjadi delapan kali gerhana matahari sebagian, empat kali di
periode Mekah: Senin 23 Juli 613 (29 Ramadhan 10 SH), Jumat 21 Mei 616 (29 Sya`ban 7
SH), Jumat, 4 November 617 (29 Safar 5 SH), dan Selasa 2 September 620 (29 Muharram
2 SH). Selebihnya empat kali di periode Madinah: Kamis 21 Juni 624 (29 Zulhijjah 2 H),
Selasa 21 April 627 (29 Zulkaidah 5 H), Senin 3 oktober 628 (29 Jumadil Ula 7 H), dan
Senin 27 Januari 632 (29 Syawal 10 H). Gerhana matahari yang terakhir inilah bertepatan
dengan wafatnya salah seorang putra Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, Ibrahim,
pada usia 22 bulan (1 tahun 10 bulan).

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dan
sesungguhnya keduanya bukan terjadi gerhana karena meninggalnya seseorang. Akan
tetapi, Allah ta’ala menakut-nakuti hamba-hamba-Nya dengannya. Oleh karena itu,
apabila kamu melihatnya, maka shalatlah dan berdoalah sehingga terbuka apa
(gerhana) yang terjadi padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena gerhana matahari bertepatan dengan meninggalnya anak beliau, maka


Rasulullah menegaskan bahwa gerhana matahari tak ada hubungannya dengan
wafatnya seseorang, namun itu bagian dari tanda kekuasaan Allah. Bagi yang melihat
gerhana (baik total maupun sebagian), disunnahkan untuk banyak berdzikir, istigfar,
berdoa, dan sholat gerhana. Sholat gerhana disyariatkan dimulai saat gerhana mulai
terjadi (piringan matahari mulia tertutupi oleh piringan bulan) dan berakhir saat
matahari kembali bersinar secara sempurna.
Benda-benda alam, mulai dari yang besar (matahari, bulan, dan planet-pleanet) hingga
benda kecil (elektron) adalah tanda keberadaan dan kebesaran Allah. Mereka beredar
dengan begitu teratur dalam satu gerakan yang sama, berputar dari kanan ke kiri,
berlawanan arah jarum jam (jika dilihat dari atas). Jadi benda-benda alam hanya punya
satu gerakan yang ternyata sama dengan gerakan tawaf jamaah haji di masjidil haram,
berlawanan arah jarum.
Ini pula tanda kebenaran kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan
kebenaran Al Quran. Dalam surah Al Anbiya ayat 33, ”Dan Dialah yang telah
menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu
beredar di dalam garis edarnya”. Rasulullah adalah orang yang ummi (tidak bisa
membaca, menulis dan berhitung/astronomi), lalu bagaimana ia bisa tahu bahwa
matahari dan bulan itu beredar menurut perhitungan di dalam garis edarnya?. Ini bukti
beliau adalah benar Rasul Allah dan Al-Quran itu adalah dari Allah dan bukan karangan
beliau.
Gerhana matahari juga Allah maksudkan untuk menghadirkan rasa takut manusia
kepada Allah subhanahu wata’ala. Allah begitu mudah untuk merubah suasana siang
jadi malam, Allah begitu mudah mengatur-ngatur matahari dan bulan agar tidak
bertabrakan, lalu susahkan bagi Allah untuk menjadikan mereka bertabrakan?
Sebagaimana mudahnya Allah menjadikan manusia yang awalnya tidak ada dan menjadi
ada, maka begitu muda pula bagi Allah untuk mematikan manusia dan menghancurkan
seluruh jagad raya ini. Begitu mudah bagi Allah menjadikan kiamat terjadi:“Dan tahukah
kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti anai yang beterbangan, dan
gunung–gunung seprti bulu yang dihambur-hamburkan”(QS. Al Qoriah: 2-5). “Apaila
bumi diguncangkan dengan gucangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan
beban berat yang dikandungnya, dan manusia bertanya apa yang terjadi di bumi ini?
“(QS. Al-Zalzalah: 1-3).
Momen gerhana matahari, tak cukup jika hanya direspon dengan perasaan takjub lalu
dijadikan objek wisata, namun harus menjadikan kita semakin takut dan dekat kepada
Allah.

*Disampaikan dalam kuliah Umum Gerhana Matahari Dalam Perspektif Sains dan Islam
oleh Dewan Mahasiswa Geografi FMIPA UNM bekerja sama dengan Study Club Al Idrisi
Geografi UNM, Jumat,4 Maret 2016.

Oleh Andi Muh. Akhyar, S.Pd., M.Sc.


(Alumnus Program Pascasarjana Ilmu Fisika UGM dan Ketua Pengurus Pusat
Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia)

Referensi:
Anugraha, Rinto. 2012. Mekanika Benda Langit. Yogyakarta: Jurusan Fisika FMIPA UGM.
Anwar, Syamsul. 2011. Interkoneksi Studi Hadits dan Astronomi. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah
Fauzan, Shalih Bin. 2013. Ringkasan Fiqh Lengkap. Bekasi: Darul Falah.
Hidayatulloh, Agus, et all. 2011. At- Thayyib, Al Qur’an Transliterasi Per Kata dan
Terjemah Perkata. Bekasi: Cipta Bagus Segara.
www.infoastronomi.org. Informasi Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016. Diakses hari
Kamis, Tanggal 3 Maret 2016.
www.kalastro.xyz/search/label/ Setelah 9 Maret 2016, Kapan Gerhana Matahari Total
Terlihat di Indonesia.html. Diakses hari Kamis, Tanggal 3 Maret 2016
www.kalastro.xyz/search/label/Apa yang Istimewa dari Gerhana Matahari Total 9 Maret
2016.html. Diakses hari Kamis, Tanggal 3 Maret 2016.
KAJIAN HADITS TENTANG GERHANA
KAJIAN HADITS TENTANG GERHANA

Gerhana matahari dan rembulan merupakan hal yang biasa yang dapat dilihat dan
dijumpai, yang dapat diketahui berdasarkan ilmu tentang peredaran matahari dan bulan,
sebagaimana keduanya memiliki sebab-sebab abstrak yang tidak terlihat mata, yang pada intinya
semua ini merupakan sebab-sebab yang dapat ditangkap indra dan abstrak yang berasal dari
Illahi.[1]
Sebagaimana kita Ketahui bahwa sumber pokok hidup kita adalah Al-Qur’an dan Hadits.
Sedangkan shalat gerhana matahari hanya sekali saja dikerjakan Rasulullah ketika anaknya
Ibrahim wafat. Cara pelaksanaan dua shalat ini yaitu shalat Khusuf dan kusuf di itsbatkan oleh
sunnah, bukan Al-Qur’an. Maka dasar pegangan kita dalam menetapkan pokok hukum dan
penjelasan-penjelasannya adalah sunnah semata.[2]
Shalat gerhana hanya dilakukan sekali saja oleh Rasulullah pada wafatnya Ibrahim.
Tetapi jika kita menelusurinya, banyak hadit-hadits yang menerangkan tata cara shalat gerhana
dan dalam hadits tersebut memiliki perbedaan makna yang akan menimbulkan perbedaan suatu
hukum juga. Sebagai contoh dua hadits yang kami ambil sebagai rujukannya. Oleh karena itu,
kami akan membahasnya di dalam bab selanjutnya.
a. Hadits pertama
‫ت‬ ِ ‫بكير حدثن الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال اخبرني عُروة انّ عائشة رضي هللا عنها اخبرته انّ خسف‬ ٍ ‫حدثنا ييحيى بن‬
ً ً َ ْ
‫وصف الناس ورأهُ فاقترأ قرأة طويلة ثم ك ّبر فركع‬ ّ َ ّ
‫الشمس فى حيا ِة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم الى المسجدفقا َم فك ّب َر‬ ُ
ً‫ ثم قام ورأ ُه فا ْقترأ َ قرأة‬.‫ سمع هللا لمن حمده ر ّبنا ولك الحمد‬:‫ركوعًا طويالً هو اَدْنى من القرأةَ األ ُ ْولى ثم رفع رأْسهُ فقال‬
‫ سمع هللا لمن حمده ربّنا ولك‬:‫ ثم قال‬.‫ هو اَدْنى من الركوعِ االَ ّول‬,‫ ثم ك ّبر فركع ركوعًا‬,‫ هي اَدنى من القرأةَ األ ُ ْولى‬,ً‫طويلة‬
‫ينصرف‬
َ ‫الشمس قبل ان‬ ُ ِ ‫ت وا ْنجل‬
‫ت‬ ٍ ‫ت واربع سجدا‬ ٍ ‫الركع ِة األ ُ ْخ َرى مثل ذلك حتّى استكم َل ارب َع ركَعا‬
ّ ‫الحمدز ثم سجد ثم فعل فى‬
‫ت‬ ِ ‫ِقان لمو‬ َ ّ
ِ ‫آيتان من آيات هللا عزوج ّل الينخش‬ ِ ‫والقمرض‬
َ ‫الشمس‬
َ ّ‫ِن‬ ‫ا‬:‫ ثم قال‬.‫ فأَثْنى على هللا بما هو اهله‬.‫ثم قام فخطب النّاس‬
ُ
‫عوا الى الصّال ِة‬ ْ ‫ فإذا رايتموها فا ْف َز‬,‫اح ٍد وال لحيت ِه‬
Dimasa hidup Rasulullah terjadi gerhana beliau keluar ke masjid, beliau berdiri bertakbir dan
manusia bershaf-shaf di belakangnya. Nabi membaca qira’ah yang panjang, kemudian beliau
takbir lalu rukuk, rukuk yang panjang, lamanya sama dengan lama bacaan pertama, kemudian
beliau mengangkat kepalanya lalu membaca: sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal
hamdu. Kemudian Nabi berdiri terus, lalu membaca wiraah yang panjang, kurang sedikit dari
bacaan yang pertama, kemudian Nabi membaca: sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal
hamdu. Kemudian beliau sujud. Kemudian nabi mengerjakan pada rakaat berikutnya hingga
beliau menyempurnakan empat rukuk dan empat sujud. Dan matahari terang kembali sebelum
Nabi salam. Sesudah itu, beliau berdiri, berkhutbah dihadapan manusia. Beliau memuji Allah
dengan yang layak bagi-Nya. Sesudah itu beliau berkata: sesungguhnya matahari dan bulan
adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dia tidak gerhana karena tidak matinya
seseorang dan tidak karena lahir seseorang. Apabila kamu melihat gerhana-gerhana itu,
bersegeralah shalat. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

b. Hadits kedua
‫النبي صلّى هللا‬ ّ ّ‫اخبرنا مح ّمد بن المثنّى عن معاذ بن هشام قال حدّثنى ابى عن قتادةَعن ابى قالبه عن النُ ْعمان بن بشير ان‬
‫فصلوا ها َ كأَحْ دثِؤ صال ٍة صَل ْيت ُ ُمو َها‬
ْ ‫الشمس والقمر‬
ُ ِ َ‫سف‬
‫ت‬ ِ ‫عليه وسلم قال إذا َخ‬
“Bersabda Nabi SAW ‫ة‬aka, jika kalian melihat gerhana matahari dan bulan shalatlah kalian
sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’y).
Kajian Hadits
Hadits yang pertama menjelaskan bahwa shalat gerhana dipanjangkan berdiri, rukuk
dan sujud. Juga menyatakan bahwa nabi SAW menyelesaikan shalatnya sesudah matahari
bercahaya kembali (berakhirnya gerhana). Hadits ini menyatakan pula bahwa kita disukai
membaca khutbah sesudah shalat gerhana. Selain itu, gerhana matahari atau bulan, bukan karena
kematian atau lahirnya seseorang. Gerhana hanyalah untuk menunjukkan kekuasaan Allah.
Hadits-hadits ini juga menyuruh kita bersegera pergi mengikuti shalat gerhana dan berzikir
apabila terjadi gerhana. Shalat gerhana dua rakaat. Di tiap-tiap rakaat dua kali berdiri dua kali
membaca Al-Fatihah dan surat, dua kali rukuk dan dua kali sujud, seperti shalat yang lain.
Menurut As-syafi’i dan Al-Bukhary shalat gerhana yang dikerjakan Rasulullah adalah
shalat gerhana pada hari Ibrahim Meninggal. Karena gerhana terjadi satu kali, kita harus
mengambil riwayat yang kuatyaitu riwayat Aisyah yang menerangkan dua kali rukuk dalam satu
rakaat (Aisyah turut Shalat bersama-sama Rasul).
Hadits yang kedua, hadits ini menyatakan, shalat gerhana sama dengan shalat fardhu
yang kita kerjakan sebelum gerhana. Kalau gerhana itu terjadi sesudah zuhur maka shalat
gerhana dikerjakan sebagai shalat zuhur yaitu empat rakaat.
Menurut pentahqiqan Tengku Muhammad Habsi Ash-shiddieqy, baik sekali kita kerjakan
shalat gerhana berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’y dan Ahmad, dari Qabisah
Al-Hilaly. Mengingat, suruhan yang dihadapkan kepada kita ummat, lebih kuat daripada
perbuatan yang Nabi kerjakan itu.[3]
Menurut pendapat kalangan Ulama:
Tiga mazhab, yaitu Maliki, Hambali dan Syafi’i, sepakat bahwa shalat gerhana dilakukan
sebanyak dua raka’at dengan dua kali Alfatihah dan dua kali rukuk dalam setiap raka’atnya.
Sementara menurut Mazhab Hanafi, shalat gerhana ini dilaksanakan tidak berbeda dengan shalat
sunnah yang lain, yaitu satu kali membaca Alfatihah dan satu kali rukuk dalam setiap raka’atnya.
Sementara dari segi jumlah raka’at, Mazhab Hanafi mengatakan paling sedikit dua
raka’at. Boleh lebih dari dua raka’at, hanya yang paling utama adalah 4 raka’at dilaksanakan
dengan satu kali salam. Setelah shalat selesai, dilanjutkan dengan khutbah.[4]
Validitas hadits kedua diperselisihkan para imam, sebab umumnya jalur hadits ini melalui
Abu Qilabah (nama aslinya adalah Abdullah bin Zaid Al Jarmi), syeikh Syu’aib Al-Arnauth
mengatakan: Dia banyak memursalkan hadits, dan pada hadits ini tidak ada kejelasan bahwa dia
mendengar hadits tersebut dari Qabishah bin Mukhaariq. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No.
20607. Beliau pun mengatakan:isnaduhu dhaif - isnadnya dhaif).
Imam Al Baihaqi juga mengisyaratkan kedhaifan riwayat ini, katanya: Hadits ini mursal, Abu
Qilabah belum pernah mendengarnya dari An Nu’man bin Basyir, sesungguhnya dia cuma
mendengar dari seorang laki-laki, dari An Nu’man. (LihatAs Sunan Al Kubra No. 6128)
Imam Yahya bin Al Qaththan juga menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat,
yakni inqitha’ (terputus sanadnya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/215)
Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan: Berkata Ayahku (Imam Abu Hatim): Berkata Yahya bin
Ma’in: Abu Qilabah dari An Nu’man adalah mursal. Berkata ayahku: Abu Qilabah telah
berjumpa dengan An Nu’man bin Basyir, tapi aku tidak tahu apakah dia mendengar darinya atau
tidak. (Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 2/228)
Jadi, permasalahan yang ada pada hadits ini adalah semua jalurnya terputus sanadnya baik
Abu Qilabah kepada An Nu’man bin Basyir, atau Abu Qilabah kepada Qabishah, atau
Abdurrahman bin Abi Laila kepada Bilal, walau periwat lainnya adalah orang-orang terpercaya,
sehingga dilemahkan oleh sebagian imam ahli hadits seperti yang kami sebutkan di atas.
Sedangkan syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menilai bahwa hadits
ini mudhtharib (guncang), sehingga pendapat tentang tata cara shalat gerhana seperti shalat biasa
adalah keliru. Beliau mengatakan: madzhab ini tidak benar, karena hadits tersebut tidak shahih,
karena dia hadits mudhtharib sebagaimana penjelasan nanti, dan bertentangan dengan hadits-
hadits yang shahih yang ada pada masalah ini. (Tamamul Minnah, Hal. 262).[5]
SELANJUTNYA>>>

[1] Dr. Mardani, Hadits Ahkam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2012, hlm. 126
[2] Tengku Muhammad Habsi Ash-shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2011, hlm.617
[3] Tengku Muhammad Habsi Ash-shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2011, hlm.618-621

[4] http://salmanitb.com/2011/12/10/shalat-gerhana-menurut-imam-4-mazhab/
[5] http://www.dakwatuna.com/2014/10/08/58056/fiqih-shalat-gerhana/#axzz3K37Gl846
Posted by Achmad Fawaid at 11:32
Email ThisBlogThis!Share to Tw
Gerhana
(kajian dalam studi astronomi dan hadis)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadis
Oleh : Shohabil Mahalli, S.Pd.I

Dosen:Dr. H. MohmmadSya’roni, M.Ag

Program Pasca Sarjana Magister Hukum Islam


Konsentrasi Ilmu Falak Universitas Sunan Giri Surabaya
2013

A. Pendahuluan
Fungsi petunjuk ilahiyah baik dari Al Qur’an maupun As-Sunnah berlaku bagi konstruksi
ilmu pengetahuan dengan member petunjuk tentang prinsip-prinsip ilmu alam atau sains yang
selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Artinya dalam epistemologi Islam,
wahyu dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu pengetahuan. Jelas ini
bertentangan dengan sains modern yang pada awal kelahirannya dengan terang-terangan
memproklamasikan perlawanan terhadap doktrin gereja, dan wahyu tidak mendapat dalam
bangunan sains[1].

B. Pembahasan
1. Gerhana menurut bahasa
Gerhana, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Eclipse” dan dalam bahasa Arab
dikenal dengan “Khusuf”. Pada dasarnya istilah ‫كسوف‬dan ‫خسوف‬dapat dipergunakan untuk
menyebut gerhana matahari maupun gerhana bulan. Hanya saja, kata “‫ ”كسوف‬lebih dikenal untuk
menyebut gerhana matahari, sedangkan kata “‫ ”خسوف‬untuk gerhana bulan.
Kusuf berarti “menutupi”. Ini menggambarkan adanya fenomena alam bahwa (dilihat
dari bumi) bulan menutupi matahari, sehingga terjadi gerhana matahari. Sedangkan khusuf
berarti “memasuki” menggambarkan adanya fenomena alam bahwa bulan memasuki
bayangan bumi, sehingga terjadi gerhana bulan.
Semakna dengan keterangan di atas Wahbah Zuhaili mendefinisikan gerhana matahari
dan gerhana bulan sebagai berikut:
ََّ
‫هار‬
ِ ‫ِه فى الن‬‫ْ بعض‬ ‫َو‬ ‫ء الشَّم‬
‫ْسِ ا‬ ِْ‫َو‬
‫ُ ض‬ َِ
‫هاب‬ ‫َ ذ‬
‫هو‬ُ ُ‫ْف‬‫ُسُو‬
‫الك‬
‫ض (اجتماع‬َِْ
‫ْألر‬
‫َا‬ ‫َ الشّم‬
‫ْسِ و‬ ‫ْن‬ َ ِ
‫بي‬ ‫َر‬‫َم‬ ْ ِ
‫الق‬ ‫َة‬‫ُلم‬
‫ِ ظ‬ ‫َْلة‬
‫لو‬ُْ
‫َي‬ ِ
‫لح‬
)ِ‫ين‬َْ
‫ّر‬‫الني‬
‫ْا‬
‫ًل‬‫ِه َلي‬
‫ْض‬ َ ْ
‫بع‬ ‫َو‬
‫ِ ا‬ ‫َم‬
‫َر‬ ِْ
‫ء الق‬ ‫َو‬
‫ُ ض‬ َِ
‫هاب‬ ‫َ ذ‬ ُ ُ
‫هو‬ ‫ْف‬‫والخُسُو‬
‫ِ (مقابلة‬ ‫َ الشم‬
‫ْسِ والقمر‬ ‫بين‬َ ‫ض‬ ‫ّ األر‬
ِْ ‫ِل‬
ِ ‫ِ ظ‬ َ ‫ل‬
‫ولة‬ ُْ
‫َي‬ ِ
‫لح‬
‫َين‬
[2])ِ ‫ّر‬‫الني‬
2. Gerhana secara astronomi
a) Gerhana Matahari
Peristiwa gerhana secara umum adalah peristiwa jatuhnya bayangan sebuah benda langit
ke benda langit lain, akibat tertutupnya sebagian cahaya Matahari kearah benda langit tersebut.
Pada kasus gerhana matahari, bayangan Bulan jatuh kepermukaan Bumi dan Bulan menutupi
sebagian atau seluruh cahaya Matahari yang kearah Bumi. (Sebagian atau seluruh di sini
bergantung jenis gerhana mataharinya). Gerhana matahari akan terjadi hanya pada saat ijtima’
atau konjungsi (sekitar tanggal 29 atau 30 bulan qomariyah) yaitu ketika bulan dan matahari
berada di salah satu titik simpul atau di dekatnya Karena bulan lebih kecil daripada bumi
sehingga kerucut bayang-bayang inti bulan tidak dapat menutupi seluruh permukaan bumi yang
saat itu menghadap matahari. Oleh karenanya ketika terjadi gerhana matahari hanya daerah-
daerah yang dilewati oleh kerucut bayangan inti bulan yang dapat menyaksikannya,
b) Gerhana Bulan
Sedangkan pada peristiwa gerhana bulan, bayangan Bumi akan jatuh ke
permukaan Bulan, dan sebagian atauseluruh cahaya Matahari ke arah Bulan akan di halangi oleh
Bumi. Akibatnya kita akan melihat cahaya Bulanmenjadi lebih redup. Gerhana bulan hanya
terjadi saat matahari dan bulan beroposisi, sehingga gerhana bulan akan terjadi pada saat bulan
purnama (full moon)
Gerhana menjadi fenomena menarik diamati dari Bumi, karena suatu kebetulan yang
menakjubkan: ukuran Matahari kira-kira 400 kali lebih besar dari ukuran Bulan, dan jarak
Matahari-Bumi juga kira-kira 400 kali lebih jauh dari jarak Bumi-Bulan. Akibatnya:
piringan Bulan dan piringan Matahari di langit (dilihat dari Bumi) kurang lebihsama besar.
Namun karena orbit Bulan mengelilingi Matahari berbentuk elips, maka ukuran piringan Bulan
yang teramati dari Bumi mengalami sedikit variasi.
Demikian pula halnya dengan orbit Bumi mengelilingi Matahari yang
juga berbentuk elips, menyebabkanukuran piringan Matahari pun sedikit bervariasi. Variasi-
variasi inilah (di samping beberapa hal lainnya) yang
menyebabkan penampakan gerhana menjadi berbeda-beda[3]

Untuk lebih jelasnya, peristiwa gerhana dapat dilihat pada visualisasi gambar di
bawah ini.

c) Gerhana dalam mitos

CHINA, Kebudayaan kuno China meyakini bahwa gerhana bulan terjadi karena seekor
naga raksasa murka dan memangsa bulan. Fenomena ini mereka sebut ” CHIH ” yang artinya
memangsa. Untuk mengusir naga, mereka membuat keributan dengan cara membunyikan
petasan agar sang naga pergi. Hingga kini, meski sudah tidak diyakini lagi, guna melestarikan
kebudayaan, pembunyian petasan masih saja dilakukan saat gerhana terjadi
JEPANG, Orang Jepang Jadul menganggap bahwa saat terjadi gerhana para dewa
menebarkan racun hitam pekat ke dunia, karena itu mereka selanjutnya berbondong-bondong
menutupi sumur-sumur mereka dengan benda apa saja hingga gerhanabulan berakhir
PRANCIS, Diceritakan bahwa Raja Louis akhirnya meninggal dalam
histeria dan ketakutan yang
amatsangat menyadari suatu malam dunia begitu gelap tanpa bulan pada tahun 840. Menurutnya
setan sebentar lagi turun ke dunia.
JAMAICA, Suatu kali Colombus terdampar di Jamaica karena kerusakan kapal yang
cukup parah sehingga membutuhkan perbaikan yang akan memakan waktu lama.
Untuk memenuhi kebutuhan makan minum,
Colombusmenggunakan ilmu pengetahuannya tentang gerhana untuk membohongi penduduk pri
bumi.
Diakatakan bahwa paradewa akan marah jika para pribumi tidak memberi para awak kapal maka
n minum selama proses perbaikan kapal. Semula penduduk tak percaya, namun ketika bulan
benar-benar lenyap total, mereka menjadi ketakutan dan esok harinya mulai secara sukarela
melayani colombus dkk dalam hal makan minum
JAWA -INDONESIA, mungkin kita sudah banyak yang tahu bahwa penduduk jawa
dahulu saat gerhana tiba berbondong-bondong menyembunyikan balita mereka di dalam
tempayan, kolong tempat tidur dan tempat aman lain demi menghindarkan bocah-bocah itu dari
shang Batara Kala, raksasa dalam cerita pewayangan. Sementara itu kaumlaki-
laki beranjak memukul kentongan beramai ramai untuk mengusir sang kala sesegera mungkin.
d) Gerhana perspektif Agama
Penulis fokuskan kajian ini dalam study hadis. Dalam ilmu hadis (diroyah), muhaddisin
awalnya menetapkan kitab-kitab induk berjumlah 5 buah, yaitu: shahih bukhary, shahih muslim,
sunan abi daud, sunan an-nasa’iy, dan sunan at-tirmidzy. Kelima kitab tersebut mereka
namai ushulul khamsah atau alkutubul khamsah, kemudian
muhaddisin mutaakhkhirin memasukkan satu lagi kitab hadis, sunan ibnu majah, sehingga kotab
induk hadis terkenal dengan alkutubus sittah.
Diantara kitab di atas, ulama’ menetapkan bahwa kitab shahih bukhory merupakan kitab
yang paling shahih setelah Al-Qur’an. Demikian pendapat yang masyhur dan berkembang dalam
dunia islam.[4]
َ‫َ قا‬
‫ل‬ ‫ْ إسماعيل‬ ‫َن‬‫ْيى ع‬
‫يح‬َ ‫دثنا‬ّ‫د قال ح‬ َّ
ٌ‫مسد‬ ‫ حدثنا‬-
ّ ِ‫ل هللا‬
ُ‫صلى هللا‬ ُ‫ل رسو‬َ‫ٍ قال قا‬ ‫مسعود‬َ ‫ْ أبى‬ ‫دثنى قيسٌ عن‬ ّ‫ح‬
ٍَ
‫د‬ َ ‫َو‬
‫ْتِ أح‬ ‫لم‬ ِ ِ‫ِفان‬
‫ينكس‬َ ‫ُ ال‬
‫َ "الشمسُ والقمر‬ ّ
‫وسلم‬ ‫عليه‬
‫َا‬ ‫ياتِ هللاِ فاذ‬َ‫ْ آ‬ ‫َانِ م‬
‫ِن‬ ‫يت‬َ‫هما آ‬ ُّ
‫ِه ولكن‬ ‫ِحيات‬‫وال ل‬
[5])‫ْا"(رواه البخاري‬ ُّ
‫َلو‬‫َص‬‫َا ف‬
‫هم‬ ‫ُم‬
ُ‫ُو‬ ‫َأيت‬
‫ر‬
َ َّ
‫ال‬ ‫َل‬ ‫َّ و‬
‫َج‬ ‫َز‬‫ياتِ هللاِ ع‬َ‫ْ آ‬ ‫َانِ م‬
‫ِن‬ َ‫َ آ‬
‫يت‬ ‫َالقمر‬ ‫إن الشَّم‬
‫ْسَ و‬ َّ -
‫َا‬ ُ‫ُو‬‫ُم‬ َ
‫َأيت‬ ‫َا ر‬ ‫َات‬‫َي‬ َ ٍ ‫ْتِ أحد‬ ‫َو‬ ِ ِ‫َان‬ ‫يخْس‬
َ
‫هم‬ ‫إذ‬ِ‫ِ ف‬‫ِه‬ ‫لح‬ِ ‫وال‬ ‫لم‬ ‫ِف‬
)ُّ‫ِ (رواه البخاري‬ ‫ًََّلة‬ َ ‫ُوا‬
‫إلى الص‬ ‫َع‬
‫ْز‬‫َاف‬‫ف‬
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Allah ‘Azza wa
Jalla, tiadalah terjadinya gerhana matahari dan bulan itu karena matinya seseorang dan juga
bukan karena kelahiran seseorang, maka apabila kamu melihatnya, segeralah kamu
melaksanakan sholat”. (H.R. Bukhori)
Sebab wurud kedua hadis ini adalah ketika wafatnya Sayyid Ibrahim, putra Nabi
Muhammad SAW, secara kebetulan pada saat itu terjadi gerhana matahari.Kemudian terjadilah
perbincangan di masyarakat yang menghubungkan terjadinya gerhana tersebut karena wafatnya
putra Nabi. Tetapi Allah melalui otoritas Rasulullah menepis pemahaman tersebut dengan hadis
di atas[6].
Terjadinya gerhana tidak terkait dengan ketentuan buruk ataupun ketentuan baik
seseorang, fenomena alam ini berdasarkan kehendak Allah, untuk memperlihatkan kekuasaan
Allah pada makhluk-Nya, apakah dengan terjadinya gerhana mereka mengingatakan kebesaran
Allah atau meyakini mitos yang dibuat-buat oleh mereka sendiri atau hanya menganggap
fenomena alam biasa.
Oleh Karena itu agama member petunjuk kepada kita, bahwa tidak ada kejadian sekecil
apapun di alam semesta ini melainkan atas kehendak Allah. Dan ketika terjadi gerhana supaya
segera mendekatkan diri kepada-Nya dengan bertasbih, dan melaksanakan ibadah. Diantara
ibadah tersebut seperti melaksanakan sholat gerhana sebagaimana yang dicontohkan oleh
Rasulullah melalui hadisnya yang berbunyi:
‫ٌ أخبرنا‬ ‫دثنا هشام‬ ّ‫ٍ قال ح‬ ‫ُ محمد‬ ‫د هللا بن‬ُ‫دثنا عب‬ ّ‫ح‬
‫ة عن‬ َ‫ة عن عرو‬ َ‫ٍ بن عرو‬ ‫ٌ عن الزهري وهشام‬ ‫معمر‬
‫َتِ الشمسُ على عهد‬
ِ ‫عائشة رضى هللا عنها قالت " كسَف‬ َ
ّ
‫فصلى‬ َ َّ
‫وسلم‬ ‫َ النبيُ صلى هللاُ عليه‬
ِ ‫ِ هللاِ فقام‬‫رسول‬
‫َ ثم‬
ّ ‫ُّكوع‬
‫ل الر‬ َ‫َ فأطا‬ ‫َّ ركع‬
‫ة ثم‬ َ‫ل القراء‬ َ‫بالناسِ فأطا‬
‫ِ األاولى‬‫ن قراءة‬ َ‫ِيَ دو‬‫ة وه‬َ‫ل القراء‬ َ‫َ رأسَه فأطا‬ ‫رفع‬
َ‫ِ ثم رفع‬ ‫ّل‬
‫ِه األو‬ ‫ن ركوع‬ َ‫َ دو‬ ‫ّكوع‬ ‫ل الر‬ َ‫َ فأطا‬ ‫ّ ركع‬ ‫ثم‬
‫َّكعة‬
ِ ‫َ فى الر‬ ‫َ فصنع‬ ‫ّ قام‬ ‫تينِ ثم‬ َ‫د‬
َْ‫د سَج‬ َ‫رأسَه فسج‬
َ‫"إن الشّمس‬َّ َ‫َ فقا‬
‫ل‬ ‫ّ قام‬ ‫َ ذلك ثم‬ ‫ِ مثل‬ ‫الثانية‬
‫هما‬ ُّ
‫ِه ولكن‬ ‫َات‬‫َي‬
‫لح‬ِ ‫ٍ وال‬‫ْتِ أحد‬ ‫َو‬‫لم‬ِ ِ‫دان‬َُ َ ‫َ ال‬
‫يسْج‬ ‫والقمر‬
َ ‫َا ر‬
‫ُم‬
ْ ‫يت‬ْ‫َأ‬ َِ
‫إذ‬ ‫ده ف‬ َ‫ِما عبا‬ ‫يه‬ِْ
‫ير‬ُ ِ‫ياتِ هللا‬ َ‫ْ آ‬ ‫ِن‬‫َانِ م‬
‫يت‬َ‫آ‬
‫ًََّلة‬
"ِ ‫إلى الص‬ َ ‫ْا‬ ‫ُو‬‫َع‬‫ْز‬
‫ذلكَ فاف‬
Hadis di atas menjelaskan tata cara pelaksanaan sholat gerhana, yaitu: melaksanakan
sholat gerhana dengan 2 raka’at, pada setiap raka’at terdapat dua kali ruku’, dan melaksanakan
khutbah setelah salam.[7]

C. Kesimpulan
Dari kacamata antropologi, setiap masyarakat memiliki budaya dan adat istiadat yang
berbeda-beda yang bersumber dari etika local dan mitos, ini banyak ditemukan khususnya pada
masyarakat tradisional. Peristiwa tertentu acapkali dihubungkan pada dimensi metafisika,
sehingga astrologi merupakan ilmu tertua dalam sejarah peradaban manusia.
Dalam astronomi, dijelaskan bahwa bidang ellips lintasan bumi dengan bidang ekliptika
membentuk sudut 0̊ karena bidang ini berimpit. Sedangkan bidang lintasan bulan dan bidang
ekliptika tidak berimpit, melainkan membentuk sudut sebesar 5̊ 8’, maka tidak setiap ijtima’
akan terjadi gerhana matahari, begitu pula tidak setiapistiqbal akan terjadi gerhana bulan.[8]
Peristiwa alam seperti: gerhana, silih bergantinya musim, terjadinya hujan, arah
hembusan angin di laut, adanya siang dan malam dan lain sebagainya adalah sunnatullah ( ‫عادة‬
‫)هللا فى العالم‬, tidak ada kaitannya dengan keberuntungan ataupun nasib malang yang menimpa
seseorang sebagaimana hadis shohih yang termaktub dalam shohih bukhory di atas yang
menolak terjadinya gerhana karena kematian sayyid Ibrahim bin rasulillah
Jika hakekat gerhana dijelaskan ketika sains sudah hampir mencapai titik sempurna
seperti saat ini, tidaklah menakjubkan bagi banyak orang, tetapi Allah telah menyingkap tabir
gerhana ini jauh sebelumnya, ketika kehidupan tehnologi dan sains masih tertatih-tatih yaitu
ketika fenomena langit dipahami dan diartikan sebatas mitos-mitos belaka
(astrologi). Subhanallah ini berarti Allah dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah jauh sebelumnya
memberikan spirit kemajuan peradaban bagi mereka yang mau menggali pesan-pesan ilahiyah
pada masa-masa akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Al’Asqalany, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fathul Bari Juz II, , Beirut: .darul .fikr
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang, PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009
Khazin, Muhyiddin, Ilmu falak dalam teori dan praktik, Yogyakarta, Buana Pustaka, 2011.
Purwanto, Agus, Ayat-ayat semesta, sisi sisi Al Qur’an yang terlupakan, Bandung, Mizan, 2011.
Zuhaily, Wahbah, Al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu Juz II, (Dimasyqy: DarulFikr)
http://id.shvoong.com/exact-sciences/astronomy/2119745-pengertian-dan-proses-
gerhana/#ixzz2J33TQYCC

[1]AgusPurwanto, ayat- ayatsemesta, (Bandung, Mizan,2011), hlm. 193


[2]Wahbah Zuhaily Al Fiqhul Islamy wa AdillatuhuJuz II, , (Dimasyqy: DarulFikr) thn. 2007 hlm. 1421
[3]Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/astronomy/2119745-pengertian-dan-proses-
gerhana/#ixzz2J33TQYCC
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 71-72
[5]Ahmad bin ‘Ali bin HajarAl’Asqalany, Fathul Bari Juz II, (Beirut: Darul Fikr, tth), hlm. 545.
[6]Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al’Asqalany, Fathul Bari Juz II, (Beirut: .darul fikr, tth), hlm. 547
[7]Wahbah Zuhaily, Al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu, Juz II, (Dimasyqy: Darul Fikr, 2007) hlm. 1425
[8] Muhyiddin khazin, Ilmu falak dalam teori dan praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2011), hlm.
187-188.

Studi Hadits Rukyat Gerhana Matahari


INTERKONEKSI STUDI HADITS DAN ASTRONOMI
(Studi Hadits Rukyat Gerhana Matahari)
Oleh:
Imam Syafi’i
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan Agama Islam)

Abstract
Hadits merupakan suatu sumber ajaran Islam. Oleh karena itu hadits tidak hanya
menjadi bidang kajian ekslisif ahli-ahli hadits, namun juga memberikan kontribusi substansial.
Interkoneksi studi hadits dan astronomi tidak hanya penting bagi pengembangan studi hadits,
tetapi juga memberikan kontribusi penting kepada ushul fiqih sebagai metode pemahaman
hadits-hadits terkait hukum.
Dalam interkoneksi studi hadits dan astronomi yang disini adalah penggunaan dalam
pengertian sempit yaitu sebagai practical astronomy. Kajian yang dimaksudkan adalah suatu
bagian dari astronomi yang mempelajari gerak dan posisi geometris benda-benda langit
tertentu seperti matahari, bulan dan bumi guna menentukan arah tempat dan waktu di atas
bumi.
Pendekatan integrasi dan interkoneksi memiliki dua sisi terpisah yaitu sisi integrasi dan
sisi interkoneksi. Dalam integrasi terjadi restrukturisasi ilmu berdasarkan prinsisp-prinsip yang
menyangkut paradigma, teori, metode dan prosedur-prosedur tehnis dalam ilmu yang
bersangkutan.

Kata Kunci: Interkoneksi, Hadits, dan Astronomi

Pada zaman Nabi saw pernah terjadi gerhana matahari dan peristiwa itu dilaporkan
dalam banyak riwayat hadits yang ditakhrij oleh para ahli hadits. Hanya saja riwayat-riwayat
hadits itu tidak mencatat tanggal dan hari terjadinya gerhana itu. Riwayat-riwayat tersebut
tampaknya lebih terfokus pada aspek tuntunan ibadah saat terjadinya gerhana, yaitu shalat
gerhana.
Masalah rukyat versus hisab telah sejak lama menjadi pertikaian ketika hendak
memasuki bulan-bulan ibadah seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan Dzulhijah. Terdapat hadits-
hadits yang secara tegas memerintahkan agar dilakukan rukyat dan melarang memulai
Ramadhan dan Idul Fitri sebelum melakukan rukyat. Namun rukyat itu sendiri tidak lepas dari
berbagai kesulitan antara lain karena tidak bisa memberikan kepastian waktu sebelum H-1.
Dilihat dari sudut manajemen waktu yang baik, keadaan seperti ini tidak dapat dihandalkan
karena sebelum H-1 tidak bisa dibuat perencanaan jauh ke depan.
Beberapa teori yang menjadi landasan pijakan meliputi dua aspek yang berbeda
yaitu; Pertama, teori yang menyangkut otentikasi hadits seperti penentuan shahih atau
dhaifnya hadits. Kedua, teori yang menyangkut visibilitas hilal guna meramalkan kapan kiranya
Nabi saw bersama para Sahabatnya dapat merukyat hilal.[1]

Studi Hadits Rukyat Gerhana Matahari


A. Biografi
Nama lengkap; Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. lahir dari pasangan H. Abbas dan Hj.
Maryam di Midai, Kepulauan Riau pada tahun 1956. Pendidikan dasar dijalani di kampung
halaman (1962-1968). Pendidikan menengah di Tanjung Pinang (1969-1974). Pendidikan Tinggi
di Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang menjadi UIN) yaitu Sunan Kalijaga Yogyakarta: Sarjana
Muda 1978, Sarjana 1981, S2 1991 dan APROSIA 2001. Tahun 1989 menikah dengan Dra.
Suryani. Tahun 1989-1990 kuliah di Universitas Leiden, dan tahumn 1999 di Hartford,
Connecticut, USA.
Sehari-hari bekerja sebagai dosen tetap Fakultas Syari’ah dan Hukum di UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, sejak tahun 1983 hingga sekarang. Tahun 2004 diangkat sebagai guru
besar. Selain itu juga memberi kuliah pada Pasca Sarjana Sejumlah Perguruan Tinggi, seperti
S.2 dan S.3 Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, Program S.3 Ilmu Hukum UII, S.3 IAIN
Ar-Reniry Banda Aceh di samping PPS UIN Sunan Kalijaga sendiri. Dan sekarang aktif di
Pimpinan Pusat Muhammadiyyah dengan jabatan terakhir Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid
periode 2005-2010 dan 2010-2015.[2]
Karya-karya beliau antara lain berjudul; Interkoneksi (Studi Hadits dan Astronomi),
Pembaruan dalam Srudi Hadits dan Astronomi (tahun 2011).
B. Pemikiran yang ditawarkan
Gerhana matahari dalam istilah fikih lazimnya disebut dengan istilah kusuf asy-
syams, sedangkan gerhana Bulan disebut dengan istilah khusuf al-qamar. Kata kusuf dalam
fikih biasanya digunakan untuk menyebut gerhana matahari dan kata khusuf digunakan untuk
menyebut gerhana Bulan. Akan tetapi dalam kitab-kitab hadits, kedua kata itu dapat
dipertukarkan; gerhana matahari terkadang disebut khusuf disamping disebut kusuf,begitu pula
gerhana Bulan disebut juga kusuf di samping disebut khusuf.[3]
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa matahari dan bulan adalah dua di antara tanda alam
yang menunjukkan kebesaran Allah. Sejalan dengan itu hadits Nabi saw menjelaskan bahwa
peristiwa gerhana itu adalah peristiwa alam yang natural yang menunjukkan kebesaran Allah
dan tidak ada kaitannya dengan kematian dan hidup seseorang.[4]
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gerhana matahari adalah tertutupnya
piringan matahari oleh piringan bulan jika dilihat dari bumi karena bulan saat itu berada persis
di tengah-tengah antara bumi dan matahari. Akibatnya beberapa kawasan tertentu di muka
bumi tidak terkena sinar matahari dan saat itu dikatakan terjadi gerhana matahari. Dengan cara
lain dikatakan bahwa gerhana adalah suatu peristiwa gastronomis di mana suatu benda langit
ymasuk ke dalam bayangan benda langit lainnya. Gerhana matahari berarti bumi masuk ke
dalam bayangan gelap bulan sehingga orang yang berada pada bagian bumi yang terkena
bayangan gelap itu mengalami gerhana matahari.[5]
Gerhana matahari ada tiga macam, yaitu gerhana matahari total, gerhana matahari
cincin dan gerhana matahari sebagian. Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa ada jenis
keempat dari gerhana matahari, yaitu yang disebut dengan gerhana hibrid, atau disebut juga
gerhana anular-total. Artinya gerhana yang dari suatu tempat di muka bumi terlihat sebagai
gerhana total, sementara pada tempat lain terlihat sebagai gerhana cincin. Gerhana matahari
setidaknya dapat terjadi dua kali setahun dan sebanyak-banyaknya bisa mencapai lima kali.
Hanya saja sebagian gerhana matahari itu mungkin cuma merupakan gerhana sebagian karena
umbra bulan tidak mengenai bumi, melainkan meleset ke sebelah atas kutub utara bumi atau ke
sebelah bawah kutub selatan. Atau bisa juga umbra tidak sampai ke bumi dan yang mencapai
permukaan bumi hanyalah antumbra yang menyebabkan gerhana cincin.[6]
Bagi para sejarawan rekaman peristiwa gerhana menjadi suatu dokumen penting. Hal itu
berguna untuk mengetahui tanggal suatu peristiwa atau kejadian penting di sekitar peristiwa
gerhana itu. Misalnya dalam sejarah Islam dan Hadits, peristiwa gerhana zaman Nabi saw
direkam dalam riwayat hadits dan tarikh. Terkait dengan peristiwa itu adalah kematian putera
Rasulullah saw yaitu Ibrahim. Dengan mengetahui peristiwa gerhana dapat ditentukan secara
pasti tanggal wafatnya putera beliau itu sekaligus dapat dilakukan koreksi atau konfirmasi
terhadap berbagai laporan riwayat tentang tanggal wafatnya Ibrahim tersebut.[7]
Hadits-hadits tentang ru’yah, dan juga hadits kuraib termasuk hadits yang dibahas pada
bukunya, keduanya berkaitan dengan tema penentuan awal mula bulan Qamariyah. Menariknya
beliau membahas hal tersebut dari sisi ilmu hadits (termasuk analisis sanad dan status
haditsnya) lalu membahasnya dari sisi fiqih yang juga nantinya membahas dari sisi astronomi.
Termasuk dari bahasan astronomi yang beliau lakukan adalah beliau membahas perhitungan
prediksi kapan peristiwa itu berlangsung. Dengan cara yang serupa, beliau juga membahas
tentang hadits-hadits ‘id, hadits haji wada’ dan hadits gerhana.
Dan bagusnya lagi sebelum membahas tema-tema tersebut, beliau membuat suatu bab
tersendiri tentang dasar pijakan teoritis, yang bisa dijadikan pengantar sebelum membahas
bagian inti. Pada bab tersebut, terdapat sekitar 50 halaman dalam membahas seputar ilmu
hadits seperti kriteria hadits shahih dari sisi sanad dan matan, dan beberapa jenis hadits yang
lain (mursal dan syaz). Juga terdapat belasan halaman tentang hal yang berkaitan astronomi
seperti kriteria visibilitas hilal dan gerhana.
Kemudian dalam bukunya beliau juga membahas perhitungan prediksi kapan suatu
peristiwa penting terjadi pada zaman Rasulullah dan zaman Shahabat, beliau menggunakan
hisab imkanur ru’yah dengan kriteria ‘Audah, artinya dalam menghitung hal tersebut beliau
tidak menggunakan hisab wujudul hilal, metode yang digunakan oleh Muhammadiyyah.
Sayangnya beliau tidak menjelaskan alasan kenapa beliau tidak menggunakan hisab wujudul
hilal dalam menghitung hal tersebut, akibatnya orang yang membaca bukunya. Sehingga akan
timbul pertanyaan mengapa beliau malah menggunakan hisab imkanur rukyah bukan dengan
hisab wujudul hilal dalam menghitung prediksi kapan suatu peristiwa penting yang terjadi pada
zaman Rasulullah dan Zaman Nabi.
Gerhana matahari dapat terjadi beberapa kali dalam setahun. Menurut para ahli gerhana
matahari dapat terjadi sekurang-kurangnya dua kali dan sebanyak-banyaknya bisa mencapai
lima kali dalam setahun. Namun ketika terjadinya gerhana matahri tidak semua tempat di muka
bumi dapat menyaksikannya. Hal itu karena bayangan pekat Bulan (umbra) yang menyebabkan
gerhana matahari total hanya menutupi satu jalur sempit di muka buni selebar sekitar 250
kilometer. Sedangkan bayangan semu Bulan (penumbra), meskipun mengenai kawasan muka
buni yang amat luas, namun juga tidak menutupi keseluruhan permukaan bumi. Gerhana
matahari dialami oleh bagian bumi yang sedang mengalami siang.sedangkan bagian yang
sedang mengalami malam maka tidak akan mengalami gerhana matahari karena ia tidak
menghadap kepada matahari.[8]
Di bawah ini adalah salah satu hadits tentang gerhana matahari:
ٍ ‫س ِم ْعتُ ابْنَ ِش َها‬
‫ب‬ َ ُ‫غي ُْره‬ َ ‫ع ْم ٍرو َو‬َ ‫ي أَبُو‬ُّ ‫ي َحدَّثَنَا ْال َو ِليدُ ب ُْن ُم ْس ِل ٍم قَا َل قَا َل ْاْل َ ْوزَ ا ِع‬ َّ َ‫و َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ب ُْن ِم ْه َران‬
ُّ ‫الر ِاز‬
َ‫شة‬َ ِ‫عائ‬ َ ‫ع ْن‬ ُ ‫ع ْن‬
َ َ ‫ع ْر َوة‬ َ ‫ي ي ُْخبِ ُر‬ َّ ‫ال ُّز ْه ِر‬
‫امعَةٌ فَاجْ ت َ َمعُوا َوتَقَد ََّم فَ َكب ََّر‬
ِ ‫ص ََلة ُ َج‬
َّ ‫ث ُمنَا ِديًا ال‬ َ َ‫سلَّ َم فَبَع‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ِل‬ َ ‫علَى‬
ُ ‫ع ْه ِد َر‬ َ ‫ت‬ ْ َ‫سف‬َ ‫س َخ‬ َ ‫ش ْم‬ َّ ‫أ َ َّن ال‬
ٍ ‫س َجدَا‬
‫ت‬ َ ‫ت فِي َر ْكعَت َ ْي ِن َوأ َ ْربَ َع‬ ٍ ‫صلَّى أ َ ْربَ َع َر َكعَا‬ َ ‫َو‬
Artinya:
(MUSLIM - 1501) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihran Ar Razi telah
menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim ia berkata, telah berkata Al Auza'i Abu Amru
dan yang lainnya, saya mendengar Ibnu Syihab Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwasanya;
Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka
beliau mengutus seseorang untuk menyerukan, "ASH SHALAATU JAAMI'AH (marilah kita
shalat berjama'ah) " sehingga kaum muslimin pun berkumpul. Beliau maju (mengimami
shalat), lalu bertakbir dan shalat empat raka'at. Pada tiap raka'at terdapat empat kali sujud.
Dalam metodologi hadits umat Islam, unsur sanad merupakan tonggak semua analisis
hadits. Analisis matan tidak dapat dilakukan sebelum analisis sanad dapat membuktikan
otentisitas sanad hadits. Setelah dibuktikan bahwa sanad sebuah hadits adalah shahih baru
analisis matan dilakukan.[9]
Masalah sanad merupakan titik singgung tolak belakang pandangan tentang hadits
antara tradisi keilmuan Islam dan kesarjanaan Barat sebagai diwakili oleh beberapa Orientalis.
Yang terakhir ini melakukan pengkajian tentang hadits dalam konteks penyelidikan tentang asal
mula hukum Islam, dan teori mereka tentang awal mula munculnya hadits adalah konsekuensi
dari teori tentang awal mula kelahiran hukum Islam.[10]

C. Signifikasni Pemikiran terhadap Studi Islam


Dari sudut pandang astronomis memang terbukti bahwa penggunaan rukyat fisik
sebagai dasar penetapan awal bulan kamariah mengandung banyak problem dan mustahil
dapat menyatukan penanggalan global umat Islam. Bahkan untuk membuat kalender apapun
meski hanya lokal mustahil dapat digunakan rukyat. Hal itu karena tampakan hilal saat
visibilitas pertama tidak meliputi seluruh permukaan bumi. Tampakan hilal itu membelah dua
muka bumi sehingga sebagian (sebelah barat) muka bumi dapat melihat bilal saat visibilitas
pertama dan sebagian lain (sebelah timur) muka bumi tidak dapat melihat hilal saat visibilitas
pertama pada suatu sore sesaat setelah matahari terbenam. Akibatnya bagian dunia yang dapat
melihat hilal pada sore hari konjungsi memasuki bulan baru pada malam itu dan keesokan
harinya, dan kawasan yang belum dapat merukyat, menggenapkan bulan berjalan 30 hari dan
memasuki bulan baru lusa. Dengan demikian terjadi perbedaan memulai bulan baru. Bilamana
perbedaan itu terjadi pada bulan Zulhijjah antara Mekah dan kawasan timur dunia atau
kawasan barat dunia. Maka akan berakibat terjadinya perbedaan hari Arafah antara Mekah dan
bagian lain dunia sehingga timbul problem kapan melaksanakan puasa Arafah.[11]

D. Penutup
Apabila hadits-hadits rukyat dilihat di dalam keseluruhan semangat al-Qur’an dan
mempertimbangkan bahwa hukum Islam adalah, pada pokoknya, tedas makna serta
memperhatikan ilat (kuasa hukum) dari perintah rukyat dalam hadits-hadits Nabi saw, yaitu
keadaan sosio-budaya umayah pada waktu itu yang masih umi, maka hisab dapat diterima dan
sesuai dengan semangat umum al-Qur’an dan inilah pilihan banyak ulama besar zaman modern
serta menjadi keputusan Temu Pakar II di Maroko tahun 2008. Alasan penentangan fukaha
terkemuka seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Hajar adalah karena pada zaman itu perkembangan
astronomi belum begitu maju dan masih terkait dan berbau astrologi.
Penggunaan rukyat di zaman modern di mana Islam telah tersebar di seluruh pelosok
dunia dapat menyebabkan kawasan zona waktu barat pada Zulhijah tertentu tidak dapat
melaksanakan puasa Arafah karena hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan hari Idul
Adha di zaona ujung barat. Begitu pula problem juga bisa timbul bagi mereka yang berada di
zona ujung timur di mana hari Arafah di Mekah bisa jatuh pada Zulhijjah tertentu pada tanggal
8 Zulhijjah menurut penanggalan zona bersangkutan. Ini artinya rukyat tidak dapat
menempatkan waktu pelaksanaan puasa Arafah di seluruh dunia secara serentak.
Dalam rangka penyatuan penanggalan (kalender) Hijriah internasional dan bahkan
untuk membuat kalender apapun rukyat tidak mungkin digunakan, dan hanya hisab satu-
satunya sarana yang mungkin untuk menyatukan kalender Islam sedunia.[12]

DAFTAR PUSTAKA

Syamsul Anwar. 2011. “Interkoneksi Studi Hadits dan Astronomi”. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah.

http://www.goodreads.com/author/show/6469255.Syamsul_Anwar.

http: //en.wikipidia.org/wiki/Solar_eclipse.

[1] Syamsul Anwar, “Interkoneksi Studi Hadits dan Astronomi”, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2011), hlm. 7.
[2] http://www.goodreads.com/author/show/6469255.Syamsul_Anwar. (diakses: 2 Des
2015, Pukul 08.00).
[3] Dalam “Shahih Bukhari” misalnya terdapat bab berjudul “al-Salah fi Kusuf al-
Qamar”, dan hadits di bawah no. 1063 berbunyi “khasafat asy-syams ‘ala ‘ahdi
Rosulillah….” Lihat al-Bukhari, ibid, II, hlm. 37.
[4] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 61.
[5] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 64.
[6] “Solar Eclipse”, dari Wikipidia, < http: //en.wikipidia.org/wiki/Solar_eclipse>, akses
05-06-2009 dalam Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 68.
[7] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 72.
[8] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 169.
[9] Dalam otentikasi hadits, suatu hadits dinyatakan shahih apabila terbukti bahwa
hadits itu shahih sanad dan shahih matannya. Penelitian keshahihan hadits dimulai dengan
penelitian sanad. Apabila penelitian sanad menemukan bahwa suatu hadits adalah shahih,
maka kemudian baru dilanjutkan dengan penelitian matan. Apabila sebaliknya, maka penelitian
matan tidak perlu dilanjutkan karena hadits itu tidak perlu dilanjutkan karena hadits itu telah
dinyatakan dhaif sekalipun sesungguhnya matan itu baik sesuai dengan ajaran islam dan asas
umum syari’ah.
[10] Op., Cit., Motzki, hlm 14.
[11] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 195-196.
[12] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 206-207.

You might also like