You are on page 1of 101

PROSES KOAGULASI – FLOKULASI

PADA PENGOLAHAN TERSIER LIMBAH CAIR


PT. CAPSUGEL INDONESIA

Oleh
SUCI YULIATI
F34101060

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

i
Suci Yuliati. F34101060. Proses Koagulasi – Flokulasi Pada Pengolahan Tersier
Limbah Cair PT. Capsugel Indonesia. Di bawah bimbingan Muhammad Romli
dan Andes Ismayana. 2006.

RINGKASAN

Proses koagulasi – flokulasi merupakan salah satu cara pengolahan


limbah cair untuk menghilangkan partikel-partikel yang terdapat didalamnya.
Koagulasi diartikan sebagai proses kimia fisik dari pencampuran bahan koagulan
ke dalam aliran limbah dan selanjutnya diaduk cepat dalam bentuk larutan
tercampur. Flokulasi adalah proses pembentukan flok pada pengadukan lambat
untuk meningkatkan saling hubung antar partikel yang goyah sehingga
meningkatkan penyatuannya (aglomerasi).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penggunaan beberapa
koagulan untuk proses koagulasi – flokulasi pada pengolahan tersier limbah cair
PT. Capsugel Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruh penambahan dosis
koagulan dan pH yang berbeda pada masing-masing koagulan. Koagulan yang
dicobakan adalah alum, PAC, FeCl3.
Tahapan awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan uji
toksisitas efluen terhadap ikan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bahwa efluen
setelah proses klorinasi bersifat toksik bagi ikan. Tahapan selanjutnya adalah
melakukan uji perubahan dosis kaporit terhadap efluen untuk menemukan dosis
optimum sehingga dapat mengurangi residu klorin dalam efluen. Kemudian
dilakukan penentuan awal dosis koagulan melalui proses koagulasi – flokulasi
dengan menggunakan peralatan Jartest untuk mendapatkan tiga dosis terbaik.
Tahapan selanjutnya adalah proses koagulasi – flokulasi dengan memberikan
perlakuan pH pada tiga dosis terbaik dari tahapan sebelumnya. Kemudian efluen
hasil proses koagulasi – flokulasi tersebut diuji nilai kekeruhan, warna, dan
klorinnya. Koagulan dengan dosis dan pH terbaik ditentukan berdasarkan hasil uji
kekeruhan dan warna yang terendah.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan pH pada
koagulan alum, PAC, dan FeCl3 memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap kekeruhan dan warna. Berdasarkan hasil analisa, nilai kekeruhan dan
warna terbaik dengan menggunakan koagulan alum adalah pada dosis 60 mg/l dan
pH 5.5 yang nilainya mencapai 2.05 NTU (83.60%) dan 91 PtCo (52.48%)
(Efluen I) dan 2.1 NTU (80.91%) dan 104.5 PtCo (43.97%) (Efluen II), dengan
koagulan PAC adalah pada dosis 210 mg/l dan pH 6 yang nilainya mencapai 1.45
NTU (88.40%) dan 64 PtCo (66.58%) (Efluen I) dan 1.4 NTU (87.27%) dan 67.5
PtCo (63.81%) (Efluen II), serta dengan FeCl3 adalah pada dosis 60 mg/l dan pH
8 yang nilainya mencapai 2.75 NTU (78.00%) dan 58 PtCo (69.71%) (Efluen I)
dan 4.05 NTU (63.18%) dan 61 PtCo (67.29%) (Efluen II). Dari dosis dan pH
terbaik pada masing-masing koagulan tersebut didapatkan kadar klorin untuk
koagulan alum sebesar 0.12 mg/l (Efluen I) dan 0.13 mg/l (Efluen II), untuk
koagulan PAC sebesar 0.2 mg/l (Efluen I) dan 0.1 mg/l (Efluen II), dan FeCl3
sebesar 0.105 mg/l (Efluen I) dan 0.11 mg/l (Efluen II).

ii
Suci Yuliati. F34101060. Coagulation – Flocculation Process in Tertiary
Wastewater Treatment of PT. Capsugel Indonesia. Under The Guidance of
Muhammad Romli and Andes Ismayana. 2006.

ABSTRACT

Coagulation – flocculation process is one of ways of wastewater


treatment to eliminate particle in it. Coagulation as physical chemistry process of
coagulant addition into wastewater stream and mixed rapidly in the form of liquid
mixed. Flocculation is forming floc process at slow mix to increase each other
link to floc particle and it would become its agglomeration.
This research is purposed to study the use of various coagulant for
coagulation – flocculation process in tertiary wastewater treatment of PT.
Capsugel Indonesia, and it also to examine the effect of various dosage and pH
addition on each coagulant. The coagulants to be analyzed are alum, PAC, and
FeCl3.
The first step within this research was performed by testing the effluent
toxicity on fishes. This is purposed to examine that the effluent after the
chlorination process would become a toxic for fishes. The next step is testing the
change of calcium hypochlorite dosage to the effluent to find the optimum dosage
and it would become reduce the residual chlorine in the effluent. It would also
perform by first determining of coagulant dosage with coagulation – flocculation
process using Jartest equipment, and it would purpose to get three best dosages.
Furthermore, those dosages are treated with pH. The effluent that produced by
coagulation – flocculation process will be tested for its turbidity, color, and
chlorine. The optimum dosage and pH of coagulant are determined based on the
lowest value of its turbidity and color.
The result of statistical test is indicate that the various dosage and pH
addition on each coagulant give the real different effect of turbidity and color.
Based on the analysis, the optimum turbidity and color value resulted from 60
mg/l dosage of alum coagulant and 5.5 of its pH which reach 2.05 NTU (83.60%)
and 91 PtCo (52.48%) (Effluent I), 2.1 NTU (80.91%) and 104.5 PtCo (43.97%)
(Effluent II), 210 mg/l dosage of PAC and 6 on its pH resulted 1.45 NTU
(88.40%) and 64 PtCo (66.58%) (Effluent I), 1.4 NTU (87.27%) and 67.5 PtCo
(63.81%) (Effluent II), for a 60 mg/l of FeCl3 dosage and 8 on pH, the value
would reach 2.75 NTU (78.00%) and 58 PtCo (69.71%) (Effluent I), 4.05 NTU
(63.18%) and 61 PtCo (67.29%) (Effluent II). From the fittest dosage and pH on
each coagulant are also formed a free chlorine for alum coagulant by 0.12 mg/l
(Effluent I) and 0.13 mg/l (Effluent II), for PAC coagulant by 0.2 mg/l (Effluent I)
and 0.1 mg/l (Effluent II), for FeCl3 by 0.13 mg/l (Effluent II), for PAC coagulant
by 0.105 mg/l (Effluent I) and 0.11 mg/l (Effluent II).

iii
PROSES KOAGULASI – FLOKULASI
PADA PENGOLAHAN TERSIER LIMBAH CAIR
PT. CAPSUGEL INDONESIA

Oleh
SUCI YULIATI
F34101060

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

iv
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PROSES KOAGULASI – FLOKULASI


PADA PENGOLAHAN TERSIER LIMBAH CAIR
PT. CAPSUGEL INDONESIA

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
SUCI YULIATI
F34101060

Dilahirkan pada tanggal 13 Juli 1983


di Jakarta – Indonesia

Tanggal Lulus : 28 April 2006

Menyetujui,
Bogor, Mei 2006

Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. Ir. Andes Ismayana, MT.


Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

v
RIWAYAT HIDUP SINGKAT

Penulis bernama lengkap Suci Yuliati, dilahirkan di Jakarta, 13 Juli 1983


dari Bapak K. Sudiyono dan Ibu Kasriti. Pendidikan dasar penulis dilakukan di
SDN 08 Pagi Cipinang Besar Selatan – Jakarta pada tahun 1989-1995. Kemudian
dilanjutkan ke SLTPN 117 Duren Sawit – Jakarta pada tahun 1995-1998 dan
SMUN 54 Jatinegara – Jakarta tahun 1998-2001.
Pendidikan tinggi dilanjutkan di IPB pada Fakultas Teknologi Pertanian
(FATETA) – Departemen Teknologi Industri Pertanian melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI – 2001).
Penulis telah menyelesaikan penelitian akhir dan menyusun skripsi di
bawah bimbingan Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. (dosen pembimbing I) dan Ir.
Andes Ismayana, MT. (dosen pembimbing II). Skripsi dengan judul ”Proses
Koagulasi – Flokulasi Pada Pengolahan Tersier Limbah Cair PT. Capsugel
Indonesia” dibuat berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juni –
Oktober 2005 di Laboratorium IPAL PT. Capsugel Indonesia – Cibinong dan di
Laboratorium TIN – FATETA IPB.

vi
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul


”Proses Koagulasi – Flokulasi Pada Pengolahan Tersier Limbah Cair PT.
Capsugel Indonesia” adalah karya hasil saya sendiri dengan arahan dosen
pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Mei 2006

Suci Yuliati
NRP : F34101060

vii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
dengan judul ”Proses Koagulasi – Flokulasi Pada Pengolahan Tersier Limbah Cair
PT. Capsugel Indonesia” disusun berdasarkan penelitian akhir yang telah
dilaksanakan pada bulan Juni – Oktober 2005 di PT. Capsugel Indonesia –
Cibinong dan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA – IPB.
Pada kesempatan yang sangat baik ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibunda Kasriti, Bapak Sudiyono tercinta dan keluarga besar penulis yang
selalu memberikan bimbingan, cinta, kasih sayang, dan doa pada penulis
selama menjalani pendidikan di IPB.
2. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc., sebagai dosen pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan dukungan selama penulis menjalani pendidikan di
FATETA IPB.
3. Ir. Andes Ismayana, MT., sebagai dosen pembimbing II yang telah
memberikan arahan dan nasehat serta memotivasi penulis selama pelaksanaan
tugas akhir ini hingga selesai.
4. Bapak Edi Suyadi selaku Plant Manager PT. Capsugel Indonesia yang telah
mengizinkan penulis untuk melaksanakan penelitian.
5. Bapak Hadi Sulistyanto (mantan ME Manager) dan Bapak Idwan selaku ME
Manager PT. Capsugel Indonesia yang telah mengakomodasikan semua
kebutuhan penelitian.
6. Bapak Maryudi dan seluruh karyawan PT. Capsugel Indonesia – Cibinong
yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama
melakukan penelitian.
7. Taufiq Kurniawan yang telah memberikan dukungan dan memotivasi penulis
selama penyelesaian tugas akhir.
8. Hanni Daylistio sebagai teman seperjuangan selama penelitian yang telah
memberikan masukan dan dukungan kepada penulis.

i
9. Anis Annisa Adnan, Henny Wijaya Arief, dan Yulnia Azriani atas
kebersamaan, dukungan, bantuan, dan kekompakannya dengan penulis selama
menjalani kuliah di IPB.
10. Teman – teman TIN 38 atas kebersamaan dan kekompakannya selama
menjalani kuliah di IPB.
11. Staf pegawai FATETA IPB dan semua pihak yang telah membantu penulis.

Semoga skripsi hasil penelitian akhir ini dapat memberikan banyak


manfaat bagi yang membutuhkannya. Penulis menyadari tidak ada sesuatu yang
sempurna, begitu pula dalam penyusunan skripsi ini sehingga kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Mei 2006

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ...................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
A. PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT. CAPSUGEL INDONESIA .... 3
B. KOAGULASI DAN FLOKULASI ..................................................... 5
C. KOAGULAN ....................................................................................... 8
D. KLORINASI ........................................................................................ 12
III. METODOLOGI ....................................................................................... 16
A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 16
B. TAHAPAN PENELITIAN .................................................................. 16
1. Karakterisasi Efluen ....................................................................... 16
2. Penelitian Pendahuluan .................................................................. 16
a. Uji Toksisitas Efluen Terhadap Ikan........................................ 16
b. Proses Optimasi Penggunaan Kaporit dengan Jartest .............. 17
c. Proses Penentuan Awal Dosis Koagulan ................................. 18
3. Penelitian Utama ............................................................................ 19
C. ANALISA DATA ................................................................................ 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 22
A. SUMBER DAN KARAKTERISTIK EFLUEN .................................. 22
B. UJI TOKSISITAS EFLUEN TERHADAP IKAN .............................. 23
C. OPTIMASI PENGGUNAAN KAPORIT ............................................ 25
D. PROSES KOAGULASI – FLOKULASI AWAL ............................... 26
1. Alum............................................................................................... 26

iii
2. PAC ................................................................................................ 28
3. FeCl3............................................................................................... 29
E. PENELITIAN UTAMA ....................................................................... 31
1. Alum............................................................................................... 31
2. PAC ................................................................................................ 37
3. FeCl3............................................................................................... 42
F. PERBANDINGAN HASIL PROSES KOAGULASI –
FLOKULASI KETIGA KOAGULAN .......................................... 48
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 50
A. KESIMPULAN .................................................................................... 50
B. SARAN ................................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 52
LAMPIRAN ....................................................................................................... 55

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Hasil proses klorinasi dengan penambahan kaporit pada IPAL PTCI .. 13
Tabel 2. Kondisi uji toksisitas efluen terhadap ikan ........................................... 17
Tabel 3. Karakteristik Efluen I dan Efluen II ...................................................... 23
Tabel 4. Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan pada Efluen I ......................... 24
Tabel 5. Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan pada Efluen II........................ 24
Tabel 6. Hasil analisis persen penurunan parameter pada perlakuan pH 6.5 ...... 25
Tabel 7. Hasil analisis proses optimasi penambahan kaporit perlakuan
pH 6.5 .................................................................................................... 26
Tabel 8. Persen penurunan parameter pada kombinasi terbaik antara dosis dan
pH untuk koagulan alum, PAC, dan FeCl3 .......................................... 48

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Skema proses input output penelitian.............................................. 19
Gambar 2. Peralatan Jartest ............................................................................... 20
Gambar 3. Penampakan Efluen I dan Efluen II ................................................ 22
Gambar 4. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis
pada Efluen I (alum) ....................................................................... 27
Gambar 5. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis
pada Efluen II (alum) ...................................................................... 28
Gambar 6. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis
pada Efluen I (PAC) ........................................................................ 29
Gambar 7. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis
pada Efluen II (PAC) ...................................................................... 29
Gambar 8. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis
pada Efluen I (FeCl3) ...................................................................... 30
Gambar 9. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis
pada Efluen II (FeCl3) ..................................................................... 31
Gambar 10. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (alum)................ 33
Gambar 11. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (alum) .............. 33
Gambar 12. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (alum) ...................... 34
Gambar 13. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (alum) ..................... 35
Gambar 14. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (alum) ...................... 36
Gambar 15. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (alum) .................... 36
Gambar 16. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (PAC) ................ 38
Gambar 17. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (PAC) .............. 38
Gambar 18. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (PAC) ....................... 40
Gambar 19. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (PAC) ..................... 40
Gambar 20. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (PAC) ....................... 42
Gambar 21. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (PAC)...................... 42
Gambar 22. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (FeCl3) .............. 44
Gambar 23. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (FeCl3) ............. 44

vi
Gambar 24. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (FeCl3) ..................... 46
Gambar 25. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (FeCl3) .................... 46
Gambar 26. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (FeCl3)...................... 47
Gambar 27. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (FeCl3) .................... 48

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Tata kerja analisa dan pengujian .................................................. 55
Lampiran 2. Diagram alir pengolahan air limbah di IPAL PT. Capsugel
Indonesia ...................................................................................... 57
Lampiran 3. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada
alum (kekeruhan) ........................................................................ 58
Lampiran 4. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada
alum (warna) ................................................................................ 59
Lampiran 5. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada
alum (Cl2) ..................................................................................... 60
Lampiran 6. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada
PAC (kekeruhan) .......................................................................... 61
Lampiran 7. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada
PAC (warna)................................................................................. 62
Lampiran 8. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada
PAC (Cl2) ..................................................................................... 63
Lampiran 9. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada
FeCl3 (kekeruhan) ........................................................................ 64
Lampiran 10. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada
FeCl3 (warna) ............................................................................... 65
Lampiran 11. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada
FeCl3 (Cl2) .................................................................................... 66
Lampiran 12. Hasil analisa proses optimasi penambahan kaporit pada
Efluen I ......................................................................................... 67
Lampiran 13. Hasil analisa proses optimasi penambahan kaporit pada
Efluen II ....................................................................................... 68
Lampiran 14. Hasil analisa koagulasi – flokulasi penelitian pendahuluan pada
Efluen I ......................................................................................... 69
Lampiran 15. Hasil analisa koagulasi – flokulasi penelitian pendahuluan pada
Efluen II ....................................................................................... 70

viii
Lampiran 16. Hasil analisa koagulasi – flokulasi penelitian utama pada
Efluen I .......................................................................................... 71
Lampiran 17. Hasil analisa koagulasi – flokulasi penelitian utama pada
Efluen II ........................................................................................ 74
Lampiran 18. Hasil analisa persen penurunan parameter Efluen I ..................... 77
Lampiran 19. Hasil analisa persen penurunan parameter Efluen II .................... 80
Lampiran 20. Baku Mutu Perairan Berdasarkan Kelas, PP No. 82 Tahun
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Udara ...................................................................... 83

ix
I. PENDAHULUAN

C. LATAR BELAKANG

Proses koagulasi – flokulasi merupakan salah satu cara pengolahan


limbah cair untuk menghilangkan partikel-partikel yang terdapat didalamnya.
Koagulasi diartikan sebagai proses kimia fisik dari pencampuran bahan
koagulan ke dalam aliran limbah dan selanjutnya diaduk cepat dalam bentuk
larutan tercampur. Flokulasi adalah proses pembentukan flok pada
pengadukan lambat untuk meningkatkan saling hubung antar partikel yang
goyah sehingga meningkatkan penyatuannya (aglomerasi).
Proses saling mengikat antar partikel atau terjadinya pembentukan flok
dapat dijelaskan dalam berbagai macam teori. Pertama, pembentukan flok
terjadi karena adanya tumbukan partikel koloid dengan koagulan (sweep
coagulation). Kedua, pembentukan flok terjadi karena terjadi
penetralan/pemuatan partikel koloid yang dilanjutkan dengan adanya gaya
tarik menarik antar partikel. Ketiga, pembentukan penghubung polimer (inter
particle bridging). Pemahaman terjadinya proses pembentukan flok tersebut
tergantung dari macam koagulan yang ditambahkan dalam proses tersebut.
Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan
menetralkan muatan koloid dan mengikat partikel tersebut sehingga
siap/mudah membentuk flok atau gumpalan (Hammer, 1986). Bahan kimia
yang dapat digunakan sebagai koagulan adalah kapur, alum, dan polielektrolit
(organik sintesis) (Hammer, 1986), koagulan anorganik [poly alumunium
chloride (PAC)] (Wenbin et al., 1999), dan garam-garam besi seperti feri
klorida dan besi sulfat (Davis dan Cornwell, 1991).
Selama ini proses koagulasi – flokulasi dalam pengolahan limbah cair
umumnya ditempatkan pada pengolahan primer (primary treatment) dan
pengolahan tersier (tertiary treatment). Penggunaan proses koagulasi –
flokulasi pada pengolahan tersier biasanya ditujukan untuk menurunkan
kekeruhan yang masih tersisa pada efluen limbah cair yang akan dibuang ke
lingkungan. Pada beberapa pengolahan limbah cair industri, menurunnya

1
kekeruhan akibat proses koagulasi – flokulasi ditujukan juga untuk
mengurangi warna dalam limbah cair sebelum masuk ke tahap pengolahan
selanjutnya.
PT. Capsugel Indonesia (PTCI) merupakan industri yang bergerak di
bidang farmasi dengan memproduksi cangkang kapsul dengan bahan dasar
gelatin. Limbah cair yang dihasilkan dari proses tersebut telah mengalami
pengolahan pada IPAL yang dimiliki oleh PT. Capsugel Indonesia yaitu
melalui tahapan pengolahan primer (ekualisasi, penurunan suhu, dan
pengaturan pH), pengolahan sekunder (denitrifikasi, nitrifikasi), dan
pengolahan tersier (klorinasi).
Pada pengolahan tersier, proses klorinasi yang dilakukan bertujuan
untuk membantu menghilangkan warna yang masih tersisa dalam efluen.
Berdasarkan pengamatan pada kolam indikator yang ditempatkan setelah
proses pengolahan tersier (klorinasi), terlihat adanya kematian ikan yang
terdapat didalamnya. Kematian ikan ini diduga disebabkan oleh kadar klorin
efluen yang tinggi yaitu mencapai 0.78-4.62 mg/l. Menurut www.o-fish.com
(2002), klorin sangat beracun bagi ikan, dan untuk menghindari efek
berbahaya dari bahan tersebut maka residu klorin dalam air harus dijaga agar
tidak lebih dari 0.003 mg/l dan klorin pada konsentrasi 0.2 - 0.3 mg/l sudah
cukup untuk membunuh ikan dengan cepat. Oleh karena itu, diperlukan suatu
penanganan yang tepat dalam menangani permasalahan ini, salah satu caranya
adalah dengan proses koagulasi dan flokulasi sebagai substitusi proses
klorinasi.

D. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, yaitu :


1. Mempelajari penggunaan beberapa koagulan untuk proses koagulasi –
flokulasi pada pengolahan tersier limbah cair PT. Capsugel Indonesia.
2. Mengetahui pengaruh penambahan dosis koagulan dan pH yang berbeda
pada masing-masing koagulan terhadap kualitas (warna) efluen yang
dihasilkan.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

E. PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT. CAPSUGEL INDONESIA

Pengolahan air limbah di PT. Capsugel Indonesia meliputi pengolahan


secara fisika, kimia dan biologis. Tahapan pengolahannya tidak selalu sama
tergantung dari karakteristik air limbah dan dengan treatability test dapat
diketahui pengolahan apa yang tepat.
Pengolahan air limbah secara fisika meliputi : penurunan suhu,
penyaringan, ekualisasi, pengendapan, dan mixing. Pengolahan secara kimia
meliputi : koagulasi dan flokulasi, presipitasi, pengaturan pH, oksidasi, dan
desinfeksi. Pengolahan biologi meliputi nitrifikasi dan denitrifikasi.
Berikut ini adalah gambaran secara umum proses pada IPAL :
1. Ekualisasi
Sebelum diolah air limbah ditampung dalam bak ekaluasasi. Untuk
meratakan konsentrasi dan debit, agar air limbah dapat diolah dengan debit
yang sama dan konsentrasi rata-rata yang mendekati sama. Bak ekualisasi
dilengkapi dengan pompa transfer berikut Water Level Control (WLC)
yang mengatur mati hidupnya pompa. Jika air mencapai level minimum,
pompa mati dan pompa akan jalan lagi air mencapai level maksimum.
2. Cooling Tower
Cooling Tower berfungsi untuk menurunkan temperatur air limbah yang
berasal dari bak ekualisasi hingga sesuai yang disarankan untuk
pengolahan secara biologis (maksimum 35 °C).
3. Pengaturan pH
Dari ekualisasi air limbah dipompa ke bak pengaturan pH untuk diatur
pada range pH 7-8.5 dengan menggunakan bahan kimia Na2CO3. Waktu
tinggal yang dipakai adalah 6 menit.
4. Anosik
Air limbah dari bak pengaturan pH mengalir ke bak anosik bercampur
dengan air limbah yang di recycle dari bak aerasi. Dalam bak anosik air
limbah mengalami proses denitrifikasi yaitu penguraian NO3- menjadi NO2

3
dan OH-. Pada proses denitrifikasi tidak ada penambahn O2. Untuk
menjaga bakteri tetap tersuspensi maka dipakai pengaduk mekanik.
5. Aerasi
Dalam bak aerasi air limbah mengalami proses nitrifikasi dimana
ammonium diubah oleh bakteri Nitrosomonas dengan bantuan oksigen
menjadi NO2- dan sel baru. Kemudian oleh bakteri nitrobakter NO2-
diubah menjadi NO3- dan sel baru. Dissolved oxygen (DO) dijaga minimal
2 mg/L dengan penambahan oksigen dari blower. Sebagian air limbah
mengalir ke bak sedimentasi dan sebagian lagi dipompa kembali ke bak
pengaturan pH dan terus masuk ke bak anosik (internal recycle). Pada
aliran internal recycle dipasang flow meter untuk mengetahui debit air
limbah yang dikembalikan ke bak anosik.
6. Bak Sedimentasi / Clarifier
Dari bak aerasi air limbah mengalir ke bak sedimentasi. Di sini flok-flok
bakteri (biomass) yang ikut dalam effluent aerasi diendapkan dan dipompa
kembali ke bak anosik melalui bak pengatur pH, supaya Mixed Liquor
Suspended Solid (MLSS) diatur cukup tinggi sesuai dengan kriteria disain
(3000 mg/L). Pada aliran ini juga dilengkapi flow meter dan kelebihan
lumpur dapat dibuang ke bak pengumpul lumpur. Overflow rate yang
digunakan maksimum 0.7 m/jam. Air limbah yang berupa cairan jernih
kemudian mengalir ke bak klorinasi.
7. Klorinasi
Sebelum dibuang ke lingkungan air limbah melewati bak klorinator untuk
proses desinfektan dan juga membantu mengurangi konsentrasi
ammonium dan warna yang masih tersisa dalam effluent. Waktu tinggal
yang dipakai adalah 30 menit.
8. Sand Filter
Air limbah dari bak klorinasi masuk ke sand filter untuk proses
penjernihan dan penghilangan bau air limbah yang akan dibuang ke bak
kontrol. Bahan penyaring yang digunakan adalah pasir aktif (zeolit) dan
karbon aktif.

4
9. Bak Kontrol
Air hasil perlakuan pada sand filter ditampung dalam bak control sebelum
dialir untuk keperluan cooling tower, recycle dan dibuang ke saluran
umum.
10. Sludge Holding Tank / SHT
SHT berfungsi untuk menampung lumpur yang dibuang dari bak
sedimentasi sebelum diangkut dari TPA. Pada SHT ini terdapat 2 buah
outlet untuk supernatan dan satu buah outlet untuk pembuangan lumpur.
11. Weir V-notch flow meter dengan ultrasonic level meter
Untuk mengetahui debit inlet dan outlet di dalam proses pengolahan air
limbah. Di sini ultrasonic flow meter dipasang di dua tempat yaitu pada
inlet (sebelum masuk bak pengaturan pH) dan outlet sebelum dibuang ke
lingkungan.
12. Tangki Kimia
Pada proses pengolahan air limbah di PT. Capsugel ini dibutuhkan 4 buah
tangki untuk penyiapan bahan-bahan yang dibutuh dalam pengolahan yaitu
Na2CO3, HCl (tidak dipakai lagi), TSP dan kaporit. Masing-masing tangki
dilengkapi pompa dosing agar bahan kimia dapat dipompa sesuai
kebutuhan dan mixer untuk melarutkan bahan kimia yang sukar larut.

F. KOAGULASI DAN FLOKULASI

Menurut Alaerts dan Santika (1987), jenis partikel koloid merupakan


penyebab kekeruhan dalam air (efek Tyndall) yang disebabkan oleh
penyimpangan sinar nyata yang menembus suspensi tersebut. Partikel-partikel
koloid tidak terlihat secara visual sedangkan larutannnya (tanpa partikel
koloid) yang terdiri dari ion-ion dan molekul-molekul tidak pernah keruh.
Larutan tidak keruh jika terjadi pengendapan (presipitasi) yang merupakan
keadaan kejenuhan dari suatu senyawa kimia.
Menurut vesilind et al. (1994), partikel koloid dalam air sulit
mengendap secara normal. Partikel koloid mempunyai muatan, penambahan
koagulan akan menetralkan muatan tersebut. Partikel netral akan saling

5
berikatan membentuk flok-flok besar dari partikel koloid yang berukuran
sangat kecil. Hal ini disebut sebagai proses flokulasi.
Menurut Steel dan McGhee (1985), koagulasi diartikan sebagai proses
kimia fisik dari pencampuran bahan kimia ke dalam aliran limbah dan
selanjutnya diaduk cepat dalam bentuk larutan tercampur. Flokulasi adalah
proses penambahan flokulan pada pengadukan lambat untuk meningkatkan
saling hubung antar partikel yang goyah sehingga meningkatkan
penyatuannya (aglomerasi).
Metcalf dan Eddy (1991), menyatakan bahwa untuk mendorong
pembentukan agregat pertikel, harus diambil langkah-langkah tertentu guna
mengurangi muatan atau mengatasi pengaruh muatan partikel. Pengaruh
muatan dapat diatasi dengan : (1) penambahan ion berpotensi menentukan
muatan sehingga terserap atau bereaksi dengan permukaan koloid untuk
mengurangi muatan permukaan, atau penambahan elektrolit yang akan
memberikan pengaruh mengurangi ketebalan lapisan difusi listrik sehingga
mengurangi zeta potensial, (2) penambahan molekul organik berantai panjang
(polimer) yang sub-bagiannya dapat diberi muatan sehingga disebut
polielektrolit, hal ini menyebabkan penghilangan partikel melalui adsorbsi dan
pembuatan penghubung (bridging), dan (3) penambahan bahan kimia yang
membentuk ion-ion yang terhidrolisis oleh logam.
Menurut Hammer (1986), dua gaya yang menentukan kekokohan
koloid adalah, (1) gaya tarik menarik antar partikel yang disebut dengan gaya
Van der Walls, cenderung membentuk agregat yang lebih besar, (2) gaya tolak
menolak yang disebabkan oleh pertumpangtindihan lapisan tanda elektrik
yang bermuatan sama yang mengakibatkan kekokohan dispersi koloid.
Koagulasi dan flokulasi merupakan proses yang sangat berkaitan erat
dimana keberhasilan proses flokulasi sangat bergantung dari proses koagulasi
yang merupakan rangkaian proses pembentukan flok-flok. Pada kedua proses
ini dibutuhkan flocculating agent yaitu bahan kimia tertentu yang membantu
proses pembentukan flok. Dalam kurun waktu terakhir, penggunaan polimer
sintesis sebagai bahan kimia pendestabilisasi pada pengolahan air bersih dan
limbah cair semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan, pengolahan yang

6
paling ekonomis dapat dicapai dengan menggunakan anionik polimer,
walaupun padatan yang terkandung dalam air bermuatan negatif (Weber,
1972).
Agar proses destabilisasi efektif, molekul polimer harus mengandung
kelompok kimia yang dapat berinteraksi dengan permukaan partikel koloid.
Pada saat terjadi kontak antara molekul polimer dengan partikel koloid,
beberapa dari kelompok kimia pada polimer terserap ke permukaan partikel,
meninggalkan molekul polimer yang tersisa pada larutan. Apabila terjadi
kontak antar molekul polimer yang tersisa dengan partikel kedua yang
memiliki permukaan adsorbsi yang kosong, maka akan terjadi ikatan. Partikel
polimer komplek akan terbentuk dengan polimer sebagai penghubung. Jika
partikel kedua tidak dapat berikatan, maka seiring dengan waktu bagian
polimer yang tersisa perlahan akan terserap pada permukaan partikel yang
lain, sehingga polimer tidak dapat lagi berfungsi sebagai penghubung.
Dosis polimer yang berlebih akan mengakibatkan koloid menjadi stabil
kembali karena tidak adanya ruang untuk membentuk penghubung antar
partikel. Pada kondisi tertentu, sustu sistem yang telah didestabilisasi dan
membentuk agregat dapat menjadi stabil kembali dengan meningkatkan
agitasi, akibat putusnya polimer permukaan partikel dan proses berulang
antara polimer tersisa dengan permukaan partikel (Weber, 1972).
Menurut Benefield et al. (1982), untuk merangsang partikel koloid
bergabung membentuk gumpalan yang lebih besar diperlukan dua cara, yaitu
partikel harus didestabilisasikan dan dipindahkan. Destabilisasi partikel dapat
dicapai melalui cara penekanan lapisan ganda listrik, penyerapan untuk
netralisasi, penjeratan pada presipitasi, dan pembentukan antar partikel.
Penekanan lapisan ganda listrik dan penetralan dikategorikan sebagai
proses koagulasi, sedangkan penjeratan dan pembentukan antar partikel
sebagai flokulasi. Destabilisasi partikel dengan cara penekanan dapat dicapai
melalui penambahan elektrolit muatan yang berlawanan dengan muatan
partikel koloid (Benefield et al., 1982). Dasar dari mekanisme ini adalah
bahwa interaksi dari koagulan dengan partikel koloid terjadi karena efek
elektrostatik, ion sejenis dengan partikel koloid akan saling tolak menolak,

7
sedangkan yang muatannya berlawanan akan tarik menarik (Surdia et al.,
1981).
Menurut Nathanson (1977), keberhasilan dari proses koagulasi dan
flokulasi tergantung beberapa faktor diantaranya adalah dosis koagulan yang
diberikan, suhu dari limbah, pH dan alkalinitas. Dosis koagulan yang
diberikan disesuaikan dengan karakteristik dari air limbah yang akan
ditangani. Untuk mengetahui dosis optimum koagulan dilakukan pengujian
dilaboratorium menggunakan peralatan yang disebut Jartest.

G. KOAGULAN

Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan


menetralkan muatan koloid dan mengikat partikel tersebut sehingga
membentuk flok atau gumpalan (Hammer, 1986).
Menurut Davis dan Cornwell (1991), koagulan merupakan substansi
kimia yang dimasukkan ke dalam air untuk menghasilkan efek koagulasi. Ada
tiga hal penting yang harus diperhatikan pada suatu koagulan, yaitu:
1. Kation bervalensi tiga (trivalen). Kation trivalen merupakan kation yang
paling efektif untuk menetralkan muatan listrik koloid.
2. Tidak beracun (toksik). Persyaratan ini diperlukan untuk menghasilkan air
atau air limbah hasil pengolahan yang aman.
3. Tidak larut dalam kisaran pH netral. Koagulan yang ditambahkan harus
terpresipitasi dari larutan, sehingga ion-ion tersebut tidak tertinggal dalam
air.
Menurut Hammer (1986), bahan kimia yang digunakan sebagai
koagulan adalah kapur, alum, dan polielektrolit (organik sintesis).
Polielektrolit dapat berupa kation, anion, nonionik dan Miccellaneous (Liu
dan Liptak, 2000). Garam-garam besi seperti feri klorida (FeCl3) dan besi
sulfat (Fe2(SO4)3.H2O) dapat dipergunakan pula sebagai koagulan (Davis dan
Cornwell, 1991).
Menurut Wenbin et al. (1999), pada saat ini ada dua macam koagulan
yang banyak digunakan adalah koagulan anorganik dan koagulan organik.

8
Alumunium sulfat dan poly alumunium chloride (PAC) merupakan koagulan
anorganik dengan produksi terbanyak.
Menurut Suciastuti dan Sutrisno (1987), alumuniun sulfat biasanya
disebut juga sebagai tawas. Bahan ini banyak dipakai, karena efektif untuk
menurunkan kadar karbonat. Bahan ini paling ekonomis (murah) dan mudah
didapat pada pasaran serta mudah disimpan. Menurut Alaerts dan Santika
(1987), alum dalam air akan mengalami proses hidrolisis menurut reaksi
umum adalah sebagai berikut:

Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3 + 6H+ + 3SO42-

Menurut Davis dan Cornwell (1991), alum padat komersil (Al2(SO4)3.14H2O)


mempunyai bobot molekul 594. Komposisi alum padat terdiri 48.8 persen
alum (8.3% Al2O3) dan 51.2 persen air.
Menurut Kurniawan (2005), penambahan alum pada air lindi (cairan
sampah) dengan dosis 15 mg/l hingga 80 mg/l dapat menurunkan kekeruhan
sebesar 64.43 persen hingga 87.20 persen dan menurunkan warna sebesar
40.50 persen hingga 73.97 persen, dan menurut Pujiantoro (1995),
penambahan alum pada penanganan primer limbah cair industri rayon dengan
dosis 100 mg/l hingga 400 mg/l dapat menurunkan kekeruhan sebesar 76
persen hingga 90 persen. Proses koagulasi – flokulasi dengan koagulan alum,
kisaran pH yang mungkin adalah pada pH 5 hingga pH 8 (Davis dan
Cornwell, 1991).
Menurut Echanpin (2005), PAC merupakan koagulan anorganik yang
tersusun dari polimer makromolekul yang mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut: (1) tingkat adsorpsi yang kuat, (2) mempunyai kekuatan lekat, (3)
pembentukan flok-flok yang tinggi dengan dosis kecil dan (4) tingkat
sedimentasi cepat. Keunggulan lainnya adalah cakupan penggunaan yang luas.
Oleh karena itu, produk ini adalah suatu agen dalam proses penjernihan air
dengan efisiensi tinggi, cepat dalam proses pengolahan air, aman dan
konsumsi konsentrasi yang rendah.

9
Menurut Hardman (2005), PAC terdiri dari berbagai jenis, yaitu
sebagai berikut:
1. PAC-AC
PAC yang mempunyai basicity yang tinggi dalam cairannya untuk proses
koagulasi pada pengolahan air minum dan limbah cair.
2. PAC-SP
PAC yang mempunyai basicity yang sedang dalam cairannya untuk proses
koagulasi pada pengolahan air minum dan limbah cair.
3. PAC-PW
PAC yang mempunyai basicity yang sedang dalam cairannya untuk proses
koagulasi pada pengolahan air minum dan limbah cair dengan berbagai
kondisi yang luas.
Dalam cairan PAC, ion-ion garam alumunium dibentuk menjadi
polimer-polimer yang terdiri dari sekelompok ion yang dihubungkan oleh
atom-atom oksigen. Polimer-polimer ini hanya terbentuk dalam cairan garam
alumunium yang sebagian telah dinetralkan melalui reaksi dengan basa.
Derajat polimerisasi meningkat seiring dengan besarnya netralisasi. Netralisasi
mengubah karakteristik dasar cairan. Netralisasi total garam aluminium
mengakibatkan presipitasi aluminium hidroksida, dengan formula Al(OH)3
atau Al2(OH)6. Pada formula Hardman untuk PAC-AC (Concentrated High
Basicity Poly Aluminium Chloride Solution) yaitu Al2(OH)5Cl, diduga
sebanyak 5/6 larutan Al(OH)3 ternetralisasi (Hardman Australia Pty Ltd.,
2002).
Senyawa PAC mempunyai karakteristik tertentu, seperti: padatan
berwarna kuning jernih, titik didih lebih dari 100ºC, titik beku -12ºC, specific
grafity 1.36-1.38, larut dalam air dan stabil di bawah kondisi biasa
(www.chemicalland21.com, 2005).
PAC dapat digunakan dengan interval dosis yang luas dan sangat
cocok untuk beranekaragam kekeruhan, kebasaan, dan jumlah bahan organik
di dalam air. Apabila dibandingkan dengan alumunium sulfat, PAC
mempunyai efek koagulasi yang lebih baik, sangat cocok digunakan pada

10
temperatur rendah (T<10ºC), flok terbentuk sangat cepat, serta memiliki
waktu singkat untuk bereaksi dan mengendap (Wenbin et al., 1999).
Beberapa keuntungan koagulan PAC adalah selain sangat baik untuk
menghilangkan kekeruhan dan warna, memadatkan dan menghentikan
penguraian flok, membutuhkan kebasaan rendah untuk hidrolisis, sedikit
berpengaruh pada pH, menurunkan atau menghilangkan kebutuhan
penggunaan polimer, serta mengurangi dosis koagulan sebanyak 30–70%
(Eaglebrook Inc., 1999).
Menurut Kurniawan (2005), penambahan dosis PAC pada air lindi
(cairan sampah) dalam kisaran 10 mg/l hingga 60 mg/l dapat menurunkan
kekeruhan sebesar 49.24 persen hingga 81.34 persen dan warna sebesar 3.72
persen hingga 62.98 persen. Proses koagulasi – flokulasi dengan koagulan
PAC akan menurunkan kadar COD 40 – 70% dengan perlakuan pH dibawah
6.5 (Klimiuk et al.,1999).
Feri Klorida (FeCl3.6H2O) merupakan koagulan utama dalam proses
koagulasi limbah cair industri. Reaksi hidrolisis feri klorida mirip dengan
reaksi hidrolisis alum. Pemakaian feri klorida terbatas untuk penanganan
beberapa limbah cair industri. Feri klorida dibuat dari reaksi klorinasi besi,
tersedia dalam bentuk padatan atau cairan dan sangat korosif (Hammer, 1986).
Menurut Davis dan Cornwell (1991), besi dapat diperoleh dari garam
sulfat Fe2(SO4)3.H2O atau garam klorida FeCl3.xH2O yang tersedia dalam
bentuk padatan atau larutan. Reaksi FeCl3 dalam air yang mengandung
alkalinitas adalah sebagai berikut :

FeCl3 + 3 HCO3- Fe(OH)3(s) + 3CO2 + 3Cl-

Dan reaksinya dalam air yang tidak mengandung alkalinitas adalah:

FeCl3 + 3H2O Fe(OH)3(s) + 3HCl

Pembentukan asam klorida akan menurunkan pH.


Menurut Pujiantoro (1995), dengan penambahan dosis FeCl3 sebanyak
50 mg/l dapat menurunkan kekeruhan limbah cair industri rayon dari 72 mg/l
SiO2 menjadi 15 mg/l SiO2 (79%). Kisaran pH efektif dengan penggunaan

11
koagulan FeCl3 pada proses koagulasi – flokulasi adalah pH 4 hingga pH 9
(Davis dan Cornwell,1991).
Menurut www.menlh.go.id/usaha-kecil/ (2003), Pengolahan limbah
cair pada pabrik tekstil dilakukan apabila limbah pabrik mengandung zat
warna, maka aliran limbah dari proses pencelupan harus dipisahkan dan diolah
tersendiri. Limbah operasi pencelupan dapat diolah dengan efektif untuk
menghilangkan logam dan warna, jika menggunakan flokulasi kimia,
koagulasi dan penjernihan yaitu dengan menggunakan garam feri (FeCl3).
Limbah dari pengolahan kimia dapat dicampur dengan semua aliran limbah
yang lain untuk dilanjutkan ke pengolahan biologi.
Pada beberapa pengolahan limbah cair FeCl3 dapat digunakan sebagai
flocculating agent, etching agent untuk penanganan permukaan logam, dan
desinfektan (www.chemicalland21.com, 2005). Koagulan FeCl3 dapat
menimbulkan masalah, terutama timbulnya warna dan sifat korosif apabila
proses koagulasi tidak berlangsung dengan baik. Timbulnya warna tersebut
dikarenakan oleh Fe3+ dari koagulan yang terlarut dalam air olahan. Adanya
Fe3+ yang terlarut dalam air olahan menyebabkan timbulnya warna merah
(Reynolds, 1982; Peavy et al., 1986).

H. KLORINASI

Proses klorinasi pada IPAL PT. Capsugel Indonesia terjadi pada tahap
pengolahan tersier (setelah proses sedimentasi). Sebelum dibuang ke
lingkungan efluen melewati proses klorinasi dengan menambahkan kaporit
[Ca(OCl)2] sebagai desinfektan dan juga membantu mengurangi konsentrasi
ammonium dan warna yang masih tersisa dalam efluen.
Efluen dari bak sedimentasi ini memiliki dua penampakan secara
visual yang berbeda yaitu warna bening kemerahan (Efluen I) dan bening
kebiruan (Efluen II). Perbedaan ini dikarenakan bahan pewarna cangkang
kapsul yang digunakan berbeda yaitu cangkang kapsul yang menggunakan
pewarna “Erythrosin B” dan cangkang kapsul yang menggunakan pewarna
“Brilliant Blue FCF”.

12
Produksi cangkang kapsul dengan pewarna “Erythrosin B” akan
menghasilkan efluen berwarna bening kemerahan (Efluen I), sedangkan
produksi cangkang kapsul dengan pewarna “Brilliant Blue FCF” akan
menghasilkan efluen berwarna bening kebiruan (Efluen II).

Tabel 1. Hasil proses klorinasi dengan penambahan kaporit pada IPAL PTCI
Kaporit
Parameter (24 – 32 mg/l )
Efluen I Efluen II
Kekeruhan (NTU) 0.03 < 0.01
Warna (PtCo) 0 0
Klorin (mg/l) 4.62 4.39
Sumber: PT. Capsugel Indonesia (2005).

Klorinasi adalah proses penambahan senyawa klor (kaporit) ke dalam


air sebagai penjernih air sehingga dapat dikonsumsi oleh manusia
(www.wikipedia.com, 2006). Air yang telah bereaksi dengan klor efektif
mencegah penyebaran penyakit. Namun, dengan proses klorinasi ini
menjadikan kadar klorin (Cl2) dalam efluen meningkat. Jika penambahan klor
dilakukan secara kurang tepat dan kadarnya melebihi ambang batas yang
ditentukan dapat bersifat toksik bagi makhluk perairan serta menimbulkan bau
dan rasa pada air (Effendi, 2003).
Menurut www.wikipedia.com (2006), kalsium hipoklorit merupakan
suatu garam dari asam hipoklorus (HClO). Kalsium hipoklorit adalah bubuk
penghilang warna (bleaching powder). Di dalam air olahan, kalsium hipoklorit
secara parsial membelah menjadi kation Ca2+ dan anion ClO-, sedangkan
bagian yang substansial terhidrolisis menjadi kalsium hidroksida dan asam
hipoklorus. Kemampuan terakhir anion hipoklorit untuk mengoksidasi
menyebabkan efek penghilangan warna (bleaching effect).
Warna di dalam kebanyakan pewarna dan pigmen dihasilkan oleh
molekul, seperti beta karotin, yang mengandung bagian pembawa warna yang
dikenal sebagai kromopor. Bahan kimia penghilang warna (bleaches) bekerja
dengan cara:
1. Penghilang warna pengoksidasi bekerja dengan memutuskan ikatan kimia
yang menyusun kromopor (chromophore). Hal ini merubah molekul

13
menjadi sebuah substansi yang berbeda yang mana tidak mengandung
kromopor atau kromopor yang tidak menyerap cahaya tampak.
2. Penghilang warna pereduksi bekerja dengan mengubah ikatan ganda pada
kromopor menjadi ikatan tunggal. Hal ini menghilangkan kemampuan
kromopor untuk menyerap cahaya tampak (www.wikipedia.com, 2006).
Kaporit sering digunakan sebagai desinfektan untuk menghilangkan
mikroorganisme yang tidak dibutuhkan, terutama bagi air yang diperuntukkan
bagi kepentingan domestik. Beberapa alasan yang menyebabkan kaporit sering
digunakan sebagai desinfektan adalah sebagai berikut:
1. Dapat dikemas dalam bentuk gas, larutan, dan bubuk (powder)
2. Relatif murah
3. Memiliki daya larut yang tinggi serta dapat larut pada kadar yang tinggi
(7.000 mg/l).
4. Residu klorin dalam bentuk larutan tidak berbahaya bagi manusia, jika
terdapat dalam kadar yang berlebihan
5. Bersifat sangat toksik bagi organisme perairan, dengan cara menghambat
aktivitas metabolisme organisme tersebut.
(Tebbut, 1992).
Kaporit merupakan bahan kimia yang biasa digunakan sebagai
pembunuh kuman (disinfektan) di perusahan-perusahan air minum seperti
PAM atau PDAM. Klorin (Cl2) merupakan gas berwarna kuning kehijauan
dengan bau yang menyengat. Bau ini bisa dikenali seperti bau air kolam
renang yang biasanya secara intensif diberi perlakuan klorinasi dengan kaporit
(www.o-fish.com, 2002). Kaporit (kapur klorida) dalam air akan membentuk
kalsium hipoklorit [Ca(OCl)2] yang merupakan molekul klor/klorin (Cl2)
(Riegel, 1933). Klorin bekerja dengan baik pada kondisi asam ataupun netral
dengan pH antara 1.5 – 7 (www.terranet.com, 2006).
Klorin relatif tidak stabil di dalam air sehingga biasanya akan segera
terbebas ke udara. Klorin sangat beracun bagi ikan. Klorin bereaksi dengan
air membentuk asam hipoklorus yang diketahui dapat merusak sel-sel protein
dan sistem enzim ikan. Tingkat keracunan klorin secara alamiah akan
meningkat pada pH lebih rendah dan temperatur lebih tinggi, karena pada

14
kondisi demikian proporsi asam hipoklorus yang terbentuk akan meningkat
(www.o-fish.com, 2002).
Kadar klorin yang dianjurkan dalam air buangan adalah tidak melebihi
0.5 mg/l. Kadar klorin sedikitnya 3.5 mg/l dapat terdeteksi sebagai bau, dan
1000 mg/l akan menyebabkan efek berbahaya untuk saluran pernapasan
manusia (www.wikipedia.com, 2006). Untuk menghindari efek kronis dari
bahan tersebut terhadap makhluk perairan maka residu klorin dalam air harus
dijaga agar tidak lebih dari 0.003 mg/l. Klorin pada konsentrasi 0.2 - 0.3 mg/l
sudah cukup untuk membunuh ikan dengan cepat (www.o-fish.com, 2002).

15
III. METODOLOGI

D. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah efluen tahap


pengolahan sekunder yaitu yang berasal dari bak sedimentasi (clarifier) PT.
Capsugel Indonesia, Cibinong, Jawa Barat. Efluen tersebut terdapat dalam 2
jenis yaitu Efluen I (hasil dari pewarnaan cangkang kapsul dengan “Erythrosin
B”) dan Efluen II (hasil dari pewarnaan cangkang kapsul dengan “Brilliant
Blue FCF”).
Koagulan yang digunakan adalah alum padat, PAC padat, FeCl3 padat,
dan kaporit padat. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah kertas saring,
bahan-bahan kimia seperti DPD Free Chlorine Powder Pillow (serbuk) untuk
analisis klorin (metode DPD dengan spektrofotometer) dan larutan H2SO4,
HCl, dan NaOH untuk pengaturan pH.
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah VELP – scientificaTest di
cessione C6F Jartester, oven, spektrofotometer Direct Reading (DR) 2000,
timbangan, pH meter, turbidimeter, dan alat-alat gelas.

E. TAHAPAN PENELITIAN

1. Karakterisasi Efluen

Efluen diperoleh dari bak sedimentasi yang berupa cairan tanpa


flok yang merupakan hasil dari proses penanganan secara biologis pada
bak aerasi. Efluen dianalisis baik fisik maupun kimia yang meliputi: pH,
kekeruhan (Nefelo Turbidity Unit – NTU), warna (PtCo), dan klorin
(mg/l).

2. Penelitian Pendahuluan

d. Uji Toksisitas Efluen Terhadap Ikan

Uji toksisitas efluen terhadap ikan dimaksudkan untuk


mengetahui karakteristik toksik efluen setelah proses klorinasi
terhadap ikan. Pengukuran dilaksanakan dengan menggunakan wadah

16
plastik, volume 21 liter. Semua wadah plastik diisi efluen hingga 20
liter. Jumlah wadah plastik yang digunakan adalah 4 buah, 1 buah diisi
dengan Efluen I sebelum klorinasi (A1), 1 buah diisi dengan Efluen I
setelah klorinasi (A2), dan 2 buah wadah plastik lainnya diisi dengan
Efluen II sebelum klorinasi (B1), 1 buah lagi diisi dengan Efluen II
setelah klorinasi (B2). Kualitas efluen yang dimasukkan ke dalam
wadah plastik dianalisis pH dan kadar klorinnya sebelum ikan
dimasukkan.
Ke dalam tiap-tiap wadah percobaan dimasukkan 10 ekor ikan.
Jenis ikan yang akan digunakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio)
dengan ukuran panjang antara 3 – 5 cm dan berasal dari tempat yang
tidak/belum dikenal pencemaran (Suriawiria, 2003).
Uji toksisitas dilakukan selama 96 jam (4 hari). Setelah ikan
mas dimasukkan ke dalam masing-masing wadah, dilakukan
perhitungan jumlah ikan yang mati (setiap 24 jam), dan setiap 24 jam
dilakukan pengukuran pH dan klorin dari masing-masing efluen dalam
wadah percobaan, sehingga secara bertahap akan diketahui ketahanan
dari ikan percobaan terhadap air limbah selama 4 hari percobaan.
Gambaran tentang penentuan kondisi uji toksisitas efluen
terhadap ikan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi uji toksisitas efluen terhadap ikan


Efluen I Efluen II
Kondisi Uji
A1 A2 B1 B2
Volume Efluen 20 L 20 L 20 L 20 L
Jumlah ikan 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor
Keterangan : A1 = Efluen I sebelum klorinasi A2 = Efluen I setelah klorinasi
B1 = Efluen II sebelum klorinasi B2 = Efluen II setelah klorinasi

e. Proses Optimasi Penggunaan Kaporit dengan Jartest

Proses optimasi penggunaan kaporit ini dilakukan untuk


mengetahui dosis kaporit yang tepat yang dapat ditambahkan kedalam
efluen pada proses klorinasi sehingga warna yang masih tersisa dalam
efluen dapat hilang. Berdasarkan dosis yang didapatkan tersebut
diharapkan dapat mengurangi kadar residu klorin dalam efluen
sehingga mengurangi sifat toksik bagi ikan.

17
Perlakuan dosis yang diberikan pada tahap ini adalah 5, 10, 15
mg/l. Rentang penggunaan dosis kaporit ini didasarkan pada
penggunaan kaporit dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan
dengan proses klorinasi di IPAL PT. Capsugel Indonesia yaitu kurang
dari 24 mg/l. Perlakukan pH yang diberikan pada tahap ini adalah 4,
4.5, 5, 5.5, 6, 6.5. Penentuan rentang pH adalah pada kondisi asam
hingga netral (www.terranet.com, 2006).
Proses penentuan dosis terbaik pada penambahan kaporit ini
dilakukan dengan menggunakan peralatan Jartest. Hasil dari proses
tersebut dilakukan uji kekeruhan, warna, dan klorin.

f. Proses Penentuan Awal Dosis Koagulan

Proses penentuan awal dosis koagulan dilakukan dengan


membedakan dosis masing-masing koagulan yang didasarkan pada
dosis terbaik dari penelitian sebelumnya.
Perlakuan dosis yang diberikan pada tahap pertama untuk
masing-masing koagulan ini adalah sebagai berikut :
Koagulan Dosis Koagulan (mg/l)
Alum 40, 50, 60, 80, 100, dan 120
PAC 40, 100, 150, 180, 210, dan 250
FeCl3 40, 50, 60, 100, 150, dan 200

Rentang penggunaan dosis ini didasarkan pada penelitian yang


dilakukan oleh Kurniawan (2005) untuk alum sebanyak 15-80 mg/l,
dan untuk PAC sebanyak 10-60 mg/l. Penggunaan FeCl3 didasarkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Pujiantoro (1995) sebanyak 50-
300 mg/l.
Proses koagulasi – flokulasi dilakukan dengan menggunakan
Jartest, dan hasil dari proses koagulasi – flokulasi tersebut dilakukan
uji kekeruhan dan warna untuk mendapatkan tiga dosis koagulan yang
terbaik.

18
Efluen air limbah
(Efluen I dan Efluen II)

Uji toksisitas efluen


terhadap ikan mas Karakterisasi

Proses koagulasi – Proses penentuan awal dosis Koagulan dengan


flokulasi dengan koagulan dengan Jartest dosis yang
kaporit (penelitian (penelitian pendahuluan) bervariasi (mg/l)
pendahuluan)

Proses koagulasi –
flokulasi dengan Jartest
(penelitian utama)

Efluen hasil koagulasi – flokulasi


[Uji kekeruhan dan warna (penelitian
pendahuluan); uji kekeruhan, warna,
Cl2 (penelitian utama)]

Gambar 1. Skema proses input output penelitian

3. Penelitian Utama

Tiga dosis yang optimal yang didapatkan dari penentuan dosis


kemudian ditambahkan perlakuan pH dengan menggunakan Jartest.
Adapun perlakuan pH yang dilakukan pada tahapan selanjutnya adalah
sebagai berikut :

Koagulan pH
Alum 5.5, 6, 6.5, 7, 7.5, dan 8
PAC 6, 6.5, 7, 7.5, 8, dan 8.5
FeCl3 5.5, 6, 6.5, 7, 7.5, dan 8

Penentuan rentang pH ini didasarkan oleh keefektifan masing-


masing koagulan, seperti yang dikemukakan oleh Davies dan Cornwell
(1991), untuk alum (5-8), FeCl3 (4-9) dan juga oleh Klimiuk et al. (1999),
untuk PAC yang efektif sekitar 6.5.
Hasil dari proses koagulasi – flokulasi dengan perlakuan pH
dilakukan uji kekeruhan, warna, dan klorin. Uji ini bertujuan untuk
mendapatkan kombinasi terbaik antara dosis dan pH berdasarkan hasil

19
yang optimal dari masing-masing parameter uji, khususnya untuk
parameter kekeruhan dan warna.

Gambar 2. Peralatan Jartest

F. ANALISIS DATA

Analisis data diolah dengan manggunakan Microsoft Excel 2003. Hasil


proses penentuan awal dosis koagulan pada penelitian pendahuluan dianalisis
dengan menggunakan pendekatan grafis untuk mendapatkan tiga dosis terbaik.
Hasil uji dari perlakuan dosis dan pH pada penelitian utama diolah
dengan rancangan percobaan desain blok acak lengkap dengan subsampling.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dosis dan pH yang
berbeda terhadap parameter yang diukur, serta untuk mengetahui kombinasi
terbaik antara dosis dan pH dari masing-masing koagulan. Kombinasi terbaik
antara dosis dan pH ditentukan berdasarkan hasil analisis pengukuran
parameter kekeruhan dan warna yang terendah. Model matematis untuk
rancangan percobaan desain blok acak lengkap dengan subsampling, dapat
dituliskan dalam bentuk:
Yijk = μ + βi + πj + єij + ηijk
dimana:
Yijk = Variabel yang diukur
µ = Rata-rata umum
βi = Efek rata-rata blok/efluen ke i
πj = Efek rata-rata pH ke j
єij = Efek unit dosis dikarenakan pH ke j dalam blok/efluen ke i

20
ηijk = Efek sampel ke k yang diambil dari unit dosis yang
dikarenakan pH ke j dalam blok/efluen ke i (Sudjana, 1995).
Blok dalam penggunaan rancangan percobaan desain blok acak lengkap
dengan subsampling disini adalah Efluen I (blok 1) dan Efluen II (blok 2).

21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

G. SUMBER DAN KARAKTERISTIK EFLUEN

Sumber efluen yang digunakan untuk proses koagulasi – flokulasi


berasal dari cairan tanpa flok pada bak sedimentasi (clarifier) PT. Capsugel
Indonesia. Pada bagian ini, efluen telah mendapatkan penanganan secara fisik,
kimia, dan biologis. Penanganan secara fisik meliputi ekualisasi dan
penurunan suhu. Penanganan secara kimia meliputi penurunan pH, dan
penanganan secara biologis meliputi nitrifikasi dan denitrifikasi.
Lumpur aktif dari kolam aerobik mengalir ke bak sedimentasi. Flok-
flok bakteri (biomass) yang ikut dalam efluen aerobik diendapkan di dalam
clarifier dan dipompa kembali ke kolam anoksik atau dikenal dengan return
activated sludge (RAS). Efluen yang berupa cairan tanpa flok kemudian
mengalir ke bak klorinasi.
Efluen yang berupa cairan dari bak sedimentasi ini memiliki dua
penampakan secara visual yang berbeda yaitu warna bening kemerahan
(Efluen I) dan bening kebiruan (Efluen II). Perbedaan ini dikarenakan bahan
pewarna cangkang kapsul yang digunakan berbeda yaitu cangkang kapsul
yang menggunakan pewarna “Erythrosin B” dan cangkang kapsul yang
menggunakan pewarna “Brilliant Blue FCF”. Penampakan Efluen I dan
Efluen II disajikan pada Gambar 3.

Efluen I Efluen II
Gambar 3. Penampakan Efluen I dan Efluen II

22
Produksi cangkang kapsul dengan pewarna “Erythrosin B” akan
menghasilkan efluen berwarna bening kemerahan (Efluen I), sedangkan
produksi cangkang kapsul dengan pewarna “Brilliant Blue FCF” akan
menghasilkan efluen berwarna bening kebiruan (Efluen II). Adapun hasil uji
beberapa parameter dari efluen dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Efluen I dan Efluen II


Parameter Satuan Efluen I Efluen II
pH - 6.38-7.02 6.73-7.00
Kekeruhan NTU 12-13 10-12
Warna PtCo 182-201 175-198
Klorin (Cl2) mg/l 0.12-0.14 0.13-0.15

Berdasarkan karakteristik diatas nilai dari masing-masing parameter


antara Efluen I dan Efluen II tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Nilai
pH Efluen I dan Efluen II berkisar antara 6.38-7.02, dimana sebelumnya
efluen telah mengalami pengaturan pH pada rentang pH 7-8.5 dengan
penambahan bahan kimia Na2CO3, sehingga pada saat memasuki bak
sedimentasi (clarifier) pH efluen berada dalam kisaran pH netral.
Lumpur aktif dari kolam aerobik mengalir ke bak sedimentasi. Flok-
flok bakteri (biomass) yang ikut dalam efluen aerobik diendapkan di dalam
clarifier dan dipompa kembali ke kolam anoksik. Hal ini menyebabkan efluen
yang berupa cairan yang terpisah dari flok-flok bakteri tersebut mempunyai
nilai kekeruhan dan warna yang cukup rendah.
Kadar klorin Efluen I dan Efluen II tidak dalam nilai yang berlebih
yaitu berkisar antara 0.12-0.15 mg/l. Namun, menurut www.o-fish.com
(2002), untuk menghindari efek berbahaya dari klorin maka kadarnya dalam
air harus dijaga agar tidak lebih dari 0.003 mg/l.

H. UJI TOKSISITAS EFLUEN TERHADAP IKAN

Proses klorinasi yang dilakukan pada pengolahan air limbah PT.


Capsugel Indonesia menghasilkan limbah yang memiliki kadar klorin yang
bersifat toksik bagi ikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji toksisitas efluen
terhadap ikan yang disajikan pada Tabel 4 dan 5.

23
Tabel 4. Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan pada Efluen I
A1 A2
Parameter Uji Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari
ke-0 ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-0 ke-1 ke-2 ke-3 ke-4
pH 7.01 7.61 7.84 8.11 8.23 8.21 8.34 8.37 8.40 8.41
Cl2 (mg/l) 0.17 0.16 0.11 0.09 0.05 0.84 0.52 0.22 0.17 0.08
Jumlah ikan yang mati
0 0 0 0 0 10 10 10 10 10
sampai hari ke-
Keterangan : A1 = Efluen I sebelum klorinasi
A2 = Efluen I setelah klorinasi

Tabel 5. Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan pada Efluen II


B1 B2
Parameter Uji Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari
ke-0 ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-0 ke-1 ke-2 ke-3 ke-4
pH 7 7.57 7.79 7.95 8.01 7.78 7.82 7.95 7.99 8.04
Cl2 (mg/l) 0.13 0.11 0.10 0.06 0.03 0.78 0.43 0.19 0.15 0.04
Jumlah ikan yang mati
0 0 0 0 1 10 10 10 10 10
sampai hari ke-
Keterangan : B1 = Efluen II sebelum klorinasi
B2 = Efluen II setelah klorinasi

Berdasarkan pengamatan dari hasil diatas, seluruh biota uji A1 dan B1


masih dapat bertahan hidup dengan kadar klorin sebesar 0.17 dan 0.13 mg/l
pada 24 jam pertama. Biota uji A1 masih dapat bertahan hingga hari keempat,
sedangkan pada B1 hanya satu ekor ikan yang mati hingga hari keempat. Hal
ini menunjukkan bahwa sebelum proses klorinasi berlangsung; efluen cukup
aman bagi kehidupan ikan. Ketahanan ikan tersebut juga didukung oleh
menurunnya kadar klorin A1 karena telah menguap. Klorin dalam air relatif
tidak stabil dan akan segera terbebas ke udara (www.o-fish.com, 2002).
Berbeda dengan A1 dan B1, seluruh biota uji A2 dan B2 mati pada 24
jam pertama. Hal ini diduga adanya pengaruh klorin sebagai akibat dari
penambahan larutan kaporit. Kaporit padat (kalsium hipoklorit) dalam air akan
membentuk senyawa kalsium hipoklorit [Ca(OCl)2] yang merupakan molekul
klorin (OCl- atau HOCl-) (Riegel, 1933), sehingga semakin banyak kaporit
yang ditambahkan akan semakin tinggi kadar klorinnya.
Pada uji contoh terlihat bahwa kandungan residu klorin setelah
klorinasi adalah 0.84 mg/l dan pengamatan pada 24 jam pertama terhadap
efluen setelah klorinasi menunjukkan kematian seluruh ikan yang ada. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan klor tersebut bersifat toksik bagi ikan, karena

24
klorin pada konsentrasi 0.2 - 0.3 mg/l sudah cukup untuk membunuh ikan
dengan cepat (www.o-fish.com, 2002).

I. OPTIMASI PENGGUNAAN KAPORIT

Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan menunjukkan bahwa proses


klorinasi di IPAL PT. Capsugel Indonesia menghasilkan efluen yang
mengandung residu klorin yang toksik bagi ikan. Untuk mengurangi residu
klorin dalam efluen tersebut diupayakan optimasi penggunaan kaporit dengan
mencari dosis yang lebih rendah.
Berdasarkan hasil yang didapat, pada penambahan dosis kaporit
sebesar 5, 10, dan 15 mg/l dengan perlakuan pH 4-6.5 menunjukkan
penurunan kekeruhan dari 82.80 persen hingga 92.40 persen (Efluen I) dan
81.82 persen hingga 91.36 persen (Efluen II). Pada warna terjadi penurunan
dari 49.35 persen hingga 73.89 persen (Efluen I) dan 47.72 persen hingga
69.44 persen (Efluen II). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kaporit
efektif untuk menurunkan warna. Menurut Ucko (1982) kaporit sangat aktif
dalam mengoksidasi warna dan mengubah warna menjadi terang dengan
memecah molekul penyebab warna menjadi substansi yang lain. Hasil analisis
persen penurunan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisis persen penurunan parameter pada perlakuan pH 6.5


Dosis 5 mg/l pH 6.5 Dosis 10 mg/l pH 6.5 Dosis 15 mg/l pH 6.5
Penurunan
Parameter Efluen Efluen Efluen Efluen Efluen Efluen
I II I II I II
Kekeruhan 83.60% 80.00% 90.00% 76.36% 92.40% 91.36%
Warna 50.39% 49.06% 66.84% 63.27% 73.89% 69.44%

Perlakuan pH yang diberikan pada penggunaan kaporit ini juga


mempengaruhi nilai kekeruhan dan warna. Seiring dengan bertambahnya pH
penurunan nilai kekeruhan dan warna akan semakin besar. Penurunan nilai
kekeruhan dan warna yang paling besar terjadi pada penambahan dosis 15
mg/l dengan pH 6.5 yaitu mencapai 0.95 NTU (Efluen I dan II) dan 50 PtCo
(Efluen I) dan 57 PtCo (Efluen II). Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 7.

25
Tabel 7. Hasil analisis proses optimasi penambahan kaporit perlakuan pH 6.5
Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Klorin (mg/l)
Dosis kaporit
Efluen I Efluen II Efluen I Efluen II Efluen I Efluen II
Dosis 5 mg/l 2.05 2.2 95 95 0.17 0.175
Dosis 10 mg/l 1.25 2.6 63.5 68.5 0.205 0.195
Dosis 15 mg/l 0.95 0.95 50 57 1.07 1.055

Namun, penurunan nilai kekeruhan dan warna yang terjadi tersebut


berlawanan dengan residu klorin yang dihasilkan. Residu klorin meningkat
seiring dengan semakin besarnya dosis kaporit dan pH yang diberikan. Hal ini
terjadi karena kaporit dalam efluen akan membentuk kalsium hipoklorit
[Ca(OCl)2] yang merupakan molekul klorin (Riegel, 1933), sehingga semakin
banyak kaporit yang ditambahkan akan meningkatkan residu klorin dalan
efluen.
Penambahan dosis kaporit sebanyak 15 mg/l dengan pH 6.5 dihasilkan
kadar klorin sebesar 1.07 mg/l (Efluen I) dan 1.055 mg/l (Efluen II). Hasil ini
menunjukkan bahwa proses optimasi yang dilakukan ini tidak menekan
jumlah residu klorin dalam efluen dan masih bersifat toksik bagi ikan.

J. PROSES KOAGULASI – FLOKULASI AWAL

Proses koagulasi – flokulasi dengan penambahan koagulan dilakukan


sebagai upaya substitusi penggunaan kaporit sebagai penghilang warna yang
masih tersisa dalam efluen. Melalui proses koagulasi – flokulasi dengan
penambahan koagulan ini diharapkan tidak meningkatkan residu klorin dalam
efluen sehingga tidak berbahaya bagi makhluk perairan.
Koagulan yang digunakan adalah alum, PAC, dan FeCl3. Hasil
penentuan kondisi proses koagulasi – flokulasi untuk mendapatkan dosis yang
optimal dalam menjernihkan efluen disajikan menurut masing-masing
koagulan.

4. Alum

Pengamatan terhadap penggunaan dosis koagulan alum sebanyak


40-120 mg/l pada Efluen I dan Efluen II menunjukkan adanya perubahan
warna dan kekeruhan. Penambahan dosis koagulan alum yang semakin
besar dapat menyebabkan pH efluen semakin rendah (asam), hal ini terjadi

26
karena alum dalam air akan mengalami proses hidrolisis dan membentuk
asam menurut reaksi sebagai berikut :

Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3 + 6H+ + 3SO42-

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis alum


yang ditambahkan akan semakin sulit flok-flok tersedimentasi, sehingga
perolehan nilai kekeruhan dan warna semakin tinggi. Hal ini dikarenakan
pembentukan flok-flok pada penambahan koagulan alum akan maksimal
dengan penambahan dosis yang kecil dan tingkat sedimentasinya akan
menjadi cepat (Echanpin, 2004).
Dosis optimal terpilih adalah 40, 50, dan 60 mg/l. Hasil analisis
koagulasi - flokulasidengan perlakuan dosis pada Efluen I dan Efluen II
untuk penambahan koagulan alum dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.
Data hasil analisis penelitian pendahuluan selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 14 dan 15.

8 180
7 160
6 140
Kekeruhan (NTU)

Warna (PtCo)
120
5
100
4
80
3
60
2 40
1 20
0 0
40 50 60 80 100 120
Dosis (mg/l)

Kekeruhan Warna

Gambar 4. Hasil analisis koagulasi - flokulasi dengan perlakuan dosis


pada Efluen I (alum)

27
8 200
7 180
160
6

Kekeruhan (NTU)
140

Warna (PtCo)
5 120
4 100
3 80
60
2
40
1 20
0 0
40 50 60 80 100 120
Dosis (mg/l)

Kekeruhan Warna

Gambar 5. Hasil analisis koagulasi - flokulasi dengan perlakuan dosis


pada Efluen II (alum)

Nilai kekeruhan dan warna terbaik pada Efluen I dan Efluen II


dicapai pada dosis 40, 50, dan 60 mg/l. Pada rentang dosis ini pH efluen
yang dihasilkan tidak terlalu asam, dan kemampuan koagulan alum untuk
membentuk flok-flok maksimal dengan tingkat sedimentasi yang cepat.

5. PAC

Penggunaan PAC sebagai koagulan sebanyak 40-250 mg/l


menunjukkan adanya perubahan warna dan kekeruhan. Nilai kekeruhan
dan warna paling baik pada Efluen I dan Efluen II adalah dengan
penambahan dosis koagulan PAC sebanyak 150, 180, dan 210 mg/l.
Dengan makin besarnya dosis koagulan PAC yang diberikan maka nilai
kekeruhan dan warnanya akan semakin kecil. Namun, pada penambahan
dosis sebanyak 250 mg/l nilai kekeruhan dan warnanya meningkat lagi.
Hal ini terjadi karena pada penambahan dosis tersebut telah berlebih
sehingga koloid yang terbentuk telah menjadi stabil kembali karena tidak
adanya ruang untuk membentuk penghubung partikel (Weber, 1972).
Pada rentang dosis ini pH air limbah yang dihasilkan adalah
bersifat asam, hal ini disebabkan oleh terlepasnya proton (H+) dari
bereaksinya PAC dengan air. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan

28
menggunakan koagulan PAC pada Efluen I dan Efluen II selengkapnya
dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.

9 250
8
7 200
Kekeruhan (NTU)

Warna (PtCo)
6
150
5
4
100
3
2 50
1
0 0
40 100 150 180 210 250
Dosis (mg/l)

Kekeruhan Warna

Gambar 6. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis


pada Efluen I (PAC)

9 250
8
7 200
Kekeruhan (NTU)

Warna (PtCo)
6
150
5
4
100
3
2 50
1
0 0
40 100 150 180 210 250
Dosis (mg/l)

Kekeruhan Warna

Gambar 7. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis


pada Efluen II (PAC)
6. FeCl3

Pengamatan terhadap penggunaan dosis koagulan FeCl3 sebanyak


40-200 mg/l menunjukkan adanya perubahan. Dosis terbaik yang
didapatkan pada Efluen I dan Efluen II adalah pada penambahan sebesar

29
40, 50, dan 60 mg/l. Semakin banyak koagulan FeCl3 yang ditambahkan
akan semakin meningkatkan nilai kekeruhan dan warna hal ini disebabkan
oleh Fe3+ dari koagulan yang terlarut dalam efluen. Adanya Fe3+ yang
terlarut dalam efluen menyebabkan timbulnya warna kemerahan.
Koagulan FeCl3 dapat menimbulkan masalah, terutama timbulnya warna
dan sifat korosif apabila proses koagulasi tidak berlangsung dengan baik
(Reynolds, 1982; Peavy et al., 1986).
Seperti halnya alum, semakin banyak FeCl3 yang ditambahkan
akan mengakibatkan pH efluen turun. Penurunan pH ini disebabkan
disebabkan oleh terlepasnya proton (H+) hasil hidrolisis FeCl3 (MetCalf
dan Eddy, 1992). Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan penambahan
koagulan FeCl3 pada Efluen I dan Efluen II selengkapnya dapat dilihat
pada Gambar 8 dan 9.

25 500
450
20 400
Kekeruhan (NTU)

350

Warna (PtCo)
15 300
250
10 200
150
5 100
50
0 0
40 50 60 100 150 200
Dosis (mg/l)

Kekeruhan Warna

Gambar 8. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis


pada Efluen I (FeCl3)

30
30 500
450
25
400

Kekeruhan (NTU)
350

Warna (PtCo)
20
300
15 250
200
10
150
100
5
50
0 0
40 50 60 100 150 200
Dosis (mg/l)

Kekeruhan Warna

Gambar 9. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis


pada Efluen II (FeCl3)

K. PENELITIAN UTAMA

Berdasarkan hasil penentuan kondisi proses koagulasi – flokulasi


diatas didapatkan tiga dosis terbaik, kemudian ketiga dosis tersebut diberikan
perlakuan pH menurut rentang pH optimal pada masing-masing koagulan. Hal
tersebut bertujuan untuk mengetahui kombinasi terbaik antara dosis dan pH
dalam menjernihkan efluen.

1. Alum
Pengamatan terhadap penggunaan dosis koagulan alum pada dosis
40, 50, dan 60 mg/l dengan pengaturan pH antara 5.5–8 pada Efluen I dan
Efluen II menunjukkan adanya penurunan kekeruhan. Pada Efluen I,
pemberian dosis koagulan alum sebesar 40 mg/l dengan pH 5.5-8
menunjukkan peningkatan nilai kekeruhan dengan bertambahnya nilai pH.
Pemberian dosis 50 dan 60 mg/l dengan pH 5.5-8 juga menunjukkan
peningkatan nilai kekeruhan dengan bertambahnya nilai pH. Berdasarkan
pengamatan tersebut didapatkan kombinasi terbaik yaitu pada dosis 60
mg/l dengan pH 5.5 yaitu dengan nilai kekeruhan terkecil 2.05 NTU.
Sama halnya seperti Efluen I, pemberian dosis 60 mg/l dengan pH
5.5 pada Efluen II merupakan kombinasi terbaik yaitu dengan nilai

31
kekeruhan terkecil 2.1 NTU. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pH
akan menentukan dalam pembentukkan formasi dari flok-flok yang
selanjutnya mempengaruhi hasil dari proses koagulasi dan flokulasi
(Nathanson, 1997). pH 5.5 ini merupakan hasil terbaik dari hasil proses
koagulasi – flokulasi dengan alum pada efluen PTCI, karena pada pH ini
proses flokulasi dapat berlangsung dengan baik dan paling sesuai untuk
membentuk Al(OH)3. Rentang pH yang terbaik intuk membentuk Al(OH)3
adalah pH 5-8 (Alaerts dan Santika, 1987). Terbentuknya flok Al(OH)3
semakin berkurang seiring dengan perlakuan pH yang diberikan. Grafik
hubungan antara perlakuan pH yang diberikan dengan parameter
kekeruhan, disajikan pada Gambar 10 dan 11.
Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 3) juga menunjukkan
bahwa perlakuan dosis, pH, dan interaksi antara perlakuan dosis dan pH
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekeruhan pada
Efluen I dan Efluen II. Berdasarkan uji lanjut Duncan terlihat bahwa
semakin tinggi jumlah dosis yang ditambahkan nilai kekeruhannya akan
semakin kecil, dan semakin tinggi pH nilai kekeruhannya akan semakin
besar. Dengan demikian penambahan dosis koagulan alum sebanyak 60
mg/l pada pH 5.5 merupakan kombinasi terbaik dalam menurunkan nilai
kekeruhan pada Efluen I dan Efluen II.
Kekeruhan yang merupakan padatan koloid dan akan bereaksi
dengan koagulan alum. Hal ini terjadi karena adanya proses penetralan
partikel koloid yang bermuatan negatif oleh koagulan sehingga akan
terjadi destabilisasi partikel koloid. Dengan demikian koagulan alum
efektif dalam menurunkan kekeruhan. Terjadi penurunan nilai kekeruhan
pada Efluen I yaitu sebesar 74.40 persen hingga 83.60 persen. Pada Efluen
II juga terjadi penurunan nilai kekeruhan yaitu sebesar 69.55 persen
hingga 80.91 persen.

32
3.5

Kekeruhan (NTU)
2.5 Alum Dosis 40 m g/l

2 Alum Dosis 50 m g/l


Alum Dosis 60 m g/l
1.5

1
0.5

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 10. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (alum)

4
3.5
3
Kekeruhan (NTU)

2.5 Alum Dosis 40 m g/l


Alum Dosis 50 m g/l
2
Alum Dosis 60 m g/l
1.5
1
0.5
0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 11. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (alum)

Pengamatan terhadap warna pada penambahan koagulan alum


menunjukkan adanya perubahan warna menjadi lebih pucat. Hasil uji
statistik (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan pH
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna, walaupun
secara visual warna tersebut masih terlihat setelah proses koagulasi –
flokulasi (kemerahan pada Efluen I dan kebiruan Efluen II). Namun,
interaksi antara perlakuan dosis dan pH tidak memberikan pengaruh yang

33
nyata terhadap warna (Fhitung < Ftabel) karena perbedaan yang dihasilkan
dari setiap pertambahan dosis dan pH ini tidak berbeda nyata seperti yang
terlihat pada grafik (Gambar 12 dan 13).
Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dengan
bertambahnya perlakuan pH yang diberikan akan bertambah tinggi nilai
warnanya, dan semakin tinggi dosis yang diberikan akan semakin kecil
nilai warnanya. Penambahan dosis alum sebesar 60 mg/l dengan pH 5.5
merupakan kombinasi terbaik dalam menurunkan warna yaitu mencapai
91 PtCo pada Efluen I dan 104.5 PtCo pada Efluen II.
Menurut Alaerts dan Santika (1987), partikel warna (pH < 7)
terikat dan diendapkan oleh flok-flok Al(OH)3, sehingga pH 5.5
merupakan suasana yang paling sesuai agar flok-flok Al(OH)3 yang
terbentuk dapat mengikat dan mengendapkan partikel warna dengan baik.
Nilai warna yang semakin tinggi seiring dengan bertambahnya pH
dipengaruhi oleh berkurangnya pembentukan flok-flok Al2(OH)3 sehingga
partikel warna yang dapat diikat oleh flok-flok tersebut semakin sedikit.

160

140

120
Warna (PtCo)

100
Alum Dosis 40 m g/l
80 Alum Dosis 50 m g/l
Alum Dosis 60 m g/l
60

40

20

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 12. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (alum)

34
160

140

120

Warna (PtCo)
100
Alum Dosis 40 m g/l
80 Alum Dosis 50 m g/l
Alum Dosis 60 m g/l
60

40

20

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 13. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (alum)

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan efluen


mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna. Hal ini
dikarenakan pengaruh penggunaan pewarna yang berbeda pada Efluen I
dan Efluen II menyebabkan penggunaan koagulan alum pada Efluen I
lebih efektif menurunkan warna dibandingkan dengan Efluen II. Hal ini
ditunjukkan pada penurunan warna Efluen I yaitu sebesar 27.94 persen
hingga 52.48 persen, sedangkan pada Efluen II penurunan warna yang
terjadi sebesar 24.13 persen hingga 43.97 persen.
Pengamatan terhadap pengukuran kadar klorin setelah penambahan
koagulan alum terdapat perubahan yang tidak signifikan (tidak berbeda
dengan kadar klorin awal efluen). Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran
5) menunjukkan bahwa perlakuan efluen (blok), dosis dan pH memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar klorin pada Efluen I dan
Efluen II. Semakin banyak dosis koagulan alum yang ditambahkan akan
semakin besar kadar klorin yang terukur, dan semakin besar perlakuan pH
yang diberikan juga akan bertambah besar kadar klorinnya. Namun
demikian, interaksi antara perlakuan dosis dan pH tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kadar klorin, hal ini dikarenakan perbedaan
yang dihasilkan pada setiap pertambahan dosis dan pH tidak nyata seperti
yang terlihat pada grafik (Gambar 14 dan 15).

35
Hasil pengamatan penggunaan alum menunjukkan konsentrasi
residu klorin 0.12 mg/l (Efluen I) dan 0.13 mg/l (Efluen II). Kondisi ini
tidak menimbulkan sifat toksik terhadap ikan, seperti yang digambarkan
pada uji toksisitas efluen pada penelitian pendahuluan. Hasil uji toksisitas
efluen menunjukkan bahwa kadar klorin 0.13-0.17 mg/l masih dapat
ditoleransi oleh ikan. Oleh karena itu, efluen dengan kadar klorin seperti
yang disebutkan diatas masih dapat ditoleransi oleh ikan juga (cukup aman
untuk ikan hidup).

0.25

0.2
Klorin (mg/l)

0.15 Alum Dosis 40 m g/l


Alum Dosis 50 m g/l

0.1 Alum Dosis 60 m g/l

0.05

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 14. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (alum)

0.25

0.2
Klorin (mg/l)

0.15 Alum Dosis 40 m g/l


Alum Dosis 50 m g/l

0.1 Alum Dosis 60 m g/l

0.05

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 15. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (alum)

36
2. PAC
Pengamatan terhadap penggunaan dosis koagulan PAC sebanyak
150, 180 dan 210 mg/l dengan pengaturan pH antara 6-8.5 pada Efluen I
dan Efluen II menunjukkan adanya perubahan kekeruhan. Berdasarkan
hasil uji statistik (Lampiran 6) juga menunjukkan bahwa perlakuan dosis,
pH, dan interaksi antara perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap nilai kekeruhan pada Efluen I dan Efluen II
(Fhitung > Ftabel).
Menurut uji lanjut Duncan pada penggunaan koagulan PAC untuk
Efluen I dan Efluen II ini menunjukkan peningkatan nilai kekeruhan
dengan bertambahnya pH. Semakin tinggi dosis koagulan PAC yang
diberikan akan semakin kecil nilai kekeruhannya.
Sama halnya dengan koagulan alum, dengan semakin
bertambahnya nilai pH yang diberikan hingga 8.5 menunjukkan
pembentukan flok-flok yang semakin kecil. Hal tersebut yang
menyebabkan penurunan nilai kekeruhan. Kombinasi terbaik antara dosis
dan pH pada penambahan koagulan PAC ini adalah pada pemberian dosis
210 mg/l dengan pH 6 (Efluen I) dengan nilai kekeruhan terkecil yaitu
1.45 NTU. PAC membutuhkan kebasaan yang rendah untuk
menghilangkan kekeruhan dan warna (Eaglebrook Inc., 1999), artinya pH
6 sesuai untuk memenuhi kebutuhan PAC dalam menghilangkan
kekeruhan dan warna. Grafik hubungan antara perlakuan pH dengan
parameter kekeruhan pada penggunaan koagulan PAC, disajikan pada
Gambar 16 dan 17.

37
3.5

2.5

Kekeruhan (NTU)
2 PAC Dosis 150 m g/l
PAC Dosis 180 m g/l
1.5 PAC Dosis 210 m g/l

0.5

0
6 6.5 7 7.5 8 8.5
pH

Gambar 16. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (PAC)

Pada Efluen II, kombinasi terbaik antara dosis dan pH adalah pada
penambahan PAC dengan dosis sebesar 210 mg/l dengan pH 6 yaitu
dengan nilai kekeruhan 1.4 NTU.

3.5

2.5
Kekeruhan (NTU)

2 PAC Dosis 150 m g/l


PAC Dosis 180 m g/l
1.5 PAC Dosis 210 m g/l

0.5

0
6 6.5 7 7.5 8 8.5
pH

Gambar 17. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (PAC)

Pada uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan efluen


mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekeruhan.
Penggunaan PAC sebagai koagulan pada Efluen I lebih efektif dari Efluen
II dan ini ditunjukkan pada Efluen I dengan penurunan nilai kekeruhan

38
sebesar 76 persen hingga 88.40 persen, angka perubahan ini lebih besar
dibandingkan dengan Efluen II dengan penurunan nilai kekeruhan sebesar
73.18 persen hingga 87.27 persen.
Menurut pengamatan secara visual, perubahan warna yang
dihasilkan setelah penambahan koagulan PAC cukup terlihat, yaitu
menjadi lebih pucat, walaupun masih tetap ada warna yaitu kemerahan
(Efluen I) dan kebiruan (Efluen II). Secara kuantitatif dengan pengukuran
spektrofotometrik sudah terjadi penurunan warna. Hasil uji statistik
(Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan pH memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap penurunan warna pada Efluen I dan
Efluen II (Fhitung > Ftabel). Namun, interaksi antara perlakuan dosis dan pH
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna (Fhitung < Ftabel).
Hal ini dapat juga dilihat pada Gambar 18 dan 19, dimana warna untuk
masing-masing dosis relatif sama besar. Berdasarkan uji lanjut Duncan
juga menunjukkan bahwa perubahan warna antara dosis 150, 180, dan 210
mg/l tidak berbeda nyata, dan perubahan warna antara pH 6-8.5 tidak
berbeda nyata.
Pada uji lanjut Duncan menunjukkan adanya perubahan warna
yang semakin besar seiring dengan bertambahnya dosis yang diberikan.
Semakin besar perlakuan pH yang diberikan akan menjadikan nilai warna
semakin besar. Hal ini terjadi karena semakin besarnya pH menyebabkan
kemampuan netralisasi total garam aluminium berkurang sehingga flok-
flok aluminium hidroksida [Al(OH)3 atau Al2(OH)6] hanya sedikit
terbentuk. Grafik hubungan antara perlakuan pH yang diberikan dengan
parameter warna pada penambahan koagulan PAC untuk Efluen I dan II
disajikan pada Gambar 18 dan 19.

39
140

120

100

Warna (PtCo)
80 PAC Dosis 150 m g/l
PAC Dosis 180 m g/l
60 PAC Dosis 210 m g/l

40

20

0
6 6.5 7 7.5 8 8.5
pH

Gambar 18. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (PAC)

90
80
70
60
Warna (PtCo)

PAC Dosis 150 m g/l


50
PAC Dosis 180 m g/l
40 PAC Dosis 210 m g/l
30
20
10
0
6 6.5 7 7.5 8 8.5
pH

Gambar 19. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (PAC)

Pada Efluen I, kombinasi terbaik antara dosis dan pH pada


penambahan koagulan PAC ini adalah pemberian dosis 210 mg/l dengan
pH 6 dengan nilai warna terkecil yaitu 64 PtCo. Pada Efluen II, kombinasi
terbaik adalah pada penggunaan dosis sebesar 210 mg/l dengan pH 6 yaitu
dengan nilai warna 67.5 PtCo.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan efluen (blok)
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna. Tidak berbeda

40
dengan koagulan alum, penggunaan PAC sebagai koagulan pada Efluen I
lebih efektif dari Efluen II. Hal ini ditunjukkan pada Efluen I dengan
penurunan warna sebesar 36.81 persen hingga 66.58 persen, angka
perubahan ini lebih besar dibandingkan dengan Efluen II dengan
penurunan warna sebesar 54.42 persen hingga 63.81 persen.
Pengamatan kadar klorin setelah penambahan koagulan PAC
terdapat perubahan (uji statistik pada Lampiran 8). Perlakuan efluen
(blok), dosis dan pH memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
kadar klorin (Fhitung > Ftabel). Namun, interaksi antara perlakuan dosis dan
pH tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar klorin (Fhitung <
Ftabel). Berdasarkan uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa kadar
klorin antara dosis 180 dan 210 mg/l tidak berbeda nyata.
Seperti halnya pada koagulan alum, dengan penambahan dosis
PAC dan pH yang semakin besar akan semakin besar kadar klorinnya.
Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 16 dan 17), kadar klorin yang dicapai
pada penambahan PAC dengan dosis 210 mg/l pada pH 6 untuk Efluen I
dan II adalah 0.2 dan 0.1 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kadar klorin
setelah penambahan koagulan PAC tidak berbeda nyata dengan kadar
klorin efluen awal (kadar klorin awal Efluen I adalah 0.12-0.14 mg/l,
Efluen II adalah 0.13-0.15 mg/l). Dengan kadar klorin 0.2 dan 0.1 mg/l
dalam efluen dimungkinkan masih dapat ditoleransi oleh ikan (cukup
aman untuk ikan hidup).

41
0.3

0.25

0.2

Klorin (mg/l)
PAC Dosis 150 m g/l
0.15 PAC Dosis 180 m g/l
PAC Dosis 210 m g/l
0.1

0.05

0
6 6.5 7 7.5 8 8.5
pH

Gambar 20. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (PAC)

0.16

0.14

0.12
Klorin (mg/l)

0.1
PAC Dosis 150 m g/l
0.08 PAC Dosis 180 m g/l
PAC Dosis 210 m g/l
0.06

0.04

0.02

0
6 6.5 7 7.5 8 8.5
pH

Gambar 21. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (PAC)

3. FeCl3
Berdasarkan hasil uji statistik pada penambahan FeCl3 (Lampiran
9) menunjukkan bahwa perlakuan dosis, pH, dan interaksi antara
perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh terhadap nilai kekeruhan
pada Efluen I dan Efluen II (Fhitung > Ftabel). Pada pemberian dosis
koagulan FeCl3 sebesar 40, 50, dan 60 mg/l menunjukkan bahwa semakin
besar dosis FeCl3 yang ditambahkan maka nilai kekeruhannya akan

42
semakin kecil. Nilai kekeruhan juga akan semakin kecil seiring dengan
semakin besarnya perlakuan pH yang diberikan.
Pemberian dosis koagulan FeCl3 sebasar 60 mg/l pada pH 8
merupakan kombinasi terbaik dengan nilai kekeruhan terkecil yaitu 2.75
NTU (Efluen I) dan 4.05 NTU (Efluen II). Kombinasi tersebut adalah
kondisi terbaik bagi FeCl3 untuk mengikat partikel koloid dalam efluen,
karena berdasarkan penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa
penambahan FeCl3 dengan dosis lebih dari 60 mg/l menyebabkan proses
koagulasi tidak lagi berlangsung dengan baik, hal ini disebabkan oleh
penambahan FeCl3 yang sudah mencapai titik jenuhnya sehingga semakin
banyak Fe3+ dari koagulan yang terlarut dalam efluen. Adanya Fe3+ yang
terlarut dalam efluen menyebabkan timbulnya warna kemerahan.
Koagulan FeCl3 dapat menimbulkan masalah, terutama timbulnya warna
dan sifat korosif apabila proses koagulasi tidak berlangsung dengan baik
(Reynolds, 1982; Peavy et al., 1986).
Penggunaan FeCl3 sebagai koagulan pada Efluen I (penurunan
kekeruhan 8 persen hingga 78 persen) lebih efektif menurunkan nilai
kekeruhan dibandingkan pada Efluen II (penurunan kekeruhan -9.09
persen hingga 69.09 persen) . Hal ini menunjukkan bahwa partikel dalam
Efluen I lebih mudah bereaksi dengan FeCl3. Grafik hubungan antara
perlakuan pH yang diberikan dengan parameter kekeruhan pada Efluen I
dan Efluen II, disajikan pada Gambar 22 dan 23.

43
14

12

10

Kekeruhan (NTU)
8 FeCl3 Dosis 40 m g/l
FeCl3 Dosis 50 m g/l
6 FeCl3 Dosis 60 m g/l

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 22. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (FeCl3)

14

12

10
Kekeruhan (NTU)

8 FeCl3 Dosis 40 m g/l


FeCl3 Dosis 50 m g/l
6 FeCl3 Dosis 60 m g/l

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 23. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (FeCl3)

Berdasarkan hasil uji statistik pada penambahan FeCl3 (Lampiran


10) menunjukkan bahwa perlakuan dosis, pH, dan interaksi antara
perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh terhadap perubahan warna
pada Efluen I dan Efluen II (Fhitung > Ftabel). Seperti halnya pada kekeruhan,
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semakin besar dosis FeCl3 yang
ditambahkan maka nilai warnanya akan semakin kecil. Nilai warna juga
akan semakin kecil seiring dengan semakin besarnya perlakuan pH yang

44
diberikan. Secara visual, hasil proses koagulasi – flokulasi dengan FeCl3
pada Efluen I dan II lebih baik dibandingkan dengan menggunakan alum
dan PAC, warna yang dihasilkan lebih pucat (sedikit kehijauan tetapi tidak
tampak nyata), dan pada dosis 60 mg/l dengan pH 8 warna yang
terkandung dalam efluen hampir hilang. Hal ini menunjukkan bahwa pada
rentang penggunaan dosis FeCl3 sebanyak 40-60 mg/l Fe3+ tidak terlarut
melainkan mengikat partikel koloid dalam efluen dengan baik, dan dengan
memberikan suasana basa pada efluen menjadikan FeCl3 dapat maksimal
mengikat kekeruhan dan warna serta menjadikan pH setelah proses
koagulasi – flokulasi tidak terlalu asam, sehingga dapat menurunkan nilai
kekeruhan dan warna lebih baik.
Penggunaan FeCl3 sebagai koagulan pada Efluen I (penurunan
warna 32.90 persen hingga 69.71 persen) lebih efektif menurunkan warna
dibandingkan pada Efluen II (penurunan warna 28.15 persen hingga 67.29
persen). Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan efluen
(blok) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna. Hal ini
terlihat pada Efluen I yang lebih mudah dijerat partikel penyebab warna
yang terdapat didalamnya, sehingga semakin besar dosis FeCl3 yang
digunakan akan dapat mengurangi warna lebih baik. Grafik hubungan
antara perlakuan pH yang diberikan dengan parameter warna pada
penambahan koagulan FeCl3 untuk Efluen I dan Efluen II, disajikan pada
Gambar 24 dan 25.

45
140

120

100

Warna (PtCo)
80 FeCl3 Dosis 40 m g/l
FeCl3 Dosis 50 m g/l
60 FeCl3 Dosis 60 m g/l

40

20

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 24. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (FeCl3)

160

140

120
Warna (PtCo)

100
FeCl3 Dosis 40 m g/l
80 FeCl3 Dosis 50 m g/l
FeCl3 Dosis 60 m g/l
60

40

20

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 25. Hubungan nilai pH dan warna pada EfluenII (FeCl3)

Pada penambahan koagulan FeCl3, terdapat perubahan kadar


klorin. Berdasarkan hasil uji statisik (Lampiran 11) menunjukkan bahwa
perlakuan dosis dan pH mempunyai pengaruh terhadap kadar klorin. Uji
lanjut Duncan menunjukkan panambahan koagulan FeCl3 dengan dosis
yang semakin besar akan meningkatkan kadar klorinnya. Namun, seiring
dengan penambahan perlakuan pH akan menjadikan kadar klorin menurun.
Klorin (Cl2) pada perairan terdapat dalam bentuk ion monovalen yaitu ion

46
klorida (Cl-) (Effendi, 2003). Kenaikan kadar klorida (Cl-) disebabkan
FeCl3 yang ditambahkan akan bereaksi dalam air yang mengandung
alkalinitas, menghasilkan Fe(OH)3 hidroksid (mengendap sebagai flok),
CO2, dan klorida (Davies dan Cornwell, 1991). Dengan dihasilkannya
klorida tersebut menaikkan kadar klorin.
Hasil uji statistik (Lampiran 11) juga menunjukkan bahwa
perlakuan efluen (blok) dan interaksi antara perlakuan dosis dan pH tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar klorin. Kadar klorin hasil proses
koagulasi – flokulasi dengan menggunakan FeCl3 mempunyai kisaran
0.08-0.14 mg/l (Efluen I) dan 0.095-0.14 mg/l (Efluen II), hasil ini tidak
berbeda nyata dengan kadar klorin awal efluen (kadar klorin awal Efluen I
adalah 0.12-0.14 mg/l, Efluen II adalah 0.13-0.15 mg/l). Hasil uji
toksisitas efluen sebelumnya menunjukkan bahwa kadar klorin 0.13-0.17
mg/l masih dapat ditoleransi oleh ikan, artinya ikan masih dapat hidup
pada lingkungan dengan kadar klorin 0.13-0.17 mg/l. Dengan demikian,
hasil pengukuran kadar klorin setelah penambahan FeCl3 seperti yang
disebutkan diatas masih dapat ditoleransi oleh ikan juga (cukup aman
untuk ikan hidup). Grafik hubungan antara perlakuan pH yang diberikan
dengan parameter klorin pada Efluen I dan Efluen II, disajikan pada
Gambar 26 dan 27.

0.16

0.14

0.12
Klorin (mg/l)

0.1
FeCl3 Dosis 40 m g/l
0.08 FeCl3 Dosis 50 m g/l
FeCl3 Dosis 60 m g/l
0.06

0.04

0.02

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 26. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (FeCl3)

47
0.16

0.14

0.12

Klorin (mg/l)
0.1
FeCl3 Dosis 40 m g/l
0.08 FeCl3 Dosis 50 m g/l
FeCl3 Dosis 60 m g/l
0.06

0.04

0.02

0
5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH

Gambar 27. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (FeCl3)

L. PERBANDINGAN HASIL PROSES KOAGULASI – FLOKULASI


ANTARA KETIGA KOAGULAN

Berdasarkan hasil analisis diatas didapatkan kombinasi terbaik antara


dosis dan pH yang berbeda-beda pada masing-masing koagulan yang
digunakan. Hal tersebut terjadi karena perbedaan karakteristik masing-masing
koagulan. Hasilnya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Persen penurunan parameter pada kombinasi terbaik antara


dosis dan pH untuk koagulan alum, PAC, dan FeCl3
ALUM PAC FeCl3
Penurunan Dosis 60 mg/l pH 5.5 Dosis 210 mg/l pH 6 Dosis 60 mg/l pH 8
Parameter Efluen Efluen Efluen Efluen Efluen Efluen
I II I II I II
Kekeruhan 83.60% 80.91% 88.40% 87.27% 78.00% 63.18%
Warna 52.48% 43.97% 66.58% 63.81% 69.71% 67.29%

Berdasarkan ketiga koagulan yang dicobakan menunjukkan bahwa


koagulan FeCl3 adalah yang paling efektif dalam menghilangkan warna yang
masih tersisa dalam efluen. Pada penggunaan dosis yang sedikit yaitu 60 mg/l,
penurunan kekeruhan dan warna yang dicapai cukup besar, dan secara visual
warna yang terkandung dalam efluen hampir tidak terlihat lagi. pH 8 yang
didapatkan menunjukkan bahwa tidak perlu lagi ada pengaturan pH sebelum
proses koagulasi – flokulasi.

48
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan
FeCl3 mampu merubah warna efluen menjadi lebih pucat sehingga secara
kuantitas dengan pengukuran spektrofotometrik warna efluen turun. Hal
tersebut terjadi karena FeCl3 dapat merubah sebagian warna dengan
mereaksikan senyawa pembawa warna yang bermuatan negatif dengan kation
Fe3+ (Reynolds, 1982; Peavy et al., 1986).
Kadar klorin hasil proses koagulasi – flokulasi dengan menggunakan
FeCl3 tidak berpengaruh nyata dengan kadar klorin awal efluen, hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan FeCl3 dengan dosis 60 mg/l cukup aman
untuk ikan. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.
Dibandingkan dengan penggunaan koagulan diatas, hasil penghilangan
warna efluen dengan menggunakan kaporit lebih baik. Dengan penambahan
dosis yang lebih banyak akan dapat dengan mudah menurunkan nilai
kekeruhan dan warna tanpa harus mengkhawatirkan flok-flok yang terbentuk.
Namun, hal tersebut berlawanan dengan kadar klorin yang dihasilkan. Dengan
penambahan dosis kaporit yang semakin banyak akan menyebabkan klorin
yang dihasilkan semakin banyak pula. Hal ini yang menyebabkan efluen
berbahaya bagi makhluk perairan.
Reaksi antara koagulan (alum dan PAC) terhadap efluen berbeda
dengan reaksi antara kaporit dengan efluen. Kaporit bereaksi dengan warna
dalam efluen dengan cara mengoksidasikan warna tersebut sehingga ikatan
kimianya terputus menjadi sebuah substansi kimia yang tidak berwarna
(www.wikipedia.com, 2006), sedangkan koagulan (alum dan PAC) hanya
mengikat kekeruhan (koloid) dalam efluen secara fisik sehingga bersatu
membentuk flok-flok yang lebih besar. Hal ini menyebabkan warna (secara
visual) yang masih tersisa dalam efluen berkurang, tetapi sebenarnya warna
tidak dapat bereaksi dengan bahan koagulan.
Efluen tahap pengolahan sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini memiliki sedikit kekeruhan sedangkan warna yang masih tersisa bukan
merupakan warna yang disebabkan oleh kekeruhan sehingga penambahan
koagulan (alum dan PAC) tidak tepat jika ditujukan untuk menghilangkan
warna dalam efluen.

49
V. KESIMPULAN DAN SARAN

C. KESIMPULAN

Proses koagulasi – flokulasi yang dilakukan pada pengolahan tersier


limbah cair PT. Capsugel Indonesia dengan menggunakan koagulan alum,
PAC, dan FeCl3 dengan perlakuan dosis dan pH yang berbeda-beda
menunjukkan adanya penurunan nilai kekeruhan dan warna. Pada Efluen I,
penambahan koagulan alum pada dosis 60 mg/l pH 5.5 dapat menurunkan
kekeruhan sebesar 83.60 persen dan warna 52.48 persen, pada koagulan PAC
dengan dosis 210 mg/l pH 6 dapat menurunkan kekeruhan sebesar 88.40
persen dan warna 66.58 persen, dan pada koagulan FeCl3 dengan dosis 60
mg/l pH 8 dapat menurunkan kekeruhan sebesar 78 persen dan warna 69.71
persen.
Pada Efluen II, penambahan koagulan alum pada dosis 60 mg/l pH 5.5
dapat menurunkan kekeruhan sebesar 80.91 persen dan warna 43.97 persen,
pada koagulan PAC dengan dosis 210 mg/l pH 6 dapat menurunkan
kekeruhan sebesar 87.27 persen dan warna 63.81 persen, dan pada koagulan
FeCl3 dengan dosis 60 mg/l pH 8 dapat menurunkan kekeruhan sebesar 63.18
persen dan warna 67.29 persen.
Penggunaan dosis koagulan yang berbeda memberikan pengaruh nyata
terhadap penurunan kekeruhan dan warna pada proses koagulasi – flokulasi
dengan menggunakan alum, PAC, dan FeCl3. Perbedaan pH memberikan
pengaruh nyata terhadap penurunan kekeruhan dan warna pada proses
koagulasi – flokulasi dengan menggunakan alum, PAC, dan FeCl3. Interaksi
antara perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh nyata terhadap
penurunan kekeruhan pada proses koagulasi – flokulasi dengan menggunakan
alum, PAC, dan FeCl3.

D. SARAN

1. Penerapan penggunaan koagulan pada skala yang sebenarnya (aplikasi


langsung).

50
2. Pengembangan proses pada IPAL PT. Capsugel Indonesia yaitu dengan
melakukan proses koagulasi – flokulasi sebelum pengolahan secara
biologis. Hal ini bertujuan agar partikel warna dalam efluen lebih mudah
diikat bersama dengan padatan lain yang terkandung dalam efluen,
sehingga proses klorinasi tidak perlu dilakukan lagi.

51
DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. dan S.S. Santika. (1987). Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional,
Surabaya.

Anonim. 1996. DR/2000. Spectrofotometer Procedure Manual. Handbook. HACH


Company, Colorado.

Anonim. 1999. DR/2010. Spectrofotometer Procedure Manual. Handbook. HACH


Company, Colorado.

Benefield, D.L., F.J. Indkins, dan L.B. Weand. 1982. Process Chemistry for Water
and Wastewater Treatment. Prentice-Hall Inc., New Jersey.

Davis, M.L. dan D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental


Engineering. McGraw-Hill Inc., Singapore.

Eaglebrook Inc. 1999. PASS-CTM (Polyaluminium Chloride). Abstrak.


www.eaglebrk.com, Matteson, IL.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.

Hammer, M.J. 1986. Water and Wastewater Technology. Prentice-Hall Int. Inc.,
New Jersey.

Hardman Australia Pty Ltd. 2002. Water Treatment Coagulant. Abstrak.


Http://www.hardman.com.au, New South Wales.

Klimiuk, E.U. Filipkowska., dan A. Korzeniowska. 1999. Effect of pH and


Coagulant Dosage on Effectiveness of Coagulation of Reactive Dyes from
Model Wastewater by Polyaluminium Chloride (PAC). Polish Journal of
Environmental Studies. www.pan.htm.

Kurniawan, D. 2005. Kajian Penurunan Parameter Pencemar Dalam Air Lindi


(Cairan Sampah) Menggunakan Proses Koagulasi – Flokulasi. Skripsi.
Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Liu, D.H.F. dan B.G. Liptak. 1999. Wastewater Treatment. Lewis Publisher, Boca
Raton, London.

52
Kementerian Lingkungan Hidup. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001 (14 Desember 2001) Tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Abstrak.
http://www.menlh.go.id/peraturan/pp/pp8201/lampiran.html.

Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater Engineering. Third Edition. McGraw-Hill


International Edition, Singapore.

Nathanson, J.A. 1997. Basic Environmental Technology. Water Supply, Waste


Management, and Pollution Control. Prentice-Hall Inc., New Jersey.

Nemerow, Nelson Leonard dan Avijit Dasgupta. 1988. Industrial Hazardous


Waste Treatment. Van Nostrand Reinhold, New York.

Peavy, H.S., D.R. Rowe dan G. Tchobanoglous. 1986. Environmental


Engineering. McGraw-Hill Book Co., Singapore.

PT. Capsugel Indonesia. 2005. Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya


Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL). PT. Capsugel Indonesia, Cibinong.

Pujiantoro, P. 1995. Proses Koagulasi – Flokulasi dalam Penanganan Primer


Limbah Cair Industri Rayon. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Reynolds, T.D. 1982. Unit Operation and Process in Environmental Engineering.


Wadsword Inc., California.

Riegel. E.R. 1933. Industrial Chemistry. Book Departement, The Chemical


Catalog Co., Inc., New York.

Steel, E.W. dan McGhee. 1985. Water Supply and Sewerage. McGraw-Hill Inc.,
New York.

Sudjana. 1995. Desain dan Analisis Eksperimen. Edisi IV. TARSITO, Bandung.

Sugiharto. 1987. Dasar – dasar Pengelolaan Air Limbah. UI-Press, Jakarta.

Surdia, N.M., Buchari, dan B. Bundjali. 1981. Perlakuan Air dan Air Buangan
Secara Koagulasi dari Partikel Tersuspensi. Laporan Penelitian. Direktorat
Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Bandung.

Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan


Secara Biologis. PT. Alumni, Bandung.

Sutrisno, C.T. dan E. Suciastuti. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka
Cipta, Jakarta.

53
Tebbut, T.H.Y. 1992. Principles of Water Quality Control. Fourth Edition.
Pergamon Press, Oxford.

Vasilind, P.A., J.J. Pierce, dan R.F. Weiner. 1990. Environmental Pollution and
Control. Third Edition. Butterworth-Heinemann, Boston.

Www.chemicalland21.com.

Www.menlh.go.id/usaha-kecil/

Www.o-fish.com.

Www.terranet.com.

Www.wikipedia.com.

Www.yxpac.com/echanpin.htm#l.

Weber, E.J. 1972. Physiochemical Processes for Water Quality Control. John
Willey & Sons Inc, USA.

Wenbin, L., H. Hongshan, dan P. Jianguo. 1999. Application of Poly Aluminium


Chloride in Shenzhen Water Supply – China. Abstract.
www.lanl.gov/chinawater/documents/huanghongshan.pdf. Los Alamos
National Library.

54
LAMPIRAN

55
Lampiran 1. Tata kerja analisis dan pengujian

a. Kekeruhan dengan menggunakan La Motte 2020 Turbidimeter


Uji kekeruhan menggunakan satuan unit NTU. Mula-mula masukkan
kuvet cairan standar kalibrasi 10 (catatan: pastikan kuvet dalam keadaan
bersih, bersihkan bagian luar dengan kertas tissue). Kemudian tekan tombol
“cal” hingga pada layar tampil “10”. Jika angka yang tampil pada layar
menunjukkan kurang atau lebih dari 10 maka disesuaikan dengan menekan
tombol “▲” atau “▼” hingga angkanya sesuai. Kemudian kalibrasi dengan
kuvet berisi cairan standar kalibrasi 1. Tekan tombol “cal” hingga
menunjukkan angka “1.0”. Jika angka yang tertera pada layar menunjukkan
kurang atau lebih dari 1 maka disesuaikan dengan menekan tombol “▲” atau
“▼” hingga angkanya sesuai.
Untuk pengukuran sampel, masukkan sampel ke dalam kuvet kosong
yang sudah dibersihkan. Masukkan kuvet ke dalam sel kuvet. Tekan tombol
“read” untuk membaca, maka hasilnya akan tampil pada layar.

b. Warna dengan menggunakan Spektrofotometer DR 2000 (Anonim, 1996)

Uji warna menggunakan satuan unit PtCo (panjang gelombang 455


nm). Mula-mula tekan tombol power dan tunggu sampai layar monitor
menunjukkan angka satu. Setelah itu layar monitor akan menanyakan metode
yang akan digunakan (misalnya 120 Color PtCo). Setelah dipilih metode yang
akan digunakan, maka tekan enter. Kemudian sesuaikan panjang gelombang
dengan panjang gelombang yang tertera pada layar monitor (misalnya 455 nm
untuk uji warna), setelah itu tekan enter kembali.
Spektrofotometer dikalibrasi dengan menggunakan aquades sebanyak
10 ml dengan menggunakan tombol clear (zero). Kemudian setelah tertera
angka nol (0 Color PtCo), kalibrasi dinyatakan telah selesai. Pada akhirnya uji
efluen dapat dilakukan dengan memasukkan cairan efluen sebanyak 10 ml
pada kuvet dan menekan tombol enter, Maka pada layar monitor akan tertera
angka hasil pengukuran efluen.

55
Lampiran 1. Tata kerja analisis dan pengujian (lanjutan)

c. Analisis klorin dengan “DPD Method” menggunakan Spektrofotometer


DR 2000 (Anonim, 1996)

Enter nomor program untuk free dan total chlorine (Cl2) – powder
pillows. Kemudian akan muncul tampilan “Dial nm To 530”. Putar pengatur
panjang gelombang hingga pada layar muncul tampilan “530 nm”. Tekan
“READ/ENTER”, dan kemudian akan muncul tampilan ‘mg/l Cl2”.
Isi satu buah sel efluen dengan 25 ml cairan efluen, kemudian
masukkan ke dalam cell holder-nya. Tekan “ZERO”, maka pada layar akan
muncul tampilan “WAIT”, kemudian muncul “0.00 mg/l Cl2”. Hal ini
dilakukan sebagai pengukuran blanko, yaitu pengukuran cairan efluen
sebelum ditambahkan DPD Free Chlorine Powder Pillows.
Isi sel efluen lainnya dengan 25 ml cairan efluen. Tambahkan “DPD
Free Chlorine Powder pillows” ke dalam sel efluen. Tutup sel efluen dan
kocok selama 20 detik. Kemudian letakkan sel efluen ke dalam cell holder dan
tutup dengan penutup cell holder. Tekan “READ/ENTER”, dan pada layar
akan muncul tampilan “WAIT”, kemudian hasil pengukuran akan muncul
dalam satuan mg/l chlorine (Cl2).

56
Lampiran 2. Diagram alir pengolahan air limbah di IPAL PT. Capsugel Indonesia

EFLUEN

COOLING BAK
TOWER KONTROL RECYCLE

SAND
FILTER

BAK CLARIFIER BAK BAK BAK


KLORINASI AERASI AERASI AERASI
1 2 3

INLET ANOXIC ANOXIC ANOXIC


pH 1 2 3

SLUDGE HOLDING
TANK

RUANG Kaporit
KONTROL
Na2CO3
Flokulan COOLING
TOWER
TSP

BAK
INFLUEN EKUALISASI

TPA KEDUNG
MULYA
Keterangan:
: Aliran proses
: Aliran bahan kimia

57
Lampiran 3. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada alum
(kekeruhan)

a. Analisis pengaruh antar perlakuan (kekeruhan)


Variabel Dependen: Kekeruhan
Sumber JK db KT F hitung F tabel
Perlakuan dosis 1.148 2 0.574 37.830 3.174
Perlakuan pH 5.924 5 1.185 78.100 2.388
Interaksi Dosis dan pH 0.741 10 0.074 4.882 2.008
Blok 0.133 1 0.133 8.798 4.024
Error 0.804 53 0.015
Total 494.950 72

b. Uji lanjut Duncan (kekeruhan)


Perlakuan dosis
Subset
Dosis N Rata-rata
1 2 3
*60 mg/l 24 2.4375 A
50 mg/l 24 2.6125 B
40 mg/l 24 2.7458 C
* Dosis terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

Perlakuan pH
Subset
pH N Rata-rata
1 2 3 4 5
*5.5 12 2.1583 A
6 12 2.3250 B
6.5 12 2.5417 C
7 12 2.7417 D
7.5 12 2.8667 E
8 12 2.9583 E
* pH terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

58
Lampiran 4. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada alum
(warna)

a. Analisis pengaruh antar perlakuan (warna)


Variabel Dependen: Warna
Sumber JK db KT F hitung F tabel
Perlakuan dosis 1493.528 2 746.764 22.235 3.174
Perlakuan pH 7405.278 5 1481.056 44.099 2.388
Interaksi Dosis dan pH 352.639 10 35.264 1.050 2.008
Blok 364.500 1 364.500 10.853 4.024
Error 1780.000 53 33.585
Total 1109064.000 72

b. Uji lanjut Duncan (Warna)


Perlakuan dosis
Subset
Dosis N Rata-rata
1 2
*60 mg/l 24 118.9583 A
50 mg/l 24 121.7500 A
40 mg/l 24 129.7083 B
* Dosis terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

Perlakuan pH
Subset
pH N Rata-rata
1 2 3 4
*5.5 12 103.9167 A
6 12 118.1667 B
6.5 12 124.0833 C
7 12 129.2500 D
7.5 12 131.6667 D
8 12 133.7500 D
* pH terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

59
Lampiran 5. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada alum
(Cl2)

a. Analisis pengaruh antar perlakuan (Cl2)


Variabel Dependen: Cl2
Sumber JK db KT F hitung F tabel
Perlakuan dosis 0.001 2 0.000 6.093 3.174
Perlakuan pH 0.059 5 0.012 148.355 2.388
Interaksi Dosis dan pH 0.001 10 0.000 1.864 2.008
Blok 0.003 1 0.003 41.681 4.024
Error 0.004 53 8.001E-05
Total 1.884 72

b. Uji lanjut Duncan (Cl2)


Perlakuan dosis
Subset
Dosis N Rata-rata
1 2
50 mg/l 24 0.1538 A
40 mg/l 24 0.1600 B
60 mg/l 24 0.1625 B
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

Perlakuan pH
Subset
pH N Rata-rata
1 2 3 4 5 6
5.5 12 0.1175 A
6 12 0.1292 B
6.5 12 0.1542 C
7 12 0.1683 D
7.5 12 0.1850 E
8 12 0.1983 F
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

60
Lampiran 6. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada PAC
(kekeruhan)

a. Analisis pengaruh antar perlakuan (kekeruhan)


Variabel Dependen: Kekeruhan
Sumber JK db KT F hitung F tabel
Perlakuan dosis 0.397 2 0.198 17.073 3.174
Perlakuan pH 10.449 5 2.090 179.779 2.388
Blok 0.269 1 0.269 23.131 4.024
Interaksi Dosis dan pH 1.001 10 0.100 8.614 2.008
Error 0.616 53 0.012
Total 355.080 72

b. Uji lanjut Duncan (kekeruhan)


Perlakuan dosis
Subset
Dosis N Rata-rata
1 2 3
*210 mg/l 24 2.1000 A
150 mg/l 24 2.1625 B
180 mg/l 24 2.2792 C
* Dosis terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

Perlakuan pH
Subset
pH N Rata-rata
1 2 3 4 5 6
*6 12 1.5917 A
6.5 12 1.8417 B
7 12 2.0917 C
7.5 12 2.3667 D
8 12 2.4917 E
8.5 12 2.7000 F
* pH terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

61
Lampiran 7. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada PAC
(warna)

a. Analisis pengaruh antar perlakuan (warna)


Variabel Dependen: Warna
Sumber JK db KT F hitung F tabel
Perlakuan dosis 619.694 2 309.847 5.466 3.174
Perlakuan pH 6341.736 5 1268.347 22.373 2.388
Blok 2346.125 1 2346.125 41.384 4.024
Interaksi Dosis dan pH 56.806 10 5.681 0.100 2.008
Error 3004.625 53 56.691
Total 493713.000 72

b. Uji lanjut Duncan (Warna)


Perlakuan dosis
Subset
Dosis N Rata-rata
1 2
*210 mg/l 24 78.3333 A
180 mg/l 24 81.4583 A B
150 mg/l 24 85.5000 B
* Dosis terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

Perlakuan pH
Subset
pH N Rata-rata
1 2 3 4 5
*6 12 70.0833 A
6.5 12 73.7500 A B
7 12 78.3333 B C
7.5 12 82.7500 C D
8 12 86.9167 D
8.5 12 98.7500 E
* pH terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

62
Lampiran 8. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada PAC
(Cl2)

a. Analisis pengaruh antar perlakuan (Cl2)


Variabel Dependen: Cl2
Sumber JK db KT F hitung F tabel
Perlakuan dosis 0.000 2 0.000 4.752 3.174
Perlakuan pH 0.011 5 0.002 65.476 2.388
Blok 0.183 1 0.183 5351.538 4.024
Interaksi Dosis dan pH 0.001 10 5.417E-05 1.584 2.008
Error 0.002 53 3.420E-05
Total 2.455 72

b. Uji lanjut Duncan (Cl2)


Perlakuan dosis
Subset
Dosis N Rata-rata
1 2
150 mg/l 24 0.1075 A
210 mg/l 24 0.1100 B
180 mg/l 24 0.1263 B
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

Perlakuan pH
Subset
pH N Rata-rata
1 2 3 4 5 6
6 12 0.1558 A
6.5 12 0.1692 B
7 12 0.1750 C
7.5 12 0.1808 D
8 12 0.1875 E
8.5 12 0.1942 F
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

63
Lampiran 9. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada FeCl3
(kekeruhan)

a. Analisis pengaruh antar perlakuan (kekeruhan)


Variabel Dependen: Kekeruhan
Sumber JK db KT F hitung F tabel
Perlakuan dosis 35.609 2 17.804 31.259 3.174
Perlakuan pH 193.571 5 38.714 67.970 2.388
Blok 1.742 1 1.742 3.059 4.024
Interaksi Dosis dan pH 86.516 10 8.652 15.189 2.008
Error 30.188 53 0.570
Total 1947.520 72

b. Uji lanjut Duncan (kekeruhan)


Perlakuan dosis
Subset
Dosis N Rata-rata
1 2 3
*60 mg/l 24 3.7958 A
50 mg/l 24 4.8417 B
40 mg/l 24 5.5042 C
* Dosis terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

Perlakuan pH
Subset
pH N Rata-rata
1 2 3 4
*8 12 3.3333 A
7.5 12 3.6917 A B
7 12 4.0083 B
6.5 12 4.1833 B
6 12 4.8333 C
5.5 12 8.2333 D
* pH terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

64
Lampiran 10. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada FeCl3
(warna)

a. Analisis pengaruh antar perlakuan (warna)


Variabel Dependen: Warna
Sumber JK db KT F hitung F tabel
Perlakuan dosis 786.778 2 393.389 35.640 3.174
Perlakuan pH 43014.111 5 8602.822 779.401 2.388
Blok 288.000 1 288.000 26.092 4.024
Interaksi Dosis dan pH 2180.556 10 218.056 19.755 2.008
Error 585.000 53 11.038
Total 762860.000 72

b. Uji lanjut Duncan (Warna)


Perlakuan dosis
Subset
Dosis N Rata-rata
1 2
*60 mg/l 24 96.7500 A
40 mg/l 24 98.0833 A
50 mg/l 24 104.3333 B
* Dosis terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

Perlakuan pH
Subset
pH N Rata-rata
1 2 3 4 5 6
*8 12 66.7500 A
7.5 12 73.2500 B
7 12 89.2500 C
6.5 12 118.0000 D
6 12 122.4167 E
5.5 12 128.6667 F
* pH terbaik

- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

65
Lampiran 11. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada FeCl3
(Cl2)

a. Analisis pengaruh antar perlakuan (Cl2)


Variabel Dependen: Cl2
Sumber JK db KT F hitung F tabel
Perlakuan dosis 0.005 2 0.002 40.273 3.174
Perlakuan pH 0.009 5 0.002 30.316 2.388
Blok 1.389E-06 1 1.389E-06 0.022 4.024
Interaksi Dosis dan pH 0.001 10 9.750E-05 1.579 2.008
Error 0.003 53 6.177E-05
Total 0.964 72

b. Uji lanjut Duncan (Cl2)


Perlakuan dosis
Subset
Dosis N Rata-rata
1 2
50 mg/l 24 0.1075 A
40 mg/l 24 0.1100 A
60 mg/l 24 0.1263 B
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

Perlakuan pH
Subset
pH N Rata-rata
1 2 3 4
8 12 0.0933 A
7.5 12 0.1067 B
7 12 0.1167 C
6.5 12 0.1208 C D
5.5 12 0.1233 C D
6 12 0.1267 D
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata
- Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata

66
Lampiran 12. Hasil analisis proses optimasi penambahan kaporit pada Efluen I

Dosis 5 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
4 5.025 2.15 97 0.095
4.5 5.33 2.1 97.5 0.095
5 5.695 2.05 96 0.11
5.5 6.015 2.05 96.5 0.13
6 6.335 2.15 95 0.15
6.5 6.82 2.05 95 0.17

Dosis 10 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
4 5.28 2.05 78.5 0.145
4.5 5.995 1.75 78 0.145
5 6.26 1.7 75.5 0.155
5.5 6.405 1.65 75 0.16
6 6.765 1.45 69 0.165
6.5 7 1.25 63.5 0.205

Dosis 15 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
4 5.59 1.15 64.5 0.605
4.5 6.145 0.975 65.5 0.7
5 6.37 0.95 62.5 0.94
5.5 6.465 0.975 59.5 0.97
6 6.81 0.975 56 0.985
6.5 6.805 0.95 50 1.07

67
Lampiran 13. Hasil analisis proses optimasi penambahan kaporit pada Efluen II

Dosis 5 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
4 5.1 2 97.5 0.08
4.5 5.385 2.05 97 0.095
5 5.77 2.05 96 0.11
5.5 6.065 2.05 96 0.125
6 6.395 2.15 94.5 0.15
6.5 6.865 2.2 95 0.175

Dosis 10 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
4 5.3 1.3 82 0.15
4.5 5.995 1.25 84 0.145
5 6.305 1.1 83 0.155
5.5 6.43 1.75 75 0.15
6 6.765 2.15 70 0.16
6.5 6.685 2.6 68.5 0.195

Dosis 15 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
4 5.6 1.1 67 0.5
4.5 6.135 0.975 66.5 0.665
5 6.38 1.025 66 0.91
5.5 6.46 0.975 63 0.94
6 6.795 0.975 59.5 0.985
6.5 6.78 0.95 57 1.055

68
Lampiran 14. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian pendahuluan pada
Efluen I

a. Koagulan Alum
Dosis (mg/l) pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo)
40 6.795 2.85 132
50 6.545 2.65 126
60 5.715 2.5 126
80 5.425 6.95 169.5
100 5.305 6.4 161.5
120 4.905 5.9 155.5

b. Koagulan PAC
Dosis (mg/l) pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo)
40 5.89 7.7 228
100 5.1 5.25 192.5
150 4.315 2.25 92
180 4.2 2.2 88
210 4.145 2.15 87
250 3.725 2.65 117.5

c. Koagulan FeCl3
Dosis (mg/l) pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo)
40 6.36 3.35 77.5
50 6.15 4 88
60 5.53 3.65 91.5
100 3.55 2.8 88.5
150 2.865 6.65 143.5
200 2.625 22.5 452

69
Lampiran 15. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian pendahuluan pada
Efluen II

a. Koagulan Alum
Dosis (mg/l) pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo)
40 6.765 3.1 133
50 6.64 2.8 129
60 5.905 2.55 129.5
80 5.425 7 172
100 5.31 6.5 163.5
120 4.895 5.95 150

b. Koagulan PAC
Dosis (mg/l) pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo)
40 5.88 7.85 232.5
100 5.06 5.35 194.5
150 4.37 2 80.5
180 4.195 2.15 75
210 4.14 1.8 74
250 3.775 1.95 90

c. Koagulan FeCl3
Dosis (mg/l) pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo)
40 6.435 4.8 79
50 6.18 4.6 88
60 5.595 3.65 111.5
100 3.565 2.85 118
150 2.87 6.85 145
200 2.625 24 454.5

70
Lampiran 16. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen I

a. Koagulan Alum
Dosis 40 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 4.635 2.25 111.5 0.095
6 5.895 2.25 124.5 0.115
6.5 6.4 2.55 128 0.155
7 6.795 2.85 132 0.17
7.5 7.005 3.05 136 0.185
8 7.225 3.2 138 0.19

Dosis 50 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 4.505 2.2 97.5 0.115
6 5.545 2.35 118.5 0.12
6.5 6.2 2.5 120.5 0.135
7 6.545 2.65 126 0.14
7.5 6.61 2.85 129.5 0.175
8 6.785 2.9 130.5 0.195

Dosis 60 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 3.96 2.05 91 0.12
6 5.165 2.25 99 0.13
6.5 5.53 2.4 116.5 0.15
7 5.715 2.5 126 0.165
7.5 5.905 2.55 128 0.18
8 6.185 2.65 129 0.2

b. Koagulan PAC
Dosis 150 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
6 4.085 1.75 71.5 0.205
6.5 4.24 2.05 76 0.21
7 4.315 2.25 84 0.215
7.5 4.47 2.45 92 0.22
8 4.555 2.5 101 0.23
8.5 4.785 2.55 121 0.24

71
Lampiran 16. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen I
(lanjutan)

Dosis 180 mg/l


pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
6 4.07 1.55 69 0.21
6.5 4.17 1.85 74 0.225
7 4.2 2.2 81.5 0.23
7.5 4.345 2.45 88 0.235
8 4.38 2.65 94 0.24
8.5 4.42 3 118 0.245

Dosis 210 mg/l


pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
6 3.995 1.45 64 0.2
6.5 4.04 1.65 72.5 0.225
7 4.145 2.15 79.5 0.23
7.5 4.165 2.45 87 0.24
8 4.195 2.65 91 0.245
8.5 4.215 2.75 110.5 0.25

c. Koagulan FeCl3
Dosis 40 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 3.435 11.5 128.5 0.12
6 3.6 5.7 118.5 0.125
6.5 5.55 3.55 111 0.11
7 6.36 3.35 77.5 0.11
7.5 6.67 3.85 72 0.1
8 6.705 3.05 68 0.095

Dosis 50 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 3.155 8.5 127 0.12
6 3.73 5.25 128 0.115
6.5 4.915 4.6 125 0.115
7 6.15 4 88 0.115
7.5 6.34 3.4 82.5 0.1
8 6.455 3 70.5 0.08

72
Lampiran 16. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen I
(lanjutan)

Dosis 60 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 3.145 4.5 122.5 0.14
6 3.32 4.15 116 0.135
6.5 3.67 4 114 0.135
7 5.53 3.65 91.5 0.125
7.5 6.36 3.25 60.5 0.12
8 6.275 2.75 58 0.105

73
Lampiran 17. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen II

a. Koagulan Alum
Dosis 40 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 4.64 2.2 114.5 0.125
6 6.05 2.35 130 0.14
6.5 6.44 2.55 131.5 0.165
7 6.765 3.1 133 0.185
7.5 6.95 3.25 136 0.195
8 7.33 3.35 141.5 0.2

Dosis 50 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 4.58 2.15 104.5 0.12
6 5.58 2.45 119.5 0.135
6.5 6.47 2.65 125 0.165
7 6.64 2.8 129 0.17
7.5 6.76 2.9 130 0.18
8 6.88 2.95 130.5 0.195

Dosis 60 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 4.42 2.1 104.5 0.13
6 5.205 2.3 117.5 0.135
6.5 5.765 2.6 123 0.155
7 5.905 2.55 129.5 0.18
7.5 6.145 2.6 130.5 0.195
8 6.335 2.7 133 0.21

b. Koagulan PAC
Dosis 150 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
6 4.085 1.8 76 0.105
6.5 4.24 1.9 77.5 0.12
7 4.37 2 79 0.125
7.5 4.465 2.15 80.5 0.13
8 4.545 2.2 82.5 0.14
8.5 4.755 2.35 85 0.15

74
Lampiran 17. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen II
(lanjutan)

Dosis 180 mg/l


pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
6 4.085 1.6 72.5 0.115
6.5 4.18 2.05 73 0.12
7 4.195 2.15 73.5 0.125
7.5 4.32 2.35 75 0.13
8 4.36 2.55 77.5 0.135
8.5 4.45 2.95 81.5 0.14

Dosis 210 mg/l


pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
6 3.99 1.4 67.5 0.1
6.5 4.06 1.55 69.5 0.115
7 4.14 1.8 72.5 0.125
7.5 4.195 2.35 74 0.13
8 4.215 2.4 75.5 0.135
8.5 4.24 2.6 76.5 0.14

c. Koagulan FeCl3
Dosis 40 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 3.48 12 134 0.12
6 3.53 6.7 123.5 0.12
6.5 5.895 3.9 115.5 0.11
7 6.435 4.8 79 0.11
7.5 6.685 3.9 79 0.105
8 6.715 3.75 70.5 0.095

Dosis 50 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 3.18 8.4 133.5 0.115
6 3.775 3.8 130 0.125
6.5 4.965 5.2 125 0.12
7 6.18 4.6 88 0.115
7.5 6.39 3.95 82 0.095
8 6.495 3.4 72.5 0.075

75
Lampiran 17. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen II
(lanjutan)

Dosis 60 mg/l
pH pH akhir Kekeruhan (NTU) Warna (PtCo) Cl2 (mg/l)
5.5 3.15 4.5 126.5 0.125
6 3.355 3.4 118.5 0.14
6.5 3.7 3.85 117.5 0.135
7 5.595 3.65 111.5 0.125
7.5 6.36 3.8 63.5 0.12
8 6.32 4.05 61 0.11

76
Lampiran 18. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen I

a. Koagulan Alum
Kekeruhan
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 82.00% 82.40% 83.60%
6 82.00% 81.20% 82.00%
6.5 79.60% 80.00% 80.80%
7 77.20% 78.80% 80.00%
7.5 75.60% 77.20% 79.60%
8 74.40% 76.80% 78.80%

Warna
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 41.78% 49.09% 52.48%
6 34.99% 38.12% 48.30%
6.5 33.16% 37.08% 39.16%
7 31.07% 34.20% 34.20%
7.5 28.98% 32.38% 33.16%
8 27.94% 31.85% 32.64%

Cl2
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 26.92% 11.54% 7.69%
6 11.54% 7.69% 0.00%
6.5 -19.23% -3.85% -15.38%
7 -30.77% -7.69% -26.92%
7.5 -42.31% -34.62% -38.46%
8 -46.15% -50.00% -53.85%

b. Koagulan PAC
Kekeruhan
pH Dosis 150 mg/l Dosis 180 mg/l Dosis 210 mg/l
6 86.00% 87.60% 88.40%
6.5 83.60% 85.20% 86.80%
7 82.00% 82.40% 82.80%
7.5 80.40% 80.40% 80.40%
8 80.00% 78.80% 78.80%
8.5 79.60% 76.00% 78.00%

77
Lampiran 18. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen I (lanjutan)

Warna
pH Dosis 150 mg/l Dosis 180 mg/l Dosis 210 mg/l
6 62.66% 63.97% 66.58%
6.5 60.31% 61.36% 62.14%
7 56.14% 57.44% 58.49%
7.5 51.96% 54.05% 54.57%
8 47.26% 50.91% 52.48%
8.5 36.81% 38.38% 42.30%

Cl2
pH Dosis 150 mg/l Dosis 180 mg/l Dosis 210 mg/l
6 -57.69% -61.54% -53.85%
6.5 -61.54% -73.08% -73.08%
7 -65.38% -76.92% -76.92%
7.5 -69.23% -80.77% -84.62%
8 -76.92% -84.62% -88.46%
8.5 -84.62% -88.46% -92.31%

c. Koagulan FeCl3
Kekeruhan
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 8.00% 32.00% 64.00%
6 54.40% 58.00% 66.80%
6.5 71.60% 63.20% 68.00%
7 73.20% 68.00% 70.80%
7.5 69.20% 72.80% 74.00%
8 75.60% 76.00% 78.00%

Warna
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 32.90% 33.68% 36.03%
6 38.12% 33.16% 39.43%
6.5 42.04% 34.73% 40.47%
7 59.53% 54.05% 52.22%
7.5 62.40% 56.92% 68.41%
8 64.49% 63.19% 69.71%

Cl2
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 7.69% 7.69% -7.69%
6 3.85% 11.54% -3.85%
6.5 15.38% 11.54% -3.85%
7 15.38% 11.54% 3.85%
7.5 23.08% 23.08% 7.69%
8 26.92% 38.46% 19.23%

78
Lampiran 18. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen I (lanjutan)

d. Kaporit
Kekeruhan
pH Dosis 5 mg/l Dosis 10 mg/l Dosis 15 mg/l
4 82.80% 83.60% 90.80%
4.5 83.20% 86.00% 92.20%
5 83.60% 86.40% 92.40%
5.5 83.60% 86.80% 92.20%
6 82.80% 88.40% 92.20%
6.5 83.60% 90.00% 92.40%

Warna
pH Dosis 5 mg/l Dosis 10 mg/l Dosis 15 mg/l
4 49.35% 59.01% 66.32%
4.5 49.09% 59.27% 65.80%
5 49.87% 60.57% 67.36%
5.5 49.61% 60.84% 68.93%
6 50.39% 63.97% 70.76%
6.5 50.39% 66.84% 73.89%

Cl2
pH Dosis 5 mg/l Dosis 10 mg/l Dosis 15 mg/l
4 26.92% -11.54% -365.38%
4.5 26.92% -11.54% -438.46%
5 15.38% -19.23% -623.08%
5.5 0.00% -23.08% -646.15%
6 -15.38% -26.92% -657.69%
6.5 -30.77% -57.69% -723.08%

79
Lampiran 19. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen II

a. Koagulan Alum
Kekeruhan
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 80.00% 80.45% 80.91%
6 78.64% 77.73% 79.09%
6.5 76.82% 75.91% 76.36%
7 71.82% 74.55% 76.82%
7.5 70.45% 73.64% 76.36%
8 69.55% 73.18% 75.45%

Warna
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 38.61% 43.97% 43.97%
6 30.29% 35.92% 37.00%
6.5 29.49% 32.98% 34.05%
7 28.69% 30.83% 30.56%
7.5 27.08% 30.29% 30.03%
8 24.13% 30.03% 28.69%

Cl2
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 10.71% 14.29% 7.14%
6 0.00% 3.57% 3.57%
6.5 -17.86% -17.86% -10.71%
7 -32.14% -21.43% -28.57%
7.5 -39.29% -28.57% -39.29%
8 -42.86% -39.29% -50.00%

b. Koagulan PAC
Kekeruhan
pH Dosis 150 mg/l Dosis 180 mg/l Dosis 210 mg/l
6 83.64% 85.45% 87.27%
6.5 82.73% 81.36% 85.91%
7 81.82% 80.45% 83.64%
7.5 80.45% 78.64% 78.64%
8 80.00% 76.82% 78.18%
8.5 78.64% 73.18% 76.36%

80
Lampiran 19. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen II (lanjutan)

Warna
pH Dosis 150 mg/l Dosis 180 mg/l Dosis 210 mg/l
6 59.25% 61.13% 63.81%
6.5 58.45% 60.86% 62.73%
7 57.64% 60.59% 61.13%
7.5 56.84% 59.79% 60.32%
8 55.76% 58.45% 59.52%
8.5 54.42% 56.30% 58.98%

Cl2
pH Dosis 150 mg/l Dosis 180 mg/l Dosis 210 mg/l
6 25.00% 17.86% 28.57%
6.5 14.29% 14.29% 17.86%
7 10.71% 10.71% 10.71%
7.5 7.14% 7.14% 7.14%
8 0.00% 3.57% 3.57%
8.5 -7.14% 0.00% 0.00%

c. Koagulan FeCl3
Kekeruhan
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 -9.09% 23.64% 59.09%
6 39.09% 65.45% 69.09%
6.5 64.55% 52.73% 65.00%
7 56.36% 58.18% 66.82%
7.5 64.55% 64.09% 65.45%
8 65.91% 69.09% 63.18%

Warna
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 28.15% 28.42% 32.17%
6 33.78% 30.29% 36.46%
6.5 38.07% 32.98% 37.00%
7 57.64% 52.82% 40.21%
7.5 57.64% 56.03% 65.95%
8 62.20% 61.13% 67.29%

Cl2
pH Dosis 40 mg/l Dosis 50 mg/l Dosis 60 mg/l
5.5 14.29% 17.86% 10.71%
6 14.29% 10.71% 0.00%
6.5 21.43% 14.29% 3.57%
7 21.43% 17.86% 10.71%
7.5 25.00% 32.14% 14.29%
8 32.14% 46.43% 21.43%

81
Lampiran 19. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen II (lanjutan)

d. Kaporit
Kekeruhan
pH Dosis 5 mg/l Dosis 10 mg/l Dosis 15 mg/l
4 81.82% 88.18% 90.00%
4.5 81.36% 88.64% 91.14%
5 81.36% 90.00% 90.68%
5.5 81.36% 84.09% 91.14%
6 80.45% 80.45% 91.14%
6.5 80.00% 76.36% 91.36%

Warna
pH Dosis 5 mg/l Dosis 10 mg/l Dosis 15 mg/l
4 47.72% 56.03% 64.08%
4.5 47.99% 54.96% 64.34%
5 48.53% 55.50% 64.61%
5.5 48.53% 59.79% 66.22%
6 49.33% 62.47% 68.10%
6.5 49.06% 63.27% 69.44%

Cl2
pH Dosis 5 mg/l Dosis 10 mg/l Dosis 15 mg/l
4 42.86% -7.14% -257.14%
4.5 32.14% -3.57% -375.00%
5 21.43% -10.71% -550.00%
5.5 10.71% -7.14% -571.43%
6 -7.14% -14.29% -603.57%
6.5 -25.00% -39.29% -653.57%

82
Lampiran 20. Baku Mutu Perairan Berdasarkan Kelas, PP No. 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Udara

Kelas
No. Parameter Satuan Keterangan
I II III IV
I. FISIKA
Deviasi Temperatur
O
1 Temperatur C Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 dari keadaan
alamiahnya
2 Residu Terlarut mg/l 1000 1000 1000 2000
3 Residu Tersuspensi mg/l 50 50 400 400 Bagi Pengolahan air
minum secara
konvensional, residu
tersuspensi ≤ 5000
mg/l
II. KIMIA ORGANIK
4 Ph 6-9 6-9 6-9 5-9
5 BOD mg/l 2 3 6 12
6 COD mg/l 10 25 50 100
7 DO mg/l 6 4 3 0
8 Total Fosfat mg/l
0.2 0.2 1 5
sebagai P
9 NO3-N mg/l 10 10 20 20
10 NH3-N mg/l 0.5 (-) (-) (-) Bagi perikanan
kandungan
ammonia bebas
untuk ikan yang
peka ≤ 0.02 mg/l
sebagai NH3-N
11 Arsen mg/l 0.05 1 1 1
12 Kobalt mg/l 0.2 0.2 0.2 0.2
13 Barium mg/l 1 (-) (-) (-)
14 Boron mg/l 1 1 1 1
15 Selenium mg/l 0.01 0.05 0.05 0.05
16 Kadmium mg/l 0.01 0.01 0.01 0.01
17 Khrom (VI) mg/l 0.05 0.05 0.05 0.05
18 Tembaga mg/l 0.02 0.02 0.02 0.2 Bagi pengolahan air
minum secara
konvensional, Cu ≤
1 mg/l
19 Besi mg/l 0.3 (-) (-) (-) Bagi pengolahan air
minum secara
konvensional, Bagi
pengolahan air
minum secara
konvensional, Fe ≤
5 mg/l
20 Timbal mg/l 0.03 0.03 0.03 1 Bagi pengolahan air
minum secara
konvensional, Pb ≤
0.1 mg/l
21 Mangan mg/l 0.1 (-) (-) (-)
22 Air Raksa mg/l 0.001 0.002 0.002 0.05
23 Seng mg/l 0.05 0.05 0.05 2 Bagi pengolahan air
minum secara
konvensional, Zn ≤
5 mg/l
24 Klorida mg/l 600 (-) (-) (-)
25 Sianida mg/l 0.02 0.02 0.02 (-)
26 Fluorida mg/l 0.5 1.5 1.5 (-)
27 Nitrit-N mg/l 0.06 0.06 0.06 (-) Bagi pengolahan air
minum secara
konvensional, NO2-
N ≤ mg/l
28 Sulfat mg/l 400 (-) (-) (-)
29 Khlorin Bebas mg/l 0.03 0.03 0.03 (-)
30 Belerang sebagai mg/l 0.002 0.002 0.002 (-) Bagi pengolahan air

83
H2S minum secara
konvensional, H2S ≤
0.1 mg/l
III. MIKROBIOLOGI
31 Fecal Coliform Jml/100 100 1000 2000 2000 Bagi pengolahan air
ml minum secara
32 Total Coliform Jml/100 1000 5000 10000 10000 konvensional, Fecal
ml Coliform ≤ 2000
jml/100 ml, Total
Coliform ≤ 10000
jml/100 ml
IV. RADIOAKTIFITAS
33 Gross-A Bg/l 0.1 0.1 0.1 0.1
34 Gross-B Bg/l 1 1 1 1
V. KIMIA ORGANIK
35 Minyak dan Lemak µg/l 1000 1000 1000 (-)
36 Detergen sebagai µg/l 200 200 200 (-)
MBAS
37 Senyawa Fenol µg/l 1 1 1 (-)
sebagai Fenol
38 BHC µg/l 210 210 210 (-)
39 Aldrin/Dieldrin µg/l 17 (-) (-) (-)
40 Chlordane µg/l 3 (-) (-) (-)
41 DDT µg/l 2 2 2 2
42 Heptachlor dan µg/l 18 (-) (-) (-)
heptachlor epoxide
43 Lindane µg/l 56 (-) (-) (-)
44 Methoxyclor µg/l 35 (-) (-) (-)
45 Endrin µg/l 1 4 4 (-)
46 Toxaphan µg/l 5 (-) (-) (-)

84

You might also like