You are on page 1of 3

SHOREA (Small Home of Rural Empowerment Activists)

SHOREA (Small Home of Rural Empowerment Activists)

Search

PRIMARY MENUSKIP TO CONTENT

PROFIL LEMBAGA

Perhimpunan SHOREA (Small Home of Rural Empowerment Activists) merupakan lembaga swadaya
masyarakat yang bekerja untuk pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan.

Visi dan Misi

Visi Perhimpunan adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang
berkeadilan dan berkelanjutan.

Misi Perhimpunan adalah menumbuhkembangkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya alam melalui penguatan wacana, advokasi kebijakan dan penguatan
kelembagaan masyarakat.

Tujuan

Menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan
berkelanjutan.

Mewujudkan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berpihak kepada masyarakat dan
lingkungan.

Mewujudkan kelembagaan masyarakat yang kuat dan mandiri dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Aktivitas

Pendampingan masyarakat

Advokasi kebijakan
Penelitian

Pelayanan konsultasi

Pelayanan pendidikan dan pelatihan

Pengembangan bisnis masyarakat

Pengembangan jejaring

Program Yang Sedang Berjalan

Penguatan Hutan Rakyat Bersertifikat

Shorea melakukan pendampingan di unit manajemen hutan rakyat Desa Dengok Kec. Playen (zona
tengah/Ledok Wonosari) seluas 400 hektar yang dikelola oleh Paguyuban Pengelola Hutan Rakyat Ngudi
Lestari. Shorea tergabung dalam Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari di kabupaten Gunungkidul untuk
mensertifikasikan seluruh kabupaten. Pada saat ini sedang dilakukan inisiasi pengembangan hutan rakyat
bersertifikat melalui fasilitasi akses pasar, perluasan areal, dan fasilitasi jaringan unit manajemen.

Penguatan dan Pengembangan Hutan Kemasyarakatan

Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan program pemerintah dalam usahanya untuk memberdayakan
masyarakat dalam memanfaatkan hutan negara. Pengembangan HKm di DIY sudah sampai pada
pemberian izin definitif (IUPHKm) oleh bupati. Sampai saat ini, lahan HKm Kabupaten Gunungkidul yang
telah dikerjakan oleh masyarakat sekitar hutan dan sudah mendapatkan ijin tetap seluas 1.089,95
hektar. Izin Pemanfaatan HKm (IUPHKm) tersebut dikeluarkan oleh bupati dan diperuntukkan kepada 35
kelompok tani HKm di Gunungkidul dan 7 kelompok tani HKm Kulonprogo. Pada saat ini Shorea
melakukan advokasi perluasaan areal HKm untuk meraih sisa areal seluas 3.100 hektar untuk didorong
menjadi areal HKm.

Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Desa

Hutan Tanaman Rakyat di Yogyakarta dialokasikan pada eks tanah AB (Afkiren Boschs) yang saat ini
sudah ditetapkan menjadi Hutan Produksi Tetap berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 197/kpts-II/2000, tanggal 12 Juli 2000. Areal model yang dikembangkan Shorea untuk skema HTR
seluas 327,73 ha. Beberapa desa yang dikembangkan model HTR adalah Balong, Purwodadi, Wunung,
Pacarejo, Candirejo, dan Jepitu. Saat ini Shorea sedang melakukan advokasi terbitnya surat izin usaha
pengelolaan hasil hutan kayu HTR. Pada kawasan tanah AB tersebut, juga diinisiasi adanya model skema
hutan desa. Pada saat ini Shorea sedang melakukan identifikasi kawasan dan kelembagaan untuk
didorong menjadi model hutan desa. Ke depan 4 desa akan didorong menjadi model hutan desa yaitu
Krambilsawit, Kanigoro, Kepek, dan Jetis seluas 357,70 ha.

Pengembangan Hutan Kota

Shorea melakukan advokasi hutan kota dengan mendorong terbitnya kebijakan daerah tentang hutan
kota di D.I Yogyakarta. Shorea membuat areal model hutan kota di Kabupaten Gunungkidul. Munculnya
Surat Keputusan Bupati Nomor 169/KPTS/2007 tentang penetapan areal taman kota dan hutan kota
Kabupaten Gunungkidul, merupakan dasar untuk mengembangkan hutan kota. Luas areal hutan kota
ditetapkan tujuh hektare. Sejalan dengan inisiasi surat keputusan tersebut, Shorea berhasil memasukkan
klausal hutan kota pada ruang terbuka hijau yaitu minimal 10% dari ruang terbuka hijau ke dalam
rencana peraturan daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Ini merupakan sebuah
kemajuan yang signifikan yang berhasil didorong oleh parapihak, termasuk Shorea, untuk landasan
kebijakan jangka panjang pengembangan hutan kota.

Pengembangan Hutan Konservasi

Shorea melakukan pendampingan areal hutan konservasi dan kelembagaan Desa Wisata di Beji Ngawen
Gunungkidul. Shorea memfokuskan pada penanganan Hutan Wonosadi sebagai hutan konservasi dan
pengelolaannya oleh pemerintah desa. Hutan Wonosadi seluas 25 ha dengan areal penyangga seluas
27,80 ha telah menyimpan keanekaragaman hayati. Hutan Wonosadi adalah salah satu hutan
konservasi yang berada di luar kawasan. Masyarakat desa sepakat menetapkan hutan seluas 25 hektare
menjadi hutan Adat Konservasi. Hutan tersebut tidak diusik sedikit pun oleh karena kesadaran
masyarakat sekitar hutan terhadap pentingnya manfaat hutan.

You might also like