You are on page 1of 19

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI................................................................................................................. 1

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 2

BAB II ........................................................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 3

2.1 ANATOMI & FISIOLOGI PARU ..................................................................... 3

2.2 MEKANIKA PERNAPASAN............................................................................ 5

2.3 DEFINISI ............................................................................................................ 7

2.4 ETIOPATOGENESIS......................................................................................... 8

2.5 FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA


ATELEKTASIS PARU ................................................................................... 12

2.6 MANIFESTASI KLINIS .................................................................................. 13

2.7 DIAGNOSIS ..................................................................................................... 14

2.8 TERAPI............................................................................................................. 16

2.9 PROGNOSIS .................................................................................................... 16

2.10 KOMPLIKASI .................................................................................................. 16

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 18

3.1 KESIMPULAN ................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 19


2

BAB I
PENDAHULUAN

Atelektasis pertama kali di jelaskan oleh Laennec pada tahun 1819.


Atelektasis berasal dari kata ateles yang berarti “tidak sempurna” dan ektasis yang
berarti “ekspansi”. Secara keseluruhan atelektasis mempunyai arti ekspansi yang
tidak sempurna. Atelektasis di definisikan sebagai kolapsnya alveoli dan
berkurangnya udara di dalam ruang intrapulmonal atau kolapsnya semua atau
sebagian paru. Keadaan ini sering menjadi komplikasi paru pasca operasi dengan
bukti pemeriksaan radiografi mencapai 70% pada pasien yang sedang menjalani
thorakotomy dan celiotomy.1,2,3,4
Komplikasi pada paru relatif sering terjadi pasca operasi dan dapat
dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, yang paling umum terjadi
adalah setelah operasi thorakoabdominal, dan operasi jantung. Kejadian ini
dilaporkan bahwa komplikasi paru pasca operasi berkisar 5 hingga 80%,
diantaranya adalah : atelektasis, bronkospasme, pneumonia, dan penyakit paru
eksarserbasi kronis. Komplikasi pada paru merupakan resiko pasca operasi,
dimana keadaan ini tergantung oleh faktor anastesia, faktor bedah, dan pasiennya
sendiri. 4,5
Penyebab atelektasis bervariasi, diantaranya adalah sumbatan mukus pada
bronkus, kompresi ekstrinsik dari hemopneumothoraks dan hipoventilasi alveolus.
Keadaan ini timbul karena penurunan volume tidal pernapasan yang sering
dicetuskan oleh nyeri insisi selama beberapa hari pertama setelah operasi. Terdapat
tiga faktor utama yang merupakan faktor pencetus pada perkembangan terjadinya
atelektasis pada pasien pasca bedah, yaitu posisi terlentang untuk waktu yang
lama, ventilasi dengan gas tinggi dalam konsentrasi oksigen yang tinggi, dan
pengurangan surfaktan paru setelah operasi.6
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI & FISIOLOGI PARU


Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam
rongga dada atau toraks. Jaringan paru terdiri dari serangkaian saluran napas yang
bercabang-cabang, yaitu alveolus, pembuluh darah paru, dan sejumlah besar
jaringan ikat elastik. Satu-satunya otot di dalam paru adalah otot polos di dinding
arteriol dan bronkiolus. Tidak terdapat otot di dalam dinding alveolus yang dapat
menyebabkan alveolus mengembang atau menciut selama proses bernapas.
Perubahan volume paru ditimbulkan oleh perubahan dimensi-dimensi toraks. 1

Gambar 1. (a) Paru menempati sebagian besar volume rongga toraks. (b) Zona
konduksi trakeobronkial tree, dimulai pada trakea dan berakhir pada bronkhiolus
terminalis.2,3,4
Dinding toraks dibentuk oleh dua belas pasang iga yang melengkung dan menyatu
di sternum di sebelah anterior dan vertebra torakalis di posterior. Diafragma, yang
membentuk dasar (lantai) rongga toraks, adalah lembaran besar otot rangka
berbentuk kubah yang memisahkan secara total rongga toraks dari rongga
abdomen. Diafragma hanya di tembus oleh esofagus dan pembuluh darah yang
melintas di antara rongga toraks dan-abdomen. Rongga toraks ditutup di daerah
leher oleh otot-otot dan jaringan ikat. Satu-satunya komunikasi ( antara toraks dan
atmosfer adalah melalui saluran pernapasan ke dalam alveolus. Seperti paru,
dinding dada mengandung sejumlah besar jaringan ikat elastik.4
Alveolus adalah kantung udara berdinding tipis, dapat mengembang, dan
berbentuk seperti anggur yang terdapat di ujung percabangan saluran pernapasan.
Dinding alveolus terdiri dari satu lapisan sel alveolus Tipe I yang gepeng. Jaringan
padat kapiler paru yang mengelilingi setiap alveolus juga hanya setebal satu lapisan
4

sel. Ruang interstisium antara alveolus dan jaringan kapiler di sekitarnya


membentuk suatu sawar yang sangat tipis, dengan ketebalan hanya 0,2 µm yang
memisahkan udara di dalam alveolus dan darah di dalam kapiler paru. (Selembar
kertas minyak tipis untuk menjiplak yang tebalnya lima puluh kali dibandingkan
ketebalan sawar udara-ke-darah ini.) Ketipisan sawar tersebut mempermudah
pertukaran gas. 4

Gambar 2. (a) Alveolus, merupakan tempat pertukaran gas oksigen dan karbon
dioksida. Oksigen dan karbondioksida menembus dinding alveolus dan kapiler
pembuluh darah dengan cara difusi. (b) Sel Alveolar Tipe I yang tipis dan
membentuk dinding alveolus, epitel alveolus mengandung sel alveolus Tipe II,
diaman sel tipe 2 yang mengeluarkan surfaktan paru, suatu kompleks
fosfolipoprotein yang mempermudah pengembangan (ekspansi) paru. Di dalam
lumen kantung udara juga terdapat makrofag alveolus untuk pertahanan tubuh.3,4,5
Selain itu, pertemuan udara-darah di alveolus membentuk permukaan yang sangat
luas untuk pertukaran gas. Di paru terdapat sekitar 300 juta alveolus, masing-
masing bergaris tengah sekitar 300 µm (1/3 mm). Sedemikian padatnya jaringan
kapiler paru, sehingga setiap alveolus dikelilingi oleh suatu lapisan darah yang
hampir kontinu. Dengan demikian, luas permukaan total yang terpajan antara udara
alveolus dan darah kapiler paru adalah sekitar 75 meter persegi (seukuran lapangan
tenis). Sebaliknya, apabila paru terdiri dari hanya sebuah ruang berongga dengan
ukuran sama dan tidak terbagi-bagi menjadi satuan-satuan alveolus yang sangat
banyak tersebut, luas permukaan totalnya hanya akan mencapai 1/100 meter
persegi.
5

Di dinding alveolus terdapat pori-pori Kohn berukuran kecil yang memungkinkan


aliran udara antara alveolus-alveolus yang berdekatan, suatu proses yang dikenal
sebagai ventilasi kolateral. Saluran-saluran ini penting untuk mengalirkan udara
segar ke suatu alveolus yang salurannya tersumbat akibat penyakit.4
Terdapat kantung tertutup berdinding ganda, yang disebut kantung pleura, yang
memisahkan tiap-tiap paru dari dinding toraks dan struktur di sekitarnya.
Permukaan pleura mengeluarkan cairan intrapleura encer, yang membasahi
permukaan pleura sewaktu kedua permukaan saling bergeser satu sama lain saat
gerakan bernapas.4

Gambar 3. Pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap
paru (pleura viseralis). Di antara pleura parietalis dan viseralis terdapat suatu
lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan
bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru.4,6
2.2 MEKANIKA PERNAPASAN
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan
rendah, yaitu, menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan keluar paru
selama proses bernapas dengan mengikuti penurunan gradien tekanan yang
berubah berselang-seling antara alveolus dan atmosfer akibat aktivitas siklik otot-
otot pernapasan. Terdapat tiga tekanan berbeda yang penting pada ventilasi:4
1. Tekanan Atmosfer (barometrik).
Tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer terhadap benda - benda
di permukaan bumi. Di ketinggian permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760
mmHg. Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian di atas
permukaan laut karena kolom udara di atas permukaan bumi menurun. Dapat terjadi
fluktuasi minor tekanan atmosfer akibat perubahan kondisi-kondisi cuaca (yaitu, pada
saat tekanan barometrik meningkat atau menurun).4
2. Tekanan Intra-alveolus.
6

Dikenal sebagai tekanan intrapulmonalis, adalah tekanan di dalam alveolus.


Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui saluran pernapasan, udara
dengan cepat mengalir mengikuti penurunan gradien tekanan setiap kali terjadi
perbedaan antara tekanan intra-alveolus dan tekanan atmosfer; udara terus mengalir
sampai tekanan keduanya seimbang (equilibrium).4
3. Tekanan Intra-pleura.
Tekanan di dalam kantung pleura. Tekanan ini juga dikenal sebagai tekanan
intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar paru di dalam rongga toraks. Tekanan
intrapleura biasanya lebih kecil daripada tekanan atmosfer, rata - rata 756 mmHg saat
istirahat. Seperti tekanan darah yang dicatat dengan menggunakan tekanan atmosfer
sebagai titik rujukan (yaitu, tekanan sistolik 120 mmHg adalah 120 mmHg lebih besar
daripada tekanan atmosfer 760 mmHg atau dalam realitas 880 mmHg), 756 mmHg
kadang - kadang disebut sebagai tekanan -4 mmHg, walaupun sebenarnya tidak ada apa
yang disebut sebagai tekanan negatif absolut. Tekanan -4 mmHg adalah tekanan yang
negatif jika dibandingkan dengan tekanan atmosfer normal yang 760 mmHg.4

Gambar 4. Gradien Tekanan Transmural melintasi dinding paru. Tekanan intra-


alveolus sebesar 760 mmHg mendorong kearah luar, sementara tekanan intra-
pleura 756 mmHg mendorong kearah dalam. Perbedaan tekanan sebesar 4 mmHg
ini membentuk gradient tekanan transmural yang mendorong paru ke arah luar,
meregangkan paru untuk mengisi rongga toraks.Melintasi dinding toraks, tekanan
atmosfer sebesar 760 mmHg mendorong ke arah dalam, sementara tekanan intra-
pleura sebesar 756 mmHg mendorong ke arah luar. Perbedaan tekanan 4 mmHg
ini membentuk gradient tekanan transmural yang mendorong ke arah dalam dan
menekan dinding toraks.4
7

Gambar 5. Perubahan Volume Paru dan Tekanan Intra-aveolus Selama Inspirasi


dan Ekspirasi. (a,b) Inspirasi. Ketika volume paru meningkat selama inspirasi,
tekanan intra-alveolus menurun, sehingga tercipta gradien tekanan yang
menyebabkan udara mengalir ke dalam alveolus dari atmosfer, yaitu terjadi
inspirasi. (c) Ekspirasi. Pada saat paru menciut ke ukuran pra inspirasi karena
otot melemas, tekanan intra-alveolus meningkat, menciptakan gradient tekana
yang menyebabkan udara mengalit ke luar alveolus menuju atmosfer, terjadilah
ekspirasi.4
2.3 DEFINISI
Atelektasis paru adalah ekspansi tak lengkap atau kolapsnya semua atau sebagian paru.
Keadaan ini sering disebabkan oleh obstruksi bronkus dan kompresi pada jaringan
paru.1,2,3,4,5

(a) (b)

Gambar 6. (a) Paru-paru normal, perfusi vaskular dan inflasi alveolar yang tidak
mengalami cedera. (b) Epitel yang cedera oleh karena pembuluh darah yang
mengalami kompresi dan rusaknya endotel yang disebabkan oleh gangguan
mikrovaskular. Epitel dan endotel yang mengalami cedera merupakan keadaan
awal yang menginisiasi terjadinya cedera paru. Cedera awal yang terjadi adalah
kolaps alveoli, kemudian akan terjadi reaksi inflamasi dan hilangnya integritas
epitel. 6
8

2.4 ETIOPATOGENESIS
Terdapat tiga mekanisme yang dapat menyebabkan atau memberikan kontribusi
terjadinya atelektasis, diantaranya adalah: Obstruksi saluran pernapasan, kompresi
jaringan parenkim paru pada bagian ekstratoraks, intratoraks, maupun proses pada
dinding dada , penyerapan udara dalam alveoli, dan gangguan fungsi dan defisiensi
surfaktan. Ketiga penyebab ini dapat menjelaskan dasar fisiologis penyebab
atelektasis.1
1. Atelektasis Resorpsi
Terjadi akibat adanya udara di dalam alveolus. Apabila aliran masuk udara ke
dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus akhirnya
berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps.2

Gambar 7. Atelektasis Resorpsi. Terjadi akibat obstruksi total pada saluran napas.
Keadaan ini bersifat reversible jika obstruksi dihilangkan.3

Penyumbatan aliran udara biasanya akibat penimbunan mukus dan obstruksi


aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus tertentu. Setiap keadaan
yang menyebabkan akumulasi mukus, seperti : fibrosis kistik, pneumonia, atau
bronkitis kronik yang meningkatkan resiko atelektasis resorpsi. Obstruksi saluran napas
menghambat masuknya udara ke dalam alveolus yang terletak distal terhadap
sumbatan. Udara yang sudah terdapat dalam alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi
sedikit ke dalam aliran darah dan alveolus menjadi kolaps. 2,4
Atelektasis absorpsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau
ekstrinsik. Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh sekret atau
eksudat yang tertahan. Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan oleh
neoplasma, pembesaran kelenjar getah bening, aneurisma atau jaringan parut.
Pembedahan merupakan faktor resiko terjadinya atelektasis resorpsi karena efek
9

anastesia yang menyebabkan terbentuknya mukus serta keengganan membatukkan


mukus yang terkumpul setelah pembedahan. Hal ini terutama terjadi pada pembedahan
di daerah abdomen atau toraks karena batuk akan menimbulkan nyeri yang hebat. Tirah
baring yang lama setelah pembedahan meningkatkan resiko terbentuknya atelektasis
resorpsi karena berbaring menyebabkan pengumpulan sekret mukus di daerah
dependen paru sehingga ventilasi di daerah tersebut berkurang. Akumulasi mukus
meningkatkan resiko pneumonia karena mukus dapat berfungsi sebagai media
perkembangbiakan mikroorganisme.2,4,5
Atelektasis resorpsi juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang
menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan. Tanpa surfaktan tegangan
permukaan alveolus sangat tinggi, meningkatkan kemungkinan kolapsnya alveolus.
Bayi premature dikaitan dengan penurunan produksi surfaktan dan tingginya insiden
atelektasis resorpsi. Kerusakan sel alveolus tipe II yang menghasilkan surfaktan juga
dapat menyebabkan atelektasis resorpsi. Sel sel ini dihancurkan oleh dinding alveolus
yang rusak, hal ini terjadi selama proses beberapa jenis penyakit pernapasan. Demikian
juga dengan terapi tinggi oksigen dalam periode lebih dari 24 jam. Akibat tidak adanya
sel sel ini produksi surfaktan mengalami penurunan.2
2. Atelektasis Kompresi

Terjadi bila rongga pleura sebagian atau seluruhnya terisi dengan


eksudat,darah, tumor,atau udara. Kondisi ini ditemukan pada pneumotoraks, efusi
pleura, atau tumor dalam toraks. Keadaan ini terjadi ketika sumber dari luar
alveolus menimpakan gaya yang cukup besar pada alveolus sehingga alveolus
menjadi kolaps.
10

Gambar 8. Atelektasis Kompresi. Terjadi ketika rongga pleura mengembang karena


cairan, atau karena udara. Keadaan ini bersifat reversible jika udara dan cairan
dihilangkan.3
Atelektasis kompresi terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka, karena
tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru mengembang
(tekanan pleura), dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru akan kolaps. Atelektasis
kompresi juga dapat terjadi jika terdapat tekanan yang bekerja pada paru atau alveoli
akibat pertumbuhan tumor, distensi abdomen yang mendorong diafragma ke atas, atau
edema dan penimbunan ruang interstisial yang mengelilingi alveolus. Tekanan ini yang
mendorong udara ke luar dan mengakibatkan kolaps. Atelektasis tekanan lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan atelektasis absorpsi. Bentuk atelektasis kompresi biasanya
dijumpai pada penyakit payah jantung, penyakit peritonitis atau abses diafragma yang
dapat menyebabkan diafragma terangkat keatas dan mencetuskan terjadinya atelektasis.
Pada atelektasis kompresi diafragma bergerak menjauhi atelektasis.2,4
3. Atelektasis Kontraksi

Terjadi akibat perubahan perubahan fibrotik jaringan parenkim paru lokal atau
menyeluruh, atau pada pleura yang menghambat ekspansi paru secara sempura.
Atelektasis kontraksi bersifat irreversible.3

Gambar 9. Atelektasis Kontraksi (sikatrisasi) terjadi ketika terdapat fibrosis umum


atau lokal yang menghambat ekspansi paru atau pleura dan meningkatkan
elastisitas recoil selama ekspirasi.3,6
4. Mikroatelektasis
Mikroatelektasis (atelektasis adhesive) adalah berkurangnya ekspansi paru-paru
yang disebabkan oleh rangkaian peristiwa kompleks yang paling penting yaitu
11

hilangnya surfaktan. Surfaktan memilki phospholipid dipalmitoyl phosphatidylcholine


yang mencegah kolaps paru dengan mengurangi tegangan permukaan alveolus.
Berkurangnya produksi atau inaktivasi surfaktan, keadaan ini biasanya ditemukan pada
NRDS (Neonatal Respiratory Distress Syndrome), ARDS (Adult Respiratory Distress
Syndrome), dan proses fibrosis kronik.6,7

Gambar 10. Mikroatelektasis terjadi akibat gangguan pada fungsi dan produksi
surfaktan.3,6
NRDS atau dikenal sebagai hyaline membrane disease merupakan keadaan akut
yang terutama ditemukan pada bayi prematur, lebih sering pada bayi dengan usia
gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah 1500 gram. Bayi prematur
lahir sebelum produksi surfaktan memadai. Surfaktan, suatu senyawa lipoprotein yang
mengisi alveoli, mencegah alveoli kolaps dan menurunkan kerja respirasi dengan
menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfaktan, tegangan permukaan
meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya komplians paru, yang
akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia
dengan asidosis respiratorik.8
ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang
ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar kapiler terhadap air,
larutan,dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus dan akumulasi cairan
dalam parenkim paru yang mengandung protein. Cairan dan protein tersebut merusak
integritas surfaktan di alveolus dan terjadi kerusakan yang lebih parah. Penyebab
langsung ARDS adalah injury pada epitel alveolus, seperti aspirasi isi gaster, infeksi
paru difus, contusio paru, tenggelam, inhalasi toksik, sedangkan penyebab tidak
langsung ialah sepsis, trauma non toraks, pankreatitis, dan transfuse darah yang massif.
6,7
12

2.5 FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA


ATELEKTASIS PARU
1. Obesitas
Dijelaskan bahwa selama anestesi umum, pasien yang mengalami obesitas
memiliki resiko lebih besar terbentuk atelektasis dibandingkan pada pasien non-
obesitas. 1

Gambar 11. Sampel perbandingan pasien yang mengalami obesitas dengan non
obesitas sebelum anastesi, setelah ekstubasi, dan setelah 24 jam.1
Atelektasis berlangsung selama setidaknya 24 jam pada pasien yang mengalami
obesitas dibandingkan pada pasien yang non-obesitas. Sisa kapasitas fungsional (FRC)
lebih rendah pada pasien yang obesitas, dimana gradien oksigenasi alveolar arterial
meningkat dan terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen. Perbedaan mekanik pada
sistem respirasi dan ditemukannya hipoksia pada pasien obesitas sebagian besar
dikarenakan oleh penurunan volume paru-paru dan peningkatan tekanan
intraabdominal. 1
2. Tipe Anastesi

Atelektasis terbentuk akibat anastesi inhalasi dan intravena, terlepas dari


apakah pasien bernapas spontan atau lumpuh dan menggunakan ventilasi mekanis.
Ketamine adalah satu satunya anastesi yang tidak mencetuskan terjadinya atelektasis
ketika digunakan secara tunggal, meskipun terdapat hubungan dengan blokade
neuromuskular, keadaan ini dapat mengakibatkan atelektasis. Efek ventilasi dari
anestesi regional bergantung pada jenis dan luasnya blockade motorik. Blokade
Neuroaxial dapat megurangi kapasitas inspirasi hingga 20% dan volume cadangan
ekspirasi yang mendekati nol, efek blokade yang kurang luas dapat mempengaruhi
pertukaran gas paru yang hanya minimal, oksigenasi arteri dan eliminasi
13

karbondioksida yang baik. Keadaan ini dipertahankan selama anestesi spinal dan
epidural. 2
3. Pengaruh Posisi
Penurunan volume sisa fungsional paru merupakan faktor predisposisi
terjadinya atelektasis, yaitu penutupan bronkus bagian bawah, sehingga dapat
menciptakan pola khas atelektasis basis. Pada orang dewasa, terjadi perubahan FRC
dari posisi tegak ke posisi terlentang, yaitu terjadi penurunan FRC dari 0,5 liter ke 1,0
liter,ketika pasien terjaga. Setelah anestesi, FRC berkurang dari 0,5 ke 0,7. Posisi
trendelenburg memungkinkan isi perut mendorong diafragma sehingga terjadi
penurunan FRC. Posisi terlentang pada pasien pasca bedah yang terbaring dalam waktu
yang lama dapat menyebabkan pengurangan FRC dan dapat mencetuskan terjadinya
atelektsis.2
4. Fraksi Oksigen Terinspirasi
Fraksi oksigen terinspirasi (FiO2) adalah jumlah oksigen yg dihantarkan atau
diberikan ke pasien melalui ventilator. Konsentrasi berkisar 21-100%, Rekomendasi
untuk pengaturan FiO2 pada awal pemasangan ventilator adalah 100%. Namun
pemberian 100% tidak boleh terlalu lama sebab resiko keracunan oksigen akan
meningkat. Keracunan O2 menyebabkan perubahan struktur pada membran alveolar
kapiler, dan keadaan ini dapat menyebabkan edema paru, atelektasis, dan penurunan
PaO2 yg refrakter (ARDS).1
Ketika gradien konsentrasi kapiler alveoli meningkat, kapiler akan menyerap
oksigen secara berulang dan terjadilah atelektasis. Walaupun terdapat perbedaan
pengguanaan konsentrasi oksigen, lebih baik jika FiO2 diberikan lebih dari 0,8. 3

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang paling umum didapatkan pada atelektasis adalah sesak napas,
pengembangan dada yang tidak normal selama inspirasi, dan batuk. Gejala gejala
lainnya adalah demam, takikardi, adanya ronki, berkurangnya bunyi pernapasan,
pernapasan bronkial,dan sianosis. Jika kolaps paru terjadi secara tiba-tiba, maka gejala
yang paling penting didapatkan pada atelektasis adalah sianosis. Jika obstruksi
melibatkan bronkus utama, mengi dapat didengar, dapat terjadi sianosis dan asfiksia,
dapat terjadi penurunan mendadak pada tekanan darah yang mengakibatkan syok. Jika
terdapat sekret yang meningkat pada alveolus dan disertai infeksi, maka gejala
14

atelektasis yang didapatkan berupa demam dan denyut nadi yang meningkat (takikardi).
Pada pemeriksaan klinis didapatkan tanda atelektasis pada inspeksi didapatkan
berkurangnya gerakan pada sisi yang sakit, tkabunyi nafas yang berkurang, pada
palpasi ditemukan vokal fremitus berkurang, trakea bergeser ke arah sisi yang sakit,
pada perkusi didapatkan pekak dan uskustasi didapatkan penurunan suara pernapasan
pada satu sisi.1,2,3,4

2.7 DIAGNOSIS

Diagnosis atelektasis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang didapatkan,


serta pemeriksaan radiografi . Foto radiografi dada digunakan untuk konfirmasi
diagnosis. CT scan digunakan untuk memperlihatkan lokasi obstruksi. Foto radigrafi
dada dilakukan dengan menggunakan proyeksi anterior-posterior dan lateral untuk
mengetahui lokasi dan distribusi atelektasis. Sebagai dasar gambaran radiologi pada
atelektasis adalah pengurangan volume paru baik lobaris,segmental, atau seluruh paru,
yang akibat berkurangnya aerasi sehingga memberi bayangan yang lebih suram
(densitas tinggi) dan pergeseran fissura interlobaris. Tanda-tanda tidak langsung dari
atelektasis adalah sebagian besar dari upaya kompensasi pengurangan volume paru,
yaitu : penarikan mediastinum kearah atelektasis, elevasi hemidiafragma,sela iga
menyempit, pergeseran hilus. Adanya "Siluet" merupakan tanda memungkinkan
adanya lobus atau segmen dari paru-paru yang terlibat. 1,2,3

Gambar 12. Atelektasis pada lobus kiri bawah. Panah biru menunjukkan tepi daerah
segitiga menunjukkan kepadatan yang meningkat pada sulkus cardiophrenikus kiri.
Panah merah pada CT Scan aksial menunjukkan atelektasis pada lobus kiri bawah
dibatasi oleh celah besar pengungsi. 4
15

Gambar 13. Foto rontgen dada posteroanterior yang memperlihatkan atelektasis


disertai efusi pleura. Tampak gambaran opak pada hemithoraks kiri disertai deviasi
trakea ke kiri.5

Gambar 14. Atelektasis pada lobus paru bagian kanan atas. Tampak elevasi dari
fissura horizontal dan deviasi trakea ke arah kanan. 7

Gambar 15. Atelektasis pada lobus paru bagian medial dextra. Pada foto dada lateral
tampak gambaran opak berbentuk segitiga pada bagian hilus. 7
16

Gambar 16. Atelektasis pada lobus paru bagian bawah dextra. Tampak siluet pada
bagian hemidiafragma dextra dengan densitas triangular posteromedial.7

2.8 TERAPI
Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengeluarkan dahak dan kembali
mengembangkan jaringan paru yang kolaps. Terapi bisa dimulai dengan fisioterapi
thoraks agresif, tetapi mungkin memerlukan bronkoskopi untuk melepaskan sumbatan
pada paru dan reekspansi segmen paru yang kolaps. Jika penyebab atelektasis adalah
obstruksi parsial, maka langkah pertama adalah menghilangkan obstruksinya. Sebuah
benda asing dapat dihilangkan dengan cara membuat pasien batuk, dengan suction, dan
bronkoskopi. Sumbatan lendir dapat di dilakukan dengan cara 'drainase postural', yaitu
cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan mempergunakan gaya berat
dan sekret itu sendiri. Drainase postural dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya
sekret dalam saluran nafas dan mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi
ateletaksis. Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk berbaring pada sisi normal sehingga
paru-paru yang kolaps mendapat kesempatan untuk kembali berkembang. Pasien dapat
melakukan pernapasan yang dalam dengan tujuan agar paru dapat mengembang. Dalam
kasus atelektasis yang dikarenakan oleh pengumpulan cairan di rongga pleura
dilakukan drainase interkostalis. Jika alveoli mengalami kompresi karena beberapa
tumor di rongga dada, maka pengangkatan tumor dengan operasi harus dilakukan.
Tetapi jika jaringan paru-paru yang rusak diperbaiki dan tidak dapat dikembalikan
secara normal maka satu-satunya jalan untuk jenis atelektasis adalah lobektomi.1,2

2.9 PROGNOSIS
Prognosis sangat bergantung pada penyebab yang mendasari, dan luasnya paru-
paru yang kolaps. Jika hanya sebagian kecil daerah paru-paru yang kolaps, prognosis
sering sangat baik. Di sisi lain, atelektasis bisa menjadi kondisi yang mengancam hidup
jika sebagian besar paru-paru terlibat, atau gejala-gejala muncul dengan cepat.1

2.10 KOMPLIKASI
1. Pnemonia. Keadaan ini diakibatkan oleh berkurangnya oksigen dan kemampuan
paru untuk mengembang sehingga secret mudah tertinggal dalam alveolus dan
mempermudah menempelnya kuman dan mengakibatkan terjadinya peradangan
pada paru. 1
17

2. Hypoxemia dan gagal napas. Bila keadaan atelektasis dimana paru tidak
mengembang dalam waktu yang cukup lama dan tidak terjadi perfusi ke
jaringan sekitar yang cukup maka dapat terjadi hypoxemia hingga gagal napas.
Bila paru yang masih sehat tidak dapat melakukan kompensasi dan keadaan
hipoksia mudah terjadi pada obstruksi bronkus. 1
3. Sepsis. Hal ini dapat terjadi bila penyebab atelektasis itu sendiri adalah suatu
proses infeksi, dan bila keadaan terus berlanjut tanoa diobati maka mudah
terjadi sepsis karena banyak pembuluh darah di paru, namun bila keadaa segera
ditangani keadaan sepsis jarang terjadi. 1
4.
Bronkiektasis. Ketika paru paru kehilangan udara, bentuknya akan menjadi
kaku dan mengakibatkan dyspnea, jika obstruksi berlanjut dapat mengakibatkan
fibrosis dan bronkiektasis.1
18

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat


penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
Diagnosa atelektasis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil
pemeriksaan fisik. Secara radiograf akan menunjukkan suata bayangan yang homogen
dengan tanda pengempisan lobus.
Etiologi atelektasis merupakan akibat suatu kelainan paru yang dapat
disebabkan bronkus yang tersumbat, tekanan ekstra pulmonary, paralisis, hambatan
gerak pernafasan oleh efusi pleura. Pada umumnya atelektasis yang terjadi pada
penyakit tuberkulosis, limfoma, neoplasma, asma dan penyakit yang disebabkan
infeksi misalnya bronchitis, bronkopneumonia, dan lain-lain jarang menimbulkan
gejala klinis yang jelas, kecuali jika ada obstruksi pada bronkus utama. Jika daerah
atelektasis itu luas dan terjadi sangat cepat akan terjadi dispneu dengan pola
pernapasan yang cepat dan dangkal, takikardia dan sering sianosis, temperatur yang
tinggi, dan jika berlanjut akan menyebabkan penurunan kesadaran atau syok.
Atelektasis merupakan penyakit yang harus ditangani dengan cepat dan tepat
karena sebagai angka mortalitas dari penyakit gangguan pola nafas adalah penyakit
atelektasis. Penanganan yang dan pendiagnosaan yang tepat akan memberikan
ketepatan dalam pencegahan penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Price A. Sylvia & Lorraine M. Wilson, 2006, Patofisiologi, edisi 6, vol. 2. Penerbit
buku kedokteran, EGC, Jakarta
2. Djojodibroto, Darmanto., 2009.”Respirologi (Respiratory Medicine)”, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
3. Lukas, 2010. Atelektasis Kesehatan Milik Semua: Pusat Informasi Penyakit dan
Kesehatan. Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan
4. Rasad Sjahriar, 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta: balai penerbit FKUI p. 132
5. Mayo, 2010. Dasar-dasar Atelektasis. Mayo Foundation untuk Pendidikan dan
Penelitian Medis
6. Hamsafir, Evan, 2010. Diagnosis dan penatalaksanaan pada atelektasis.
7. Edwin F. Donnelly, M.D. Ph. D, Patterns of Lobar Collapse, 2004,
http/www.RadiologyNotebook.com
8. Franken et all, atelektasis: A Shrunke, Air Less State Affecting All of Part of Lung,
2004
http//www.eMedicine.com

You might also like