You are on page 1of 5

Pajak dalam Perspektif Islam

Pajak merupakan iuran wajib dan secara mengikat harus dibayarkan oleh
masyarakat kepada Negara sebagai bentuk bakti demi kemajuan negaranya. Pajak
menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Suparmanto, 2013). Oleh karena itu, pajak sudah menjadi salah satu sumber
pendapatan yang umum digunakan di beberapa Negara di dunia termasuk di
Indonesia. Berdasarkan laporan kementerian keuangan Republik Indonesia, pajak
merupakan komoditi yang berkontribusi sebesar 75,4% terhadap pendapatan
nasional Indonesia di tahun 2011 (Subekan, 2012). Hal ini berarti bahwa
pendapatan nasional Indonesia sangat besar dipengaruhi oleh pajak.
Jika dilihat dari perspektif ekonomi konvensional, tentu peran pajak sangat
penting dalam sebuah negara. Namun dari segala kelebihan dan manfaatnya, pajak
justru tidak dianjurkan dalam islam. Berikut ini beberapa keterangan yang
membuktikan haramnya pajak dalam syariat islam. Firman Allah Ta’ala yang
artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan cara yang batil….. (QS. An-Nisa’: 29). Hadits
Rasulullah SAW tentang pemungut Al Maks yang artinya ”Sesungguhnya
pemungut Al Maks (pemungut pajak) masuk neraka” [HR Ahmad 4/109]; [3]
Hadits Rasulullah SAW yang artinya, “Tidak akan masuk surga pemungut Al
Maks (orang yang mengambil pajak)”, (HR. Abu Daud II/147 No.2937); [4]
Hadits Rasulullah SAW yang artinya, “Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali
Zakat” (HR Ibnu Majah I/570 No.1789); [5]. Dalam beberapa keterangan tersebut
tidak ada satu pun yang membenarkan pemungutan pajak dalam islam. Islam
secara tegas menentang adanya pemungutan pajak.
Polemik halal haramnya pajak sudah berkecambuk sekian lama di Indonesia.
Hal ini karena ada sebagian ulama yang memperbolehkan pemungutan pajak, dan
sebagian lagi menentangnya. Dalam islam, memang ada beberapa kondisi dimana
pajak juga diberlakukan, contohnya adalah Jizyah (Upeti). Jizyah adalah pajak
yang dibayarkan oleh kaum non-muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan
perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer.
Mereka tetap wajib membayar Jizyah, selagi mereka kafir. Jadi Jizyah juga adalah
hukuman atas kekafiran mereka. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam
QS.[9]:29. Jadi intinya fatwa yang memperbolehkan adanya pungutan pajak pun
hanya sebatas untuk kondisi tertentu dan sasarannya juga untuk kaum kafir,
dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi mereka.
Adapun untuk orang islam, yang diwajibkan adalah zakat, tidak ada lagi pungutan
selain itu.

Konsep Zakat
Membahas mengenai pajak di Indonesia mungkin tak akan ada habisnya,
apalagi jika ditambah dengan pandangan islam terhadapnya. Akan banyak sekali
perdebatan yang terjadi dalam menyikapinya. Namun, dalam tulisan ini penulis
tidak akan terlalu terpaku pada hal tersebut, melainkan fokus pada alternatif
pilihan yang diharapkan bisa menjadi pengganti dari pajak itu sendiri. Adapun
alernatif pilihan disini adalah Zakat.
Zakat secara bahasa dimaknai sebagai al-barakatu (keberkahan), al-namaa
(pertumbuhan dan perkembangan), ath-thaharatu (kesucian) dan ash-shalahu
(keberesan). Dimaknai demikian karena dari setiap zakat yang dikeluarkan atas
harta yang kita miliki, akan memberikan keberkahan dan menyucikan harta, serta
meringankan kita di akhirat kelak. Sedangkan terminologi zakat dalam fiqh Islam
adalah “mengeluarkan sebagian dari harta tertentu yang telah mencapai nishab
(takaran tertentu yang menjadi batas minimal harta tersebut diwajibkan untuk
dikeluarkan zakatnya)”. (Qadir, 2001). Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun
2011 pasal 1 ayat 2 yang dimaksud dengan “Zakat adalah harta yang wajib
dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam”. Dengan adanya payung hukum
berupa undang-undang tersebut sangat memungkin jika zakat dijadikan sebagai
sumber pendapatan nasional.
Zakat Sebagai Sumber Pendapatan Negara di Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah SAW, zakat dijadikan sebagai salah satu sumber
pendapatan negara yang berasal dari rakyat. Zakat yang dipungut oleh amil zakat
digunakan untuk kesejahteraan umat, dan pembangunan. Zakat diperuntukkan
untuk mengurangi kemiskinan dengan menolong mereka yang membutuhkan (al-
Roubaie, 2005). Pada masa Nabi Muhammad saw., ada lima jenis kekayaan yang
dikenakan wajib zakat, yaitu: uang, barang dagangan, hasil pertanian (gandum dan
padi) dan buah-buahan, dan rikaz (barang temuan). (Rusyd, t.t.). Selain lima jenis
harta yang wajib zakat di atas, harta profesi dan jasa sesungguhnya sejak periode
kepemimpinan Rasullah saw. juga dikenakan wajib zakat.
Dalam bidang pengelolaan zakat, Nabi Muhammad saw memberikan contoh
dan petunjuk oprasionalnya. Manajemen operasional yang bersifat teknis tersebut
dapat dilihat pada pembagian struktur amil zakat, yang terdiri dari: (1) Katabah,
petugas yang mencatat para wajib zakat, (2) Hasabah, petugas yang menaksir,
menghitung zakat, (3) Jubah, petugas yang menarik, mengambil zakat dari para
muzakki, (4) Khazanah, petugas yang menghimpun dan memelihara harta, dan (5)
Qasamah, petugas yang menyalurkan zakat pada mustahiq (orang yang berhak
menerima zakat) (Nasution & et.al, 2006).
Beberapa keterangan diatas menunjukkan bahwa zakat sudah sangat dikelola
dengan baik sebagai sumber pendapatan negara di zaman rasulullah. Sebagai
muslim yang selalu mengacu pada Al-Quran dan sunnah sebagai sumber syariat
islam, sudah semestinya kita kembali kepada ajaran yang sudah dicontohkan oleh
rasulullah, termasuk dalam hal pengelolaan zakat sebagai sumber pendapatan
negara.

Peran Zakat Sebagai Sumber Pendapatan Nasional


Kebijakan zakat sebagai sumber pendapatan nasional pengganti pajak di
Indonesia sangatlah potensial untuk diterapkan. Mengingat besarnya peran zakat
terhadap pendapatan nasional, jika memang itu benar-benar ditegakkan. Hal ini
dijelaskan dari hasil perhitungan yang dilakukan Public Interest Research and
Advocacy Center (PIRAC) tahun 2007 potensi zakat di Indonesia dengan
melakukan survey kepada 2000 responden di 11 kota besar adalah sebesar Rp 9,09
triliun. Pakar ekonomi syariah, Muhammad Syafii Antonio, juga menyebutkan
bahwa potensi zakat Indonesia dapat mencapai Rp 17 triliun. Studi yang
dilakukan oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan Fakultas Ekonomi
dan Manajemen IPB menunjukkan angka yang lebih besar. Menurut studi yang
dilakukan pada tahun 2011 lalu, terungkap bahwa potensi zakat nasional mencapai
angka 3,40 persen dari PDB atau tidak kurang dari 217 triliun. Potensi zakat ini
dibagi ke dalam 3 kelompok besar yaitu potensi zakat rumah tangga (individu),
potensi zakat industri dan BUMN, serta potensi zakat tabungan.

Peran Zakat untuk Kemajuan Perekonomian


Dari segi perekonomian negara, zakat juga sangat potensial untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewajiban membayar pajak hanya bagi
yang bernisab (golongan kaum yang mampu), tidak akan terlalu memberatkan
masyarakat. Disamping itu, zakat tidak akan berpengaruh pada kurva penawaran
karena pengenaan zakat perniagaan tidak mempengaruhi biaya marjinal. Sehingga
keseimbangan dan ketahanan ekonomi akan bisa dicapai. Upaya memaksimalkan
keuntungan berarti pula memaksimalkan surplus produsen, dan sekaligus berarti
memaksimalkan zakat yang harus dibayar. Jadi dengan adanya pengenaan zakat
perniagaan, usaha memaksimalkan laba sejalan dengan perilaku memaksimalkan
zakat (Al Arif, 2013). Dengan sistem ini, produsen akan diuntungkan dengan
peningkatan keuntungan, dan negara akan mendapatkan pendapatan optimal dari
zakat tersebut, sehingga kedua belah pihak akan saling diuntungkan. Hal ini
sejalan dengan konsep ekonomi islam yang mengusung konsep saling
menguntungkan (win-win solution).
Sumber Rujukan

Al Arif, M. N. (2013, April). Fungsionalisasi Zakat dan Pajak. Jurnal Ekonomi


Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 35-62.

al-Roubaie, A. (2005, Desember). Dimensi Global Kemiskinan di Dunia Muslim :


Sebuah Penilaian Kuantitatif. Islamika, 91.

Nasution, M. E., & et.al. (2006). Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta:
Kencana.

Qadir, A. (2001). Zakat: Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Jakarta: Srigunting.

Rusyd, I. (t.t.). Bidayah al-Mujtahid. Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub.

Subekan, A. (2012, Mei 23). Zakat, Potensi Pendapatan Negara Yang


Terabaikan. Dipetik Februari 21, 2018, dari Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan :
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-
umum/11427-zakat-potensi-pendapatan-negara-yang-terabaikan

Suparmanto. (2013, Oktober 21). Melalui Pajak, Kita Membangun Negeri.


Retrieved Februari 21 , 2018, from Direktorat Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan: http://www.pajak.go.id/content/article/melalui-pajak-kita-
membangun-negeri

You might also like