You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai
di bidang neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang
menakutkan bagi orang tua, sehingga bagi dokter kita wajib mengatasi kejang
demam dengan tepatdan cepat. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak
berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa; akan tetapi bila kejang
berlangsung lama sehinggamenimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf
Pusat (SSP), dapat menyebabkanadanya gejala sisa di kemudian hari.Frekuensi
dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksanakejang,
ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi
atausudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak
berumur berapa. Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik,
tonik, umum ataufokal. Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang
dan pasca kejang.Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah,
lumpuh, penurunankesadaran atau kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu
diteliti riwayat kehamilanibu serta kelahiran bayi.1,2
Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara
spontansembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan
kejang yang palinglazim pada masa anak, dengan pragnosa baik secara seragam. 1,2
Jumlah penderita kejangdemam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah
penduduk di AS, Amerika Selatan,dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan
penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang
demam kompleks yang harus ditangani secaralebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin
penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki. 1,2

1
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi
Kejang demam adalah suatu bangkitan kejang pada bayi atau anak, yang
terjadi pada peningkatan suhu tubuh (>38o C rectal), yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranial. Pada umumnya terjadi antara umur 6 bulan – 5 tahun, dan
tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam dan bayi umur di bawah 1 bulan tidak
termasuk.Sekitar 2-4% anak pernah mengalami kejang demam dalam hidupnya.
1,2,3

2.2 Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat,
AmerikaSelatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira
20%kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul
pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering pada
laki-laki. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6bulan samapi 5 tahun.
Menurut IDAI, kejadian kejang demam pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun
hampir 2 - 5%.1,2

2.3 Etiologi

Etiologi dan patogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui,
akan tetapi umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi
terjadinya kejang. Faktor hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang
mengalami kejang demam mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam
pasa masa kecilnya. 1,2,4
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah ISPA terutama tonsillitis dan

2
faringitis,otitis media akut (cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan
merembes ke saraf dikepala pada otak akan menyebabkan kejang demam),
gastroenteritis akut, exantemasubitum dan ISK.1,2,4

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi Kejang Demam Menurut UKK Saraf Anak 2006
Kejang demam sederhana
 Lama kejang ≤ 15 menit.
 Kejang bersifat umum
 Frekuensi 1 kali dalam 24 jam
Kejang demam kompleks
 Lama kejang > 15 menit,
 Kejang bersifat fokal atau parsial
 Frekuensi kejang> 1 kali dalam 24 jam(kejang multipel atau kejang serial).
1,2,4,5

2.5 Patofisiologi
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam dan
luar. Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh
ion kalium (K+ ) dan sangat sulit oleh ion natrium (Na+ ) dan elektrolit lainnya
kecuali ion khlorida (Cl) sehingga berakibat konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
yang disebut potensial membran sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan bantuan ensim dan energi yang didapat dari metabolisme
yaitu melalui proses oksidasi glukosa. 1,2,4,5
Bila suhu tubuh meningkat, akan terjadi gangguan fungsi otak dengan akibat
keseimbangan potensial membran terganggu, mengakibatkan terjadi difusi K+ dan
Na+ yang dapat menimbulkan lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini

3
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel neuron maupun ke sel
tetangganya dan akhirnya timbullah kejang fokal maupun kejang umum. 1,2,4,5
2.6 Manifestasi Klinis
Anamnesis :
 Identifikasi/pastikan adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu
sebelum/pada saat kejang, ferekuensi, penyebab demam di luar SSP.
 Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
 Riwayat kelahiran, tumbuh kembang, kejang demam, atau epilepsi dalam
keluarga.
 Singkirkan penyebab kejang yang lain.,2,4,5

Pemeriksan fisik :

 Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsangan meningial, tanda peningkatan


tekanan intrakaranial, dan tanda infeksi di luar SSP.
 Pemeriksaan fisik neurologis harus dilakukan walaupun pada umumnya
tidak ditemukan adanya kelainan. 2,4,5

Pemeriksaan penunjang :

 Pemeriksaan laboratorium tidak rutin, dilakukan jika ada indikasi. Darah


lengkap, gula darah, elektrolit serum lengkap (natrium, kalium, calcium,
magnesium).
 Lumbal pungsi sesuai indikasi, dilakukan untuk menyingkirkan atau
menegakkan diagnosis meningitis. Risiko meningitis bakterial ialah 0,6-
6,7%.Lumbal pungsi sangat dianjurkan pada bayi < 12 bulan, dianjurkan
pada bayi berumur 12 - 18 bulan, dan tidak rutin dikerjakan pada anak lebih
> 18 bulan, kecuali ada gejala meningitis atau kecurigaan infeksi
intrakranial lainnya.
 Elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi. Oleh karena itu tidak

4
direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas seperti:
kejang fokal, kejang demam kompleks frekuen, kejang demam plus (FS+).
 CT scan atau MRI kepala, diindikasikan pada keadaan: kejang fokal/parsial,
adanya kelainan neurologis, atau tanda peningkatan tekanan intrakranial.
1,2,4,5

2.7 Tatalaksana
Prinsip Penanganan kejang demam terdiri dari 3 hal :
 Mengatasi kejang fase akut.
 Mengatasi demam, mencari, dan mengobati penyebab demam.
 Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
 Mengatasi kejang fase akut

Pasien yang dirawat di rumah sakit, bila kejang sudah berhenti dengan
diazepam, dapat diberikan antikonvulsan long acting (phenobarbital) jika ada
faktor risiko: kejang lama, kejang fokal/parsial, adanya kelainan neurologis
yang nyata, kejang multipel>2 kali, riwayat epilepsi keluarga. 3,4,5

Dosis phenobarbital: loading dosesecara intramuskuler

 Neonatus: 30 mg
 Bayi : 50 mg
 >1 tahun : 75 mg

Dilanjutkan 12 jam kemudian phenobarbital oral;

 8-10 mg/kgbb/hari di bagi 2 dosis (selama 2 hari)


 Selajutnya 3-5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis. 3,4,5

 Mengatasi demam, mencari dan mengobati etiologi demam.


Obat antipiretika sering diberikan meskipun tidak terbukti mencegah
terulangnya kejang, tetapi efektif menurunkan suhu sehingga dapat membuat

5
anak menjadi lebih nyaman dan tenang.Mengatasi etiologi demam dengan
pemberian antibiotika jika ada indikasi. 3,4,5
 Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pengobatan profilaksis kejang demam dapat dibagi dalam profilaksis
intermiten dan profilaksis terus-menerus. Indikasi dan obat yang diberikan
sebagai berikut:
Profilaksis intermiten pada waktu demam.
Antipiretik
 Parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali, diberikan 4-5 kali/hari.
 Ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali/hari.

Obat antikonvulsan

 Diazepam oral : 0,3 mg/kg setiap 8 jam


 Diazepam rektal : 0,5 mg/kg atau 5 mg untuk BB10 kgsetiap 8 jam. 3,4,5

Catatan:

 Informasi kepada orang tua sangat penting mengingat efek samping dari
diazepam (30-40%) yaitu: letargi, ataksia dan iritabel.
 Diazepam oral atau rektal dapat mengurangi rekurensi kejang 60-75% kasus
- Fenobarbital tidak efektif untuk profilaksis intermiten.
 Kejang demam sederhana tidak perlu profilaksis intermiten, kecuali rekuren
>2 kali. 3,4,5

Profilaksis terus-menerus (Kesepakatan UKK Saraf Anak 2006)

Indikasi profilaksis terus menerus:

 Kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang (hemiparese,


paresis Tod’s, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus, dll)
 Kejang lama > 15 menit

6
 Kejang fokal 3,4,5

Dapat dipertimbangkan pada :

 Kejang berulang > 2 kali dalam 24 jam


 Bayi usia < 12 bulan
 Kejang demam kompleks berulang > 4 kali –
Lama pengobatan 1 tahun bebas kejang. 3,4,5

Catatan :

 Asam valproat dan fenobarbital dapat mencegah rekurensi sampai 90%


kasus. Pemakaian fenobarbital sering menyebabkan gangguan
perilaku,gangguan belajar, dan penurunan IQ. Sedangkan pemakaian asam
valproat pada usia muda dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
 Fenitoin dan karbamazepin tidak efektif untuk profilaksis. - Pemeriksaan
darah tepi dan fungsi hati setiap 3-6 bulan. 3,4,5

7
2.8 Algoritme Penatalaksanaan Kejang Akut 3,4,5

2.9 Definisi Diare Akut


Diare didefinisikan sebagai bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari
biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair)
dengan/tanpa darah dan/atau lendir. Kandungan air di dalam tinja melebihi normal
yaitu lebih dari 10 mL/kgBB/hari. Peningkatan kandungan air dalam tinja adalah
akibat adanya gangguan keseimbangan fungsi usus halus dan usus besar dalam proses
absorpsi substrat dan air. Sebagian besar diare berlangsung selama 7 hari, dan

8
biasanya sembuh sendiri (self limiting disease). Hanya 10% yang melanjut sampai 14
hari. Bila diare berlangsung kurang dari 14 hari dinamakan dengan diare akut.6,8

2.10 Etiologi

Penyebab diare pada anak dapat dilihat pada Tabel 1. Infeksi usus merupakan
penyebab tersering diare akut yang sporadis. Tabel 2 memperlihatkan jenis patogen
penyebab diare pada anak. Diare akut pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus
(40-60%). Rotavirus sebagai patogen penyebab tersering pada usia 6-24 bulan. Di
RSUP Sanglah, Rotavirus merupakan 61% dari penyebab diare pada anak usia kurang
dari 5 tahun. Hanya 10% diare disebabkan oleh infeksi bakteri, terutama pada
beberapa bulan awal kehidupan (bayi muda) dan pada anak usia sekolah.10,11

Infeksi di luar usus yang sering disertai diare adalah otitis media akut, infeksi
saluran kemih dan penyakit paru, yang biasanya menyebabkan diare ringan dan dapat
sembuh sendiri seiring dengan sembuhnya penyakit dasar. Penggunaan beberapa 97
obat, terutama antibiotik, sering dihubungkan dengan Clostridium difficile. Alergi
terhadap protein susu sapi (CMPA) merupakan satu diagnosis banding yang perlu
dipikirkan selain sindrom malabsorpsi bila diare tidak sembuh dalam10-14 hari. 10,11

9
2.11 Patofisiologi
Virus dapat secara langsung merusak vili usus sehingga mengurangi luas
permukaan usus halus dan mempengaruhi mekanisme enzimatik. Pada Rotavirus
terdapat komponen yang mirip enterotoksin (NSP4) yang mampu menginduksi
sekresi dan menyebabkan diare cair. Bakteri mengakibatkan diare melalui
beberapa mekanisme yang berbeda. Bakteri invasif mengakibatkan ulserasi
mukosa usus dan pembentukan abses yang diikuti oleh respon inflamasi. Toksin
bakteri dapat mempengaruhi proses selular baik di dalam usus maupun di luar
usus. Enterotoksin E.coli yang tahan panas akan mengaktifkan adenilat siklase,
sedangkan toksin yang tidak tahan panas mengaktifkan guanilat siklase.6,8,10,11
E.coli enterohemoragik dan Shigella menghasilkan verotoksin yang
menyebabkan kelainan sistemik seperti kejang dan sindroma 98 hemolitik
uremik. Bakteri noninvasif dan protozoa lainnya dapat melekat pada dinding usus
dan menyebabkan peradangan. Dari beragamnya patogenesis diare tersebut,
secara garis besar terdapat 2 mekanisme dasar terjadinya diare. 6,8,10,11

10
 Diare osmotik Didasari oleh adanya nutrien yang tidak terserap,
selanjutnya nutrien tersebut difermentasi di usus besar menghasilkan asam
organik dan gas. Asam organik menyebabkan peningkatan tekanan
osmotik intraluminal yang menghambat reabsorbsi air dan elektrolit
sehingga terjadi diare.
 Diare sekretorik Pada diare sekretorik terdapat infeksi bakteri yang mampu
melepas enterotoksin di dalam usus. Selanjutnya enterotoksin ini
merangsang c-AMP dan c-GMP, akibatnya kapasitas sekresi sel kripte
meningkat sehingga terjadi kehilangan air dan elektrolit yang berlebihan.
Konsenkuensi dari mekanisme tersebut dapat menimbulkan :
- Dehidrasi, gangguan elektrolit dan keseimbangan asam-basa (asidosis
metabolik) akibat dari kehilangan air dan elektrolit (Natrium, Kalium,
Kalsium, Magnesium dan Bikarbonat).
- Apabila berlangsung lama dapat menyebabkan malabsorpsi berat
sehingga terjadi gangguan gizi dan/atau hipoglikemia, keadaan ini
dipermudah dengan penghentian makanan atau susu yang diberikan
terlalu encer. 6,8,10,11
2.12 Manifestasi Klinis
Anamnesis
Anamnesis anak dengan gejala diare akut perlu dimulai dengan mengambil
informasi yang mungkin mengarahkan apakah diare tersebut primer atau sekunder.
Diare dapat terjadi secara sekunder sebagai bagian atau akibat dari penyakit dasar
lain. Gejala respiratorik, seperti batuk atau sesak mengarahkan pada pneumonia.
Frekuensi berkemih meningkat dan nyeri saat berkemih mengarahkan pada infeksi
saluran kencing atau pielonefritis. Adanya sakit telinga mungkin akibat otitis
media akut, adanya demam disertai perubahan kesadaran mungkin merupakan
gejala meningitis, ensefalitis, atau sepsis. Tujuan ananmnesis selanjutnya adalah
menilai beratnya gejala dan risiko komplikasi seperti dehidrasi. Pertanyaan
spesifik mengenai frekuensi, volume serta lama diare dan muntah, serta ada

11
tidaknya demam, jumLah dan jenis cairan yang telah diminum, diperlukan untuk
menentukan derajat kehilangan cairan dan gangguan elektrolit yang terjadi.
Dehidrasi yang bermakna dapat bermanifestasi sebagai berkurangnya aktifitas,
volume urin dan berat badan. 6,7,8,10

2.13 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik bertujuan untuk memperkirakan derajat dehidrasi dan
mencari tanda-tanda penyakit penyerta. Gejala dan tanda dehidrasi perlu
ditemukan dan harus ditentukan derajat dehidrasinya. Berat badan sebelum sakit
perlu ditanyakan. Berat badan saat datang harus diukur sebagai parameter
kehilangan cairan dan dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi. Bila
ditemukan napas cepat dan dalam menandakan adanya komplikasi asidosis
metabolik. Bila nyeri bertambah pada palpasi atau ditemukan nyeri tekan, nyeri
lepas atau anak menolak diperiksa, waspadai kemungkinan komplikasi atau
kemungkinan penyebab non infeksi. Pada keadaan kembung, auskultasi harus
lebih cermat untuk mendeteksi adanya ileus paralitik. Amati adanya eritema
perianal akibat adanya malabsorpsi karbohidrat sekunder atau akibat malabsorpsi
garam empedu sekunder yang disertai dengan dermatitis popok. 6,7,8,10

12
2.14 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan labotarium yang lebih lengkap hanya dikerjakan jika diare tidak
sembuh dalam 5 – 7 hari.
Pemeriksaan Laboratorium yang Perlu Dikerjakan
 Pemeriksaan
Tinja : makroskopik dan mikroskopik
 Pemeriksaan tambahan :
Tinja

13
- Biakan kuman
- Tes resistensi terhadap berbagai antibiotika
- pH dan kadar gula, jika diduga ada intoleransi laktosa
Darah
- Kadar gula darah pada kasus dengan malnutrisi dan dehidrasi berat dan
atau dengan ensefalopati. 6,7,8,10
Pemeriksaan lain yang perlu dikerjakan pada dehidrasi berat dan atau dengan
ensefalopati adalah pemeriksaan elektrolit serum, analisis gas darah, dan
nitrogen urea. Pemeriksaan kadar elektrolit serum perlu dilakukan pada anak
dengan gejala hipernatremia atau hipokalemia. Adapun tanda-tanda
hipernatremia adalah kulit teraba hangat, tanda dehidrasi seolah-olah ringan,
hipertonia, hiperefleksia, letargi, namun terdapat iritabilitas yang nyata bila
dirangsang. Tanda hipokalemia seperti nampak lemah, ileus dengan distensi
abdomen dan aritmia. 6,7,8,10
2.15 Tata Laksana
 Pengobatan cairan/elektrolit
- Tanpa dehidrasi Beri oralit osmolaritas rendah sejumLah 10mL/kgBB
setiap kali buang air besar.
- Dehidrasi ringan-sedang. Lakukan upaya rehidrasi oral (URO) dengan
larutan oralit osmolaritas rendah sesuai dengan tabel.6,7,10

14
- Dehidrasi berat - Mulai diberi cairan IV segera. Bila penderita bisa
minum, berikan oralit, sewaktu cairan IV dimulai. Beri 100 mg/kgBB
cairan Ringer Laktat (atau NaCl 0,9%) dibagi sbb :

- Nilai kembali penderita tiap 1-2 jam. Bila rehidrasi belum tercapai
percepat tetesan IV
- Segera berikan oralit (5mL/kgBB/jam) bila penderita bisa minum;
biasanya setelah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak).
- Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak) nilai lagi penderita
menggunakan bagan penilaian. Kemudian pilihlah rencana yang sesuai
(A, B atau C) untuk melanjutkan pengobatan. 6,7,10
 Pengobatan dietetik 6,7,10
- ASI/makanan dilanjutkan
- Beri makanan yang mudah dicerna, rendah serat dan tidak merangsang.
 Pemberian preparat zinc elemental selama 10-14 hari : 6,7,10

15
- Anak dibawah 6 bulan dengan dosis 10 mg/hari
- Anak di atas 6 bulan dengan dosis 20 mg/hari
 Antibiotika bila ada indikasi, yaitu pada : 6,7,10
Tersangka Kolera
- Umur > 7 tahun : Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis selama
2-3 hari.
- Semua umur : Trimetoprim (TMP) 8 mg/kgBB/hari – Sulfamethoxazole
(SMX) 40 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis, selama 3 hari

Disentri

- Anak-anak : Trimetoprim (TMP) 10 mg/kgBB/hari - Sulfamethoxazole


(SMX) 50 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis selama 5 hari, atau Ampisilin
50 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis selama 5 hari
- Bayi : Eritromisin 25 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis , selama 3 hari

Giardiasis

- Antibiotika pilihan adalah metronidazole dengan dosis 30-50 mg/kgBB


dibagi tiga dosis sehari.

Amebiasis

- Antibiotika pilihan adalah metronidazole dengan dosis 30-50 mg/kgBB


dibagi tiga dosis sehari.

Diare pada bayi di bawah 3 bulan.

- Obat spasmolitika dan antisekretorik tidak boleh diberikan.


- Obat pengeras tinja tidak bermanfaat dan tidak perlu diberikan.

16
 Pencegahan dan edukasi 6,7,10

Pencegahan diare

- Pemberian ASI eksklusif 6 bulan.


- Sterilisasi botol susu bila bayi oleh karena suatu sebab tidak mendapat
ASI.
- Penyediaan dan penyimpanan makanan anak/bayi secara bersih.
- Gunakan air bersih dan matang untuk minum.
- Mencuci tangan sebelum menyiapkan dan memberi makan.
- Membuang tinja di jamban.
- Imunisasi campak.
- Makanan seimbang untuk menjaga status gizi yang baik.

Edukasi

- ASI, susu formula serta makanan harus dilanjutkan selama diare dan
ditingkatkan setelah diare sembuh.

2.16 Komplikasi
 Hipoglikemia
Gejala : berkeringat, kesadaran menurun, kejang-kejang. Beri glukosa bolus
i.v. dengan dosis 2-4 g/kgBB.
 Hipokalemia
Beri oralit (mengandung 20 mmol K/L, buah-buahan yang mengandung
banyak K(pisang)
 Ileus paralitik
Preparat K intravena. 6,7,10

17
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama :INAW
Tanggal lahir : 08-08-2013
Usia : 4 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Pekerjaan Orang tua : wiraswasta
Alamat : Demulih
Tanggal MRS : 15-04-2018
Tanggal Pemeriksaan : 15-04-2018
No. RM : 202945
Berat badan : 17 kg
Tinggi badan : 105 cm
IMT : 18,7 kg/m2
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Kejang demam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang diantar oleh keluarganya dengan keluhan kejang, kejang
yang dialami sebanyak 2 kali yaitu 1 kali dirumah dan 1 kali di UGD. Sebelum
kejang pasien dikatakan sempat mengalami demam sejak tadi pagi, namun ibu
pasien mengatakan tidak mengukur suhu tubuh anaknya karena tidak mempunyai
alat ukur suhu tubuh.
Ibu pasien mengatakan kejang yang dialam pada saat dirumah kurang
lebih selama 4 menit, sedangkan pada saat sampai rumah sakit pasien kembali

18
mengalami kejang kurang lebih selama 3 menit. Pada saat kejang dirumah
maupun di ugd ibu pasien mengatakan badan pasien tampak kaku, mata mendelik
ke atas lalu tangan dan kaki kelonjotan. Setelah kejang pasien tampak sadar dan
lemas.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien sebelumnya pernah mengalami kejang demam pada saat berusia
1,5 tahun dan di diagnosis oleh dokter mengalami kejang demam simpleks.
Pasien sebelum demam tidak mengalami batuk pilek maupun diare.

Riwayat Keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan serupa pada anggota keluarga pasien.

Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, kedua saudara pasien
tidak pernah mengalami keluhan yang sama yang dialami oleh pasien.

Riwayat pengobatan
Tidak ada riwayat pengobatan sebelumnya, pasien langsung dibawa ke
UGD RSU Bangli untuk mendapatkan pemeriksaan dan terapi.

Riwayat Kehamilan
Selama kehamilan, ibu dikatakan tidak ada keluhan dan tidak ada tanda
– tanda kelainan. Ibu pasien rutin melakukan ANC di bidan setiap bulan dan
melakukan USG di dr.Sp.OG, riwayat keputihan disangkal, gerakan anak terasa
baik. Riwayat penyakit ibu seperti Hipertensi, Diabetes, penyakit jantung,
Hepatitis disangkal.
Riwayat Persalinan
Ibu saat melahirkan ditolong oleh bidan, dengan berat badan bayi 2700
gram dan pada saat lahir bayi segera menangis.

19
Riwayat Nutrisi
susu formula+ asi on demand sampai usia 2 tahun, usia 6-8 bulan bubur
saring, 8-12 bubur tim, 12-24 makanan keluarga + sufor.
Riwayat Imunisasi
BCG : (+)
Polio : 5 kali
Hepatitis B : 3 kali
Hb0 : 1 kali
Hib : 3 kali
DPT : 4 kali
Campak : 2 kali
JE : 1 kali

Riwayat operasi : Tidak Ada


Riwayat transfusi : Tidak Ada

RIWAYAT TUMBANG
 Menegakkan kepala : 3 bulan
 Membalikkan badan : 4 bulan
 Duduk : 6 bulan
 Berdiri sendiri : 10 bulan
 Berjalan : 12 bulan
 Berlari : 15 bulan
 Melompat : 24 bulan
 Berdiri 1 kaki 2 detik : 3 tahun
 Berjalan tumit ke arah kaki : 4,5 tahun

20
STATUS GIZI MENURUT WHO

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 93 x/menit, reguler isi cukup
Laju Respirasi : 22 x/menit
Suhu Axilla : 39,5 oC
Sa02 : 94% dengan udara ruangan
Status General
Kepala : Normochepali, rambut berwarna hitam kuat,
ubun-ubun besar tertutup
Mata : Konjungtiva anemis (-), hiperemis (-/-), sekret (-
/-) sklera ikterik (+), reflex pupil (+/+) bulat
isokor.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), deviasi
trakea (-).
THT :
Telinga : Sekret (-/-), nyeri (-/-), pembengkakan (-/-).
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), NCH (-/-)

21
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil: T1/T1 tenang
Bibir : Mukosa kering (-), sianosis (-)
Thorax : Simetris (+) statis dan dinamis, retrakasi dinding
dada(-)
Cor :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : Gerakan dada simetris
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : vesikuler (+|+), ronchi (-|-), wheezing (-|-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), sikatrik (-), warna kulit normal
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), turgor kulit (+) normal hepar/lien
dalam batas normal, massa (-)
Perkusi : Timpani
Genital : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

22
1.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap

b. Pemeriksaan analisis gas darah

1.5 Diagnosis Banding


Epilepsi
Kejang demam simpleks
Kejang demam kompleks

23
1.6 Diagnosis Kerja
Kejang demam kompleks + observasi febris hari ke 1

1.7 Penatalaksanaan

- IVFD D5 ½ NS 20 tpm
- 02 4 lpm
- Dexamethsone 3x1 amp (iv)
- Ranitidine 2x ½ amp amp (iv)
- Sanmol flash 20cc jika suhu diatas 38,5oC jika dibawah 38,5oC berikan sirup
3x cth 1
- Erisanbe syr 3x1 cth P.O
- Bila kejang phenobarbital 20mg/kgBB bolus dalam 15 menit, maintenance
2x45 mg iv

Follow up tanggal 16-04-2018

S : Demam (-), kejang (-), mual (+), muntah (-), diare (+) konsistensi lembek,
dalam sehari BAB sebanyak 6x bab bercampur darah, lendir disangkal oleh
keluarga, pasien merasa haus dan masih mau minum. Nafsu makan dikatakan
sedikit berkurang, aktivitas hanya tiduran diruangan.
0 : KU : tampak sakit sedamg
Nadi : 85x/menit, reguler isi cukup
RR : 24x/menit
Status present :
Mata : an (-), ikterus (-), RP (+/+) cekung (+/+) air mata (+/+)
THT : nafas cuping hidung (-), faring hiperemis (-/-), NCH (-/-), tonsil
tenang, bibir sianosis (-), bibir kering (-/-)
Thorax : simetris,retraksi dinding dada (-)
Pulmo : ves (+/+) ronchi (-/-), wh (-/-)

24
Cor : s1s2 tunggal reguler, mur-mur (-)
Abdomen : nyeri tekan (-), bising usus normal, warna kulit normal, turgor kulit
kembali pelan.
Ekstremitas : hangat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik
A : KDK + observasi febris hari ke 2 + diare akut dehidrasi ringan sedang
P :
- IVFD KaEN 3B 20 tetes makro/menit
- Rehidrasi oral 3 sachet oralit + 600ml habis dalam 3 jam
- Inj Ranitidin 2x 15mg IV
- Eritromisin sirup 3 x 1 cth P.O
- L-Bio 1x 1 sachet P.O
- Zinc Sirup 1x20mg P.O
- Oralit sachet + 170cc air @ BAB/muntah
- Diazepam 3x5mg P.O bila demam
- Sanmol sirup 4 x 1 ½cth, bila demam
- Diazepam injeksi iv 5 mg 1:3

Follow up tanggal 17-04-2018

S : Demam (-), kejang (-), mual (-), muntah (-), diare (-) , BAB (+) baik, makan
minum (+) baik.
0 : KU : tampak sakit sedamg
Nadi : 82x/menit, reguler isi cukup
RR : 22x/menit
Status present :
Mata : an (-), ikterus (-), RP (+/+) cekung (-/-) air mata (+/+)
THT : nafas cuping hidung (-), faring hiperemis (-/-), NCH (-/-), tonsil
tenang, bibir sianosis (-), bibir kering (-/-)
Thorax : simetris,retraksi dinding dada (-)

25
Pulmo : ves (+/+) ronchi (-/-), wh (-/-)
Cor : s1s2 tunggal reguler, mur-mur (-)
Abdomen : nyeri tekan (-), bising usus normal, warna kulit normal, turgor kulit
kembali cepat.
Ekstremitas : hangat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik
A : KDK + observasi febris hari ke 3 + diare akut dehidrasi ringan sedang
(behidrasi)
P :

- BPL
- Erisanbe 3 x cth 1
- L bio 1x1 sachet
- Zinc 1x cth 1
- Diazepam 3 x pulv 1 (k/p) bila demam
- Dexa/ vitamin c

26
BAB IV

PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis kejang demam kompleks dilakukan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan,
pasien mengalami kejang saat kejang yang dialami sebanyak 2 kali yaitu 1 kali dirumah
dan 1 kali di UGD. Sebelum kejang pasien dikatakan sempat mengalami demam sejak
tadi pagi, namun ibu pasien mengatakan tidak mengukur suhu tubuh anaknya karena
tidak mempunyai alat ukur suhu tubuh.

Ibu pasien mengatakan kejang yang dialam pada saat dirumah kurang lebih
selama 4 menit, sedangkan pada saat sampai rumah sakit pasien kembali mengalami
kejang kurang lebih selama 3 menit. Pada saat kejang dirumah maupun di ugd ibu
pasien mengatakan badan pasien tampak kaku, mata mendelik ke atas lalu tangan dan
kaki kelonjotan. Setelah kejang pasien tampak sadar dan lemas.

Kejang bersifat umum, selama kejang pasien tidak sadar dan pasien sadar
diantara dua serangan kejang. Hal ini sesuai dengan kriteria diagnosis kejang demam
kompleks. Pasien juga tidak mempunyai riwayat kejang pada saat tidak demam, untuk
menyingkirkan diagnosis epilepsi.
Dari pemeriksaam fisik yang dilaukan tidak didapatkan adanya tanda-tanda
infeksi karena pasien mengalami demam di hari pertama, tidak ada hiperemis pada
tonsil dan faring, BAB dan BAK dalam batas normal, sehingga penyebab demam dari
pasien msih dalam tahap observasi. Tidak adanya kaku kuduk, rangsang meningeal,
refleks patologis menunjukkan penyebab kejang demam pada pasien tidak disebabkan
oleh proses intrakranial walaupun hal ini harus dipastikan lebih lanjut dengan
pemeriksaan pungsi lumbal.
Dari pemeriksaan penunjang darah rutin yang penting menunjukkan adanya
peningkatan kadar leukosit dalaam darah (14.800/mm3). Hal ini dapat sebagai acuan

27
bahwa adanya infeksi pada tubuh disebabkan oleh adanya bakteri, sehingga berguna
untuk penatalaksanaan selanjutnya.

Pada pasien ini dianjurkan pemeriksaan kadar elektrolit dalam darah untuk
menyingkiran kemungkinan kejang akibat gangguan elektrolit. Pemeriksaan pungsi
lumbal juga dianjurkan pada pasien ini untuk memastikan tidak adanya penyebab
intrakranial untuk terjadinya kejang.
Penatalaksanaan pasien ini pemberian cairan infus D 5% + NaCl 0,9%. Hal ini
untuk memberikan kebutuhan glukosa, cairan, dan elektrolit pada pasien yang saat
demam, tidak terpenuhi asupannya. Pasien masuk keruangan bangsal dalam keadaan
tidak kejang lagi, sehingga seharusnya diberikan obat anti kejang profilaksis
intermitten yaitu diazepam dengan dosis 0,3mg/kgBB setiap 8 jam untuk oral atau 0,5
mg/kgBB setiap 8 jam untuk rektal. Namun dari teori yang dikemukakan diatas, bahwa
diazepam diberikan pada saat tubuh > 38,50C. Pada pasien diberikan antibiotik karena
dicurigai penyebab demamnya adalah infeksi bakteri, sehingga untuk mengatasi
demamnya diberikan antibiotik dan obat penurun panas berupa parasetamol.

28
BAB V
KESIMPULAN

Pasien Laki – laki usia 4 tahun 8 bulan mengalami kejang, kejang yang dialami
sebanyak 2 kali yaitu 1 kali dirumah dan 1 kali di UGD. Sebelum kejang pasien
dikatakan sempat mengalami demam sejak pagi. Ibu pasien mengatakan kejang yang
dialam pada saat dirumah kurang lebih selama 4 menit, sedangkan pada saat sampai
rumah sakit pasien kembali mengalami kejang kurang lebih selama 3 menit. Pada saat
kejang dirumah maupun di ugd ibu pasien mengatakan badan pasien tampak kaku, mata
mendelik ke atas lalu tangan dan kaki kelonjotan. Setelah kejang pasien tampak sadar
dan lemas.

Kejang bersifat umum, selama kejang pasien tidak sadar dan pasien sadar
diantara dua serangan kejang, Hal ini sesuai dengan kriteria diagnosis kejang demam
kompleks. Pasien juga tidak mempunyai riwayat kejang pada saat tidak demam, untuk
menyingkirkan diagnosis epilepsi. Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian
cairan infus D 5% + NaCl 0,9%. Hal ini untuk memberikan kebutuhan glukosa, cairan,
dan elektrolit pada pasien saat demam yang tidak terpenuhi asupannya selain itu
diberikan obat anti kejang,antipiretik dan profilaksis bila ada indikasi.

Prinsip Penanganan kejang demam terdiri dari 3 hal :

 Mengatasi kejang fase akut.


 Mengatasi demam, mencari, dan mengobati penyebab demam.
 Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus penatalaksanaan kejang demam. Hardiono DP, Widodo DP, Ismael S,


Editor.UKK neurologi anak, IDAI, Jakarta, 2006.
2. Shinnar S. Febrile suizure. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, editor. Pediatric
neurology principles and practice. Edisi ke-4, St. Louis: mousby; 2006. h. 676-91.
3. Hodgson ES, Glade CGB, Harbaugh NC, dkk. Febrile suizure: clinical practice
guideline for long-term management of the child with simple febrile suizure.
Pediatric 2008;121:1281-6.
4. Duffner PK, Beumann RJ. A synopsis of the AmericanAcademy of Pediatrics:
practice parameters on the evaluation and treatment of children with febrile
suizure. Pediatr Review 1999;20:285-9.
5. Sadlier Lg, Scheffer IE. Febrile suizure. BMJ 2007; 334:307-11.
6. Guandalini S. Acute diarrhea. Dalam: Walker WA. Durie PR. Hamilton JR.
Walker-Smith JA, Watkind JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease:
pathophysiology, diagnosis, management. Edisi ke-3. Canada: B.C. Deckor Inc;
2000. h. 28-38.
7. Baqui A. Cell-mediated immune and malnurition are independent risk factors for
persistent diarrhea in Bangladesh children. Am J Clin Nutr 1993; 58:543-8
8. World Health Organization. The state of the world's children. Geneva: WHO;
1995.
9. Kotlof K, Wassemann S, Steciak J. Acute diarhea in Baltimore children attending
an outpatient clinic. Pediatr Infect Dis J 1988; 7:753-9.
10. Avendano P. Costs associated with office visits for diarrhea in infants and toddlers.
Pediatr Infect Dis J 1993; 12:897-902.
11. American Academy Pediatric: Disease col. prevention of rotavirus disease
guideline for use of rotavirus vaccine. Pediatrics 1998; 108:1483-9

30

You might also like