You are on page 1of 36

REFERAT

OSTEOPOROSIS

Pembimbing :

dr. Lisa Kurnia Sari, Sp. PD

Disusun oleh :

Joses Prima

11-2016-042

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT BETHESDA LEMPUYANGWANGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

PERIODE 13 NOV 2017-20 JAN 2018

1
Daftar Isi

Bab I

Pendahuluan............................................................................................................. 1

Bab II

2.1 Definisi................................................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi........................................................................................................ 2
2.3 Klasifikasi
2.3.1 Osteoporosis primer................................................................................. 3
2.3.2 Osteoporosis sekunder............................................................................. 3
2.3.3 Osteoporosis pada anak............................................................................ 4
2.3.4 Osteoporosis pada laki-laki...................................................................... 4
2.4 Patofisiologi
2.4.1 Proses remodeling tulang......................................................................... 5
2.4.2 Patogenesis osteoporosis primer
2.4.2.1 Patogenesis osteoporosis tipe I.................................................... 5
2.4.2.2 Patogenesis osteoporosis tipe II................................................... 6
2.4.3 Patogenesis osteoporosis sekunder.............................................. 7
2.5 Faktor resiko
2.5.1 Usia.......................................................................................................... 17
2.5.2 Jenis kelamin............................................................................................ 17
2.5.3 Ras............................................................................................................ 17
2.5.4 Desfisiensi vitamin D............................................................................... 17
2.5.5 Merokok................................................................................................... 17
2.5.6 Inaktifitas fisik......................................................................................... 17
2.6 Tanda dan gejala................................................................................................... 18
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis............................................................................................... 18
2.7.2 Pemeriksaaan fisik................................................................................... 19
2.7.3 Pemeriksaan penunjang........................................................................... 19
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Non farmakologi...................................................................................... 23
2.8.2 Farmakologi............................................................................................. 25
2.8.3 Pembedahan............................................................................................. 30
2.9 Prognosis.............................................................................................................. 30

Bab III

Kesimpulan............................................................................................................. 32

Daftar pustaka............................................................................................................... 33

2
BAB I

PENDAHULUAN

Osteoporosis atau keropos tulang adalah suatu penyakit tulang yang ditandai dengan
adanya penurunan massa tulang dan perubahan struktur pada jaringan mikroarsitektur tulang,
yang menyebabkan kerentanan ulang meningkat disertai kecenderungan terjadinya fraktur.
Baik pada laki – laki maupun perempuan mempunyai kecenderungan terhadap ancaman fraktur
tulang tersebut, walaupun demikian penyakit ini dapat dicegah maupun diobati.1
Hampir separuh masa kehidupan terjadi mekanisme kerusakan tulang (resorpsi) dan
pembentukan tulang (formasi). Selama masa anak - anak dan dewasa muda, pembentukan
tulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kerusakan tulang. Titik puncak massa tulang
(Peak bone mass) tercapai pada sekitar usia 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resopsi tulang
menjadi jauh lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan tulang. Penurunan massa tulang
yang cepat akan menyebabkan kerusakan pada mikroarsitektur tulang khususnya pada tulang
trabekular.1
Osteoporosis juga dikenal sebagai suatu penyakit yang tidak dirasakan (silent disease)
karena kejadian penurunan massa tulang dapat terjadi bertahun-tahun tanpa disertai tanda -
tanda (symptom). Beberapa symptom hanya dapat dikenali bila sudah mencapai tahap lanjut.
Penurunan massa tulang biasanya disertai dengan rasa sakit pada leher dan tulang. Symptom
yang paling umum pada osteoporosis adalah retak /patah tulang, tubuh bungkuk, tinggi badan
berkurang, dan sakit punggung. Satu di antara dua wanita dan satu di antara delapan laki-laki
umur 50 tahun atau lebih menderita retak tulang yang disebabkan karena osteoporosis dalam
kehidupannya.2
Osteoporosis merupakan masalah yang berkaitan dengan proses penuaan, oleh karena
itu ancaman masalah osteoporosis terjadi tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di
negara maju. Osteoporosis merupakan faktor utama keretakan pada paha, tulang belakang dan
pergelangan tangan. Saat kini sekitar 10 juta penduduk di Amerika saat diperkirakan menderita
osteoporosis dan ada 18 juta lainnya memiliki massa tulang yang rendah.2
Data epidemiologis tentang besaran masalah osteoporosis di Indonesia masih sangat
langka. Perubahan demografis di Indonesia pada dekade yang lalu membawa akibat
meningkatnya umur harapan hidup dan diharapkan akan banyak penduduk lanjut umur di
dekade mendatang. Oleh karena itu, tersedianya infornasi tentang besaran masalah
osteoporosis menjadi penting dalam rangka mencegah penduduk dari risiko osteoporosis.2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Osteoporosis berasal dari kata osteo berarti tulang dan kata porosis berarti berlubang
atau dalam istilah populer adalah tulang keropos. Definisi osteoporosis menurut National Institute
of Health (NIH) adalah penyakit yang mengganggu kekuatan tulang yang menyebabkan peningkatan
risiko terjadinya fraktur. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), osteoporosis adalah
penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan
mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan patah. Secara operasional osteoporosis
didefinisikan berdasarkan penilaian bone mineral density (BMD). Berdasarkan kriteria WHO,
osteoporosis adalah nilai BMD berada pada 2,5 standar deviasi (SD) atau di bawah nilai rata-
rata dewasa muda yang sehat (T score < -2,5 SD).3

Tabel 1. Definisi Osteoporosis Berdasarkan WHO


Definisi Kriteria
BMD berada pada -1 SD dari nilai rata-rata
Normal
dewasa muda.
Low bone mass BMD berada pada -1,0 dan -2,5 SD lebih
(osteopenia) rendah dari nilai rata-rata dewasa muda
BMD berada pada -2,5 SD lebih rendah dari
Osteoporosis
nilai rata-rata dewasa muda
Seperti definisi osteoporosis diatas dengan satu
Osteoporosis berat
atau lebih fraktur.

2.2. Epidemiologi
Osteoporosis terjadi lebih sering terjadi seiring dengan bertambahnya usia dan juga
hilangnya jaringan tulang secara progresif. Osteoporosis menyebabkan lebih dari 8,9 juta kasus
fraktur setiap tahun di dunia, dimana 4,5 juta kasus terjadi di Amerika dan Eropa. Saat ini
diperkirakan ada sekitar 0,3 juta fraktur panggul pertahun di Amerika Serikat dan 1,7 juta di
Eropa. Hampir semua peristiwa ini dikaitkan dengan osteoporosis, baik primer atau sekunder.
Rasio wanita dan pria pada fraktur pinggul 2:1. Insiden fraktur pergelangan tangan di Inggris
dan Amerika berkisar 400-800 per 100.000 wanita. Fraktur kompresi tulang belakang jauh
lebih sulit untuk diperkirakan karena sering tanpa gejala. Diperkirakan lebih dari satu juta

4
wanita pasca menopause Amerika akan mengalami patah tulang tulang belakang dalam
perjalanan satu tahun. Diperkirakan 40% wanita dan 13% pria berusia 50 tahun dan lebih tua
akan mengalami patah tulang osteoporosis pada kehidupan mereka. Ada kecenderungan angka
kematian di masa depan akan meningkat menjadi 47% untuk wanita dan 22% untuk pria.4
Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan Puslitbang Gizi Depkes RI tahun 2004
pada 14 provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai
tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Tingkat kecenderungan ini 6 kali lebih besar
dibandingkan di Belanda. Lima provinsi dengan risiko osteoporosis lebih tinggi yakni
Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), DI Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara
(22,8%), Jawa Timur (21,42%), dan Kalimantan Timur (10,5%).1

2.3. Klasifikasi
2.3.1 Osteoporosis Primer
50-80% wanita dan 56-60% pria dengan osteoporosis merupakan penderita
osteoporosis primer. Osteoporosis primer dibagi dua, yaitu tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe
I atau tipe menopausal terjadi pada wanita menopause yang dengan kisaran usia 51-70 tahun.
Hal ini terjadi karena menurunnya kadar estrogen yang berperan dalam proses mineralisasi
tulang dan menghambat resorbsi tulang serta pembentukan osteoklas melalui produksi sitokin.
Akibatnya, osteoklas meningkat dan Bone Mass Density menurun tajam. Area yang paling
sering terkena adalah vertebra. Gejala awal berupa rasa nyeri pada tulang punggung ketika
mulai terjadi pengeroposan.5
Osteoporosis tipe II merupakan osteoporosis yang terjadi akibat dari kekurangan
kalsium berhubungan dengan makin bertambahnya usia. Tipe ini disebut sebagai osteoporosis
senilis, dan biasanya terjadi pada kisaran usia 70 tahun ke atas Osteoporosis senilis juga bisa
terjadi pada wanita. Jadi, wanita yang sudah lanjut usia bisa terkena osteoporosis senilis dan
postmenopausal. Area yang tersering terkena adalah pinggul, vertebra, bahu, dan tibia
proksimal. Tanda khas dari tipe ini adalah penurunan tinggi badan dan kifosis dengan
punggung menonjol dan kepala mengarah ke depan.5

2.3.2 Osteoporosis Sekunder


Osteoporosis ini ditemukan hanya sekitar 5% dari seluruh osteoporosis. Osteoporosis
sekunder disebabkan oleh underlying disease, atau karena tindakan pembedahan atau efek obat
yang mempercepat pengeroposan tulang. Berbeda dengan osteoporosis primer yang terjadi
karena faktor usia, osteoporosis sekunder bisa saja terjadi pada orang yang masih berusia muda.
Osteoporosis sekunder ditemukan pada hamper 2/3 wanita sebelum menopause. Osteoporosis

5
ini juga ditemukan pada orang yang mengidap penyakit cushing disease (kelainan hormon
karena tingginya kortisol dalam darah), hipertiroid (kelebihan hormon tiroid), hiperparatiroid,
tumor atau keganasan, dan anoreksia nervosa. Obat-obatan yang berpengaruh terhadap proses
osteoporosis sekunder adalah golongan steroid.5

2.3.3 Osteoporosis pada Anak


Ada kalanya osteoporosis terjadi pada anak - anak atau orang dewasa yang usianya
masih muda. Biasanya penyebab osteoporosis jenis ini berkaitan dengan osteoporosis
sekunder. Meskipun begitu, ada pula osteoporosis pada anak dan remaja yang belum diketahui
penyebabnya. Osteoporosis ini disebut sebagai osteoporosis juvenile idiopatik. Kadar nutrisi
dalam tubuh penderitanya juga normal dan baik - baik saja. Selain itu, kadar hormonal mereka
termasuk kadar normal. Jumlah penderita osteoporosis juvenile idiopatik termasuk sedikit dan
jarang ditemukan. Sampai sekarang belum diketahui apa yang bisa menyembuhkan penyakit
ini. Obat - obatan dan terapi yang diberikan biasanya cocok untuk orang dewasa atau sudah
tua. Selain itu, mereka pun harus menghindari aktivitas fisik yang mampu membuat tulang
mereka retak. Bantuan seperti tongkat penyangga kadang dibutuhkan oleh anak - anak ini.5

2.3.4 Osteoporosis pada Laki - Laki


Osteoporosis pada laki - laki, seringkali kurang diperhatikan dibandingkan dengan
osteoporsis pada wanita. Pada dewasa muda, insidens fraktur ternyata lebih tinggi pada laki -
laki daripada wanita, hal ini dihubungkan dengan insidens trauma yang lebih tinggi pada laki -
laki daripada wanita. Dengan bertambahnya umur, insidens fraktur pada panggul makin
meningkat, tetapi peningkatan insidens fraktur pada laki - laki lebih lambat 5 - 10 tahun
dibandingkan wanita. Pada laki - laki, dengan bertambahnya umur, maka tulang kortikal akan
makin menipis, tetapi penipisan ini tidak secepat pada wanita, karena laki – laki idak pernah
mengalami menopause. Selain itu, pada laki - laki kehilangan massa tulang lebih bersifat
penipisan, sedangkan pada wanita lebih diakibatkan oleh kehilangan elemen trabekula dari
tulang.5

2.4 Patofisiologi
Mekanisme dasar pada semua osteoporosis adalah ketidakseimbangan antara resorpsi
dan pembentukan tulang. Pembentukan ulang tulang adalah suatu proses yang terus menerus.
Pada osteoporosis, massa tulang berkurang, yang menunjukkan bahwa laju resorpsi tulang pasti
melebihi laju pembentukan tulang.6

6
2.4.1 Proses Remodeling Tulang
Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari substansi organik
(30%) dan substansi mineral yang paling banyak terdiri dari kristal hidroksiapatit (95%) serta
sejumlah mineral lainnya (5%) seperti Mg, Na, K, F, Cl, Sr dan Pb. Substansi organik terdiri
dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteosit dan osteoklas dan matriks tulang (98%) terdiri
dari kolagen tipe I (95%) dan protein nonkolagen (5%) seperti osteokalsin, osteonektin,
proteoglikan tulang, protein morfogenik tulang, proteolipid tulang dan fosfoprotein tulang.6
Ada 2 jenis sel tulang, yaitu osteoklas yang berperan dalam merusak tulang dan
osteoblas untuk pembentuka tulang. Dengan bertambahnya usia, osteoklas akan menjadi lebih
aktif ketimbang osteoblas. Ada 6 siklus yang dilalui dalam proses remodeling, yakni: (1)
Aktivasi, dimana kelompok osteoklas tertarik ke area-area permukaan bagian dalam tulang. Ini
terjadi berkala, namun dapat juga dirangsang oleh cedera atau istirahat yang terlalu lama; (2)
Resorpsi, dimana area-area pada tulang dihancurkan oleh osteoklas untuk membentuk lubang-
lubang kecil. Proses ini dibutuhkan waktu 4-12 hari; (3) Pembalikan, yakni lubang-lubang kecil
yang dibuat oleh osteoklas diisi sementara oleh semen. Sel-sel yang bertanggung jawab
terhadap proses ini disebut sel pembalik dan berlangsung selama 7-10 hari; (4) Perangkaian
yang terjadi ketika resorpsi dan pembalikan sudah selesai; (5) Pembentukan, proses
pembetukan kembali tulang dikerjakan oleh osteoblas, dimulai dengan produksi lapisan-
lapisan matriks; (6) Mineralisasi, pengendapan kalsium dan mineral di dalam tulang yang
baru.6
Seluruh siklus berlangsung 4-8 bulan. Proses resorpsi berlangsung cepat, hanya
membutuhkan 4-6 minggu, sedangkan proses pembentukan tulang berlangsung lambat, yakni
membutuhkan hingga 2 bulan.6
Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting.
Estrogen memiliki efek peningkatan formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh
osteoklas. Penurunan tulang menjadi bermakna karena menurunnya estrogen dimula dari
beberapa tahun sebelum menopause hingga 5 tahun pascamenopause. Rata-rata kehilangan
tulang pada wanita postmenopause adalah 2% tiap tahun. Pada tahun-tahun awal setelah
menopause, kehilangan tulang berlangsung cepat dan resiko kejadian patah tulang meningkat.6

2.4.2 Patogenesis Osteoporosis Primer


2.4.2.1 Patogenesis Osteoporosis Tipe I
Setelah menopause, terjadi penurunan produksi estrogen oleh ovarium, maka
resorpsi tulang akan meningkat, terutama dekade awal pasca menopause, sehingga insiden

7
fraktur meningkat, terutama fraktur vertebra dan fraktur radius distal. Penurunan densitas
tulang, terutama tulang trabekular dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Estrogen juga
berperan dalam menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marraw stromal cells dan
sel-sel mononuklear seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α) yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian
penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin
tersebut, sehingga aktifitas osteoklas meningkat.7

2.4.2.2 Patogenesis Osteoporosis Tipe II


Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab penurunan fungsi osteoblas
pada orang tua, diduga akibat penurunan kadar estrogen dan IGF-1. Defisiensi kalsium dan
vitamin D sering didapatkan pada orang tua, hal ini dapat disebabkan oleh asupan kalsium
dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah.
Akibat defisiensi kalsium dapat menyebabkan timbulnya hiperparatiroidime sekunder yang
persisten sehingga akan meningkatkan proses resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang.
Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis
IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan
karboksilasi protein tulang, misalnya osteokalsin.7
Aktivitas osteoklas ditandai dengan terjadinya pengeluaran hidroksiprolin dan
piridinolincrosslink melalui kencing, serta asam fosfat dalam plasma. Hormon paratiroid dan
1,25 (OH)2 vitamin D3 mengaktifkan osteoklas sedangkan kalsitonin dan estradiol
menghambat kerja osteoklas. Resopsi tulang menyebabkan mobilisasi kalsium dan hal ini
menyebabkan berkurangnya sekresi hormon paratiroid akibatnya pembentukkan 1,25 (OH)2
vitamin D3 serta absorpsi kalsium oleh usus berkurang.7
Defisiensi estrogen juga merupakan masalah yang penting sebagai salah satu
penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pria maupun wanita. Begitu juga dengan kadar
testosteron pada pria. Penurunan kadar estradiol di bawah 40 pMol/L pada pria akan
menyebabkan osteoporosis. Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron akan menurun
sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan SHBG
ini akan meningkatkan pengikatan estrogen dan progesterone membentuk komplek yang
inaktif. Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1, juga berperan terhadap
peningkatan resopsi tulang.7

8
2.4.3 Patogenesis Osteoporosis Sekunder
Penyebab utama osteoporosis sekunder adalah penggunaan steroid. Terjadinya
osteoporosis akibat pemberian steroid dapat digambarkan sebagai proses penurunan
pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang.7
Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik
yang terbanyak. Glukokortikoid akan menyebabkan hipokalsemia dengan cara menurunkan
absorpsi kalsium oleh usus dan meningkatkan eksresi kalsium via urine. Akibatnya, terjadi
peningkatan hipeparatiroidisme sekunder.7
Selain itu glukokortikoid juga akan menekan produksi gonadotropin, sehingga
produksi estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat kerjanya. Terhadap
osteoblas, glukokortikoid akan menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun.
Dengan adanya peningkatan resorpsi tulang oleh osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis
yang progresif.7

Hampir semua kanker memiliki efek negatif terhadap tulang, mulai dari efek langsung
perkembangan sel-sel kanker terhadap tulang. Tulang juga merupakan tempat metastasis
tersering. Lokasi yang paling sering terjadinya metastasis tulang adalah pada vertebra, pelvis, femur
proksimal, dan humerus. Sel kanker yang tumbuh didalam tulang menyebabkan osteoblas dan
osteoklas menghasilkan faktor-faktor yang dapat merangsang pertumbuhan kanker lebih lanjut.
Oleh karena itu, pengelolaan kesehatan tulang yang optimal telah menjadi bagian penting bagi
pasien-pasien yang telah didiagnosa dengan kanker untuk meningkatkan prognosis pasien.8

Kanker Prostat
Kanker prostat adalah jenis kanker yang paling umum diderita oleh pria, sehingga
perlunya deteksi dini untuk meningkatkan angka kelangsungan hidup karena penyakit ini
semakin sering terjadi. Dalam dunia urologi, kanker prostat merupakan jenis kanker yang
paling sering mengalami metastasis ke tulang dengan persentase angka kejadiannya sekitar 65-
75 % dibandingkan dengan jenis kanker lainnya. Adapun komplikasi dari metastasis atau yang
biasa disebut sebagai skeletal related events (SRE) menyebabkan pasien menjadi sulit untuk
bergerak secara aktif karena rasa nyeri dan juga dapat menyebabkan terjadinya fraktur
patologis. SRE terjadi sekitar 46 % pada pasien dengan kanker prostat.8
Sel kanker bermetastasis melalui darah dan sistem limfatik. Sel kanker ini akan
menempel pada endothelium sumsum tulang dan bermigrasi melalui celah antar sel dalam
waktu 24 jam. Faktor yang membantu pertumbuhan tulang seperti bone protein-4 (BMP-4)

9
dapat meningkatkan adhesi sel tumor ke jaringan endothelium sumsum tulang. Adhesi sel
kanker ini juga mempengaruhi aktivasi protease-activated receptor 1 (PAR1). Dengan aktivasi
PAR1, sel kanker akan mensekresikan matrix metalloproteinase (MMP) yang akan
menyebabkan kerusakan membran basal pada tulang dan memperluas invasi sel kanker ke
jaringan tulang.8
Sel kanker prostat akan memperngaruhi homeostasis tulang dengan memproduksi
faktor yang mengatur proliferasi atau diferensiasi osteoblas. Faktor ini meliputi bone
morphogenetic protein (BMP), transforming growth factor-beta (TGFbeta), insulin-like
growth factor (IGF), platelet-derived growth factor (PDGF), vascular endothelial growth
factor (VEGF), endothelin-1 (ET1), the bone metastasis factor MDA-BF-1, urokinase-type
plasminogen activator (uPA) and prostate-specific antigen (PSA). Keseluruhan faktor ini
terbukti mendukung proliferasi osteoblas untuk memproduksi matriks tulang yang baru. Tidak
seperti normalnya, tulang baru ini terbentuk dengan anyaman kolagen yang tidak teratur
sehingga menyebabkan tulang tersebut lebih lemah dibandingkan dengan tulang normal dan
menjadi lebih mudah untuk patah. Osteoblas juga akan memproduksi faktor pertumbuhan yang
menstimulasi proliferasi sel kanker prostat, namun faktor-faktor tersebut belum dapat
diidentifikasi secara pasti. Spekulasi sementara, PSA adalah faktor yang berperan dalam
stimulasi osteoblas. Stimulasi osteoblas oleh PSA juga akan menghasilkan pelepasan prostatic
acid phosphatase (PAP) kedalam aliran darah. Peptida ini yang digunakan sebagai penanda
untuk kanker prostat metastatik.9
Pengobatan kanker prostat dengan prosedur terapi deprivasi androgen atau androgen
deprivation therapy (ADT) merupakan standar terapi untuk kanker prostat bahkan untuk
kanker prostat metastatik karena pertumbuhan sel kanker didorong oleh hormon androgen,
terapi menurunkan hormon androgen disinyalir dapat membantu memperlambat pertumbuhan
kanker. Namun, penggunaan ADT ternyata dapat menyebabkan pengeroposan tulang dan
proses ini disebut sebagai cancer treatment-induced bone loss (CTIBL). Dalam penelitian,
ditemukan bahwa pengobatan ADT baik dengan orchiectomy maupun dengan agonis atau
antagonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dapat menyebabkan penurunan densitas
tulang sebanyak 4%-13% pertahun.9
ADT bekerja dengan cara menganggu keseimbangan hormonal yang diperlukan oleh
tulang dengan menyebabkan defisiensi testosteron sekunder sehingga mengakibatkan
gangguan keseimbangan pembentukan dan resorpsi tulang dimana terjadi peningkatan pada
resorpsi tulang.9

10
Pada tahun pertama pemberian ADT dapat menyebabkan pengeroposan pada tulang
lumbal sebesar 4,6%, tulang pinggul 9,6 %, dan tulang radius 4,5%. Resiko fraktur juga terkait
dengan penggunaan dosis dan durasi pemberian ADT, sehingga para pengguna ADT
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan BMD minimal setiap tahun sekali.9

Multiple Myeloma
Multiple myeloma adalah kanker tulang sumsum yang mempengaruhi produksi sel
darah merah, sel darah putih dan sel stem. Multiple myeloma merupakan suatu kanker sel
plasma yang abnormal dan berkembang biak membentuk tumor di sumsum tulang serta
menghasilkan antibodi abnormal yang terkumpul di dalam darah atau air kemih. Lokasi
multiple myeloma mencakup tulang-tulang seperti vertebra, tulang iga, tengkorak, pelvis, dan
femur.10
Multiple myeloma merupakan jenis metastasis osteolitik, dimana destruksi dari tulang
lebih dimediasi oleh osteoklas daripada oleh sel tumor itu sendiri. Akan tetapi, faktor-faktor
yang bertanggung jawab terhadap aktivasi osteoklas sangat bervariasi tergantung dari jenis
tumornya. Pada Multiple Myeloma, osteoklas terakumulasi hanya pada permukaan tulang yang
berdekatan dengan sel-sel dari myeloma tersebut, tidak didapatkan osteoklas di area lain dari
tulang yang terbebas dari tumor tersebut. Sebagai tambahan dari meningkatnya resorbsi tulang,
proses pembentukan tulang mengalami supresi sehingga lesi tulang pada pasien dengan
myeloma hanya bersifat litik. Beberapa faktor berhubungan dengan meningkatnya aktivitas
osteoklas pada myeloma. Factor-faktor tersebut diantaranya adalah interleukin-1, interleukin-
6, macrophage inflammatory protein, dan RANKL.10
Interleukin-1 merupakan stimulan poten pada pembentukan osteoklas, tetapi kadar
interleukin-1 yang diproduksi oleh sel myeloma sangatlah rendah. Beberapa penelitian tidak
mendeteksi tingkat dari interleukin-1 pada beberapa tumor myeloma, menunjukan bahwa
interleukin-1 mungkin bukan merupakan mediator utama dari myeloma bone disease.10
Interleukin-6 merupakan faktor yang menghambat terjadinya apoptosis pada sel
myeloma. Factor tersebut terdapat pada sampel plasma sumsum tulang dari pasien dengan
myeloma. Interleukin-6 merupakan stimulator potensial pada pembentukan osteoklas dengan
mempengaruhi parathyroid hormone-related peptide (PTHrP) pada pembantukan osteoklas
secara in vivo. Tingkat interleukin-6 pada sumsum tulang tidak secara konsisten berhubungan
dengan adanya lesi tulang. Akan tetapi, ketika sel myeloma menempel pada sel stromal dari
sumsum tulang, produksi dari interleukin-6 oleh sel stromal sumsum tulang meningkat.
Interleukin-6 nampaknya memiliki peran yang penting dalam mengubah pertumbuhan atau

11
memperpanjang survival sel myeloma, tetapi perannya dalam myeloma bone disease masih
belum jelas.10
RANKL adalah mediator utama pada myeloma bone disease. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa sel myeloma memproduksi RANKL, tetapi tidak jelas jumlah dari RANKL
yang diproduksi oleh sel myeloma cukup untuk menginduksi pembentukan osteoklas.
Sebaliknya, RANKL mencegah terjadinya apoptosis dari osteoklas. RANKL diproduksi oleh
sel-sel stroma sumsum tulang pada myeloma. Beberapa peneliian menunjukkan bahwa
RANKL adalah mediator utama pada myeloma bone disease.10
Lesi tulang pada myeloma bersifat litik, tidak terdapat respon osteoblastik. Fenomena
ini menjelaskan bahwa pada sekitar separuh dari kasus myeloma, pemeriksaan pada tulang
dapat terlihat normal meskipun terdapat destruksi tulang secara osteolitik yang parah. Dasar
dari penurunan respon osteoblas pada myeloma tidak diketahui. Sel-sel myeloma dapat
memproduksi tumor necrosis factor a, yang akan menghambat pertumbuhan dan diferensiasi
dari osteoblas. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa sel-sel myeloma mengekspresikan
gen dickkopf 1 (DKK1) yang berhubungan dengan lesi fokal di tulang pada pasien dengan
myeloma. Lebih jauh lagi mereka menunjukan bahwa serum dari sumsum tulang pada pasien-
pasien tersebut yang mengandung lebih dari 12 ng protein DKK1 per millimeter akan
menghambat diferensiasi osteoblast. Data tersebut menunjukan bahwa DKK1 mungkin terlibat
pada penghambatan diferensiasi osteoblas pada myeloma.10
Hal-hal tersebut menjelaskan terjadinya fraktur patologis yang sering ditemukan pada
multiple myeloma. Kompresi tulang belakang terjadi pada 10- 20% pasien. Gejala-gejala yang
dapat dipertimbangkan kompresi tulang belakang berupa nyeri punggung, kelemahan, mati
rasa atau disestesia pada ekstremitas. Ditemukan juga gejala-gejala hiperkalsemia berupa
somnolen, nyeri tulang, konstipasi, nausea, dan rasa haus dapat ditemukan pada 30% pasien
sebagai akibat dari aktivitas parathyroid hormone-related peptide (PTHrP).10

Hepatic Osteodystrophy
Hepatic Osteodystrophy mengacu pada osteoporosis yang terkait dengan penyakit hati
kronis. Sirosis bilier primer, perlemakan hati non alkoholik, dan hepatitis viral merupakan
penyebab utama dari sirosis yang menjadi faktor resiko utama terjadinya kanker hati. Hati
merupakan organ yang terlibat dalam sejumlah mekanisme metabolik dalam tubuh, oleh karena
itu penyakit yang menyerang organ hati menjadi salah satu penyebab sekunder dari
osteoporosis dan sekitar 30% penderita penyakit hati kronis juga menderita osteoporosis.
Namun penyebab dari pengeroposan tulang melibatkan banyak faktor dan tidak sepenuhnya

12
dapat dipahami, contohnya pada penyakit hati kolestasis sangat rentan terhadap osteoporosis
karena kolestatsis mempengaruhi metabolisme vitamin D, sehingga mengindikasikan
diagnosis dini dari osteoporosis.11

Sirosis Bilier Primer


Sirosis bilier primer atau primary biliary cirrhosis (PBC) adalah peradangan saluran
empedu di hati, yang pada akhirnya membentuk jaringan parut dan menyebabkan
penyumbatan. Hal ini meningkatkan kejadian osteoporosis sampai empat kali lipat dan
mengingkatkan terjadinya fraktur hingga dua kali lipat. Prevalensi osteoporosis pada penderita
PBC mencapai 20-44%.11
Kekurangan vitamin D dan kelainan genetik pada reseptor vitamin D adalah kunci
utama dari sirosis bilier primer. Kelainan gen (alel gen Bsm1 dan t Taq1) pada reseptor vitamin
D secara signifikan lebih sering didapatkan pada pasien dengan PBC. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya densitas tulang yang lebih rendah dengan resiko terjadinya fraktur yang
lebih tinggi pada orang dengan kelainan gen pada alel tersebut. Namun, mekanisme terjadinya
osteoporosis ini masih perlu penelitian lebih lanjut.11,12

Perlemakan Hati Non Alkoholik


Perlemakan hati non alkoholik atau non alcoholic fatty liver disease (NAFLD)
merupakan salah satu komplikasi dari sindrom metabolik yang dapat menjadi faktor resiko
terjadinya osteoporosis. Mekanisme penurunan densitas tulang pada NAFLD belum
sepenuhnya dipahami. Namun, peran TNFα diduga mempengaruhi proses ini. Para penderita
NAFLD sering ditemukan bersamaan dengan peningkatan konsentrasi TNFα dengan
mekanisme yang belum pasti. TNFα terlibat dalam stimulasi osteoklastogenesis dan
menghambat sel progenitor osteoblas.11

Hepatitis Viral
Sekitar 20-53% penderita sirosis oleh karena hepatitis viral mengalami osteoporosis.
Hepatitis B dan C telah terbukti meningkatkan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti
interleukin-1 (IL-1), IL-6 and tumour necrosis factor α (TNFα). Faktor-faktor ini diproduksi
oleh osteoblas dan memiliki efek tidak langsung dalam aktivasi osteoklas yang akan
meningkatkan aktivitas dari osteoklas.12

Kanker Payudara
Kanker payudara adalah penyakit keganasan yang paling umum menyerang wanita.
Diperkirakan sekitar 85% penderita kanker payudara stadium lanjut juga disertai dengan

13
kanker yang telah bermetastasis ke tulang. Sel kanker ini cenderung bermetastasis ke area
tulang yang memiliki banyak sistem vaskularisasi seperti sum-sum merah tulang panjang,
tulang dada, tulang panggul, tulang rusuk, dan tulang punggung atau vertebra. Gejala klinis
yang dapat ditemukan dari proses metastasis ini yakni timbul rasa nyeri pada area tulang yang
terkena, fraktur patologis, sindrom kompresi saraf, dan hiperkalsemia. Keseluruhan dari gejala
yang timbul dapat menurunkan kualitas hidup seseorang.13
Sel tumor ini menghasilkan berbagai faktor pertumbuhan terutama parathyroid
hormone-related peptide (PTHrP). Peran dari PTHrP dalam metabolisme tulang tidak
sepenuhnya dipahami. Namun PTHrp diketahui menyebabkan peningkatan regulasi dari
RANKL (receptor activator of nuclear factor kβ ligand) dan penurunan regulasi OPG
(osteoprotegerin). RANKL menstimulasi diferensiasi dan fusi prekursor osteoklas menjadi
osteoklas, sedangkan OPG berfungsi untuk menghambat pembentukan osteoklas. Hal ini
meningkatkan fungsi osteoklas yag menyebabkan pengeroposan tulang.13
Faktor pertumbuhan yang terdapat pada matriks tulang seperti transforming growth
factor (TGF)-β, vascular endothelial growth factor (VEGF), dan insulin-like growth factors
(IGFs) ternyata juga merangsang pertumbuhan sel tumor sehingga memproduksi PTHrP lebih
banyak lagi. Sejumlah sitokin seperti IL-6, IL-8, dan IL-11 yang disekresikan oleh sel kanker
payudara juga meningkatkan diferensiasi osteoklas yang berakibat pada peningkatan resorpsi
tulang.13
Estrogen memiliki efek perlindungan pada tulang dengan cara meningkatkan kadar
kalsitonin dalam darah. Kalsitonin ini berfungsi untuk membantu tulang dalam penyerapan
kalsium sehingga mencegah pengeroposan tulang. Kanker payudara diklasifikasikan sebagai
estrogen receptor positive, artinya bahwa kanker ini peka terhadap esterogen dan terapinya
mencakup penurunan kadar esterogen serta menghambat efek esterogen untuk mencegah
penyebaran penyakit.13
Goserelin (zoladex) merupakan obat golongan gonadotropin-releasing hormone
agonists yang menjadi salah satu pilihan terapi dari kanker payudara. Dalam perjalanannya,
obat ini mensupresi ovarium sehingga menurunkan produksi dari esterogen oleh ovarium.
Pengobatan dengan goserelin dapat menurunkan kepadatan tulang hingga 5-10%. Pemulihan
kepadatan tulang dapat terjadi jika ovarium dapat bekerja kembali, namun tidak diketahui
secara pasti seberapa jauh pemulihannya.13
Aromatase Inhibitor merupakan pilihan terapi kanker payudara, contohnya anastrozole
(arimidex), letrozole (femara) dan exemestane (aromasin). Obat ini bekerja dengan cara
memblokir enzim aromatase yang terlibat dalam produksi esterogen oleh jaringan lemak. Obat

14
ini sangat efektif untuk terapi kanker payudara terutama bagi wanita pasca menopause, namun
obat ini juga secara drastis meningkatkan laju pengeroposan tulang dan resiko patah tulang.
Jika obat ini digunakan pada wanita yang lebih muda dengan penyebab menopause karena
operasi, radioterapi, goserelin, atau kemoterapi maka pengeroposan tulang dapat terjadi lebih
cepat yakni sekitar 8% pertahun.13
Tamoxifen merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai pengobatan kanker
payudara. Obat ini bekerja dengan cara memblokir penyerapan esterogen oleh sel kanker
payudara dan efeknya terhadap tulang tergantung dari waktu pemberiannya (sebelum atau
sesudah menopause). Tamoxifen tidak berhubungan secara signifikan dengan proses
pengeroposan tulang pada wanita pascamenopause, bahkan sebenarnya obat ini memiliki efek
perlindungan terhadap tulang dan dapat terjadi sedikit peningkatan densitas tulang. Sebaliknya,
tamoxifen dapat menurunkan densitas tulang dalam jumlah yang sedikit pada wanita
pramenopause dalam dua tahun pertama penggunaanya.13

Kanker paru
Kanker paru menjadi penyebab utama kematian terkait kanker diseluruh dunia dengan
persentase mencapai hingga 90%. Kanker paru menunjukkan predileksi yang kuat untuk
bermetastasis ke tulang, hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan kelangsungan
hidup seseorang secara keseluruhan.14
Sebelum mengalami metastasis, sel tumor saling terikat erat satu sama lainnya melalui
molekul adhesi interseluler (E-cadherin). Seiring dengan perkembangnya, sel-sel kanker akan
memproduksi transforming growth factor (TGF)-β1 yang nantinya akan menurunkan fungsi
E-cadherin, hal ini akan menyebabkan peningkatan motilitas sel-sel kanker sehingga dapat
bermetastasis. Ketika sel kanker melepaskan diri dari massa tumor, sel-sel ini harus melewati
extracellular matrix (ECM). Disini sel kanker akan berinteraksi dengan berbagai jenis sel
termasuk sel endotel. Interaksi ini akan merangsang produksi vascular endothelial growth
factor (VEGF) sehingga membentuk pembuluh darah baru yang akan menjadi jalan untuk sel
kanker bermetastasis. Ketika sel kanker masuk kedalam peredaran darah, sel ini disebut
circulating tumor cells (CTC). CTC dapat dideteksi bahkan pada tahap awal perkembangan
kanker paru. Jumlah CTC yang dapat ditemukan biasanya berkisar 1 CTC per 106/7 leukosit.14
Sumsum tulang memiliki kecenderungan biologis sebagai tempat metastasis dari sel
kaker paru karena sumsum tulang menghasilkan faktor CXCL12 yang memiliki peran
kemotaktik pada sel kanker. Sel kanker sendiri mengekspresikan reseptor kemokin (CXCR4
dan CXCR7). Setelah mencapai target organ, sel tumor akan melakukan migrasi dan menempel

15
pada sel endotel target organ yang diperantai oleh molekul adhesi CD44. Metastasis kanker
paru terutama terjadi pada tulang belakang, tulang rusuk, tulang dada, dan ujung tulang
panjang. Pada tulang-tulang tersebut memiliki aliran darah yang lebih lambat dan struktur sinus
yang khusus, dimana terdiri dari sel endotel dengan ruang interseluler yang luas sehingga
memudahkan sel tumor untuk bermigrasi dan menempel pada tulang.14
Setelah menempel pada tulang, sel kanker akan mensekresikan faktor pro-
osteoklastogenik seperti parathyroid hormone-related protein (PTHrP), receptor activator of
nuclear factor-κB (RANK)L dan macrophage colony-stimulating factor. Faktor-faktor ini akan
memicu aktivitas osteoklas secara berlebihan sehingga meningkatkan resorpsi tulang yang
kemudian diikuti dengan pelepasan faktor pertumbuhan seperti TGF-β, insulin-like growth
factors (IGFs), PDGFs dan bone morphogenetic proteins dari matriks tulang dan merangsang
proliferasi sel kanker.14

Kanker Tiroid
Pada umumnya penderita kanker tiroid memiliki tingkat kelangsungan hidup selama
10 tahun sebesar 80-95%. Jika kanker ini bermetastasis maka tingkat kelangsungan hidupnya
menjadi 40%. Sekitar 25% kanker tiroid akan bermetastasis ke tulang, 49% bermetastasis ke
paru-paru, 15% bermetastasis ke tulang dan paru, serta 10% akan bermetastasis ke jaringan
lainnya. Kanker tiroid dapat melakukan pertukaran informasi secara biokimiawi dengan tulang,
hal inilah yang memungkinkan terjadinya metastasis kanker tiroid ke tulang.15
Tulang menyimpan beberapa faktor pertumbuhan diantaranya adalah transforming
growth factor, insulin-like growth factor-I and -II (IGF-I and -II), fibroblast growth factors,
platelet-derived growth factors, bone morphogenetic proteins, and calcium. Pelepasan dan
pengaktifan faktor-faktor ini selama proses resorpsi tulang akan merangsang perkembangan
sel-sel tumor lebih lanjut. Sekitar 80% metastasis ini akan mengenai tulang axial (tulang
kepala, ruas tulang belakang, tulang dada, dan tulang rusuk) terutama pada bagian sumsum
merah karena daerah ini memiliki aliran darah yang tinggi. Penderita kanker tiroid yang
bermetastasis ke tulang merupakan lesi osteolitik.15
Sel-sel kanker tiroid akan menghasilkan faktor yang dapat meningkatkan pembentukan
osteoklas melalui produksi interleukin-6 (IL-6), prostaglandin E2 (PGE2), tumor necrosis
factor (TNF), macrophage colony-stimulating factor (M-CSF), and parathyroid hormone-
related peptide (PTH-rP). Selama proses resorpsi tulang, osteoklas akan melepaskan beberapa
faktor seperti transforming growth factor-b (TGF-b), insulin-like growth factors (IGFs),
fibroblast growth factors (FGFs), platelet-derived growth factor (PDGF), and bone

16
morphogenetic proteins (BMPs). Faktor-faktor ini memiliki efek umpan balik terhadap sel-sel
kanker dengan merangsang pertumbuhan dari sel-sel kanker itu sendiri. Keseluruhan proses ini
menyebabkan osteoporosis akan belangsung terus menerus.15

Hiperparatiroid Primer
Kelenjar paratiroid berfungsi untuk mengontrol kadar kalsium dan fosfor dalam darah
melalui hormon paratiroid (PTH). Jika terjadi penurunan kadar kalsium darah, maka PTH akan
diproduksi untuk meningkatkan kadar kalsium dan setelah kadar kalsium darah kembali
normal, maka PTH akan disupresi. PTH bekerja dengan cara meningkatkan resorpsi kalsium
melalui ginjal, meningkatkan penyerapan kalsium melalui usus, dan menyebabkan pelepasan
kalsium melalui tulang.16
Hipertiroid adalah keadaan dimana terjadi produksi PTH secara berlebihan oleh
kelenjar paratiroid yang akan menyebabkan tingginya kadar kalsium darah. Hiperparatiroid
primer terjadi ketika satu atau lebih kelenjar paratiroid mengalami pembesaran dan menjadi
sangat aktif sehingga melepaskan PTH dalam jumlah besar yang akan meningkatkan kadar
kalsium darah. Penyebab paling umum adalah karena adanya pertumbuhan adenoma pada
kelenjar paratiroid, namun dapat juga disebabkan oleh kanker. Penderita hiperparatiroid primer
akan terkena osteoporosis lebih parah dan cepat daripada umumnya. Obat-obatan yang
digunakan sebagai terapi osteoporosis tidak efektif untuk penderita tumor paratiroid. Tumor
ini harus diangkat agar proses osteoporosis dapat berhenti.16
PTH mempunyai efek anabolik dan katabolik pada tulang. Efek anabolik dimediasi
melalui ikatan PTH ke parathyroid hormone 1 receptor (PTH1R) pada sel osteoblas sehingga
terjadi supresi dari SOST, yaitu merupakan suatu gen osteosit yang mengkode sclerositin
(protein yang menghambat Wnt signaling pathway dari osteoblast sehingga menghambat
pembentukan tulang). Efek katabolik dimediasi oleh stimulasi melalui ikatan PTH ke PTH1R
pada sel osteoklas yang merangsang produksi RANKL dan penghambatan produksi
osteoprotegerin oleh osteoblas, sehingga akan menstimulasi pembentukan, aktivitas dan
kelangsungan hidup osteoklas. Proses anabolik dan katabolik ini menyembabkan adanya
perbedaan gambaran osteoprosis pada penderita hiperparatiroid primer dengan lainnya seperti
post menopausal osteoporosis. Penderita hiperparatiroid primer memiliki proses remodeling
tulang yang tinggi tetapi penyerapan dan pembentukannya tetap terjadi, sebaliknya pada post
menopausal osteoporosis terjadi remodeling tulang yang tinggi namun tidak diimbangi dengan
penyerapan dan pembentukan tulang. Penderita hiperparatiroid primer memperlihatkan
pengeroposan pada bagian kortikal tulang dan peningkatan stuktur trabekular tulang,

17
sedangkan pada post menopausal osteoporosis memperlihatkan penipisan kortikal yang disertai
penurunan volume trabekular tulang.16
Tulang radius mengandung lebih banyak tulang kortikal, tulang femur memiliki
komposisi yang seimbang antara tulang kortikal dan trabekular, sedangkan tulang lumbal
mengandung lebih banyak tulang trabekular sehingga osteoporosis pada penderita
hiperparatiroid primer banyak menyerang pada tulang radius. Hal ini dibuktikan dengan
pengukuran densitas tulang pada lumbal, femur, dan radius.16

Kanker Adrenal
Korteks adrenal menghasilkan beberapa hormon steroid, yang paling penting adalah
kortisol, aldosteron, dan androgen adrenal. Kanker adrenokortical adalah tumor ganas yang
timbul di korteks adrenal dari kelenjar adrenal disebut kanker korteks adrenal. Tumor ini tidak
umum, hanya 5 sampai 10 persen dari semua tumor adrenal yang ganas. Namun, mereka sering
berperilaku agresif dan dapat menghasilkan kelebihan hormon salah satunya adalah hormon
kortisol yang merupakan hormon steroid dari golongan glukokortikoid. Kelebihan kortisol
menginduksi penurunan jumlah osteoblas yang disebabkan oleh efek langsung glukokortikoid
dalam penghambatan produksi dari prekusor osteoblas yang baru dan menyebabkan apoptosis
dari osteoblas. Jumlah osteoblas yang tidak memadai selama proses remodeling tulang
merupakan penyebab utama dari penipisan area trabekular tulang.17
Peningkatan apoptosis dari osteosit mempengaruhi penurunan cairan intertisial tulang.
Cairan intertisial tulang mewakili setidaknya 20-25% dari berat tulang dan meningkatkan
kekuatan tulang melalui pengurangan stres akibat beban dinamik seperti benturan. Osteosit
memberi sinyal terjadinya proses remodeling tulang untuk memperbaiki kerusakan yang timbul
akibat kerukakan mekanik. Glukokortikoid mengurangi diferensisasi osteoblas dengan
melemahkan fosforilasi dari protein kinase B dan meningkatkan aktivasi forkhead box
subgroup O transcription factor family (FoxOs) sehingga menghambat pensinyalan β-catenin
yang berfungsi untuk generasi osteoblas. Glukokortikoid juga meningkatkan ekspresi dari
dickkopf-1 yang merupakan antagonis dari β-catenin. Selain itu, glukokortikoid juga
meningkatkan produksi dari peroxisome proliferator-activated receptor γ, faktor yang
menginduksi diferensiasi adiposit dan menekan diferensiasi osteoblas sehingga berpotensi
terjadinya peningkatan lemak dalam sumsum dan penurunan jumlah osteoblas.17
Glukokortikoid menstimulasi produksi RANKL yang menstimulasi diferensiasi dan
fusi prekursor osteoklas menjadi osteoklas, dan penurunan ekspresi OPG oleh osteoblas
dimana OPG berfungsi untuk menghambat pembentukan osteoklas.17

18
2.5 Faktor Resiko
2.5.1 Usia
Setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan peningkatan risiko 1,4-1,8.
Setelah usia 35 tahun diperkirakan kepadatan tulang juga akan berkurang secara alami.5,8
2.5.2 Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak diderita wanita karena penyakit ini erat kaitannya dengan
kadar estrogen dan menopause. Bahkan sebelum menopause, tulang wanita lebih ringan dan
kurang kuat. Sejak usia 45 tahun, ketika produksi estrogen berkurang, perbedaan yang terjadi
dapat mencapai enam kali lipat dibandingkan dengan pria. Pada usia lanjut, jumlah wanita yang
mengalami fraktur pinggul dua kali lebih banyak dibandingkan dengan pria.5,8
2.5.3 Ras
Walaupun semua ras dan etnisitas memiliki risiko untuk mengidap osteoporosis, ras
asia dan eropa memiliki risiko paling besar. Pasien yang memiliki riwayat osteoporosis dalam
keluarganya memiliki risiko lebih besar untuk mengidap osteoporosis. Heritabilitas fraktur
serta kepadatan mineral tulang yang rendah, memiliki nilai yang relatif tinggi, mulai dari 25
hingga 80%. Teerdapat setidaknya 30 gen yang terkait dengan perkembangan osteoporosis.8
2.5.4 Defisiensi Vitamin D
Kadar vitamin D rendah pada darah sering terjadi pada usia lanjut. Kekurangan vitamin
D dalam tahap ringan berhubungan dengan peningkatan hormon paratiroid (PTH). PTH
meningkatkan resorpsi tulang, yang menyebabkan hilangnya massa tulang.8
2.5.5 Merokok
Merokok telah diusulkan dapat menghambat aktivitas osteoblas, dan merupakan faktor
risiko independen untuk osteoporosis. Merokok juga menghasilkan peningkatan pemecahan
estrogen eksogen, penurunan berat badan dan menopause dini, yang semuanya berkontribusi
untuk menurunkan kepadatan mineral tulang.8

2.5.6 Inaktifitas Fisik


Latihan beban dapat menekan tulang, membuat tulang berkontraksi, sehingga
merangsang pembentukan tulang. Sebalikan, inaktivitas yang berkepanjangan dapat
mengurangi massa tulang. Studi menunjukkan bahwa pria dan wanita yang melakukan latihan
yang menyangga berat sebanyak 3-5 kali dalam seminggu memiliki massa tulang yang sedikit
lebih besar dibandingkan dengan yang tidak.5,8

19
2.6 Tanda dan Gejala
Osteoporosis dapat berlangsung secara progresif selama bertahun-tahun tanpa disertai
gejala. Gejala baru timbul pada tahap osteoporosis lanjut, seperti patah tulang, punggung yang
semakin membungkuk, hilangnya tinggi badan, dan nyeri punggung. Jika massa tulang sangat
berkurang sehingga hancur, maka timbul nyeri dan kelainan bentuk. Secara khas awalnya akut
dan sering menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut. Nyeri dapat meningkat
walaupun dengan sedikit gerakan misalnya berbalik ditempat tidur, berdiri, atau berjalan. Jika
disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit. Hancurnya tulang belakang mengakibatkan
terbentuknya kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang yang disebut dengan
Dowager’s Hump, sehingga mengakibakan ketegangan otot dan nyeri punggung yang dapat
bersifat menahun. Istirahat ditempat tidur dapat meringankan nyeri untuk sementara, tetapi
akan berulang dengan jangka waktu yang bervariasi.9
Penderita osteoporosis dapat mengalami patah tulang dengan sedikit benturan,
seringnya pada tulang yang menahan beban seperti vertebra T8 ke bawah dan femur. Daerah
lain yang sering mengalami fraktur adalah tulang radius distal. Fragmen fraktur tulang radius
tersebut mengarah dorsal, disebut dengan fraktur Colles. Umumnya terjadi karena menahan
beban tubuh menggunakan telapak tangan yang ekstensi.9
Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila didapatkan
patah tulang akibat trauma yang ringan, tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri
tulang, gangguan otot (kaku dan lemah), dan secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik
yang khas.9

2.7 Diagnosis
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak memberikan
tanda -tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Oleh karena itu, untuk menegakkan
diagnosis osteoporosis, sebagaimana penyakit lain, perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, laboratorium, dan radiologi.7

2.7.1 Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting pada evaluasi osteoporosis. Keluhan utama
biasanya dapat langsung mengarah kepada diagnosis misalnya fraktur kolom femoris. Faktor
lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama,
turunnya tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium,

20
fosfor, vitamin D, latihan yang teratur yang bersifat weight-bearing. Obat-obatan yang
diminum dalam jangka panjang juga harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid,
antikonvulsan, heparin, antasid yang mengandung aluminium, sodium-fluorida dan bifosfonat
etidronat. Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi alkohol dan merokok dan juga penyakit-
penyakit lain seperti penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin, dan insufiesiensi pankreas.
Riwayat haid, umur menarke dan menopause, penggunaan obat-obat kontrasepsi, dan riwayat
keluarga dengan osteoporosis juga perlu diperhatikan.7

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Temuan penting pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan osteoporosis dapat berupa
kelanjutan fraktur lama (kifosis yang disebabkan fraktur veterbra terdahulu), fraktur baru, atau
abnormalitas karena penyebab sekunder osteoporosis. Pengukuran tinggi badan secara akurat,
dapat membantu evaluasi pasien dengan risiko patah tulang. Kehilangan tinggi badan 4 cm atau
lebih dibandingkan dengan tinggi badan maksimal atau kehilangan 2 cm atau lebih
dibandingkan pengukuran sebelumnya dapat menunjukkan adanya fraktur vertebra.
Pengukuran berat badan juga merupakan bagian evaluasi osteoporosis karena berat badan yang
rendah (kurang dari 127 lbs), IMT rendah (20 atau kurang) dan penurunan berat badan 5% atau
lebih berkaitan dengan peningkatan risiko fraktur. Kerapuhan tulang spinal, kifosis, atau
berkurangnya jarak antara tulang rusuk bagian bawah dan pelvis dapat merupakan hasil dari
satu atau lebih fraktur vertebra. Kelainan cara berjalan, postur, keseimbangan, kekuatan otot,
atau adanya hipotensi postural atau menurunnya kesadaran dapat dikaitkan dengan risiko jatuh.
Atrofi testis menunjukkan hipogonadisme. Pasien harus diobservasi apakah terdapat gejala
hipertiroidisme atau sindrom Cushing.7

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Biasanya dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas
dan tidak dapat diubah kembali. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30 - 40% baru
dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional. Hambatan lain yang ada pada
pemeriksaan radiologi konvensional untuk diagnosis osteoporosis adalah: (1) Sangat
bergantung pada alat radiologi yang digunakan; (2) Sangat bergantung pada keahlian dan
subyektivitas pemeriksaan; (3) Sangat bergantung pada kualitas film dan cara-cara pecucian
film.7
Karena kurangnya sensitivitas terhadap diagnosis osteoporosis, maka saat ini
pemeriksaan dengan radiologi konvensional tidak dianjurkan lagi. Pengukuran massa tulang
dapat memberi informasi massa tulangnya saat itu, dan terjasdinya risiko patah tulang di masa

21
yang akan datang. Salah satu prediktor terbaik akan terjadinya patah tulang osteoporosis adalah
besarnya massa tulang. Pengukuran massa tulang dilakukan oleh karena massa tulang berkaitan
dengan kekuatan tulang. Ini berarti semakin banyak massa tulang yang dimiliki, semakin kuat
tulang tersebut dan semakin besar beban yang dibutuhkan untuk menimbulkan patah tulang.
Untuk itu maka pengukuran massa tulang merupakan salah satu alat diagnosis yang sangat
penting. Selama 10 tahun terakhir, telah ditemukan beberapa tehnik yang non-invasif untuk
mengukur massa tulang.7
Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai massa tulang adalah single
photon absorptiometry (SPA), dual photon absorptiometry (DPA), dan X-ray Absorptiometry
(ada dua jenis, yaitu Single X-ray Absorptiometry = SXA dan Dual Energy X-ray
Absorptiometry = DEXA).7
Indikasi pemeriksaan massa tulang menurut International Society of Clinical
Densitometry (ISCD) 2015 adalah:10
1. Wanita usia ≥ 65 tahun tanpa memperhatikan faktor risiko klinik.
2. Pria ≥ 70 tahun, tanpa memperhatikan faktor risiko klinik.
3. Wanita muda postmenopause dan pria usia 50-69 tahun berdasarkan memiliki profil faktor
risiko klinis, seperti tubuh kurus, dengan riwayat patah tulang, pengguna obat-obatan, atau
penyakit yang dapat menyebabkan osteoporosis.
4. Ada riwayat keluarga dengan fraktur osteoporosis.
5. Menopause yang cepat (premature menopause).
6. Berkurangnya tinggi badan, atau tampak kiphosis.
7. Konsumsi obat (misalnya, glukokortikoid, dosis harian prednisone ≥ 5 mg atau setara
selama ≥ 3 bulan) yang berhubungan dengan massa tulang yang rendah atau keropos tulang
8. Sebagai monitor terhadap terapi osteoporosis yang diberikan.
X-ray absorptiometry menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. Selain itu
keuntungan lain densitometer X-ray absorptiometry dibandingkan DPA (Dual Photon
Absorptiometry) dapat mengukur dari banyak lokasi, misalnya pengukuran vertebral dari
anterior dan lateral, sehingga pengaruh bagian belakang corpus dapat dihindarkan, sehingga
presisi pengukuran lebih tajam. Ada dua jenis Xray absorptiometry yaitu : SXA (Single X-ray
Absorptiometry) dan DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry). Saat ini gold standard
pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita
adalah DEXA, yang digunakan untuk pemeriksaan vertebra, collum femur, radius distal, atau
seluruh tubuh.7
Bagian tulang seperti tulang punggung (vertebralis) dan pinggul (hip) dikelilingi oleh

22
jaringan lunak yang tebal seperti jaringan lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-organ dalam
perut. Jaringan-jaringan ini membatasi penggunaan SXA (Single X-ray absorptiometry), oleh
karena dengan sistem ini tidak dapat menembus jaringan lunak tersebut, akan tetapi hanya
dapat digunakan untuk tulang yang berada dekat kulit. DEXA atau absorptiometri X-ray energi
ganda memungkinkan kita untuk mengukur baik massa tulang di permukaan maupun bagian
yang lebih dalam.7
Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA kita akan mendapatkan
informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara lain:7
1. Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram/cm2.
2. Kandungan mineral tulang dalam satuan gram.
3. Perbandingan hasil densitas mineral tulang degnan nilai normal rata-rata densitas mineral
tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang sama, yang dinyatakan dalam
persentase.
4. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata rata densitas mineral
tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang smaa, yang dinyatakan dalam score
standar deviasi (Z-score atau T-score).
5. T-score hanya digunakan untuk wanita post atau permenopuase dan laki-laki daiatas 50
tahun, sedangkan Z-score digunakan pada wanita premenopause dan laki-laki dibawah 50
tahun.

Ada empat kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan T-score
adalah sebagai berikut:7

23
1. Normal, yakni nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok
di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa atau
lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).
2. Osteopenia (massa tulang rendah), yakni nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih
dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih pokok
di bawah rata-rata orang dewasa, atau 10 - 25% di bawah rata-rata (T-score antara -1SD
sampai -2,5 SD.
3. Osteoporosis, adalah nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih
pokok di bawah nilai rata – rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-
score di bawah -2,5 SD).
4. Osteoporosis lanjut, adalah nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5
selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih,
dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score di bawah -2,5 SD
dengan adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).
Setelah menerima diagnosis osteoporosis atau massa tulang yang rendah, kita harus
memonitor massa tulang yang berkurang atau bertambah seiring dengan waktu. Pengukuran
massa tulang ini penting secara klinis untuk mendiagnosis dan mengendalikan osteoporosis.7
National Osteoporotic Foundation (NOF) merekomendasikan bahwa terapi
farmakologis hanya dilakukan untuk wanita menopause dan pria berusia 50 tahun atau lebih
yang memiliki keadaan berikut:9
1. Fraktur panggul atau vertebra.
2. T-score -2.5 atau kurang pada leher femoralis atau vertebra setelah evaluasi yang tepat
untuk menyingkirkan penyebab sekunder.
3. Massa tulang yang rendah (T-score -1.0 antara -2.5 dan di leher femoralis atau tulang
belakang) dan probabilitas 10-tahun patah tulang pinggul sebesar 3% atau lebih, atau
probabilitas 10-tahun patah tulang osteoporosis 20 % atau lebih.
Dalam pengobatan dan pengendalian osteoporosis pemeriksaan ulangan massa tulang
dengan DEXA dapat dikerjakan dalam kurun waktu 1 - 2 tahun. Penentuan massa tulang secara
radiologis penting untuk menentukan diagnosis osteoporosis, akan tetapi tidak memberikan
gambaran tentang proses dinamis penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat
menunjukkan derajat kecepatan kehilangan tulang. Biopsi tulang dan parameter biokimiawi
dapat memberikan gambaran ini dengan jelas, tetapi biopsi tulang merupakan prosedur yang
invasif, sehingga sulit untuk dilaksanakan secara rutin. Satu – satunya pilihan untuk
menentukan bone turnover adalah parameter atau penanda biokimiawi. Pada osteoporosis,

24
petanda bone turnover dapat digunakan untuk memperkirakan kehilangan tulang pada wanita
pascamenopause, untuk memperkirakan kejadian fraktur osteoporosis dan untuk memantau
efikasi pengobatan.7
Petanda resorpsi tulang akibat aktivitas osteoklas meningkat, saat ini merupakan
metode pilihan untuk memperkirakan akan terjadinya osteoporosis, atau untuk memantau
terapi pada pasien yang diberi obat antiresorpsi oral. Penentuan Crosslink Telopeptida C-
Terminal (CTx) dalam serum merupakan indikator yang baik untuk resorpsi tulang. CTx
merupakan hasil dekomposisi awal dan stabil dari kolagen tipe-1 spesifik tulang, yang
menggambarkan proses pada tulang secara relatif langsung. CTx merupakan penanda resorpsi
tulang pertama dalam serum yang dapat diperiksa dengan alat otomatisasi. CTx dapat diukur
dalam serum dan plasma, yang tidak memerlukan pengukuran tambahan kreatinin seperti yang
diperlukan pada pengukuran penanda tulang dalam urin. Selain itu, pemeriksaan CTx juga
meniadakan kebutuhan untuk menentukan sempel urin ideal (urin pertama atau kedua pada
pagi hari, atau urin yang dikumpulkan selama 24 jam). Penelitian akhir-akhir ini membuktikan
bahwa Akan tetapi sayangnya pemeriksaan tersebut belum dapat dilakukan secara rutin di
laboratorium.7

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Non Farmakologi
Osteoporosis dapat menyerang siapa saja, termasuk individu-individu yang yang
sangat hati-hati dengan gaya hidupnya, mereka makan dengan benar, berolahraga secara
teratur, tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol atau hanya dengan jumlah yang sedikit
dan tidak memiliki penyakit, kondisi atau menggunakan obat yang mungkin merupakan
predisposisi osteoporosis. Pasien osteoporosis yang gaya hidup mereka tidak menentu harus
konseling tentang semua kegiatan mereka dalam kehidupan sehari-hari agar memungkinkan
untuk memperlambat perkembangan keropos tulang.11
Pasien dengan patah tulang belakang sangat membutuhkan petunjuk khusus
mengenai perubahan dalam aktivitas hidup sehari-hari, seperti belajar membungkuk,
mengangkat dan sebagainya sehingga tidak menambah stres dan ketegangan pada tulang
belakang. Saran serupa juga harus diberikan kepada mereka dengan massa tulang yang sangat
rendah tetapi belum retak.11
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam edukasi dan pencegahan, sebagai berikut:11
1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur untuk memelihara
kekuatan, kelenturan dan keseimbangan sistem neuromuskular serta kebugaran, sehingga

25
dapat mencegah risiko terjatuh. Selain itu latihan juga akan mencegah perburukan
osteoporosis karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokimikal yang akan meningkatkan
remodelling tulang. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit
per hari, bersepeda maupun berenang.
2. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dapat dilakukan dengan
mengkonsumsi kalsium yang cukup. Minum 2 gelas susu dan vitamin D setiap hari, bisa
meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang sebelumya tidak
mendapatkan cukup kalsium. Sebaiknya konsumsi kalsium setiap hari. Dosis yang
dianjurkan untuk usia produktif adalah 1000 mg kalsium per hari, sedangkan untuk lansia
1200 mg per hari. Kebutuhan kalsium dapat terpenuhi dari makanan sehari-hari yang kaya
kalsium seperti ikan teri, brokoli, tempe, tahu, keju dan kacang-kacangan.

Tabel 2. Kebutuhan Kalsium Perhari

3. Menghentikan kebiasaan merokok merupakan upaya penting dalam mengurangi faktor


risiko terjadinya osteoporosis. Terlalu banyak minum alkohol juga bisa merusak tulang.
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testesteron pada laki-laki dan
menopause awal pada perempuan.
5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis.
6. Hindari mengangkat barang yang berat pada penderita yang sudah pasti osteoporosis.
7. Hindari berbagai hal yang dapat membuat penderita terjatuh, seperti lantai licin, obat- obat
sedatif atau obat anti hipertensi yang dapat menimbulkan hipotensi orthostatik.

26
8. Sinar matahari terutama UVB membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan
oleh tubuh dalam pembentukan massa tulang. Berjemurlah dibawah sinar matahari selama
20-30 menit, 3x/minggu. Sebaiknya berjemur dilakukan pada pagi hari sebelum jam 9 dan
sore hari sesudah jam 4. Pada orang yang kurang terpajan sinar matahari atau penderita
dengan fotosensitifitas, misal nya SLE (Systemic Lupus Erythematosus). Bila di duga ada
defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila kadar 25(OH)D
serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang
tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 12,5(OH)2D harus
dipertimbangkan.
9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan natrium
sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi
kalsium > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).
10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang,
usahakan pemberian glokokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat
mungkin.
11. Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat penting mengatasi
aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa
tulang akibat artritis inflamasi yang aktif.

2.8.2 Farmakologi
Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas
dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini obat-obat yang beredar pada
umumnya bersifat anti resorpsi. Yang termasuk obat anti resorpsi misalnya: estrogen,
kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak mempunyai efek anti
resorpsi maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi meneralisasi
osteoid setelah proses pembentukan tulang oleh sel osteoblast.11
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama pemberian terapi osteoporosis,
yakni:9
1. Alendronat merupakan terapi lini pertama karena memiliki tingkat keberhasilan yang
tinggi sebagai pilihan terapi osteoporosis dengan harga yang murah.
2. Ibandronate, risedronate, zoledronic acid, raloxifene, atau strontium ranelate dapat
menjadi pilihan terapi yang tepat jika adanya kontraindikasi dari penggunaan alendronate.
3. Kombinasi terapi tidak membuktikan adanya efek perbaikan yang lebih baik dibandingkan
dengan monoterapi.

27
4. Terapi dengan menggunakan rekombinan hormon praratiroid hanya diindikasikan kepada
pasien dengan faktor resiko yang sangat tinggi terutama dengan fraktur vertebra dengan
alasan yang tidak diketahui.
5. Calcitriol, dan hormone replacement therapy dapat diberikan terutama kepada wanita yang
telah mengalami masa postmenopause
6. Pasien yang menggunakan glukokortikoid dianjurkan untuk segera memulai terapi dengan
alendronate ataupun terapi osteoporosis lainnya
7. Kalsium dan suplemen vitamin D dapat digunakan sebagai terapi tambahan bersamaan
dengan terapi osteoporosis lainnya

Bifosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis.
Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas dengan cara berikatan dengan
permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton
dan enzim lisosomal di bawah osteoklas.11
Pemberian bisfosfonat secara oral akan diabsorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat
buruk (kurang dari 55 dari dosis yang diminum). Absorpsi juga akan terhambat bila diberikan
bersama-sama dengan kalsium, kation divalen lainnya, dan berbagai minuman lain kecuali
air. Idealnya diminum pada pagi hari dalam keadaan perut kosong. Setelah itu penderita tidak
diperkenankan makan apapun minimal selama 30 menit, dan selama itu penderita harus dalam
posisi tegak, tidak boleh berbaring. Sekitar 20-50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat
pada permukaan tulang setelah 12-24 jam.11
Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap
berada di dalam tulang selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi.
Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan mengalami metabolism di dalam
tubuh dan akan diekresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga harus hati- hati
pemberiannya pada penderita gagal ginjal. Efek samping bisfosfonat adalah refluks
esofagitis, osteonekrosis jaw, hipokalsemia dan atrial fibrilasi. Oleh sebab itu, penderita yang
memperoleh bisfosfonat harus diperhatikan asupan kalsiumnya.11
Bisfosfonat memikili beberapa jenis generasi, yakni generasi I ( etidronat dan klodronat
), generasi II ( tiludronat, pamidronat, dan alendronat ), generasi III ( risedronat, ibandronat,
dan zoledronat).9
Risedronat, merupakan aminobisfosfonat generasi ketiga yang sangat poten. Untuk

28
mengatasi penyakit paget diperlukan dosis 30 mg/hari selama 2 bulan, sedangkan untuk
osteoporosis diperlukan dosis 35 mg/minggu atau 5 mg/hari secara kontinyu atau 75 mg 2
hari berturut-turut sebulan sekali atau 150 mg sebulan sekali. Kontra indikasi pemberian
risedronat adalah hipokalsemia, ibu hamil, menyusui dan gangguan ginjal (creatinine
clearance < 30 ml/menit).11
Alendronat, merupakan aminobisfosfonat yang poten. Untuk terapi osteoporosis
dapat diberikan dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu, karena tidak mengganggu
mineralisasi tulang. Saat ini dikembangkan dosis 70 mg seminggu sekali. Untuk pencegahan
osteoporosis pada wanita pasca menopause dan osteoporosis induce glukkortikoid diberikan
dosis 5 mg/dl. Untuk penyakit paget diberikan dosis 40 mg/hari selama 6 bulan. Supaya
diserap dengan baik, alendronat harus diminum dengan segelas penuh air pada pagi hari dan
dalam waktu 30 menit sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain. Alendronat bisa
mengiritasi lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak
boleh berbaring, minimal selama 30 menit sesudahnya. Obat ini tidak boleh diberikan kepada
orang yang memiliki kesulitan menelan atau penyakit kerongkongan dan lambung tertentu.
Alendronat juga tidak direkomendasikan pada penderita gangguan ginjal (creatinine
clearance < 35 ml/menit).11
Ibandronat, juga merupakan bisfosfonat generasi ketiga. Pemberian peroral untuk
terapi osteoporosis dapat diberikan 2,5 mg/hari atau 150 mg sebulan sekali. Ibandronat juga
dapat diberikan intravena dengan dosis 3 mg, 3 bulan sekali. Kontra indikasi pemberian
ibandronat adalah hipokalsemia.11
Zoledronat, bisfosfonst terkuat yang ada saat ini. Sediaan yang ada adalah sediaan
intravena yang harus diberikan per drip selama 15 menit untuk dosis 5 mg. Untuk pengobatan
osteoporosis cukup diberikan 5 mg setahun sekali, sedangkan untuk pengobatan
hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan 4 mg per drip setiap 3-4 minggu sekali
tergantung responnya. Kontra indikasi pemberian zoledronat adalah hipokalsemia, ibu hamil
dan menyusui.11

Raloksifen
Raloksifen golongan preparat anti estrogen yang mempunyai efek seperti estrogen di
tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan terhadap endometrium dan
payudara. Golongan Raloksifen yang disebut juga selective estrogen receptor modulators
(SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor estrogen- sehingga tidak menyebabkan
perdarahan dan kejadian keganasan payudara. Mekanisme kerja Raloksifen terhadap tulang

29
diduga melibatkan TGF3 yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi menghambat
diferensiasi sel osteoklas.11
Dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan osteoporosis adalah 60 mg/hari.
Pemberian raloksifen peroral akan diabsorpsi dengan baik dan akan di metabolisme di hati.
Raloksifen dapat menyebabkan kecacatan janin, sehingga tidak boleh diberikan pada wanita
hamil atau berencana untuk hamil. Efek samping raloksifen dapat meningkatkan kejadian
deep venous thrombosis (DVT), rasa panas dan kram pada kaki.11

Esterogen
Mekanisme estrogen sebagai anti resorpsi, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas
maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas. Pemberian terapi estrogen dalam pencegahan
dan pengobatan osteoporosis dikenal sebagai Terapi Sulih Hormon (TSH). Estrogen sangat
baik diabsorbsi melalui kulit, mukosa vagina, dan saluran cerna. Efek samping estrogen
meliputi nyeri payudara (mastalgia), retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboemboli,
dan pada pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker payudara.
Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah: kanker payudara, kanker endometrium,
hiperplasi endometrium, perdarahan uterus disfungsional, hipertensi, penyakit tromboemboli,
karsinoma ovarium, dan penyakit hati yang berat. Di beberapa negara, saat ini TSH hanya
direkomendasikan untuk gejala klimakterium dengan dosis sekecilnya dan waktu
sesingkatnya. TSH tidak direkomendasikan lagi sebagai terapi pilihan pertama untuk
osteoporosis.11

Strontium Ranelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis kerja ganda, yaitu meningkatkan
kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Dosis strontium ranelat adalah 2 mg/hari
yang dilarutkan dalam air dan diberikan pada malam hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum
makan atau 2 jam setelah makan. Efek sampingstrontium ranelat adalah dispepsia dan diare.
Strontium ranelate harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat tromboemboli
vena.11

Vitamin D
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Lebih dari 90%
vitamin D disintesis dalam tubuh, prekursornya ada di bawah kulit oleh paparan sinar
ultraviolet. Vitamin D dapat berupa alfacalcidol (25 OH vitamin D3) dan calcitriol (1,25
(OH)2 Vitamin D3), kedua dapat digunakan untuk pengobatan osteoporosis.8 Kadar vitamin

30
D dalam darah diukur dengan cara mengukur kadar 25 OH vitamin D3. Pada penelitian
didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg kalsium peroral selama 18 bulan
ternyata mampu menurunkan fraktur non spinal sampai 50% (Dawson-Hughes, 1997). Pada
pemberian vitamin D dosis tinggi (50.000 IU) dapat berkembang menjadi hiperkalsiuria dan
hiperkalsemia.11

Kalsitriol
Saat ini kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan
osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat hipokalsemia yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium peroral. Kalsitriol juga diindikasikan
untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun gagal
ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah 0,25 g, 1-2 kali per
hari.11

Kalsium
Kalsium sebagai mono terapi ternyata tidak cukup untuk mencegah fraktur pada
penderita osteoporosis. Preparat kalsium terbaik adalah kalsium karbonat, karena
mengandung kalsium elemental 400 mg/gram, disusul kalsium fosfat yang mengandung
kalsium elemental 230 mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemental 211
mg/gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemental 130 mg/gram dan kalsium
glukonat yang mengandung kalsium elemental 90 mg/gram. Pemberian kalsium dapat
meningkatkan risiko hiperkalsiuria dan batu ginjal.11

Tabel 3. Asupan kalsium

Hormon Paratiroid (PTH)


Pemberian hormon paratiroid (PTH) secara intermitten dapat menyebabkan peningkatan

31
jumlah dan aktivitas osteoblas, sehingga terjadi peningkatan massa tulang dan perbaikan
mikroarsitektur tulang. Teriparatide terbukti menurunkan risiko fraktur vertebra dan non
vertebra. Dosis yang direkomendasikan adalah 20mg/hari subkutan selama 18-24 bulan.
Kontra indikasi teriparatide adalah hiperkalsemia, penyakit tulang metabolik selain
osteoporosis primer, misalnya hiperparatiroid dan penyakit paget, peningkatan alkali fosfatase
yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mendapat terapi radiasi.11

2.8.3 Pembedahan
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur terutama fraktur
panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada terapi bedah penderita osteoporosis
adalah:9
1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan tindakan
bedah,sebaiknya segera dilakukan. Sehingga dapat menghindari imobilisasi lama dan
komplikasi fraktur yang lebih lanjut.
2. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil shingga mobilisasi
penderita dapat dilakukan sehdini mungkin.
3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan pada penderita yang menjalani tindakan bedah,
sehingga mineralisasi kalus menjadi sempurna.
4. Walalupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan medikamentosa osteoporosis
dengan bisfosfonat atau raloksifen atau terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin
tetapi harus diberikan.
Pada fraktur korpus vertebra, dapat dilakukan vertebroplasti atau kifoplasti.
Verteboplasti adalah tindakan penyuntikan semen tulang ke dalam korpus vertebra yang
mengalami fraktur, sedangkan kifoplasti adalah tindakan penyuntikan semen tulang ke dalam
balon yang sebelumnya sudah dikembangkan di dalam korpus vertebra yang kolaps akibat
fraktur.9

2.9 Prognosis
Prognosis untuk osteoporosis baik jika kehilangan tulang terdeteksi di tahap awal dan
intervensi yang tepat dilakukan. Pasien dapat meningkatkan BMD dan mengurangi risiko patah
tulang dengan obat anti-osteoporosis yang tepat. Selain itu, pasien dapat mengurangi risiko
jatuh dengan berpartisipasi dalam rehabilitasi dan juga modifikasi lingkungan. Memburuknya
keadaan dapat dicegah dengan memberikan manajemen nyeri yang tepat dan, jika
diindikasikan dapat juga menggunakan perangkat orthotic.7

32
Meskipun pasien osteoporosis memiliki tingkat kematian meningkat karena
komplikasinya yaitu patah tulang, tetapi dengan sendirinya osteoporosis jarang mematikan.
Terlepas dari risiko kematian dan komplikasi lainnya, fraktur osteoporosis berhubungan
dengan kualitas kesehatan yang berhubungan berkurang quality of life.7

33
BAB III

KESIMPULAN

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas masa
tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
Terdapat beberapa jenis osteoporosis yang dijumpai di klinik, yaitu osteoporosis primer dan
osteoporosis sekunder.
Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, sebagaimana penyakit lain, perlu dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan radiologi. Secara teoritis osteoporosis dapat
diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan
tetapi saat ini obat-obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Terapi non
farmakologi pada osteoporosis yakni dengan edukasi dan pencegahan, latihan fisik dan nutrisi
sedangkan terapi farmakologi yakni dengan bisfosfonat, selective estrogen receptor
modulators, hormon seks, strontium ranelat, vitamin D, dan kalsium.

34
Daftar Pustaka
1. Jahari AB, Prihatini S. Risiko osteoporosis di Indonesia. Gizi Indonesia. 2007;1(30).
2. Permana H. Patogenesis dan metabolisme osteoporosis pada manula. Abstrak. 2009.
3. Hough S, Ascott EB, Brown S, Cassim B, De Villiers T, Lipschitz S, et al. NOFSA
Guideline for the Diagnosis and Management of Osteoporosis. South Africa: NOFSA; 2010
4. Clunie G, Keen R. Osteoporosis. 2nd ed. United States of America: Oxford University
Press; 2014.p.7-14.
5. Syam Y, Noersasongko D, Sunaryo H. Fraktur akibat osteoporosis. Unsrat . Jurnal e-CliniC
(eCl). Juli 2014;2(2).
6. Rosen CJ. Osteoporosis: Diagnostic and therapeutic principles. New York: Springer
Science & Business Media; 2012.p.7-9.
7. Kawiyana IK. Osteoporosis patogenesis diagnosis dan penanganan terkini. journal of
internal medicine. 2009;10(2).
8. Safriadi F. Bone metastases and bone loss medical treatment in prostate cancer patients.
Acta medica Indonesiana. 2013; 45(1).
9. Logothetis C, Lin S. Osteoblasts in prostate cancer metastasis to bone. Nature Reviews
Cancer. 2005;5(1):21-28.
10. Edwards CM, Zhuang J, Mundy GR. The pathogenesis of the bone disease of multiple
myeloma. Bone.2008;42(6): 1007-1013.
11. Handzlik-Orlik G, Holecki M, Wilczyński K, Duława J. Osteoporosis in liver disease:
pathogenesis and management. Therapeutic Advances in Endocrinology and Metabolism.
2016;7(3):128-135.
12. Nakchbandi IA. Osteoporosis and fractures in liver disease: relevance, pathogenesis and
therapeutic implications. World journal of gastroenterology: WJG. 2014; 20(28): 9427.
13. Chen YC, Sosnosko DM, Mastro AM. Breast cancer metastasis to the bone: mechanisms
of bone loss. Breast cancer research, 2010;12(6): 215.
14. Luo Q, Xu Z, Wang L, Ruan M, Jin G. Progress in the research on the mechanism
of�bone metastasis in lung cancer (Review). Molecular and Clinical Oncology. 2016.
15. Muresan M, Olivier P, Leclere J, Sirveaux F, Brunaud L, Klein M et al. Bone metastases
from differentiated thyroid carcinoma. Endocrine Related Cancer. 2008;15(1):37-49.
16. Lewiecki E, Miller P. Skeletal Effects of Primary Hyperparathyroidism: Bone Mineral
Density and Fracture Risk. Journal of Clinical Densitometry. 2013;16(1):28-32.
17. Weinstein R. Glucocorticoid-Induced Osteoporosis and Osteonecrosis. Endocrinology and
Metabolism Clinics of North America. 2012;41(3):595-611.

35
18. Papaioannou A, Morin S, Cheung AM, Atkinson S, Brown JP, Feldman S, Hanley DA,
Hodsman A, Jamal SA, Kaiser SM, Kvern B. 2010 clinical practice guidelines for the
diagnosis and management of osteoporosis in Canada: summary. Canadian Medical
Association Journal. 2010 Nov 23;182(17):1864-73.
19. Osteoporosis: Practice Essentials, Background, Pathophysiology.
Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 12 June 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/330598-overview.
20. 2015 ISCD Official Positions - Adult - International Society for Clinical Densitometry
(ISCD). Iscd.org. 2017 [cited 12 June 2017]. Available from: http://www.iscd.org/official-
positions/2015-iscd-official-positions-adult/.
21. Jeremiah M, Unwin B, Greenawald M, Casiano V. Diagnosis and Management of
Osteoporosis. Aafp.org. 2017 [cited 13 June 2017]. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2015/0815/p261.html.

36

You might also like