You are on page 1of 4

ALAT DAN BAHAN

1. ALAT
a. Timbangan analitik
b. Botol timbang
c. Erlenmeyer
d. Gelas beker
e. Gelas ukur
f. Labu ukur
g. Pipet paseur
h. Statif
i. Buret
j. Kompor listrik
k. Pendingin Leibig
l. Pipet volume
2. BAHAN
a. Sampel madu “kaliandra madu super”
b. Pb asetat
c. Natrium karbonat
d. Larutan Luff Schoorl
e. KI
f. Asam sulfat
g. Asam klorida
h. Natrium karbonat
i. Natrium tiosulfat
j. Akuades
k. Cu2SO4
l. Asam sulfat
m. Kalium sulfat
PEMBAHASAN
Dalam penetapan kadar sukrosa dilakukan dengan metode Luff
Schoorl. Metode ini didasarkan pada pengurangan ion tembaga (II) pada madu
oleh gula. Larutan Luff Schoorl mengandung ion Cu2+. Gula pereduksi seperti
glukosa dan fruktosa akan mereduksi CuO menjadi Cu2O .
Pada percobaan ini menggunakan filtrat dari percobaan gula pereduksi
sebelumnya sebanyak kemudian ditambahkan akuades dan HCl. Penambahan
HCl bertujuan untuk menghidrolisis pati menjadi monosakarida. Setelah HCl
ditambahkan, larutan kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 70̊ C.
Adapun reaksi kimianya adalah sebagai berikut:
C12H22O11.H2O + HCl → 2C6H12O6 + 2C6H12O6
Sukrosa Glukosa Fruktosa
Kemudian larutan tersebut didinginkan agar kembali ke suhu normal,
kemudian dilakukan penetralan dengan penambahan larutan NaOH 45%
hingga pH mencapai 7 yang di cek menggunakan lakmus. Jika pH yang
terlalu rendah akan menyebabkan hasil titrasi menjadi lebih tinggi dari
sebenarnya, karena terjadi reaksi oksidasi ion iodide menjadi I2. Sedangkan
apabila pH terlalu tinggi (terlalu basa), maka hasil titrasi akan menjadi lebih
rendah daripada sebenarnya, karena pada pH tinggi akan terjadi resiko
kesalahan, yaitu terjadinya reaksi I2 yang terbentuk dengan air (hidrolisis).
Kemudian diencerkan sampai volume 250 mL pada labu takar. Filtrat diambil
25 mL dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 25 mL
larutan Luff-Schoorl sehingga berwarna biru dan batu didih agar tidak terjadi
letupan pada saat mendidih. Larutan ini dibuat sebanyak 2 buah, pada 2
erlenmeyer yang terpisah.
Kemudian larutan direfluks selama 10 menit. Pada awalnya larutan
berwarna biru Larutan Luff Schoorl akan bereaksi dengan sampel yang
mengandung gula pereduksi dan menyebabkan warna biru larutan berubah
menjadi warna kemerahan dengan endapan. Setelah itu, larutan didinginkan
dengan air mengalir agar suhu larutan kembali normal seperti suhu ruang
sehingga reaksi pada tahap selanjutnya dapat berjalan dengan optimal.
Kemudian ditambahkan 15 mL KI 20% yang bertujuan untuk membebaskan
iodin yang ditandai dengan terbentuknya warna kuning pada sampel.
Selanjutnya ditambahkan 25 mL H2SO4 26,5% yang bertujuan untuk
mengikat ion tembaga yang terbentuk dari hasil reduksi monosakarida dengan
pereaksi Luff-Schoorl menjadi CuSO4, sehingga larutan KI yang sudah
ditambahkan akan bereaksi dengan CuSO4. Adapun reaksinya adalah sebagai
berikut:
H2SO4 + CuO → CuSO4 + H2O
CuSO4 + 2KI → CuI2 + K2SO4
2CuI2 → Cu2I2 + I2
Sebelum melakukan titrasi, larutan ditambahkan indikator larutan
kanji terlebih dahulu yang berfungsi sebagai indikator titrasi. Selanjutnya
dilakukan titrasi cepat dengan menggunakan larutan natrium tiosulfat
(Na2S2O3) 0,1000 N. Titrasi cepat dilakukan untuk menghindari penguapan
KI. Titrasi dilakukan sampai titik akhir titrasi yang ditandai perubahan warna
dari kuning keruh menjadi putih susu. Didapatkan volume natrium tiosulfat
yang digunakan 5.8 mL dan 5.5 mL.
Percobaan diulangi dari tahap refluks hingga titrasi pada blangko yang
dengan menggunakan akuades dan larutan Luff-Schoorl, sebagai
pembanding. Kemudian direfluks 10 menit dan dinginkan di bawah air yang
mengalir. Blangko yang telah ditambah KI dan asam sulfat akan berubah
warna dari biru menjadi kehijauan dengan endapan merah bata karena KI
yang sudah ditambahkan akan bereaksi dengan CuSO4. Kemudian larutan
ditambahkan indikator kan dan dititrasi sehingga didapatkan volume natrium
tiosulfat yang digunakan sebesar 18.5 mL, dengan perubahan warna menjadi
hijau keabuan. Volume natrium tiosulfat pada blangko didapatkan perbedaan
volume yang banyak dibanding dengan sampel, hal ini bisa diakibatkan
kelebihan dalam titrasi karena perubahan warna yang terjadi tidak terlalu jelas
atau diakibatkan ketidaktepatan saat melakukan proses penetralan larutan
dalam keadaan asam sehingga menyebabkan volume natrium tiosulfat lebih
tinggi dari sebenarnya.
Setelah dilakukan perhitungan dan mencari kadar gula yang setara dengan
volume natrium tiosulfat yang digunakan dengan tabel/daftar Luff-Schoorl,
didapatkan massa gula sukrosa sesudah inversi sebesar 30.31%.

KESIMPULAN
1. Kadar gula pereduksi dan sukrosa dalam madu dapat ditentukan dengan
metode Luff Schoorl.
2. Sukrosa tidak memiliki sifat-sifat mereduksi, karena itu untuk menentukan
kadar sukrosa harus dilakukan inversi terlebih dahulu menjadi glukosa dan
fruktosa.
3. Didapatkan kadar gula pereduksi sebesar 62.08 % dan kadar gula sukrosa
sebesar 30,31% dalam sampel madu “kaliandra madu super”.

You might also like