You are on page 1of 28

HEMATOTHORAX DENGAN FRAKTUR

IGA MULTIPEL

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepanitraan Klinik Senior
pada bagian /SMF Ilmu Bedah
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh

Dayu Pila Fita Idla


1607101030145

Dian Mutia
1607101030119

Pembimbing

dr. Yopie Afriandi Habibie, Sp. B. TKV

Bagian/SMF ILMU BEDAH


RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Hematothorax dengan fraktur Multipel”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan
kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia ke masa yang
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalankan
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dr. Yopie Afriandi Habibie,
Sp. B. TKV yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak terhadap laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penulis dan orang lain.

Banda Aceh, Mei 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ............................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2
2.1 Definisi......................................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ................................................................................................ 2
2.3 Etiologi......................................................................................................... 4
2.4 Klasifikasi .................................................................................................... 4
2.5 Patofisiologi ................................................................................................. 5
2.6 Diagnosis ..................................................................................................... 5
2.6.1 Anamnesis ........................................................................................... 5
2.6.2 Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 6
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 7
2.7 Tatalaksana .................................................................................................. 8
2.7.1 Terapi Medikamentosa........................................................................ 8
2.7.2 Terapi Pembedahan ............................................................................. 9

BAB III LAPORAN KASUS .................................................................................. 10


3.1 Identitas Pasien ........................................................................................... 10
3.2 Anamnesis ................................................................................................... 10
3.3 Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 11
3.4 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 12
3.6 Diagnosis Kerja............................................................................................ 13
3.7 Penatalaksanaan ........................................................................................... 13
3.8 Prognosis ..................................................................................................... 13
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma thorax merupakan semua keadaan ruda paksa pada thoraks dan
dinding thorax, baik rudapaksa tajam maupun tumpul. Trauma adalah penyebab
kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan di seluruh kota besar di dunia, dan
diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun disebabkan oleh
trauma thorax di Amerika, sedangkan insiden penderita trauma thorax di Amerika
Serikat diperkirakan 12 penderita per seribu populasi per hari, kematian oleh
karena trauma thorax sebesar 20-25%, dan hanya 10-15% penderita trauma
tumpul thorax yang memerlukan tindakan operasi. Canadian Study dalam laporan
penelitiannya selama 5 tahun pada "Urban Trauma Unit" menyatakan bahwa
insiden trauma tumpul thorax sebanyak 96.3% dari seluruh trauma toraks,
sedangkan sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma tajam.
Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga
abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan leher dapat diraba
insisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu muskulus latisimus
dorsi, muskulus trapezius, muskulus rhombhoideus mayor dan minor, muskulus
seratus anterior, dan muskulus interkostalis. Tulang dinding dada terdiri dari
sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak didalam rongga
thoraks yaitu paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar,
saraf dan sistem limfatik.
Trauma tumpul toraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding toraks,
fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim
paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks dan hematotoraks.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Thorax


2.1.1 Definisi
Thoraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, pada bagian bawah
lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari
pada bagian depan. Pada rongga thoraks terdapat paru-paru dan mediatinum.
Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua paru-paru, di
dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu; system
pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada yaitu;
esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe.

Kerangka thoraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir
dianterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang.

Gambar 2.1 Anatomi toraks

2
2.2. Trauma Thorax
2.2.1 Definisi
Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan atau
organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.
Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan
identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
segera.
Secara anatomis rongga thoraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga
abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan leher dapat diraba
insisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu muskulus latisimus
dorsi, muskulus trapezius, muskulus rhombhoideus mayor dan minor, muskulus
seratus anterior, dan muskulus interkostalis. Tulang dinding dada terdiri dari
sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak didalam rongga
thoraks yaitu paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar,
saraf dan sistem limfatik.
Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks,
fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim
paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks dan hematotoraks.

2.2.2 Epidemiologi

Trauma thoraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan


kondisi sosial ekonomi masyarakat. Di Amerika Serikat dan Eropa rata-rata
mortalitas trauma tumpul thoraks dapat mencapai 60%. Disamping itu 20-25%
kematian politrauma disebabkan oleh trauma thoraks.

Trauma thoraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%,


pneumothoraks 5%, hematothoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum
20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan
menjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade
terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma thoraks yang
sangat serius dengan angka kematian 20-43%.

3
2.2.3. Etiologi
Trauma pada thoraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan
trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah kecelakaan kendaraan
bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan
(impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang berputar, dan terguling.
Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap
karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks
oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya,
yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol dan
berenergi tinggi seperti pada senjata militer. Penyebab trauma toraks yang lain
adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan
pneumotoraks seperti pada scuba.
Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan
sternum, rongga pleura saluran nafas intra toraks dan parenkim paru. Kerusakan
ini dapat terjadi tunggal atau kombinasi tergantung mekanisme cedera.

2.2.4 Patofisologi
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat
tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi
yang ringan pada dinding toraks, berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan
kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan
komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih
berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauama langsung pada
jantung.
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
mengganggu fungsi fisiologi dari pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat
tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa
gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik alat
pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan
faal jantung dan pembuluh darah.

4
2.3 Fraktur Costae
2.3.1 Definisi
Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat trauma
tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur
iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat
melalui sela iga. Fraktur iga sering terjadi pada iga IV-X dan sering menyebabkan
kerusakan pada organ intra toraks dan intra abdomen (Sjamsuhidajat, 2005).
Toraks terdiri dari 12 tulang toraks dengan bagian depan terdapat;
manubrium, sternum, xyphoid, clavikula dan scapula terletak dibagian belakang.
Fraktur kosta adalah patah tulang yang terjadi pada tulang iga. Flail chest secara
khusus didefinisikan dengan patah tulang pada 4 atau lebih patah tulang kosta
pada dua atau lebih lokasi yang menyebabkan adanya gerakan paradoksal dari
dinding toraks selama pernafasan (Lube, 2013).

2.3.2 Epidemiologi
Patah tulang kosta pada remaja biasanya karena kegiatan olah raga dan
rekreasi sedangkan pada orang dewasa penyebab utamanya adalah kecelakaan lalu
lintas. Pada usia lanjut, penyebab utama terjadinya fraktur kosta adalah jatuh dari
ketinggian. Fraktur kosta juga bisa karena proses patologis. Metastase kanker ke
tulang seperti kanker prostat, kanker payudara, kanker ginjal bisa muncul fraktur
kosta. Kosta lebih tipis daripada tulang panjang dan lebih mudah terjadi metastase
(Assi et al, 2012); Melendez S. L, 2015). Pada anak- anak umur kurang dari 3
tahun penyebab terbanyak karena menjadi korban kekerasan pada anak 82% dari
62 anak-anak dengan umur kurang dari 3 tahun menjadi korban kekerasan pada
anak (Lafferty et al, 2011).
Prevalensi dari fraktur kosta berhubungan dengan prevalensi penyebab dari
trauma. Fraktur kosta di dunia lebih banyak terjadi karena kecelakaan lalulintas.
Fraktur kosta tidak selalu berbahaya. Angka kejadian berhubungan dengan derajat
dari cedera yang didapat. Pada tahun 2004, lebih dari 300,000 orang dirawat
dengan fraktur kosta di Amerika. Insiden fraktur kosta di Amerika serikat banyak
dilaporkan dengan lebih dari 2 juta trauma tumpul terjadi yang biasanya karena
kecelakaan kendaraan bermotor, dengan insiden dari trauma toraks antara 67 dan

5
70%. Suatu studi pada pasien dengan fraktur kosta, angka kematian mencapai
12%; dengan 94% berhubungan dengan trauma itu sendiri dan 32% didapatkan
dengan hemothorax atau pneumothorax (Laferty et al, 2011).
Lebih dari setengah dari semua pasien memerlukan tindakan operasi atau
penanganan ICU. Suatu penelitian retrospective dari 99 pasien lanjut usia, 16 %
dari pasien dengan confidence interval 95%, sedangkan 9.5-24.9% mengalami
perburukan termasuk 2 orang meninggal. Perburukan yang terjadi karena Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS), pneumonia, intubasi yang tidak
terantisipasi, transfer ke ICU dengan hipoksemia atau meninggal. Sebuah studi
pada orang Jepang dengan rheumatoid arthritis yang diikuti selama lebih dari 5
tahun, 13.5% dilaporkan terjadi fraktur dengan fraktur kosta menjadi kasus
terbanyak pada laki-laki dan patah tulang belakang pada perempuan (Melendez S.
L, 2015).
Pada anak anak lebih banyak terjadi trauma pada bagian bawah toraksdan
bagian perut sehingga bila terjadi fraktur kosta dapat menjadi tanda adanya
kemungkinan cedera dengan tenaga yang lebih besar. Pada anak yang lebih muda
dari 2 tahun dengan fraktur tulang kosta mempunyai prevalensi karena kekerasan
pada anak sekitar 83%.Pada anak-anak jarang terjadi fraktur kosta karena tulang
kosta anak anak lebih elastis dibandingkan orang dewasa (Lafferty et al, 2011;
Bruner et al, 2011).

2.3.3 Patofisiologi Fraktur Costae


Dinding toraks melindungi dan mengelilingi bagian organ didalamnya
dengan tulang padat seperti tulang kosta, clavikula, sternum dan scapula. Pada
pernafasan normal dibutuhkan sebuah dinding toraks yang normal. Fraktur tulang
kosta mengganggu proses ventilasi dengan berbagai mekanisme. Nyeri dari patah
tulang kosta dapat disebabkan karena penekanan respirasi yang menghasilkan
atelectasis dan pneumonia. Patah tulang kosta yang berdekatan seperti flail chest
mengganggu sudut costovertebral normal dan otot diaphragma, menyebabkan
penurunan ventilasi. Fragmen tulang dari tulang kosta yang patah dapat menusuk
bagian paru yang menimbulkan hemothorax atau pneumothorax (Melendez S. L,
2015).

6
Fraktur kosta merupakan cedera yang paling sering terjadi pada trauma
tumpul thoraks lanjut usia. Posisi dari patahan fraktur kosta membantu untuk
mengidentifikasi kemungkinan cedera pada organ dibawahnya. Fraktur pada kosta
pertama menggambarkan trauma serius pada spinal atau pembuluh darah.Fraktur
pada kosta pertama dapat menjadi prediksi terjadinya cedera serius. Tulang kosta
pertama dilindungi dengan baik oleh bahu, otot leher bagian belakang dan
clavikula sehingga bila terjadi patah pada tulang ini, memerlukan energi lebih
dibandingkan dengan patah pada tulang kosta lainnya. Angka kematian sekitar
36% sudah dilaporkan pada fraktur tulang kosta pertama berhubungan dengan
cedera pada paru, aorta asenden, arteri subklavia dan plexus brachialis. Tulang
kosta biasanya mengalami patah pada bagian posterior karena secara struktural
bagian ini merupakan yang paling lemah. Tulang kosta ke 4 sampai 9 lebih sering
terjadi cedera. Mekanisme terjadinya cedera tulang kosta pertama pada
kecelakaan lalulintas terjadikarena kontraksi otot akibat gerakan tiba-tiba dari
kepala dan leher (Melendez, 2015).

2.3.4 Manifestasi Klinis


Pasien dengan patah tulang kosta biasanya dengan nyeri berat khususnya
saat inspirasi atau ketika bergerak. Tanda dan gejala lainnya termasuk tenderness
dan kesulitan dalam pernafasan. Ketidaksimetrisan dari pergerakan dinding
toraks(flail chest). Pasien juga biasanya ditemukan tanda adanya kecemasan,
kelemahan, keluhan nyeri kepala dan mengantuk (Assi et al, 2012).

2.3.5 Diagnosis
Pemeriksaan fisik dilakukan setelah dilakukan anamnesa untuk mengetahui
mekanisme kejadian kemudian perlu dilakukan pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi;

 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak begitu berguna untuk
mengevaluasi pada kasus isolated rib fractures. Pemeriksaan urinalisis pada kasus
patah tulang kosta bagian bawah diindikasikan pada trauma ginjal. Tes fungsi

7
paru seperti analisa gas darah digunakan untuk mengetahui adanya kontusio paru
tetapi bukan pemeriksaan untuk patah tulang toraks itu sendiri (Melendez S.L,
2015).

 Foto polos Thorax


Pemeriksaan pertama pada pasien dengan trauma toraks adalah foto polos
toraks. X-ray hanya membutuhkan sedikit waktu sesudah terjadinya cedera.
Deteksi dini adanya kontusio paru, hematoma, laserasi sangat penting untuk
mengetahui kelainan patologis dan perencanaan perawatan. Angka kematian dapat
diturunkan dengan kerjasama antara radiologis dengan dokter emergensi (Elmali
et al, 2007).
Pemeriksaan foto polos toraks sangat berguna untuk mengetahui cedera
lainnya seperti adanya hemothorax, pneumothorax, kontusio paru, atelectasis,
pneumonia dan cedera pembuluh darah. Adanya patah tulang sternum dan scapula
dapat menjadi kecurigaan adanya patah tulang kosta. Cedera aorta tampak ada
pelebaran > 8 cm dari mediastinum pada bagian atas kanan dari hasil foto polos
Toraks (Assi et al, 2012).

 Ultrasonography
Pemeriksaan USG memberikan diagnosa yang cepat tanpa radiasi.
Pemeriksaan Ultrasonography juga dapat mendeteksi kartilago tulang kosta dan
costochondral junction (Christenson et al, 2005). Proses penyembuhan dengan
callous formation juga dapat dideteksi dengan USG (Melendez S.L, 2015).
Ultrasonography dilaporkan mempunyai sensitivitas yang bisa diterima dengan
hasil sensitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan radiografi (0.92 vs. 0.44) tetapi
hasil ini sangat tergantung pada operator alat dan alat yang digunakan (Hosseini et
al, 2015).

 CT Scan Thorax
CT scantoraks lebih sensitif daripada foto polos toraksuntuk mengetahui
fraktur tulang kosta. Jika dicurigai adanya komplikasi dari fraktur kosta pada
pemeriksaan foto polos toraks, CT scan toraks dapat dilakukan untuk mengetahui

8
cedera yang spesifik sehingga dapat membantu penanganan selanjutnya. Foto
polos toraks dapat menjadi tidak efektif pada beberapa kondisi sehingga
diperlukan CT scan toraks yang dapat mencegah dari kondisi yang serius (Elmali
et al, 2007; Taylor et al, 2013). Computed tomography (CT) sangat sensitive
untuk mendiagnosa kontusio paru dengan ukuran 3 dimensi. CT scan dapat
membedakan area dari kontusio paru terjadi atelectasis atau aspirasi (Genie,
2013).

Gambar 2.2 CT Scan Thorax Axial

 Angiography
Patah tulang kosta pertama dan kedua biasanya berhubungan dengan
cedera pembuluh darah maka dokter di unit gawat darurat dapat melakukan
angiography khususnya pada pasien dengan tanda dan gejala gangguan
neurovascular. Hal ini penting khususnya pada fraktur kosta tulang kedua
dengan kemungkinan hasil abnormal yang lebih tinggi ditemukan daripada
patah tulang kosta yang lain (Melendez S.L, 2015).

 MRI
MRI digunakan untuk mengetahui angulasi patah tulang kosta bagian
posterior lateral meskipun MRI tidak digunakan untuk diagnose pertama pada
patah tulang kosta.

9
2.3.6 Penatalaksanaan Fraktur Kosta
 Prehospital
Penatalaksanaan prehospital harus fokus dalam mempertahankan jalan nafas
dan dengan bantuan oksigenasi.
 Unit Gawat Darurat
Tujuan utama dari penatalaksanaan di unit gawat darurat adalah untuk
menstabilkan kondisi pasien trauma dan evaluasi dari multi trauma. Manajemen
dan kontrol nyeri mutlak pada penatalaksanaan fraktur tulang kosta. Untuk
menurunkan alveolar yang kolap dan membersihkan sekresi paru. Manajemen
nyeri dapat dimulai dengan pemberian analgetik NSAID bila tidak ada
kontraindikasi. Dilanjutkan dengan golongan narkotik bila hasilnya tidak
memuaskan. Pilihan lain adalah narkotik parenteral untuk mencegah depresi
pernafasan. Beberapa penelitian merekomendasikan rawat inap untuk pasien
dengan 3 atau lebih patah tulang kosta dan perawatan ICU untuk pasien lanjut
usia dengan 6 atau lebih patah tulang kosta karena ada hubungan yang signifikan
dari patah tulang tersebut dengan adanya cedera serius pada organ dalam seperti
pneumothorax dan kontusio paru (Melendez, 2015).
Kontrol nyeri perlu dipertahankan selama perawatan kontrol nyeri
merupakan dasar dari kualitas perawatan pasien untuk menjamin kenyamanan
pasien. Pasien dengan patah tulang kosta akan mengalami nyeri berat ketika
bernafas, berbicara, batuk maupun ketika menggerakkan tubuh. Sehingga kontrol
nyeri merupakan prioritas untuk menurunkan risiko paru dan efek sistemik dari
fraktur seperti penurunan fungsi pernafasan yang memicu terjadinya hypoxia,
atelectasis, dan pneumonia (Esmailian et al, 2015).
Penggunaan fiksasi patah tulang kosta meningkat untuk penanganan flail
chest karena peningkatan jumlah publikasi tentang peningkatan outcome pasien.
Belum ada publiksasi tentang keunggulan dari fiksasi patah tulang kosta tetapi ada
perbedaan dari teknik muscle sparing dan tradisional untuk penanganan toraks dan
pembedahan spinal (Taylor et al, 2013). Fiksasi patah tulang melalui
pembedahan/Surgical Rib fixation (SRF) merupakan suatu penanganan pada flail
chest untuk menjaga stabilitas dinding toraks (Unsworth et al, 2015).

10
2.3.7 Komplikasi Fraktur Costae
 Kegagalan fungsi respirasi
 Hipoksia
 Atelektasis
 Pneumonia
 Kerusakan Organ Viseral
 Pneumotoraks
 Hemotoraks
 Kontusio paru

2.4 Hematothoraks
Hemathothoraks (hemotoraks) adalah terakumulasinya darah pada rongga
thoraks akibat trauma tumpul atau tembus pada dada. Hemathothoraks biasanya
terjadi karena cedera di dada. Penyebab lainnya adalah pecahnya sebuah
pembuluh darah atau kebocoran aneurisma aorta yang kemudian mengalirkan
darahnya ke rongga pleura.

2.4.1 Etiologi
Secara umum, penyebab terjadinya Hematotoraks adalah sebagai berikut :
o Traumatis
- Trauma tumpul.
- Penetrasi trauma (Trauma tembus, termasuk iatrogenik)
o Non traumatic atau spontan
- Neoplasia (primer atau metastasis)
- Diskrasia darah, termasuk komplikasi antikoagulasi.
- Emboli paru dengan infark.
- Robek adhesi pleura berkaitan dengan pneumotorax spontan.
- Bullous emfisema.
- Tuberkulosis.
- Paru atriovenosa fistula.
- Nekrosis akibat infeksi.
- Telangiektasia hemoragik herediter.

11
- Kelainan vaskular intratoraks non pulmoner.
- Sekuestrasi inralobar dan ekstralobar.
- Patologi abdomen.
Hemothoraks massif lebih sering disebabkan oleh luka tembus
yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus
paru.
2.4.2 Patofisiologi
Hemothoraks adalah adanya darah yang masuk ke areal pleura (antara
pleura viseralisdan pleura parietalis). Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul
atau trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya membran serosa
pada dinding dada bagian dalam atau selaput pembungkus paru. Robekan ini akan
mengakibatkan darah mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan
penekanan pada paru.
Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria
interna. Rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien
hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya
perdarahan yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di
dalam rongga toraks.
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic.
Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area
utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan
oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah.
Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah perdarahan dan
kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang pria
70-kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal
syok (yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan darah).
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk
terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena
rongga pleura seorang pria 70- kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah,
perdarahan dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah.

12
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi
dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding
dada. Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebabkan pasien mengalami
dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang
diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi 9
tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan
cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax
berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk
penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk
menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan
utama.
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru,
dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa
jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura
dimulai.
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik
tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan
sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan
cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi
besar dan gejala efusi pleura berdarah.
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari
hemothorax adalah empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi
bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar,
hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.
Fibrothorax terjadi ketika deposisi fibrin berkembang dalam hemothorax
yang terorganisir dan melingkupi baik parietal dan permukaan pleura viseral.
Proses adhesive ini menyebkan paruparu tetap pada posisinya dan mencegah dari
berkembang sepenuhnya.

13
Hemotoraks traumatik
trauma laserasi pembuluh darah atau struktur parenkim paru perdarahan darah
berakumulasi di rongga pleura hemotoraks.

Gambar 2.3 Patofisiologi Trauma Thorax

2.4.2 Klasifikas
Pada orang dewasa secara teoritis hematothoraks dibagi dalam 3 golongan,
yaitu:
a. Hematothoraks ringan

- Jumlah darah kurang dari 400 cc


- Tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada foto
thoraks
- Perkusi pekak sampai iga IX
b. Hematothoraks sedang
- Jumlah darah 500 cc sampai 2000 cc
- 15% - 35% tertutup bayangan pada foto thoraks
- Perkusi pekak sampai iga VI
c. Hematothoraks berat Jumlah darah lebih dari 2000 cc

14
- 35% tertutup bayangan pada foto thoraks
- Perkusi pekak sampai iga IV

-
Gambar 2.4 Klasifikasi Hemothorax a. Ringan b. Sedang c. Berat

2.4.3 Gejala Klinis


Hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah di dinding
dada. Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Kadang-
kadang anemia dan syok hipovalemik merupakan keluhan dan gejala yang
pertama muncul. Secara klinis pasien menunjukan distress pernapasan berat,
agitasi, sianosis, takipnea berat, takikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di
ikuti dengan hipotensi sesuai dengan penurunan curah jantung (Hudak &
Gallo,199 1997).

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Tn. AS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 38 Tahun
Tanggal Lahir : 25 Oktober 1979
Alamat : Sabang
Pekerjaan : Buruh harian
Agama : Islam
No. MR : 1-16-73-65
Tanggal Masuk : 02 April 2018
Tanggal Pemeriksaan : 7 April 2018

3.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Nyeri dada kanan
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien rujukan dari RS Sabang dengan keluhan nyeri dada kanan yang
dirasakan kurang lebih 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Menurut
keluarga, pasien terjatuh dari pohon dengan ketinggian ± 11 meter.
Awalnya pasien sedang memetik cengkeh, lalu saat turun dari pohon
pasien tergelincir dan terjatuh dengan posisi dada kanan menyentuh
tanah, riwayat penurunan kesadaran disangkal, mual dan muntah
disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
3. Riwayat penyakit dahulu :
Tidak Ada
4. Riwayat Pengobatan :
Tidak Ada
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak Ada.

16
6. Riwayat Kebiasaan dan Sosial :
Pasien merupakan seorang buruh harian

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/70mmHg
Nadi : 92 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Temperatur Axila : 36,4º C
GCS : 15
Status Internus
a. Kulit
 Warna : Normal
 Turgor : Normal
 Ikterus : (-)
 Pucat : (-)
b. Kepala
 Kepala : Normochepali
 Rambut : Warna hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut
 Wajah : Simetris, ikterik (-)
 Mata : Konjungtiva pucat (-/-)
 Telinga : Normotia
 Hidung : NCH (-), sekret (-)
 Mulut : Bibir merah. kering (+), sianosis (-)

c. Leher
 Inspeksi : Simetris, pembesaran KGB (-)

c. Paru
Hemithorak kanan Hemithorak kiri

Inspeksi Simetris, retraksi (-), laju nafas 20x/i reguler


Palpasi Stem fremitus kanan (+) Stem fremitus kiri (+)

17
melemah
Perkusi Nyeri tekan (+), redup Nyeri tekan (-), sonor
Auskultasi Vesikuler (+), melemah (+) Vesikuler (+)Wheezing (-
Wheezing (-), Rhonki (-) ), Rhonki (-)

e. Jantung
 HR : 92 x/menit, regular (+), bising jantung (-)

f. Abdomen
 Inspeksi : Simetris (+), distensi (-)
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Palpasi : Soepel, distensi (-)
 Perkusi : Timpani, nyeri ketok costovertebrae (-)

g. Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Edema - - - -
Sianosis - - - -

Akral Dingin - - - -

Capillary refill time <2’ <2’ <2’ <2’

3.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Hasil Laboratorium (2 April 2018)

Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan

Darah Rutin
Hemoglobin 12.0 14,0 – 17,0 gr/dl

Leukosit 20,1 4,5 – 10,5 103/mm3


Trombosit 188 150 - 450 103/mm3
Hematokrit 37 45 – 55 %
Eritrosit 5.4 4,7 – 6,1 106/mm3

18
Hitung Jenis
Eosinofil 0% 0-6%
Basofil 0% 0-2%
Neutrofil Batang 0% 2-6%
Neutrofil Segmen 82 % 50-70%
Limfosit 9% 20-40%
Monosit 9% 2-8%
Kimia Klinik
Ginjal Hipertensi
Ureum 37 mg/dL 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,92 mg/dL 0,67-1,17 mg/dL
Elektrolit-serum
Natrium (Na) 133 mmol/L 132 -146 mmol/L
Kalium (K) 4,2 mmol/L 3,7 – 5,4 mmol/L
Clorida (Cl) 108 mmol/L 98 - 106 mmol/L

3.6 Radiologis
a. Foto Thorak pre op

19
Kesimpulan : cor bentuk dan ukuran normal, pulmo dalam batas normal,Fr.
Costae kanan multiple

b. Foto Thorak pre op+ WSD

Kesimpulan : cor bentuk dan ukuran normal, pulmo dalam batas normal,Fr.
Costae kanan multiple + WSD

20
c. Foto thorak post op

Kesimpulan : cor dalam batas ormal, efusi pleura kiri minimal, fraktur di costa 2
posterolateral kanan dan terpasang internal fiksasi di costa
3,5,6,7,8,9,10,11 dextra.

3.7 Diagnosa Kerja


Hemathotorak dextra + Close Fraktur costa di 2,3,5,6,7,8,9,10,11

3.7 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
 O2 2 L/i

b. Farmakologi
 IVFD Futrolit 20 gtt/i
 Inj Ketorolac 30 mg / 8 jam
 Inj Cefotaxim /12 jam

21
 Kaptropen Supp k/p
 Nebul ventolin / 8 jam
 Calcatriol 2x 0,2
 Ossopan 2x800 mg kaplet

c. Pembedahan
Dilakukan pemasangan ORIF pada costae dextra 2, 3, 4, 5,6,7 Os Costae
3,5,6,7,8,9,10,11 dextra

3.8 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam

22
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun dirujuk ke IGD dengan keluhan


nyeri dada. Pasien terjatuh dari pohon cengkeh dengan ketinggian 11 m kurang
lebih ±12 jam sebelum masuk rumah sakit, awalnya pasien sedang memetik
cengkeh, lalu saat turun dari pohon pasien tergelincir dan terjatuh, riwayat
penurunan kesadaran tidak ada, kejang dan mual muntah disangkal. Dari
pemeriksanaan fisik, TD 110/70 mmHg, N 92 x/menit, Pernapasan 20 x/menit,
GCS E4M6V5. Pasien sebelumnya dibawa ke IGD dan mendapatkan terapi O2 2
liter/menit, infus RL sekitar 500 ml, Inj. Cefuroxime 1,5 gr/12 jam, dan Inj.
Ketolorac 3%/8 jam.
Pada pemeriksaan awal (primary survey) ketika diterima, jalan napas
bebas sumbatan, pernapasan spontan dan simetris. Pada pemeriksaan perkusi
terdengar suara sonor di hemithoraks sinistra dan redup pada hemithoraks dekstra.
Suara napas vesikular di kedua sisi. Tekanan darah 140/70mmHg, nadi 78
x/menit, bunyi jantung 1 lebih besar dari bunyi jantung 2, tidak terdengar murmur.
GCS pasien E4M6V5, pupil bulat isokor (3mm/3mm), refleks cahaya baik, dan
tidak terdapat lateralisasi. Pada foto toraks tampak fraktur costa kanan multipel
(fraktur kosta 2,3,4,5, kiri poterior), Pada pemeriksaan radiologis tampak tampak
gambaran efusi pleura minimal dan sudah dilakukan pemasangan chest tube.
Pada pemeriksaan lanjut (secondary survey) dari anamnesis didapatkan
keterangan bahwa pasien terjatuh dari pohon dengan ketinggian 11 m kurang
lebih ±12 jam sebelum masuk rumah sakit, awalnya pasien sedang memetik
cengkeh, lalu saat turun dari pohon pasien tergelincir dan terjatuh, riwayat
penurunan kesadaran disangkal, kejang dan mual muntah disangkal. Pasien
langsung dibawa ke RSUDZA, pasien tidak memiliki riwayat minum obat–obatan
dan alkohol. Pasien tampak kesakitan dengan tekanan darah 110/70mmHg, nadi
92 x/menit, pernapasan spontan. Pada pemeriksaan toraks tampak simetris, tidak
teraba krepitasi, sonor, vesikuler, dan tidak terdengar ronki atau wheezing.
Abdomen normal. Akral hangat, kering, dan tampak merah.

23
24
DAFTAR PUSTAKA

1. Lubis M, Alvarino , Tofrizal. Pengaruh Pemberian Valsartan Dan Kurkumin


Terhadap Pembentukan Fibrosis Di Tubulus Proksimal Ginjal Akibat Obstruksi
Ureter Unilateral pada Tikus Wistar. Jurnal FK Unand. 2013; 2(1): p. 1-4.

2. Dennis LG. emedicine.medscape.com. [Online].; 2017 [cited 2017 October 13.


Available from: https://emedicine.medscape.com/article/436259-
overview#showall.

3. Lameire N, Biesen W, Vanholder R. Acute Renal Failure. Lancet. 2005;


9457(365): p. 417-30.

4. Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. 3rd ed. Malang: Sagung Seto; 2011.

5. Hall P. Kidney stones: formation, treatment, and prevention. Journal Cleveland


Clinic. 2009;(76): p. 583-591.

6. Meldrum K. Pathophysiology of Urinary Tract Obstruction. Campbell-Walsh


Urology. 2016; 2: p. 109-1103.

7. Baskoro C, Rodjani A. Hubungan Antara Ukuran Batu Ureter dengan Derajat


Hidronefrosis pada Penderita Batu Ureter. FK UI. 2013.

8. Effendi I, Markum H. Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Ginjal. In Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

9. Zareba P, Lorenzo A. Risk factors for febrile urinary tract infection in infants
with prenatal hydronephrosis; comprehensive single center analysis. J Urol.
2014 May; 5 Suppl(191): p. 1614-8.

25

You might also like