Professional Documents
Culture Documents
Horrrrrr
Horrrrrr
Debur ombak. Matahari kekuningan-kuningan pelan pelan menuju sarangnya. Luas. Begitu bebas.
Aku ingin ke laut. Memori itu entah mengapa begitu kuat. Sungguh, amat sangat ingin ke luar sana,
menghirup udara dan merasakan angin sepoi-sepoi menyentuh kulitku. Lalu mengapa aku di sini?
Keramaian ini hampir membuatku linglung atau barangkali aku memang sudah hilang akal.
Tempat ini yang kau sebut Mal. Gedung berlantai marmer dan bertembok kaca. Tempat khusus
barang mahal dan orang-orang berpoles berada. Lama-lama di dalam dapat menyebabkan lupa waktu
dan kantong amblas. Sekali lagi, lalu mengapa aku di sini? Aku merasa tak seharusnya mangkal di
sini. Tetapi masalahnya, aku tak bisa pulang.
Enah sudah berapa lama aku termenung di kursi ini. Hari, bulan, tahun. Menatapi kaki-kaki yang lalu-
lalang. Sekarang, biasanya adalah waktu orang-orang menuntut balas dengan cara menjejali hasrat
mereka setelah seminggu berkutat melawan godaan.
Seorang lelaki melewati pintu toko perhiasan. Wajahnya cukup matang. Auranya terasa damai
dengan senyum tipis manis menghiasi bibirnya yang merah marun bagai buah delima. Ahh.. sungguh.
Aku sebagai kaum hawa dibuat tiba-tiba tak tentu arah dan tanpa sadar telah mengikuti gerak-
geriknya sedari tadi. Naluriku beranjak lantas membelakanginya.
“Mba, kalau yang ini?” lelaki itu menuding ke arah kalung berkelip menggoda dari balik kaca etalase
itu.
“Oh, kalau ini edisi khusus, Anda jeli sekali memilih yang paling cantik!” si penjual dengan mata
berkaca-kaca menerangkan harga dan kenapa kostumer harus membelinya. Aku sampai bosan
dengannya yang selalu mengulang-ulang jurus andalannya itu. Wanita ini cukup mahir dan terbilang
kawakan. Di Mal ini. Jauh sebelum aku. Dia salah satu orang yang mengabaikanku ketika dulu dalam
panik, ingin pulang, aku bertanya keputus-asaan padanya. Dia mengabaikanku. Begitu juga yang
lainnya.
“Maaf, kalau boleh tahu ini untuk pacar atau istri Bapak?” ahh.. lagi, kelewat akrab.
Aku menoleh ke raut wajah lelaki rupawan itu.
“Istrinya.” suara di sampingku menyahut bersamaan dengan jawaban lelaki itu, “Istri saya.” Reflek,
aku menoleh. Rambutnya panjang, warna putih. Gaun sampai lutut. Corak bunga-bunga. Cantik?
Imut.
“Untuk istri tercintaku.” kembali menengok ke lelaki itu. Ya, jelas-jelas raut insan yang dimabuk
asmara.
“Sayang sekali bukan, dia sudah punya kekasih.” sambung gadis remaja berambut putih… lalu
mengerucutkan bibirnya.
“Eh?”
“Aku Desi,” ia mengulurkan tangan.
“tenang… aku sama seperti kamu. Kita bisa salaman. See, buktinya aku ngobrol sama kamu. So,
panggilanmu?”
“Rene…”
Lalu berjabat tangan persis seperti rekan bisnis. Desi tergelak. Kurasa dia pun berpikir begitu.
Hening.
“… Ahh… begitu rupanya. Aku pernah dengar kasus seperti kamu. Katanya, itu mungkin karena kamu
meninggal dengan keadaan hilang ingatan atau bisa jadi kepalamu terbentur sebelum jiwamu lepas.”
Deg!
Sebenarnya aku tahu itu. Tidak. Aku tidak tahu! Atau tidak mau tahu.
Deg!
Tentu saja.
Selama ini aku mencoba memungkiri kenyataan itu. Kenyataan kalau tubuhku sudah tak lagi tampak
oleh kasat mata. Kenyataan kalau memori semasa hidupku terputar jelas, kecuali pada saat terakhir.
Bagaimana aku meninggal? Kenapa? Bukankah masih cukup muda? Usiaku saja masih 20 tahun. Dan
yang paling penting, mengapa harus di Mal? Bukankah aneh? Meninggal di dalam Mal. Sedang apa
aku saat itu?
Beribu pertanyaan berseliweran tanpa jawaban. Mobil berkelok mengikuti jalan. Kadang berhenti di
lampu merah. Desi di sampingku. Di jok belakang. Desi dengan mudahnya melepaskan pita merah di
kakiku, dan sekali jalan kami berhasil keluar Mal. Lalu membuntuti lelaki rupawan itu.
Gadis remaja itu menggumamkan sebuah nada. Aku tak habis pikir kenapa ia tampak begitu tenang.
Bahagia malah. Bukankah hidupnya telah berakhir? Atau mungkin karena ia meninggal di usia belia
makanya… tunggu dulu! lantas mengapa Desi tidak pergi ke alam jiwa? Adakah…?
“kamu bisa tanya apapun, You know?” lanjutnya. Tiba-tiba terdengar serius.
“Aku…”
“… aku hanya… apa kita akan selamanya seperti ini?”
“Oh, maksudmu.. kamu penasaran apa ada alam setelah kematian begitu?”
Aku mengangguk meski sangsi.
“Tentu saja ada! Hahahaha…”
Tawanya nyaring nyaris memekakan gendang telinga. Kurasa pertanyaanku terdengar konyol.
Lalu suasana tiba-tiba senyap. Mobil berkelok melewati pagar besar. Beranda rumah terlihat tak
biasa. Sama sekali hunian lelaki ini bukan bangunan biasa. Megah. Indah dengan taman dan air
mancur sebagai sambutan.
“selama ini aku berusaha untuk pergi ke sana.” kata Desi. Menatap ke langit.
Aku menoleh ke arahnya. Masih bicara topik sebelumnya atau kini ia ingin pergi ke…? ke mana?
“Syarat pertama,” kata Desi, “kamu harus membantuku pergi ke alam jiwa.”
“Caranya?”
“Nanti aku kasih tahu di sana,” ia menuding ke arah rumah super mewah itu.
Bersambung
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/the-day-when-she-dies-part-1.html