You are on page 1of 15

REFERAT

PENCEGAHAN HIPOTERMIA PADA PEMBEDAHAN ANAK

Penyaji :
Deka Dharma Putra, drg

Pembimbing :
dr. Diki Drajat K.S , Sp.B, Sp.BA

SUB BAGIAN BEDAH ANAK


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG
2018
REFERAT SUB BAGIAN BEDAH ANAK
SMF ILMU BEDAH FK UNPAD / RS HASAN SADIKIN BANDUNG
PENYAJI : Deka Dharma Putra, drg
PEMBIMBING : dr. Diki Drajat K.S , Sp.B, Sp.BA
TANGGAL : Februari 2018

Pencegahan Hipotermia pada Pembedahan Anak

Hipotermia, yang didefinisikan sebagai suhu inti di bawah 36oC (96,8oF), adalah

bentuk gangguan perioperatif yang paling sering terjadi pada populasi anak-anak. Hal

ini disebabkan oleh kapasitas termoregulasi anak yang masih belum efektif

dibandingkan orang dewasa.Namun demikian, penelitian tentang kejadian hipotermia

yang tak terencana (unplanned /inadvertent hypothermia) pada populasi bedah anak

masih terbatas.1, 2

INSIDENSI
Risiko terjadinya hipotermia pada populasi bedah anak telah dilaporkan lebih

tinggi daripada populasi dewasa. Beberapa penelitian terakhir melaporkan bahwa

estimasi kejadian hipotermia perioperatif pada anak saat ini berkisar antara 4,2% sampai

60%. Risiko hipotermia perioperatif yang tak terencana ditambah dengan signifikansi

kemungkinan hasil akhir yang kurang baik membuat masalah ini layak dilakukan

evaluasi dan intervensi korektif.1-3

PATOFISIOLOGI

Termoregulasi
Setelah persalinan, suhu lingkungan sekitar yang relatif rendah dan penguapan

(evaporasi) dari sisa cairan amnion dari kulit semakin meningkatkan kehilangan panas

tubuh pada neonatus. Sehingga neonatus jauh lebih rentan terhadap perubahan suhu
lingkungan dibandingkan orang dewasa karena neonatus memiliki massa yang kecil dan

relatif memiliki area permukaan tubuh yang luas, neonatus tidak memiliki jaringan

penutup tubuh (jaringan penyekat panas) seperti lemak dan rambut, tidak mampu

membuat perubahan perilaku yang signifikan seperti meningkatkan pemanasan di

sentral atau memberikan pakaian ekstra, dan hanya memiliki cadangan energi yang

terbatas. Zona termonetral adalah zona yang sangat penting pada bayi yaitu 32-34oC

untuk bayi cukup bulan, di mana kisaran ini lebih tinggi daripada dewasa. Zona

termonetral pada dewasa adalah 26-28oC, dan pada bayi dengan berat lahir rendah

bahkan bisa lebih tinggi dari 34-35oC. Suhu lingkungan di sekitar individu harus

dipertahankan sesuai dengan kisaran suhu kritis tersebut yaitu sesuai dengan zona

termonetral. Terdapat beberapa tabel yang memberikan suhu lingkungan yang optimal

untuk bayi sesuai berat badan dan usia. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa

terdapat peningkatan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada bayi yang dirawat

pada suhu di luar zona termonetral. Walaupun terdapat indikasi untuk dilakukan

hipotermia sedang terapeutik seperti pada ensefalopati hipoksik iskemik, perbedaan

antara hipotermia iatrogenic (terutama dengan penghangatan/pemanasan kembali yang

cepat dan tidak terkontrol) dan hipotermia terapeutik terkontrol (dengan

penghangatan/pemanasan kembali yang terkontrol dan pelan) harus ditekankan.1, 2

Respon terhadap Dingin


Kehilangan panas dapat terjadi melalui radiasi/konduksi/koveksi (70%), evaporasi

(25%), kenaikan suhu makanan (3%), dan melalui ekskreta (2%). Respon dari bayi

terhadap pendinginan tergantung dari maturasi pusat regulasi hipotalamus dan

keberadaan substrat untuk termogenesis. Respon awal yang dimediasi melalui sistem

saraf simpatis, adalah untuk menurunkan kehilangan panas melalui vasokonstriksi dan

untuk meningkatkan produksi panas melalui termogenesis shivering (menggigil) dan

nonshivering. Lokasi yang paling penting untuk termogenesis nonshivering adalah

jaringan lemak coklat. Jaringan ini terbentuk dengan baik saat usia 22 minggu
kehamilan dan membentuk 90% lemak total tubuh pada usia 29 minggu kehamilan.

Lokasi lain meliputi otak, hati, dan ginjal. Beberapa penelitian telah menunjukkan

bahwa bahan bakar yang lebih dipilih untuk termogenesis nonshivering adalah asam

lemak bebas. Energi yang dibutuhkan untuk termoregulasi di dalam lingkungan yang

dingin dapat diperhitungkan. Bahkan dalam zona termonetral, termoregulasi dapat

memerlukan sampai 8% dari pemakaian energi total. Pemakaian energi saat istirahat

atau Resting Energy Expenditure (REE) dapat meningkat dua kali lipat ketika

termogenesis nonshivering berlangsung.1, 4

Nenonatus yang menjalani operasi mayor di bawah pengaruh anestesi umum

seringkali menjadi hipotermia. Dibandingkan dengan dewasa, neonatus menalami

kesulitan yang lebih besar di dalam mempertahankan suhu tubuh fisiologis terhadap

adanya perubahan suhu lingkungan menjadi dingin. Hipotermia dapat meningkatkan

insidens komplikasi postoperative seperti asidosis, gangguan fungsi imun, dan

penyembuhan luka yang terganggu atau melambat. Neonatus tidak dapat berespon

terhadap paparan suhu dingin dengan menggigil namun memiliki jaringan yang sangat

spesifik, lemak coklat, yang mampu menghasilkan panas tanpa proses shivering

(menggigil) atau disebut termogenesis nonshivering. Saat suhu lingkungan menurun,

terjadi peningkatan aliran darah menuju simpanan lemak coklat dan panas dihasilkan di

dalam mitokondria lemak coklat. Selama operasi, neonatus tidak hanya terpapar suhu

lingkungan yang dingin, namun juga terhadap berbagai agen anestesi dan paralitik yang

dapat memiliki efek yang merugikan pada produksi panas (pengeluaran energi) dan dan

suhu inti tubuh. Termogenesis nonshivering diinhibisi oleh agen anestesi pada hewan

coba. Penelitian Albanese et al menunjukkan bahwa terminasi atau penghentian anestesi

umum selama paparan suhu dingin menyebabkan peningkatan yang cepat dan sangat

besar dari termogenesis nonshivering pada kelinci. Hal ini dapat menjelaskan

peningkatan pengeluaran energi yang cepat dan mendadak pada bayi muda, saat

berakhirnya sebuah tindakan operasi.1, 4


Jaringan lemak coklat yang telah lama diketahui berperan dalam produksi panas,

mengandung sebuah protein (uncoupling protein 1) yang menghilangkan gradient

proton yang terbentuk melewati membran interna mitokondria selama oksidasi substrat.

Namun hanya beberapa tahun terakhir ini saja, di mana kontribusi kebocoran proton ini

terhadap termogenesis di dalam hati terjadi. Besarnya kebocoran proton dapat menjadi

determinan laju metabolik. Pemecahan oksidatif dari nutrisi akan melepaskan energi,

yang dikonversi menjadi bahan bakar kimia (ATP) di dalam mitokondria sel oleh proses

fosforilasi oksidatif. Hal ini digunakan untuk mendorong proses konsumsi energi di

dalam tubuh. Selama proses fosforilasi oksidatif, proton dipompadari matriks

mitokondria menuju ruang intermembran. Pompa proton secara langsung proporsional

terhadap laju konsumsi oksigen dan menghasilkan dan mempertahankan perbedaan

potensial elektrokimia proton antar permukaan membran interna. Proton kembali ke

matriks melalui satu atau dua rute: “jalur fosforilasi”, yang menghasilkan ATP, atau

melalui ”jalur kebocoran” yang nonproduktif dan melepaskan energi berupa panas.

Proporsi yang signifikan (20% sampai 30%) oksigen yang dikonsumsi oleh hepatosit

yang sedang dalam keadaan istirahat, pada tikus dewasa digunakan untuk mendorong

terjadinya kebocoran proton yang menghasilkan panas. Jalur kebocoran proton ini di

dalam hati dan organ-organ lain adalah kontributor yang signifikan terhadap reaksi yang

menghasilkan REE standar sehingga menghasilkan produksi panas yang signifikan

selama istirahat. Permeabilitas proton dari membran interna mitokondria terdapat pada

mitokondria sel hati tikus ditemukan cukup tinggi pada bayi dan secara signifikan

menurun selama selama kehidupan neonatal awal dan mencapat tingkat yang paling

rendah dan tetap bertahan pada orang dewasa. Neonatus telah deprogram dengan

mekanisme pertahanan yang mengijinkan mereka mapu bertahan dari stresspersalinan

(adaptasi dingin), pemotongan tali pusat, dan kelaparan (hipoglikemia transien).1, 2


Hipotermia Perioperatif
Walaupun hipotermia yang disengaja atau direncanakan dapat digunakan secara

terapeutik untuk meningkatkan hasil akhir fungsi neurologis pada pasien pasca henti

jantung atau sebagai bantuan dalam mengontrol tekanan intracranial pada pasien cedera

kepala, hipotermia yang tak direncanakan berhubungan dengan komplikasi yang

potensial berbahaya seperti gangguan pernafasan, asidosis metabolik, hipoglikemia,

peningkatan konsumsi oksigen, hipoksemia, gangguan jantung seperti infark

miokardium, koagulopati, peningkatan insidensi infeksi luka operasi, peningkatan lama

rawat di rumah sakit, dan menggigil yang mengakibatkan ketidaknyamanan pasien.

Pasien pediatrik lebih rentan terhadap kejadian hipotermia tak terencana ini. Kerentanan

yang lebih tinggi ini terutama disebabkan oleh peningkatan kehilangan panas akibat

ukuran kepala yang lebih besar, kulit yang tipis, kurangnya lemak subkutan dan

keterbatasan kemampuan termogenesis kompensasi dari lemak coklat. Oleh karena itu,

strategi diagnostik, pencegahan dan terapi yang tepat dan efektif harus dirancang agar

dapat melindungi populasi anak-anak dari komplikasi yang potensial terjadi akibat

hipotermia selama periode perioperatif.3, 5

Hipotermia perioperatif dikaitkan dengan beberapa komplikasi, yang dapat

mempengaruhi hasil akhir, terutama pada pasien dengan risiko tinggi. Kombinasi

proporsi kehilangan panas yang tinggi, kurangnya kemampuan untuk menghasilkan

panas endogen dan kurangnya respons termoregulasi membuat bayi sangat rentan

terhadap berkembangnya hipotermia. Walaupun tidak seperti yang dijelaskan dalam

literatur seperti pada orang dewasa, hipotermia perioperatif telah dikaitkan dengan

sejumlah komplikasi yang serius pada bayi.Sehingga normotermia pada pasien anak-

anak haruslah dijaga, faktor-faktor presidposisi hipotermia harus dikendalikan, dan

metode untuk mendeteksi dan mencegah hipotermia perioperatif pada anak-anak harus

dilakukan.3, 6

Kualitas perawatan dan keamanan anak yang menjalani operasi selalu ada dalam

area klinis perioperatif. Hipotermia yang tidak direncanakan dapat menyebabkan


komplikasi pembedahan termasuk infeksi luka operasi, peningkatan kebutuhan akan

oksigen, perubahan farmakokinetik obat, pembekuan koagulasi, dan aritmia jantung.1-3

Perawat perioperatif di rumah sakit anak tersier di Midwestern mengalami

peningkatan hipotermia yang tidak direncanakan pada anak-anak dan dimulai. Sebuah

proyek peningkatan kualitas dilakukan untuk mengatasi masalah ini dan menghasilkan

panduan praktik klinis anak yang berfokus pada pemeliharaan perioperatif normotermia.

Panduan praktik klinis ini diterapkan sebulan penuh dengan menggunakan pengukuran

suhu temporal atau timpani secara konsisten untuk setiap anak, di mana ditemukan

bahwa termometri arteri temporal menghasilkan lebih sedikit variasi suhu dibandingkan

pengukuran timpani. Selanjutnya penggunaan termometer arteri temporal dilakukan

secara konsisten. Panduan praktik klinis tersebut terbukti menurunkan kejadian

hipotermi perioperative pada pasien anak. Elemen panduan klinis tersebut meliputi :5

1. Penilaian suhu arteri temporal

2. Penggunaan perangkat yang konsisten untuk pengukuran suhu

3. Delapan titik waktu spesifik untuk dokumentasi suhu perioperatif (Preoperative

start, preoperative end, intraoperative start, intraoperative end, PACU start,

PACU end, Phase II start, Phase II end)

4. Penilaian tingkat kenyamanan termal subjektif anak

5. Intervensi keperawatan yang mencakup penerapan pemanasan/penghangatan

secara konsisten untuk menjaga tingkat kenyamanan dan suhu termal anak, dan

6. Suhu ruang intraoperatif ambien dari 21,1oC sampai 23,9oC (70oF sampai 75oF).

Mekanisme Termoregulasi selama Anestesi


Termoregulasi normal pada bayi sebagai respon terhadap hipotermia terutama

diperkuat oleh respon vasokonstriktor dan termogenesis nonshivering. Respon

vasokonstriktor ditandai dengan vasokonstriksi cepat sebagai respons awal terhadap

paparan suhu dingin. Ambang termoregulator menurun akibat agen anestesi umum.
Karena anestesi inhalasi menyebabkan inhibisi nonlinier, konsentrasi yang lebih tinggi

menjadi lebih efektif; Propofol dan opioid menyebabkan inhibisi linier.3, 7

Respons termoregulasi yang paling efektif pada bayi adalah nonshivering atau

termogenesis lemak coklat. Lemak coklat terletak di daerah tengkuk, interskapular,

aksilar, dan inguinal dan di sekitar ginjal dan adrenal. Oksidasi trigliserida melepaskan

asam lemak yang digunakan untuk menghasilkan panas yang disalurkan melalui aliran

darah ke berbagai bagian tubuh. Termogenesis nonshivering yang penting secara klinis

diperkirakan berlangsung sampai usia 2 tahun. Namun, hal itu dapat dihambat oleh agen

anestesi dan fakta ini mungkin memainkan peran penting pada terjadinya hipotermia

intraoperatif.1, 3

Perkembangan minimal massa muskuloskeletal membuat mekanisme

termogenesis shivering (menggigil) tidak signifikan pada bayi. Respon menggigil

mungkin tidak menjadi penting sampai masa kanak-kanak, walaupun hubungannya

dengan dependensi usia belum pernah ditemukan. Mekanisme perlindungan dari

hipotermia dan mekanisme menggigil bahkan pada kelompok usia yang lebih tinggi

sampai batas tertentu dipengaruhi oleh faktor farmakogenomik dan farmakogenetik.2, 3

Periode perioperatif adalah saat anak terpapar lingkungan ruang operasi yang

dingin karena pemberian cairan intravena yang tidak dihangatkan, dan penguapan

potensial dari daerah yang akan dioperasi. Namun, faktor ini saja biasanya tidak

menimbulkan hipotermia tersebut. Perhatian harus diberikan bahkan selama fase

pemulihan dan di lingkungan pasca operasi yang mengharuskan perlunya monitoring

berkelanjutan oleh ahli anestesi. Meskipun mekanisme vasokonstriksi termoregulator

sangat efisien pada bayi dan anak-anak, mekanisme ini secara fungsional serupa dengan

orang dewasa yaitu tidak dapat meningkatkan laju metabolismesebagai respons terhadap

hipotermia ringan di bawah pengaruh anestesi. Kenyataannya, hal inilah yang

merupakan kegagalan pertahanan termoregulator yang efektif yang menyebabkan

hipotermia pada anak.3, 7


Induksi anestesi umum menghasilkan penurunan suhu inti dalam tiga fase;

Redistribusi panas dari inti ke perifer, penurunan suhu inti secara linier, dan plateau

suhu inti. Awalnya, vasodilatasi yang disebabkan oleh agen anestesi menyebabkan

redistribusi panas dari inti tubuh ke pinggiran. Kandungan panas tubuh tetap tidak

berubah. Bayi dan anak-anak mengalami redistribusi panas yang sedikit karena

ekstremitasnya lebih kecil mereka jika dibandingkan dengan batang tubuhnya.

Sehingga, redistribusi mungkin memiliki sedikit kontribusi terhadap hipotermia

intraoperatif.3

Tahap awal redistribusi diikuti oleh tahap ketidakseimbangan panas dimana

terjadi kehilangan panas ke lingkungan sekitar. Hilangnya panas terutama disebabkan

oleh radiasi, konveksi, konduksi dan penguapan. Radiasi bertanggung jawab atas

kehilangan panas maksimum sampai batas 40% dan sebanding dengan perbedaan antara

suhu lingkungan dan suhu inti tubuh. Konveksi adalah penyebab utama kehilangan

panas lain dan menunjukkan hilangnya panas ke molekul udara yang mengelilingi

tubuh. Kehilangan panas konduktif disebabkan oleh perbedaan suhu antara badan dan

permukaan yang bersentuhan dengan kulit tubuh. Penguapan mengacu pada kehilangan

panas dari permukaan kulit, pernafasan, usus dan luka. Pasien pediatrik rentan terhadap

hipotermia intraoperatif karena peningkatan kehilangan panas karena rasio permukaan

tubuh terhadap berat badan yang besar, kepala yang berukuran besar dengan kulit

kepala dan tengkorak yang tipis, kulit tipis meningkatkan kehilangan panas secara

evaporasi dan kurangnya lemak subkutan.3

Setelah tiga sampai empat jam periode intra operatif, suhu inti mencapai plateau

yang mencerminkan keadaan di mana kehilangan panas sama dengan produksi panas.

Biasanya plateau suhu inti terjadi pada suhu yang lebih rendah, meskipun suhu inti

dipertahankan selama fase ini. Hal ini mungkin menutupi penurunan kandungan panas

tubuh yang berkelanjutan karena kehilangan panas dari ekstremitas terus berlanjut tanpa

henti.3
Beberapa penelitian telah mengidentifikasi faktor risiko spesifik untuk hipotermia

intraoperatif pada kelompok usia anak. Tander et al, mengevaluasi faktor-faktor yang

menjadi predisposisi penyebab hipotermia intraoperatif pada enam puluh neonatus dan

bayi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa bayi memiliki sedikit penurunan suhu

dibandingkan neonatus selama operasi besar dan kecil dan bahwa suhu ruang operasi di

bawah 23˚C dapat secara signifikan mengganggu pemeliharaan suhu inti neonatus dan

bayi selama anestesi. Sebuah studi pada anak di bawah usia 18 tahun oleh Pearce B et

al, mengungkapkan bahwa hipotermia secara signifikan berhubungan dengan suhu dasar

preoperatif yang lebih rendah dan jenis operasi (mayor atau minor).3, 4

Konsekuensi Hipothermia
Jika hipotermia yang sedang berlangsung tidak segera ditangani, banyak

komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus, bayi dan anak. Kegagalan respirasi atau

apnea bisa menjadi komplikasi berbahaya. Baik termogenesis nonshivering maupun

shivering (menggigil) meningkatkan konsumsi oksigen yang menyebabkan hipoksemia

dan retensi karbon dioksida, asidosis metabolik, hipoglikemia dan pergeseran kurva

disosiasi oksigen ke kiri dengan penurunan distribusi oksigen ke jaringan. Penelitian

pada pasien dewasa telah menunjukkan bahwa hipotermia dapat menyebabkan masalah

jantung, gangguan fungsi trombosit dan fungsi enzim faktor pembekuan, sehingga

meningkatkan kebutuhan transfusi darah allogenik. Hal ini juga akan memfasilitasi

terjadinya infeksi luka operasi. Selain itu, dapat terjadi perubahan metabolisme obat,

ketidaknyamanan terhadap suhu, sebuah dampak yang penting terhadap hasil akhir

keadaan pasien dan kenaikan biaya yang dibutuhkan.1, 3

MONITORING SUHU

Pemantauan suhu secara terus menerus pada anak yang menerima anestesi umum

direkomendasikan sesuai pedoman yang ditetapkan oleh American Society of

Anaesthesiologists (ASA). Setiap lokasi pengukuran suhu inti tubuh secara tepat dapat
dipilih untuk intervensi diagnostik. Pilihan metode yang digunakan untuk pengukuran

suhu didasarkan pada tingkat invasifnya dan keakuratannya. Terdapat berbagai lokasi,

masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan spesifik yang dapat diringkas

sebagai Tabel 1.3

Tabel 1: Lokasi yang memungkinkan untuk monitoring suhu

Lokasi Signifikansi klinis

Mengukur suhu inti paling akurat. Namun pengukuran ini

Kateter Arteri dilakukan untuk pasien yang membutuhkan monitoring

Pumonalis hemodinaik karena cara ini invasif dan membutuhkan biaya

besar untuk kateternya.

Mengukur suhu inti tubuh secara akurat, namun dapat

dipengaruhi oleh gas yang lembab dan dalam pembedahan di


Esofagus distal
mana rongga thoraks dibuka seperti pada operasi jantung dan

paru

Nasofaring Dapat dipengaruhi oleh gas yang diinspirasi

Efisiensi dipengaruhi oleh urine output yang rendah, prosedur


Vesika urinaria
pembedahan abdomen bagian bawah

Pengukuran suhu inti yang non-invasif

Timpanik
Patensi dari meatus auditorius eksterna merupakan suatu

keharusan

Pengukuran suhu inti non-invasif, probe dengan thermometer

Arteri temporalis inframerah yang dapat diletakkan di daerah frontal sampai

temporal

Secara akurat merefleksikan suhu inti tubuh namun hasilnya

Rektal dapat dipengaruhi oleh feses dan bakteri yang menghasilkan

panas
Untuk pengukuran yang akurat, probe harus diposisikan di

Aksilar permukaan arteri aksilaris dan lengan pasien harus tetap

diletakkan di samping tubuh pasien

Menggunakan fakor koreksi sederhana +0,52oC, metode ini


Suhu kulit yang merupakan pengukuran non-invasif yang akurat dari suhu
diukur di permukaan nasofaring

arteri karotis
Menghindari risiko perdarahan hidung, infeksi

PENCEGAHAN
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Pepatah ini mungkin paling tepat dalam

situasi mencegah hipotermia pada bayi dan anak-anak. Berikut ini adalah beberapa cara

pencegahan terjadinya unplanned / inadvertent hypothermia :3-5

1. Pendidikan orang tua / pengasuh agar anak tetap hangat selama masa rawat

inappreoperatif serta saat diantar ke ruang operasi sehingga terhindar dari risiko

hipotermia dan komplikasinya. Perspektif biopsikososial yang berhubungan dengan

berbagai teknik dan obat-obatan anestesi harus dijelaskan kepada orang tua.

2. Penilaian preoperatif harus menyeluruh dan secara khusus ditujukan untuk :

- pemeriksaan suhu preoperatif

- penghangatan preoperatif dengan menyelimuti anak dengan selimut katun atau

menggunakan sistem pemanasan menggunakan udara hangat. Lebih jauh lagi,

tindakan pencegahan harus dilakukan berdasarkan sumber daya yang ada,

terutama di negara-negara berkembang melalui inovasi dan improvisasi.

3. Mempertahankan normotermia pada fase intraoperatif dengan:

- mempertahankan suhu sekitar ˃23oC sehingga mengurangi kehilangan panas

melalui radiasi dan konveksi namun hal ini dapat dikaitkan dengan

ketidaknyamanan pada tim operasi.

- induksi anestesi tidak boleh dimulai sampai suhu pasien 36,0°C atau lebih.
- penggunaancairan intravena yang hangatsaja mungkin tidak terbukti efektif.

- isolasi pasif yaitu meminimalkan kehilangan panas dengan cara mengisolasi

anak dari lingkungan dengan menggunakan surgical drapes, selimut katun dan

penutup metalized plastic. Udara yang terperangkap di antara selimut dan

permukaan tubuh anak memberikan isolasi terhadap panas. Banyaknya jumlah

lapisan tidak memberikan perlindungan lebih lanjut. Penurunan kehilangan

panas adalah sekitar 30% dan berbanding lurus dengan luas permukaan tubuh

yang tertutup.

- Penghangatan kulit aktif vs perlindungan pasif.

(i) Alat penghangat menggunakan udara bertekanan adalah sistem pemanasan

aktif yang paling umum digunakan dan efisien.Alat ini terdiri dari unit

pemanas yang meniupkan udara hangat yang menggunakan tenaga listrik dan

selimut yang terbuat dari kertas untuk menutupi pasien. Metode ini

menyediakan pemanasan secara konvektif agar tubuh tetap hangat. Untuk

meningkatkan efisiensi, penghangatansebelumnya sangat dibutuhkan dan

ukuran selimut terbesar yang menutupi permukaan tubuh maksimum lebih

diutamakan. Metode ini dapat meningkatkan suhu inti tubuh hampir 0,75°C /

jam

(ii) Pemanasan resistif (selimut listrik) lebih murah dan sama efisiennya dengan

sistem udara bertekanan.

(iii) Bantalan energi menggunakan air panas yang bersirkulasi yang bersentuhan

dengan kulit pasien.

(iv) Kasur dengan sirkulasi air hangat ditempatkan di atas meja operasi di bawah

pasien anak. Sistem ini mempertahankan efisiensi yang dapat diterima pada

pasien anak karena melibatkan pemanasan permukaan kulit bagian belakang

tubuh yang menyediakan area permukaan yang lebih luas pada anak-anak

dibandingkan dengan orang dewasa.


(v) Radiant warmers / pemanas udara yang menghasilkan radiasi infra merah.

Keefektifannya tergantung pada jarak antara perangkat pemanas dan kulit

pasien dan arahnya. Alat ini dapat digunakan selama induksi anestesi sampai

anak ditutupi dengan surgical drapes.

Kekurangan alat atau perangkat pemanas mencakup adanya risiko luka bakar yang

terlihat saat digunakan secara kurang tepat. Kombinasi keduanya juga meningkatkan

biaya pengobatan.

Sistem Penghangatan Internal


Alat penghangat cairan infus harus digunakan untuk operasi besar dengan

kehilangan darah yang cukup besar dan pergeseran cairan yang masif. Pelembab gas

inspirasi aktif dan pasif sedikit berkontribusi dalam mempertahankan suhu inti pada

pasien anak-anak yang sedang dianestesi. Pemanasan dan pelembaban jalan nafas secara

aktif menggunakan pelembab listrik dan pelembaban pasif yang melibatkan penggunaan

alat penukar panas dan kelembaban. Metode ini memelihara fungsi silia dan mencegah

bronkospasme. Tapi Surgical Care Improvement Project (SCIP) baru-baru ini tidak

merekomendasikan penggunaannya.3, 4, 7

KESIMPULAN
Kesimpulannya, bayi dan anak-anak rentan terhadap hipotermia perioperatif

karena banyak faktor yang berhubungan. Sehingga,monitoring suhu inti tubuh wajib

dilakukan. Penanganan harus mencakup pencegahan dan / atau penurunan risiko dengan

menggunakan pendekatan multimodal. Hal ini meliputipersiapan preoperatif agar anak

tetap hangat, meningkatkan suhu udara ruang operasi sampai 23o-25oC, penggunaan

cairan intravena hangat, isolasi pasif dan penggunaan perangkat pemanasan udara

bertekanan.3, 7
DAFTAR PUSTAKA

1. Coran AG, Adzick NS, Laberge JM, Caldamone A, Shamberger R. Pediatric


Surgery. 7th ed. Pierro A, Coppi PD, Eaton S, editors. Missouri: Mosby; 2012.
2. Spitz L, Coran AG. Operative Pediatric Surgery. 7th ed. Bruzoni M, Albanese CT,
editors. Florida: CRC Press; 2013.
3. Bajwa SJS, Swati. Perioperative hypothermia in pediatric patients: diagnosis,
prevention and management. Anaesth Pain & Intensive Care. 2014;18(1):97-100.
4. Pearce B, Christensen R, Voepel-Lewis T. Perioperative hypothermia in the
pediatric population: prevalence, risk factors and outcomes. J Anesthe Clinic Re.
2010;1(1):1-4.
5. Beedle SE, Phillips A, Wiggins S, Struwe L. Preventing unplanned perioperative
hypothermia in children AORN Journal. 2017;105:171-80.
6. Holcomb GW, Murphy PJ, Ostlie DJ. Ashcraft's Pediatric Surgery. 6th ed.
Philadelphia: Saunders; 2014.
7. Kim P, Taghon T, Fetzer M, Tobias JD. Perioperative hypothermia in the pediatric
population: a quality improvement project. American Journal of Medical Quality
2013;28(5):400-6.

You might also like