You are on page 1of 25

DELTA

Gambar : Lingkungan Delta

Kata Delta digunakan pertama kali oleh Filosof Yunani yang bernama Herodotus pada tahun 490
SM, dalam penelitiannya pada suatu bidang segitiga yang dibentuk oleh oleh alluvial pada muara
Sungai Nil.
Sebagian besar Delta modern saat ini berbentuk segitiga dan sebagian besar bentuknya tidak
beraturan . Bila dibandingkan dengan Delta yang pertama kali dinyatakan oleh Herodotus pada
sungai nil. Ada istilah lain dari Delta adalah seperti yang dikemukakan oleh Elliot dan Bhatacharya
(Allen, 1994) adalah “Discrette shoreline proturberance formed when a river enters an ocean or
other large body of water”.

Proses pembentukan delta adalah akibat akumulasi dari sedimen fluvial (sungai) pada
“lacustrine” atau “marine coastline”. Delta merupakan sebuah lingkungan yang sangat komplek
dimana beberapa faktor utama mengontrol proses distribusi sedimen dan morfologi delta, faktor-
faktor tersebut adalah regime sungai, pasang surut (tide), gelombang, iklim, kedalaman air dan
subsiden (Tucker, 1981). Untuk membentuk sebuah delta, sungai harus mensuplai sedimen
secara cukup untuk membentuk akumulasi aktif, dalam hal ini prograding system. Secara
sederhana ini berarti bahwa jumlah sedimen yang diendapkan harus lebih banyak dibandingkan
dengan sedimen yang terkena dampak gelombang dan pasang surut. Dalam beberapa kasus,
pengendapan sedimen fluvial ini banyak berubah karena faktor diatas, sehingga banyak
ditemukan variasi karakteristik pengendapan sedimennya, meliputi distributary channels, river-
mouth bars, interdistributary bays, tidal flat, tidal ridges, beaches, eolian dunes, swamps, marshes
dan evavorites flats (Coleman, 1982).
Ketika sebuah sungai memasuki laut dan terjadi penurunan kecepatan secara drastis, yang
diakibatkan bertemunya arus sungai dengan gelombang, maka endapan-endapan yang
dibawanya akan terendapkan secara cepat dan terbentuklah sebuah delta.

Deposit (endapan) pada delta purba telah diteliti dalam urutan umur stratigrafi, dan sedimen yang
ada di delta sangat penting dalam pencarian minyak, gas, batubara dan uranium. Delta - delta
modern saat ini berada pada semua kontinen kecuali Antartica. Bentuk delta yang besar
diakibatkan oleh sistem drainase yang aktif dengan kandungan sedimen yang tinggi.

Klasifikasi dan pengendapan delta


Berdasarkan sumber endapannya, secara mendasar delta dapat dibedakan menjadi dua jenis
(Nemec, 1990 dalam Boggs, 1995), yaitu:
1. Non Alluvial Delta
a. Pyroklastik delta
b. Lava delta
2. Alluvial Delta
a. River Delta
Pembentukannya dari deposit sungai tunggal.
b. Braidplain Delta
Pembentukannya dari sistem deposit aliran “teranyam”
c. Alluvial fan Delta
Pembentukannya pada lereng yang curam dikaki gunung yang luas yang dibawa air.
d. Scree-apron deltas
Terbentuk ketika endapan scree memasuki air.

Pada tahun 1975, M.O Hayes (Allen & Coadou, 1982) mengemukakan sebuah konsep tentang
klasifikasi coastal yang didasarkan pada hubungan antara kisaran pasang surut (mikrotidal,
mesotidal dan makrotidal) dan proses sedimentologi. Pada tahun 1975, Galloway (Allen &
Coadou, 1982) menggunakan konsep in dalam penerapannya terhadap aluvial delta, sehingga
disimpulkan klasifikasi delta berdasarkan pada delta front regime dibagi menjadi tiga , yaitu :
1. Fluvial-dominated Delta
2. Tide-dominated Delta
3. Wave-dominated Delta

Fisiografi Delta
Berdasarkan fisiografinya, delta dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama , yaitu :
1. Delta plain
2. Front Delta
3. Prodelta
Gambar : Fisografi Delta dan Litologi

Gambar : Gambar : Fisografi Delta dan Litologi


Delta plain
Delta plain merupakan bagian kearah darat dari suatu delta. Umumnya terdiri dari endapan marsh
dan rawa yang berbutir halus seperti serpih dan bahan-bahan organik (batubara). Delta plain
merupakan bagian dari delta yang karakteristik lingkungannya didominasi oleh proses fluvial dan
tidal. Pada delta plain sangat jarang ditemukan adanya aktivitas dari gelombang yang sangat
besar. Daerah delta plain ini ditoreh (incised) oleh fluvial distributaries dengan kedalaman
berkisar dari 5 – 30 m. Pada distributaries channel ini sering terendapkan endapan batupasir
channel-fill yang sangat baik untuk reservoir (Allen & Coadou, 1982).

Delta front
Delta front merupakan daerah dimana endapan sedimen dari sungai bergerak memasuki
cekungan dan berasosiasi/berinteraksi dengan proses cekungan (basinal). Akibat adanya
perubahan pada kondisi hidrolik, maka sedimen dari sungai akan memasuki cekungan dan terjadi
penurunan kecepatan secara tiba-tiba yang menyebabkan diendapkannya material-material dari
sungai tersebut. Kemudian material-material tersebut akan didistribusikan dan dipengaruhi oleh
proses basinal. Umumnya pasir yang diendapkan pada daerah ini terendapkan pada distributary
inlet sebagai bar. Konfigurasi dan karakteristik dari bar ini umumnya sangat cocok sebagai
reservoir, didukung dengan aktivitas laut yang mempengaruhinya (Allen & Coadou, 1982).

Prodelta
Prodelta adalah bagian delta yang paling menjauh kearah laut atau sering disebut pula sebagai
delta front slope. Endapan prodelta biasanya dicirikan dengan endapan berbutir halus seperti
lempung dan lanau. Pada daerah ini sering ditemukan zona lumpur (mud zone) tanpa kehadiran
pasir. Batupasir umumnya terendapkan pada delta front khususnya pada daerah distributary inlet,
sehingga pada daerah prodelta hanya diendapkan suspensi halus. Endapan-endapan prodelta
merupakan transisi kepada shelf-mud deposite. Endapan prodelta umumnya sulit dibedakan
dengan shelf-mud deposite. Keduanya hanya dapat dibedakan ketika adanya suatu data runtutan
vertikal dan horisontal yang baik (Reineck & Singh, 1980).

ESTUARIN
Beberapa ahli geologi mengemukakan beberapa pengertian yang bermacam-macam tentang
estuarin. Pritchard, 1967 (Reineck & Singh, 1980) mengemukakan bahwa estuarin adalah “a
semi-enclosed coastal body of water which has a free connection with the open sea and within
which sea water is measurably diluted with fresh water derived from land drainage”. Ada dua
faktor penting yang mengontrol aktivitas di estuarin, yaitu volume air pada saat pasang surut dan
volume air tawar (fresh water) serta bentuk estuarin. Endapan sedimen pada lingkungan estuarin
dibawa dua aktivitas, yaitu oleh arus sungai dan dari laut terbuka. Transpor sedimen dari laut
lepas akan sangat tergantung dari rasio besaran tidal dan disharge sungai. Estuarin
diklasifikasikan menjadi tiga daerah yaitu :
1. Marine atau lower estuarin, yaitu estuarine yang secara bebas berhubungan dengan laut
bebas, sehingga karakteristik air laut sangat terasa pada daerah ini.
2. Middle estuarin, yaitu daerah dimana terjadi percampuran antara fresh water dan air asin
secara seimbang.
3. Fluvial atau upper estuarin, yaitu daerah estuarin dimana fresh water lebih mendominasi, tetapi
tidal masih masih berpengaruh (harian)
Marine atau lower estuarin adalah estuarine yang secara bebas berhubungan dengan laut bebas,
sehingga karakteristik air laut sangat terasa pada daerah ini. Daerah dimana terjadi percampuran
antara fresh water dan air asin secara seimbang disebut middle estuarin. Sedangkan fluvial atau
upper estuarin, yaitu daerah estuarin dimana fresh water lebih mendominasi, tetapi tidal masih
masih berpengaruh (harian). Friendman & Sanders (1978) dalam Reineck & Singh
mengungkapkan bahwa pada fluvial estuarin konsentrasi suspensi yang terendapkan lebih kecil
(<160mg/l) dibanding pada sungai yang membentuk delta. Gambar VII.31 Skema system
lingkungan pengendapan estuarin yang sangat dipengaruhi gelombang (Dalrymple, 1992)
Berdasarkan aktivitas dari tidal yang mempengaruhinya, estuarin dapat diklasifikasikan menjadi
tiga (Hayes, 1976 dalam Reading, 1978), yaitu :
1. Mikrotidal estuarin
2. Mesotidal estuarin
3. Makrotidal estuarin
Pada mikrotidal estuarin, perkembangan daerahnya sering ditandai dengan kemampuan
disharge dari sungai untuk menahan arus tidal yang masuk ke dalam sungai, meskipun kadang-
kadang pada saat disharge sungai sangat kecil, arus tidal dapat masuk sampai ke sungai. Pada
mesotidal estuarin, efektivitas dari tidal lebih efektif dibanding pada mikrotidal, khususnya ini
terjadi pada sungai bagian bawah. Pada makrotidal estuarin sering ditemukan funnel shaped dan
linier tidal sand ridges. Arus tidal sangat efektif dalam sirkulasi daerah ini, serta endapan suspensi
umumnya diendapkan pada dataran (flats) intertidal pada daerah batas estuarin (Reading, 1978).
Endapan pada daerah estuarin umumnya aggradational dengan alas biasanya berupa lapisan
erosional hasil scour pada mulut sungai. Hal ini berbeda dengan endapan delta yang umumnya
progadational yang sering menunjukan urutan mengkasar keatas. Pada daerah estuarin yang
sangat dipengaruhi oleh tidal, endapannya akan sangat sulit dibedakan dengan daerah
lingkungan pengendapan tidal, untuk membedakannya harus didapat informasi dan runtunan
endapan secara lengkap (Nichols, 1999).

TIDAL FLAT
Tidal flat merupakan lingkungan yang terbentuk pada energi gelombang laut yang rendah dan
umumnya terjadi pada daerah dengan daerah pantai mesotidal dan makrotidal. Pasang surut
dengan amplitudo yang besar umumnya terjadi pada pantai dengan permukaan air yang sangat
besar/luas. Danau dan cekungan laut kecil yang terpisah dari laut terbuka biasanya hanya
mengalami efek yang kecil dari pasang surut ini, seperti pada laut mediterania yang ketinggian
pasang surutnya hanya berkisar dari 10 – 20 cm. Luas dari daerah tidal flat ini berkisar antara
beberapa kilometer sampai 25 km (Boggs, 1995). Berdasarkan pada elevasinya terhadap tinggi
rendahnya pasang surut, lingkungan tidal flat dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu subtidal,
intertidal dan supratidal . Pembagian serta hubungan antara zona-zona pada lingkungan tidal flat
(Boggs, 1995) Zona subtidal meliputi daerah dibawah rata-rata level pasang surut yang rendah
dan biasanya selalu digenangi air secara terus menerus. Zona ini sangat dipengaruhi oleh tidal
channel dan pengaruh gelombang laut, sehingga pada daerah ini sering diendapkan bedload
dengan ukuran pasir (sand flat). Pada zona ini sering terbentuk subtidal bar dan shoal.
Pengendapan pada daerah subtidal utamanya terjadi oleh akresi lateral dari sedimen pasiran
pada tidal channel dan bar. Migrasi pada tidal channel ini sama dengan yang terjadi pada
lingkungan sungai meandering. Zona intertidal meliputi daerah dengan level pasang surut rendah
sampai tinggi. Endapannya dapat tersingkap antara satu atau dua kali dalam sehari, tergantung
dari kondisi pasang surut dan angin lokal. Pada daerah ini biasanya tidak tumbuh vegetasi yang
baik, karena adanya aktifitas air laut yang cukup sering (Boggs, 1995). Karena intertidal
merupakan daerah perbatasan antara pasang surut yang tinggi dan rendah, sehinnga merupakan
daerah pencampuran antara akresi lateral dan pengendapan suspensi, maka daerah ini
umumnya tersusun oleh endapan yang berkisar dari lumpur pada daerah batas pasang surut
tinggi sampai pasir pada batas pasang surut rendah (mix flat). Pada daerah dengan pasang surut
lemah disertai adanya aktivitas ombak pada endapan pasir intertidal dapat menyebabkan
terbentuknya asimetri dan simetri ripples. Facies intertidal didominasi oleh perselingan lempung,
lanau dan pasir yang memperlihatkan struktur flaser, wavy dan lapisan lentikular. Facies seperti
ini menunjukan adanya fluktuasi yang konstan dengan kondisi energi yang rendah (Reading,
1978) Zona supratidal berada diatas rata-rata level pasang surut yang tinggi. Karena letaknya
yang lebih dominan ke arah darat, zona ini sangat dipengaruhi oleh iklim. Pada daerah sedang,
daerah ini kadang-kadang ditutupi oleh endapan marsh garam , dengan perselingan antara
lempung dan lanau (mud flat) serta sering terkena bioturbasi (skolithtos). Pada daerah beriklim
kering sering terbentuk endapan evaporit flat. Daerah ini umumnya ditoreh oleh tidal channel
(incised tidal channel) yang membawa endapan bedload di sepanjang alur sungainya.
Pengendapan pada tidal channel umumnya sangat dipengaruhi oleh arus tidal sendiri, sedangkan
pada daerah datar di sekitarnya (tidal flat), pengendapannya akan dipengaruhi pula oleh aktivitas
dari gelombang yang diakibatkan oleh air ataupun angin. Suksesi endapan pada lingkungan tidal
flat umumnya memperlihatkan sistem progadasi dengan penghalusan ke atas sebagai refleksi
dari batupasir pada pasang surut rendah (subtidal) ke lumpur pada pasang surut tinggi (supratidal
dan intertidal bagian atas). Blok diagram silisiklastik pada lingkungan tidal flat (Dalrymple, 1992
dalam Walker & James, 1992)

Gambar : Model Tidal Flat, Tucker


Gambar : Model Lain Dari Tidal Flat
NERITIK (Shelf Environment)
Daerah shelf merupakan daerah lingkungan pengendapan yang berada diantara daerah laut
dangkal sampai batas shelf break . Heckel (1967) dalam Boggs (1995) membagi lingkungan shelf
ini menjadi dua jenis, perikontinental (marginal) dan epikontinental (epeiric).
Perikontinental shelf adalah lingkungan laut dangkal yang terutama menempati daerah di sekitar
batas kontinen (transitional crust) shelf dengan laut dalam. Perikontinental seringkali kehilangan
sebagian besar dari endapan sedimennya (pasir dan material berbutir halus lainnya), karena
endapan-endapan tersebut bergerak memasuki laut dalam dengan proses arus traksi dan
pergerakan graviti (gravity mass movement). Karena keberadaannya di daerah kerak transisi
(transitional crust), perikontinental juga sering menunjukan penurunan (subsidence) yang besar,
khususnya pada tahap awal pembentukan cekungan, yang dapat mengakibatkan terbentuknya
endapan yan tebal pada daerah ini (Einsele, 1992). Sedangkan epikontinental adalah lingkungan
laut yang berada pada daerah kontinen (daratan) dengan sisi-sisinya dibatasi oleh beberapa
daratan. Daerah ini biasanya dibentuk jauh dari pusat badai (storm) dan arus laut, sehingga
seringkali terproteksi dengan baik dari kedua pengaruh tersebut. Jika sebagian dari daerah
epeiric ini tertutup, maka ini akan semakin tidak dipengaruhi oleh gelombang dan arus tidal.
Skema penampang lingkungan pengendapan laut (Boggs, 1995) Ada enam faktor yang
mempengaruhi proses sedimentasi pada lingkungan shelf (Reading, 1978), yaitu : 1. kecepatan
dan tipe suplai sedimen 2. tipe dan intensitas dari hidrolika regime shelf 3. fluktuasi muka air laut
4. iklim 5. interaksi binatang – sedimen 6. faktor kimia Pasir shelf modern sebagian besar (70%)
adalah berupa relict sedimen, meskipun kadang-kadang daerah shelf ini menerima secara
langsung suplai pasir dari luar daerah, seperti dari mulut sungai pada saat banjir dan dari pantai
pada saat badai (Drake et al, 1972 dalam Reading, 1978). Endapan sedimen pada lingkungan
shelf modern umumnya sangat didominasi oleh lumpur dan pasir, meskipun kadang-kadang
dijumpai bongkah-bongkah relict pada beberapa daerah. Ada empat tipe arus (current) yang
mempengaruhi proses sedimentasi pada daerah shelf (Swift et al, 1971 dalam Boggs, 1995),
yaitu :
1. Arus tidal
2. Arus karena badai (storm)
3. Pengaruh gangguan arus lautan
4. Arus density
Sehingga berdasarkan pada proses yang mendominasinya, lingkungan shelf ini secara dibagi
menjadi dua tipe (Nichols, 1999), yaitu shelf didominasi tidal (tide dominated shelves) dan shelf
didominasi badai (storm dominated shelves). Pada lingkungan shelf modern pada umumnya tidak
ada yang didominasi oleh pengaruh arus density.
Shelf yang didominasi oleh arus tidal ditandai dengan kehadiran tidal dengan kecepatan berkisar
dari 50 sampai 150 cm/det (Boggs, 1995). Sedangkan Reading (1978) mengungkapkan bahwa
beberapa shelf modern mempunyai ketinggian tidal antara 3 – 4m dengan maksimum kecepatan
permukaan arusnya antara 60 sampai >100 cm/det. Endapan yang khas yang dihasilkan pada
daerah dominasi pasang surut ini adalah endapan-endapan reworking in situ berupa linear ridge
batupasir (sand ribbons), sand waves (dunes), sand patches dan mud zones. Orientasi dari sand
ridges tersebut umumnya paralel dengan arah arus tidal dengan kemiringan pada daerah muka
sekitar 50. Umumnya batupasir pada shelf tide ini ditandai dengan kehadiran cross bedding baik
berupa small-scale cross bedding ataupun ripple cross bedding.

Shelf yang didominasi storm dicirikan dengan kecepatan tidal yang rendah (<25 m/det). Pada
daerah ini biasanya sangat sedikit terjadi pengendapan sedimen berbutir kasar, kecuali pada saat
terjadi badai yang intensif. Kondisi storm dapat mempengaruhi sedimentasi pada kedalaman 20
– 50 m. pada saat terjadi badai, daerah shelf ini menjadi area pengendapan lumpur dari suspensi.
Material klastik berbutir halus dibawa menuju daerah ini dari mulut sungai dalam kondisi suspensi
oleh geostrphik dan arus yang disebabkan angin (Nichols, 1999). Storm juga dapat
mengakibatkan perubahan (rework) pada dasar endapan sedimen yang telah diendapkan terlebih
dahulu. Pada suksesi daerah laut dangkal dengan pengaruh storm akan dicirikan dengan
simetrikal (wave) laminasi bergelombang (ripple), hummocky dan stratifikasi horisontal yang
kadang-kadang tidak jelas terlihat karena prose bioturbasi.

8 Oceanic (Deep-water Environment)


Sekitar 70% daerah bumi ini merupakan daerah cekungan laut dengan alas kerak samudra tipe
basaltis. Daerah cekungan laut dalam merupakan daerah yang pada bagian atanya dibatasi oleh
lingkungan shelf pada zona break, secara topografi ditandai dengan kemiringan yang curam
(lebih besar) dibandingkan dengan shelf. Berdasarkan dari fisiografinya, lingkungan laut dalam
ini dibagi menjadi tiga daerah yaitu,
1. continental slope,
2. continental rise dan
3. cekungan laut dalam .

Prinsip elemen dari Kontinental margin (Drake, C.L dan Burk, 1974 dalam Boggs, 1995) Lereng
benua (continental slope) dan continental rise merupakan perpanjangan dari shelf break.
Kedalaman lereng benua bermula dari shelf break dengan kedalaman rata-rata 130 m sampai
dengan 1500-4000 m. Kemiringan pada lereng benua ini sekitar 40, walaupun ada variasi pada
lingkungan delta (20) dan pada lingkungan koral (450) (Boggs, 1995). Sedangkan kemiringan
pada continental rise biasanya lebih kecil dibandingkan kemiringan pada lereng benua. Karena
lerengnya yang cukup curam dibandingkan paparan, pada lereng benua ini sering merupakan
daerah dari pergerakan arus turbidit. Continental rise biasanya tidak akan ada pada daerah
convergen atau aktif margin dimana subduksi berlangsung. Morfologi pada lereng benua ini
sering menunjukan bentuk cembung, kecuali pada daerah-daerah yang yang mempunyai stuktur
sangat aktif. Volume endapan sedimen yang dapat mencapai lereng benua dan continental rise
ini akan sangat bergantung pada lebarnya shelf dan jumlah sedimen yang ada. Continental rise
dan cekungan laut dalam membentuk sekitar 80% dari total dasar laut. Bagian lebih dalam dari
continental slope dibagi menjadi dua fisiografi, yaitu :
1. Lantai Samudra (ocean floor), yang dikarakteristikan dengan kehadiran dataran abisal,
perbukitan abisal (< 1 km) dan gunungapi laut (> 1 km)
2. Oceanic Ridges
Dataran abisal merupakan daerah yang relatif sangat datar, kadang-kadang menjadi sedikit
bergelombang karena adanya seamount. Beberapa dataran abisal juga kadang-kadang
terpotong oleh channel-channel laut dalam. Pada pusat cekungan laut dalam biasanya
terendapkan sedimen dari material pelagik. Mid-oceanic ridges memanjang sejauh 60.000 km
dan menutupi sekitar 30 – 35% dari luas lautan.

Transport Laut Dalam


Aliran turbidit merupakan salah satu jenis aliran yang sangat banyak dilakukan kajian oleh para
peneliti. Aliran turbidit pada prinsipnya dapat terjadi pada berbagai macam lingkungan
pengendapan, tetapi aliran turbidit lebih sering ditemukan pada lingkungan laut dalam. Pada
lingkungan laut dalam sebenarnya terdapat beberapa proses transpor yang dapat terjadi (Boggs,
1995), yaitu :
1. Transport suspensi dekat permukaan oleh air dan angin
2. Transport nepheloid-layer
3. Transport arus tidal pada submarine canyon
4. Aliran sedimen gravitasi
5. Transpor oleh arus geostrophic contour
6. Transport oleh floating ice
Transport oleh aliran gravitasi adalah transpor yang mendominasi dan banyak dijadikan kajian
sejak beberapa tahun kebelakang. Sedimen dengan aliran gravitasi merupakan material-material
yang bergerak di bawah pengaruh gravitasi. Aliran gravitasi ini secara prinsip terbagi menjadi
empat tipe dengan karakteristik endapannya masing-masing.Keempat tipe tersebut adalah :
1. Aliran arus turbidit
2. Aliran sedimen liquefied
3. Aliran butiran (Grain Flow)
4. Aliran Debris (Debris Flow)
Kuenen dan Migliori (1950) dalam Allen (1978) memvisualisasikan aliran turbidit sebagai aliran
suspensi pasir dan lumpur dengan densitas yang tinggi serta gravitasi mencapai 1,5 – 2,0. Ketika
aliran melambat dan cairan turbulence berkurang, maka aliran turbidit akan kelebihan beban, dan
diendapkanlah butiran-butiran kasar. Beberapa percobaan menunjukan bahwa aliran turbidit
secara umum terbagi menjadi empat bagian, yaitu kepala, leher, tubuh dan ekor. Pengendapan
dengan aliran turbidit merupakan suatu proses yang sangat cepat, sehingga tidak terjadi
pemilahan dari butiran secara baik, kecuali pada grading yang normal pada sekuen Bouma
(Nichols, 1999). Pasir yang terendapkan oleh aliran turbidit umumnya lebih banyak berukuran
lempung, mereka sering diklasifikasikan sebagai wackes dalam klasifikasi Pettijohn.

Kipas Laut Dalam


Ngarai (canyons) pada shelf merupakan tempat masuknya aliran air dan sedimen ke dalam laut
dalam (Gambar VII. 37). Hal ini dapat dianalogikan dengan pembentukan alluvial fan. Pada
setting laut dalam, morfologi kipas juga dapat terbentuk, menyebar dari ngarai-ngarai dan
membentuk menyerupai kerucut (cone) pada lantai samudera. Morfologi tersebut terkenal
dengan sebutan kipas bawah laut (submarine fans). Ukuran dari kipas bawah laut ini sangat
bervariasi, terbentang mulai dari beberapa kilometer sampai 2000 km (Stow, 1985).

Proses sedimentasi yang terjadi pada kipas bawah laut ini umumnya didominasi oleh sistem
aliran turbidit yang membawa material-material dari shelf melalui ngarai-ngarai. Proses
sedimentasi ini membentuk trend yang sangat umum, dimana material yang kasar akan
terendapkan dekat dengan sumber dan material yang halus akan terendapkan pada bagian distal
dari kipas. Kipas bawah laut modern dan turbidit purba terbagi ke dalam tiga bagian, proximal
(upper fan), medial (mid fan) dan distal (lower fan).

Upper fan berada pada kedalaman beberapa meter sampai puluhan meter dengan lebar bisa
mencapai ratusan meter. Kecepatan aliran yang sangat cepat pada daerah ini menyebabkan
endapan yang terbentuk berupa endapan tipis, tanpa struktur sedimen atau perlapisan batuan
yang kasar (Nichols, 1999). Jika didasarkan pada sekuen endapan turbidit dari Bouma, maka
pada daerah ini banyak ditemukan endapan dengan tipe sekuen “a”, sedangkan pada overbank
upper fan dan channel sering ditemukan sekuen Bouma bagian atas (Tcde atau Tde). Pada
daerah mid fan, aliran turbidit menyebar dari bgian atas kipas (upper fan). Pada daerah ini
endapan turbidit membentuk lobe (cuping) yang menutupi hampir seluruh daerah ini. Unit
stratigrafi yang terbentuk pada mid fan lobe ini, idealnya berupa sekuen mengkasar ke atas
(coarsening-up) serta adanya unit-unit channel. Pada mid fan lobe ini sering ditemukan sekuen
boma secara lengkap “ Ta-e dan Tb-e”. Kadang-kadang aliran turbidit yang mengalir dari upper
fan dan melintasi mid fan dapat pula mencapai daerah lower fan. Daerah lower fan merupakan
daerah terluar dari kipas bawah laut, dimana material yang diendapkan pada daerah ini umumnya
berupa pasir halus, lanau dan lempung. Lapisan tipis dari aliran turbidit ini akan membentuk divisi
Tcde dan Tde. Hemipelagic sedimen akan bertambah pada daerah ini seiring dengan
menurunnya proporsi endapan turbidit (Nichols, 1999).
Menurut Slatt (2006), Deepwater merupakan sedimen yang ditransport karena
proses aliran yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan diendapkan pada
lingkungan Marine, mulai dari Slope sampai Basin Floor. Proses Sedimentasi
seperti ini juga terjadi di Danau dan Cekungan Kraton yang kedalaman airnya
melebihi 300 m. Proses Sedimentasi ini juga disebut sebagai “Sistem Turbidit”
(Mutti dan Normark, 1987, 1991), “Turbidite System Complexes” (Stelting et
al., 2000) dan “Submerine Fan” (Bouma et al., 1985).

Proses Sedimentasi Pada Deepwater


Lingkungan Pengendapan Deepwater pertama kali berasal dari Paper
Kuenen dan Migliorini (1950) yang menyebutkan graded beds dari penelitian
di Laboratorium dan Observasi Singkapan (Gambar 1). Mereka
mengembangkan konsep arus turbidit sebagai proses penting dimana
sedimen ditransportasikan dari perairan dangkal menuju laut dalam (Gambar
2).

Gambar 1. Ilustrasi Bouma (1962) Sequence pada


singkapan, terdiri dari Ta (massive to size-graded sand), Tb (parallel-laminated sand) dan Tc
(ripple laminated sand). Bouma Td (massive siltstone to mudstone) dan Te (claystone) yang telah
mengalami pelapukan. Ta sebagai graded sand, biasanya ukuran butir berkurang keatas dari Ta
ke Te.
Arus Turbidit hanya memerlukan air laut dan sedikit volume partikel sedimen,
volume total air relatif, untuk bergerak downslope dibawah pengaruh gravitasi.
Karena fuid merupakan komponen dominan, alirannya berubah menjadi
turbulen dan akan tetap turbulen seiring perjalanan downslope.

Telah banyak penelitian saat ini yang menunjukkan proses aliran turbidit ini,
berbagai tipe sedimen yang diendapkan karena proses gravitasi pada laut
dalam (Gambar 3). Aliran ini dipengaruhi oleh interaksi antar partikel individu
didalamnya. Pada sedimen berkonsentrasi rendah, turbulen dan aliran fluid
mendominasi. Dengan sedimen berkonsentrasi tinggi, butiran-butiran
bergerak bersama dengan aliran (Gambar 3).
Gambar 2. Skema ilustrasi asal mula arus Turbidit

dari upslope slide. Modifikasi dari Morris (1971).


Gambar 3. Berbagai macam mekanisme sedimen support yang terjadi pada lingkungan
pengendapan deepwater. Mekanisme pendukungnya volume relatif butiran-butiran terhadap
volume butiran. Alirannya bertransisi dari turbulen, ke aliran laminar, aliran kohesif.
Sedimen Gravity Flow telah diketahui melakukan perjalanan ratursan
kilometer pada cekungan laut dalam (Walker, 1992). Semua aliran gravity flow
ini memiliki satu kesamaan yaitu, sama-sama berasal dari lingkungan marine.
Sebagai contoh, sedimen gravity flow bisa dibentuk oleh sedimen yang lepas
dari upper continental slope pada saat gempa bumi (Gambar 2). Aliran ini
disebut Ignitive Flow. Kelompok aliran lain disebut Nonignitive Flow atau lebih
spesifik lagi disebut Hyperpycnal Flow, berasal dari aliran yang bercampur
antara sedimen dan air sungai yang dibuang ke lingkungan marine dari muara
sungai selama proses banjir (Gambar 4).

Berat Jenis air sungai bersamaan dengan butiran-butiran tidaklah cukup untuk
membuat aliran air tenggelam ke air laut yang lebih padat (berat jenis lebih
berat). Selain itu juga aliran akan mengambang pada permukaan air laut
sampai partikel-partikel tersebut larut melalui kolom air. Jika partikel yang
berkonsentrasi tinggi mencapai lingkungan marine, berat jenis aliran dapat
melebihi air laut dan aliran tersebut akan tenggelam ke dasar laut dan
bergerak downslope sama seperti aliran Ignitive. Batas kritikal berat jenis ini
sekitar 42 kg/m3 (Mulder et al., 2003).
Gambar 4. Foto udara Infrared yang menunjukkan
penyebaran sedimen fine-grained yang berasal dari Sungai Mississipi. Gambar inset
menunjukkan tipe-tipe aliran yang terjadi ketika river-borned sedimen masuk ke lingkungan laut.
Aliran Hyperpycnal terbentuk pada saat konsentrasi sedimen yang diendapkan dalam freshwater
melebihi 42 kg/m3. After Mulder et al., (2003).
Model Lingkungan Pengendapan Deepwater
Menurut Walker (1978), model lingkungan pengendapan dari deepwater
menjadi feeder canyon, proximal suprafan lobe dan distal lobe fringe.
Kesemuanya berada diatas lingkungan pengendapan basin-plain (Gambar 5).
Berdasarkan ilustrasi gambar tersebut, ukuran butiran sedimen akan
berkurang secara progresif ke arah laut, sehingga diperkirakan potensi untuk
keberadaan minyak dan gas akan hilang.

Gambar 5. Model Submarine-fan.


Walaupun model ini sudah menjadi standar selama bertahun-tahun,
penggunaan teknologi Seismik 2D dan 3D telah membuktikan bahwa model
tersebut terlalu sederhana. Kemudian Walker (1992) menarik kembali
modelnya dan menyatakan modelnya tidak dapat digunakan untuk semua
sistem deepwater.
Sebagian besar sistem slope adalah sangat muddy. Terdapat volume sand
yang cukup besar pada daerah downdip dari sistem muddy slope. Banyak
channel pada slope yang ditandai dengan adanya sedimen bypass (seperti
coarse-grained lags, traction deposits, heterolithic deposits dari fine-grained
tails dan fine-grained levees).

Pada sistem semacam itu ukuran butir sedimen tidak berkurang secara
progresive ke arah laut. Sebagai contoh, pada Mississipi Submerine Fan,
endapan gravel telah ditemukan pada core deepwater 220 km dari pinggiran
shelf modern (Stelting et al., 1985). Pada Amazon Fan modern, terdapat 5%
sand (dan 95% mud) pada upper fan, 10-30% sand pada middle fan, 70%
sand pada lower fan, dan 30% sand pada Basin Plain (Piper dan Normark,
2001).

Rekonstruksi Paleogeografi pada facies sedimen deepwater di Formasi


Permian Brushy Canyon, Texas Barat, mengindikasikan bahwa terdapat 50%
Sandstone pada upper slope, 63& Sandstone pada lower slope, 76%
Sandstone pada base slope dan 93% Sandstone pada basin floor (Gardner
dan Boner, 2000). Perbedaan sistematik ini kearah laut merupakan hasil
bagian updip dari fan fan dan slope yang terdiri dari feeder channel dan
confined fill-nya (sand), terkadang penyesuaian terhadap interval yang lebih
muddy dan bagian downdip yang terdiri dari sheet sand atau lobes (Gambar
6).

Gambar 6. Skema diagram elemen penyusun dari


lingkungan pengendapan fine-grained deepwater. Modifikasi dari Bouma (2000).
Elemen Penyusun Lingkungan Pengendapan Deepwater
Mutti (1985) memperkenalkan konsep elemen turbidit. Kemudian
dikembangkan oleh Chapin et al., (1994). Bersama Shell Oil Co., Chapin et al
(1994), mengembangkan konsep lingkungan pengendapan deepwater pada
Gulf Mexico bagian utara. Chapin et al., (1994) menekankan pada 3 elemen
penyusun utama sand bearing (contohnya tipe-tipe reservoir); sheets (layer
dan amalgamasi); channels (single dan multistory); serta lapisan tipis pada
sedimen levee. Klasifikasi elemen penyusun lingkungan pengendapan
deepwater inilah yang sering digunakan pada industri minyak dan gas.

Gambar 7. Klasifikasi Elemen penyusun


deepwater dengan aplikasinya pada reservoir Gulf Mexico. After Chapin et al. (1994).
Elemen utama penyusun sistem lingkungan pengendapan deepwater adalah
canyons, (erosional) channels, (aggradasional) leveed channels dan sheets
atau lobes (Gambar 6 dan 7). Berikut ini beberapa contoh karakteristik dari
setiap elemen. Sangat penting untuk dicatat bahwa satu tipe termasuk
kedalam tipe lain yang berbeda pada skala yang berbeda. Sebagai Contoh,
pada skala reservoir, refleksi seismik untuk ketiga elemen tersebut sangat
jelas berbeda (Gambar 8).

Gambar 8. A, B, C adalah 3 profil seismik High-


Resolution dari suatu shallow intraslope minibasin, bagian utara Gulf Mexico. (A) Proximal dan
(B) Profil medial cross the upfan channelized system. (C) Profil distal cross the sheet deposits.
Catatan bahwa lobe A dan B terlihat menggunduk diantara struktur kontinu lateral, refleksi
seperti sheet. Endapan ini seluas 50 ms pada 2 arah travel time. (D) Profil seismik dari leveed
channel complex dari bagian barat Gulf Mexico. A, B, C, after Beaubouef et al, (2003).
Mutti dan Normark (1987, 1991) menyebut Submarine Fan (kipas bawah laut) dengan istilah “tubidite
system” (sistem tubidit), Feeley et al. (1985) dan Weimer and Buffler (1985) menyebut submarine
fan dengan istilah “fan sequence”, lalu Bouma et al. (1985) menyebut submarine fan dengan istilah
“fanlobe” yang berarti suatu pengendapan oleh gravitasi (gravity flow) yang mengalir ke suatu
cekungan. Urutan stratigrafi turbidit disebut dengan submarine fan complex atau turbidite
complex (Mutti and Normark, 1991). Istilah submarine fan biasanya digunakan untuk menyebut
akumulai tubidit modern yang terjadi didasar laut, sedangkan istilah tubidite system digunakan untuk
menjelaskan suatu singkapan turbidit dan juga digunakan dalam interpretasi bawah permukaan.

Hirarki unit turbidit berdasarkan skala fisik: penurunan ukuran ke arah kanan (after Mutti and Normark,
1987, 1991)

Sistem Turbidit telah diteliti oleh banyak sedimentologist dan telah banyak menghasilkan model kipas
bawah laut beserta fasiesnya. Model kipas bawah laut dibuat berdasarkan tectonic setting, karakter
basin, ukuran butir, fluktuasi relatif muka air laut dan lain-lain. Diantara model submarine fan terdapat
model spesifik yang penting dalam mempelajari turbidit, yakni sistem tubidit fine-grained (mud-rich) dan
sistem turbidit coarse-grained (sand-rich).
Model sistem tubidit, (A) Coarse Grained (sand rich), (B) Fine Grained (mud-rich) (Based on Stow et
al,1985 and Reading dan Richards, 1994)

Sistem turbidit fine grained terbentuk pada wilayah pasif margin dengan sungai-sungai panjang yang
membawa material sedimen menuju delta, memiliki shelf yang luas, dan transportasi yang efisien
kedalam basin, sehingga menghasilkan bypassing system. Tingginya rasio pasir ke serpih terjadi di dasar
lereng dan di bagian kipas terluar, sedangkan rasio ini mengecil pada kipas bagian tengah.

Sistem turbidit coarse grained terbentuk pada wilayah aktif margin, jarak transportasi material sedimen
yang relative pendek, memiliki shelf yang sempit, transportasi yang tidak efisien ke cekungan, sehingga
menghasilkan jenis kipas prograding. Pada sistem ini rasio pasir ke serpih tinggi pada channel dan pada
kipas utama, dan rasio ini perlahan berkurang dipinggiran channel dan pinggiran kipas.
Tabel Perbedaan umum antara sistem turbidit fine grained dan coarse grained.

References

Bouma, Arnold H., 2000, Fine-grained, mud-rich turbidite systems: model and comparison with
coarsegrained, sand-rich systems, in A. H. Bouma and C. G. Stone, eds., Fine-grained turbidite systems,
AAPG Memoir 72/SEPM Special Publication 68, p. 9–20.

Walker, Roger G., 1976, Turbidites and Associated Coarse Clastic Deposits, GeoscienceCanada, Volume
3, Number 1, p. 25-36.

Apa Itu Arus Keruh ???

MARCH 26, 2014DICKYCANDRAWANPUTRALEAVE A COMMENT


Nah ini ni min arus keruh yang biasanya para ahli geologi menyebutnya sebagai arus turbidit, arus ini
didefinisikan oleh Keunen dan Migliorini (1950) sebagai suatu sedimen yang diendapkan oleh
mekanisme arus turbidit, sedangkan arus turbidit itu sendiri adalah suatu arus yang memiliki suspensi
sedimen dan mengalir pada dasar tubuh fluida, karena mempunyai kerapatan yang lebih besar daripada
cairan tersebut.

Endapan turbidit mempunyai karakteristik tertentu yang sekaligus dapat dijadikan sebagai ciri
pengenalnya. Namun perlu diperhatikan bahwa ciri itu bukan hanya berdasarkan suatu sifat tunggal
sehingga tidak bisa secara langsung untuk mengatakan bahwa suatu endapan adalah endapan turbidit.
Hal ini disebabkan banyak struktur sedimen tersebut, yang juga berkembang pada sedimen yang bukan
turbidit. Litologi dan Struktur Karakteristik endapan turbidit pada dasarnya dapat dikelompokan ke
dalam dua bagian besar berdassarkan litologi dan struktur sedimen, yaitu :

 Karakteristik Litologi
1. Terdapat perselingan tipis yang bersifat ritmis antar batuan berbutir relatif kasar dengan batuan
yang berbutir relatif halus, dengan ketebalan lapisan beberapa milimeter sampai beberapa
puluh centimeter. Umumnya perselingan antar batupasir dan serpih. Batas atas dan bawah
lapisan planar, tanpa adanya scouring.

2. Pada lapisan batuan berbutir kasar memiliki pemilahan buruk dan mengandung mineral-mineral
kuarsa, feldspar, mika, glaukonit, juga banyak didapatkan matrik lempung. Kadang-kadang
dijumpai adanya fosil rework, yang menunjukan lingkungan laut dangkal.

3. Pada beberapa lapisan batupoasir dan batulanau didapatkan adanya fragmen tumbuhan.

4. Kontak perlapisan yang tajam, kadang berangsur menjadi endapan pelagik.

5. Pada perlapisan batuan, terlihat adanya struktur sedimen tertentu yang menunjukan proses
pengendapannya, yaitu antara lain perlapisan bersusun, planar, bergelombang, konvolut,
dengan urut-urutan tertentu.

6. Tak terdapat struktur sedimen yang memperlihatkan ciri endapan laut dangkal maupun fluvial.

7. Sifat-sifat penunjukan arus akan memperlihatkan pola aliran yang hampir seragam saat suplai
terjadi.

 Karakteristik Struktur sedimen

Menurut Bouma (1962) dalam hal pengenalan endapan turbidit salah satu ciri yang penting adalah
struktur sedimen, karena mekanisme pengendapan arus turbidit memberikan karakteristik sedimen
tertentu. Banyak klasifikasi struktur sedimen hasil mekanisme arus turbid, salah satunya karakteristik
genetik dari Selly (1969). Selly (1969) mengelompokan struktur sedimen menjadi 3 berdasarkan proses
pembentukannya :

Gambar Struktur Sedimen Laminasi Pada Arus Turbulen

 Struktur Sedimen Pre-Depositional

Merupakan struktur sedimen yang terjadi sebelum pengendapan sedimen, yang berhubungan dengan
proses erosi oleh bagian kepala (head) dari suatu arus turbid (Middleton, 1973). Umumnya pada bidang
batas antara lapisan batupasir dan serpih. Beberapa struktur sedimen yang antara lain flute cast, groove
cast.

 Struktur Sedimen Syn-Depositional

Struktur yang terbentuk bersamaan dengan pengendapan sedimen, dan merupakan struktur yang
penting dalam penentuan suatu endapan turbidit. Beberapa struktur sedimen yang penting diantaranya
adalah perlapisan bersusun, planar, dan perlapisan bergelombang.

 Struktur Sedimen Post-Derpositional

Struktur sedimen yang dibentuk setelah terjadi pengendapan sedimen, yang umumnya berhubungan
dengan proses deformasi. Salah satunya struktur load cast. Karakteristik-karakteristik tersebut tidak
selalu harus ada pada suatu endapan turbidit. Dalam hal ini lebih merupakan suatu alternatif, mengingat
bahwa suatu endapan turbidit juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang akan memberikan ciri
yang berbeda dari suatu tempat ke tempat lain.Umumnya struktur sedimen yang ditemukan pada
endapan turbidit adalah struktur sedimen yang terbentuk karena proses sedimentasi, terutama yang
terjadi karena proses pengendapan suspensi dan arus.

Sekuen Bouma

Bouma (1962) memberikan urutan ideal endapan turbidit yang dikenal dengan Sekuen Bouma. Bouma
Sequence yang lengkap dibagi 5 interval (Ta-Te), peralihan antara satu interval ke interval berikutnya
dapat secara tajam, berangsur, atau semu, yaitu
 Gradded Interval (Ta)

Merupakan perlapisan bersusun dan bagian terbawah dari urut-urutan ini, bertekstur pasir kadang-
kadang sampai kerikil atau kerakal. Struktur perlapisan ini menjadi tidak jelas atau hilang sama sekali
apabila batupasirnya memiliki pemilahan yang baik. Tanda-tanda struktur lainnya tidak tampak.

 Lower Interval of Parallel Lamination (Tb)

Merupakan perselingan antara batupasir dengan serpih atau batulempung, kontak dengan interval
dibawahnya umumnya secara berangsur.

 Interval of Current Ripple Lamination (Tc)

Merupakan struktur perlapisan bergelombang dan konvolut. Ketebalannya berkisar antara 5-20 cm,
mempunyai besar butir yang lebih halus daripada kedua interval dibawahnya. (Interval Tb).

 Upper Interval of Parallel Lamination (Td)

Merupakan lapisan sejajar, besar butir berkisar dari pasir sangat halus sampai lempung lanauan. Interval
paralel laminasi bagian atas, tersusun perselingan antarabatupasir halus dan lempung, kadang-kadang
lempung pasirannya berkurang ke arah atas. Bidang sentuh sangat jelas.

 Pelitic Interval (Te)

Merupakan susunan batuan bersifat lempungan dan tidak menunjukan struktur yang jelas ke arah tegak,
material pasiran berkurang, ukuran besar butir makin halus, cangkang foraminifera makin sering
ditemukan. Bidang sentuh dengan interval di bawahnya berangsur. Diatas lapisan ini sering ditemukan
lapisan yang bersifat lempung napalan atau yang disebut lempung pelagik. Urut-urutan ideal seperti
diatas mungkin tak selalu didapatkan dalam lapisan, dan umumnya dapat merupakan urut-urutan
internal sebagai berikut :

1. Base cut out sequence.Urutan interval ini merupakan urutan turbidit yang lebih utuh,sedangkan
bagian bawahnya hilang. Bagian yang hilang bisa Ta, Ta-b, Ta-c dan Ta-d.

2. Truncated sequenceUrutan interval yang hilang dari sekuen yang hilang adalah bagian atas, yaitu : Tb-
e, Tc-e, Td-e, Te. Hal ini disebabkan adanya erosi oleh arus turbid yang kedua.

3. Truncated base cut out sequenceUrutan ini merupakan kombinasi dari kedua kelompok base cut out
sequence dan truncated sequence yaitu bagian atas dan bagian bawah bisa saja hilang.

Model Kipas Bawah Laut Walker

Menurut Walker 1978, secara garis besar kipas bawah laut dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : kipas atas
(upper fan), kipas tengah (middle fan), dan kipas bawah (lower fan).
Model Kipas Bawah Laut Menurut Walker 1978

a) Kipas Atas (upper fan)

Kipas atas merupakan pengendapan pertama dari suatu sistem kipas laut dalam,
yang merupakan tempat dimana aliran gravitasi itu terhenti oleh perubahan kemiringan. Oleh karena
itu, seandainya aliran pekat (gravitasi endapan ulang) ini membawa fragmen ukuran besar, maka
tempat fragmen kasar tersebut diendapkan adalah bagian ini. Fragmen kasar dapat berupa batupasir
dan konglomerat yang dapat digolongkan ke dalam fasies A,B dan F. Bentuk lembah-lembah pada kipas
atas ini bermacam-macam, biasanya bersifat meander, biasanya juga hampir berkelok (low sinuosity).
Mungkin hal ini berhubungan dengan kemiringan dan kecepatan arus melaluinya, ukuran kipas atas ini
cukup besar dan bervariasi tergantung besar dan kecilnya kipas itu sendiri. Lebarnya bisa mencapai
mulai dari ratusan meter sampai beberapa kilometer, dengan kedalaman dari puluhan sampai ratusan
meter. Alur-alur pada kipas atas berukuran cukup besar. Walker (1978) memberikan model urutan
macam sedimen kipas atas ke bawah. Bagian teratas ditandai oleh fragmen aliran (debris flow)
berstruktur longsoran (slump), jika sedimennya berupa konglomerat, maka umumnya letak semakin ke
bawah pemilahannya makin teratur, mengakibatkan bentuk lapisan tersusun terbalik ke bagian atas dan
berubah menjadi lapisan normal bagian bawah.

b) Kipas tengah (middle fan)

Bagian tengah kipas laut dalam adalah yang paling menarik dan sering diperdebatkan.
Letak kipas tengah berada di bawah aliran kipas atas. Morfologi kipas laut dalam bagian tengah
berumur Resen, dapat dibagi menjadi 2, yaitu suprafan dan suprafan lobes, disamping ketinggian dari
lautan, juga morfologi di dalamnya. Suprafan umumnya ditandai lembah yang tidak mempunyai tanggul
alam (Nomark, 1978) dimana lembah tersebut saling menganyam (braided), sehingga dalam profil
seismic berbentuk bukit-bukit kecil. Relief ini sebenarnya merupakan bukit-bukit dan lembah yang dapat
mempunyai relief 90 meter. Lembah dapat berisi pasir sampai kerakal (Nomark,1980), kadang-kadang
dapat menunjukan urutan Bouma (1962). Bagian suprafan sebenarnya lebih merupakan model yang
kadang-kadang di lapangan sulit untuk diterapkan. Masalah dasar tmbuhnya model bagian ini adalah
adanya urutan batuan yang cirinya sangat menyerupai kipas luar, tetapi masih menunjukan bentuk-
bentuk torehan, dimana cirri terakhir ini menurut Walker (1978) adalah kipas Suprafan.Asosiasi fasies
kipas bagian tengah berupa tubuh-tubuh batupasir dengan sedikit konglomerat yang berbentuk lensa
yang lebih lebar dan luas. Batupasir dan Konglomerat tergolong ke dalam fasies A, B, dan F. Fasies-fasies
itu disisipi juga oleh lapisan-lapisan sejajar dari fasies D dan E, kadang-kadang juga fasies C. Asosiasi
fasies ini berbeda dengan asosiasi fasies yang terdapat di kipas bagian dalam, yaitu :- Tubuh batupasir
dan konglomerat dimensinya kecil- Geometrinya kurang cembung ke bawah- Adanya sisipan-sisipan
perselingan dari batupasir-batulempung.

c) Kipas Bawah (Lower Fan)

Kipas bawah terletak pada bagian luar dari system laut dalam, Umumnya
mempunyai morfologi yang datar sangat landai (Nomark,1978). Kipas bawah merupakan endapan
paling akhir dari system paket atau aliran gravitasi tersebut yang paling mungkin mencapai bagian kipas
adalah system aliran dari arus kenyang. Ukuran yang paling mungkin di daerah kipas luar adalah
berukuran halus. Serta menunjukan urutan vertical , Bouma (1962). Asosiasi fasies kipas bawah disusun
oleh lensa-lensa butiran di dalam batulempung, perselingan batupasir dan batulanau yang berlapis
tebal. Lnesa-lensa batupasir dari fasies B dan C, sedangkan batuan-batuan yang mengapitnya dari fasies
D . Karakteristik asosiasi fasies –fasies kipas bagian bawah ditandai oleh :Ø Langkanya batuan-batuan
yang diendapkan di dalamnya pasitan (channel deposit)Ø Penampang geometrinya berbentuk lensa.Ø Di
bagian puncak sekuen, kadang-kadang didapatkan juga endapan paritan dan amalgamasi.Ø Sering kali
sekuennya memperlihatkan penebalan lapisan ke bagian atas.Fasies yang berasosiasi dengan Kipas
Bawah Laut ( submarine fans ) Walker (1978) terbagi menjadi 5 fasies, yaitu :

Pembagian Lithologi Arus Turbulen Menurut Walker 1978


1) Fasies Turbidit Klasik (Classical Turbidite, CT)

Fasies ini pada umumnya terdiri dari perselingan antara batupasir dan serpih/batulempung dengan
perlapisan sejajar tanpa endapan channel. Struktur sedimen yang sering dijumpai adalah perlapisan
bersusun, perlapisan sejajar, dan laminasi, konvolut atau a,b,c Bouma (1962), lapisan batupasir menebal
ke arah atas. Pada bagian dasar batupasir dijumpai hasil erosi akibat penggerusan arus turbid (sole
mark) dan dapat digunakan untuk menentukan arus turbid purba. Dicirikan oleh adanya CCC (Clast,
Convolution, Climbing ripples). Climbing ripples dan convolut merupakan hasil dari pengendapan
suspensi, sedangkan clast merupakan hasil erosi arus turbid (Walker, 1985).

2) Fasies Batupasir masif (Massive Sandstone, MS)

Fasies ini terdiri dari batupasir masif, kadang-kadang terdapat endapan channel, ketebalan 0,5-5 meter,
struktur mangkok/dish structure. Fasies ini berasosiasi dengan kipas laut bagian tengah dan atas.

3) Fasies Batupasir Kerakalan (Pebbly Sandstone, PS)

Fasies ini terdiri dari batupasir kasar, kerikil-kerakal, struktur sedimen memperlihatkan perlapisan
bersusun, laminasi sejajar, tebal 0,5 – 5 meter. Berasosiasi dengan channel, penyebarannya secara
lateral tidak menerus, penipisan lapisan batupasir ke arah atas dan urutan Bouma tidak berlaku.

4) Fasies Konglomeratan (Clast Supported Conglomerate, CGL)

Fasies ini terdiri dari batupasir sangat kasar, konglomerat, dicirikan oleh perlapisan bersusun, bentuk
butir menyudut tanggung-membundar tanggung, pemilahan buruk, penipisan lapisan batupasir ke arah
atas, tebal 1-5 m. Fasies ini berasosiasi dengan sutrafanlobes dari kipas tengah dan kipas atas. Fasies
Lapisan yang didukung oleh aliran debris flow dan lengseran (Pebbly mudstone, debris flow, slump and
slides, SL).

You might also like