You are on page 1of 11

GANGGUAN KESEIMBANGAN KALIUM

Kalium atau potassium merupakan kation intraselular terpenting, karena


berfungsi dalam penentuan imobilitas potensial membran, mengatur
keseimbangan pH, mempertahankan volume cairan intrasel dengan nilai normal
pada cairan ekstrasel adalah 3,5-5 mmol/L (Bariid, Indri, & Hadiningsih, 2015).
Dalam Yaswir & Ferawati (2012) telah disebutkan bahwa normalnya nilai kalium
dalam plasma 4,5 mEq/L, pada interstitial 5,0 mEq/L, dan itraseluler 140 mEq/L.
Penyerapan kalium dari saluran cerna sangat baik dan menghasilkan kelebihan
asupan sekitar 1 mEq/kg/24 jam (60-100 mEq). Sebagian besar kelebihan ini
(90%) diekskresikan lewat ginjal dan 10% lewat saluran cerna. Keseimbangan
kalium dipertahankan terutama lewat regulasi ekskresi ginjal. Lokasi regulasi
paling penting berada di duktus koledokus, di mana terdapat reseptor aldosteron
(Harvey, 2007). Ekskresi kalium ditingkatkan oleh aldosteron, peningkatan
hantaran natrium ke duktus koledokus (seperti pada penggunaan diuretik), aliran
urin (diuresis osmotik) dan kadar kalium darah tinggi serta juga hantaran ion-ion
negatif ke dalam duktus koledokus (misal bikarbonat). Sedangkan ekskresi
diturunkan oleh ketiadaan relatif atau absolut aldosteron, hantaran natrium ke
duktus koledokus, aliran urin dan kadar kalium darah rendah serta juga gagal
ginjal.
Ginjal dapat beradaptasi terhadap perubahan asupan kalium akut dan
kronik. Pada saat asupan kalium tinggi secara kronik, ekskresi kalium
ditingkatkan, namun bila tidak ada asupan kalium tetap ada kehilangan wajib
sebesar 10-15 mEq/hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi kontrol kalium
antara lain kadar insulin, aldosterone, katekolamin, dan alkalosis metabolik
(Jongejan, Nijsten, & Hessels, 2016). Oleh karena itu, kehilangan kronik timbul
pada keadaan kekurangan asupan kalium tipe apapun. Ginjal mempertahankan
peranan penting dalam kesetimbangan homeostasis kalium, bahkan pada keadaan
gagal ginjal kronik. Mekanisme adaptasi ginjal membuat ginjal dapat
memertahankan homeostasis ginjal sampai laju filtrasi ginjal di bawah 15-20
ml/menit. Kemudian, pada keadaan gagal ginjal, terjadi peningkatan proporsi
kalium yang diekskresikan lewat saluran cerna. Usus besar merupakan tempat
utama regulasi ekskresi kalium di saluran cerna. Faktor-faktor di atas membuat
kadar kalium tetap normal pada keadaan-keadaan stabil, bahkan dengan adanya
insufisiensi ginjal lanjut. Meskipun demikian, dengan adanya perburukan keadaan
ginjal, asupan kalium dalam jumlah besar mungkin tidak dapat ditangani dengan
baik (Greenlee , Wingo, McDonough, Youn, & Kone, 2009).

Gambar 1. Regulasi kalium di dalam nefron, tanda panah merupakan


resultante netto dari ekskresi dan reabsorpsi kalium
A. Hipokalemia
1. Etiologi
a. Penurunan asupan kalium, peningkatan laju kalium masuk ke
dalam sel, peningkatan pH ekstraseluler, peningkatan jumlah
insulin, peningkatan aktivitas beta adrenergik, paralisis
hipokalemik periodik, peningkatan produksi sel-sel darah,
hipotermia, intoksikasi barium, intoksikasi klorokuin, peningkatan
kehilangan pada gastrointestinal, peningkatan kehilangan urine,
diuretik, kelebihan mineralokoid primer, anion tak terserap,
asidosis metabolik, hipomagnesemia, nefropati dengan kebocoran
garam, poliuria, peningkatan keluaran keringat, dan dialisis (Rose
& Post, 2001; Malluche, 1999).
b. Kehilangan cairan akibat diuretik atau diare, gangguan hormonal/
endokrin seperti hipertiroidisme dan hiperaldosteronisme,
kurangnya asupan kalium, rendahnya kadar magnesium (DiGiulio,
Jackson, & Keogh, 2014).
c. Asupan tidak memadai, alkalosis, pergeseran kalium di antara
cairan intrasel dan ekstrasel (perbandingan jumlah normalnya 30 :
1), bekerja berat mengakibatkan kalium hilang melalui otot,
kematian sel seperti hemolisis, dan miolisis, transfusi darah yang
telah lama tersimpan akan menyebabkan kalium hilang dari
eritrosit (Silbenagl & Lang, 2006).
d. Ketika melakukan aktivitas fisik, tubuh akan mengalami
peningkatan panas dan sebagai mekanisme kompensasi tubuh akan
mengeluarkan keringat yang disertai dengan elektrolit. Semakin
berat aktivitas fisik yang dilakukan seseorang, semakin banyak
juga keringat atau elektrolit yang dikeluarkan; hal ini yang dapat
menyebab-kan kadar beberapa anion dan kation dalam tubuh
mengalami penurunan, salah satunya yaitu kalium (Pokneangge,
Tiho, & Mewo, 2015).
Gambar 2. Hormon-hormon penyebab perpindahan kalium ke dalam sel, yang
terutama adalah insulin dan beta-adrenergik.

Gambar 3. Efek diuretik terhadap penurunan kadar kalium di dalam


darah.
2. Manifestasi Klinis
Hipokalemia biasanya dikaitkan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas, khususnya oleh karena aritmia atau kematian kardiak
mendadak. Meskipun demikian, kontribusi independen hipokalemia
terhadap peningkatan morbiditas/mortalitas belum ditetapkan secara
konklusif. Pasien yang menderita hipokalemia seringkali mempunyai
masalah medis multipel, membuat pemisahan dan kuantifikasi
kontibusi hipokalemia sulit dilakukan. Derajat manifestasi cenderung
seimbang dengan keberatan dan lama hipokalemia. Gejala biasanya
tidak timbul sampai kadar kalium berada di bawah 3,0 mEq/L, kecuali
kadar kalium turun secara cepat atau pasien tersebut mempunyai
faktor-faktor yang memperberat seperti kecenderungan aritmia karena
penggunaan digitalis. Gejala biasanya membaik dengan koreksi
hipokalemia.
Kondisi hipokalemia dapat ditandai dengan adanya kelemahan
otot, aritmia kardiak ditandai dengan gambaran EKG U waves, ST
depresi, kontraksi ventrikel prematur, AV Block, rhabdomiolisis,
kelainan ginjal, penurunan refleks tendon, penurunan aktivitas
peristaltik yang dapat menyebabkan anorexia dan konstipasi (DiGiulio,
Jackson, & Keogh, 2014).

Gambar 4. Gambaran khas gelombang U yang dapat dilihat pada akhir


gelombang T, terutama dapat ditemukan pada lead V4-6.
Gambar 5. Pemanjangan QT, dapat menjadi salah satu gambaran EKG pada
penderita dengan hipokalemia. Interval QT terkoreksi dapat dihitung dengan
membagi interval QT (0,6 s) dengan akar interval RR (0,84 s) sehingga pada
EKG ini QTc adalah 0,65 s.

3. Tindakan
Hipokalemia dalam situasi-situasi klinis seringkali dilewatkan
begitu saja, baik diterapi maupun tidak diterapi, etiologi hipokalemia
yang beragam kurang dieksplorasi secara mendalam. Situasi ini
menghadapkan pasien pada risiko hipokalemia berulang yang
seringkali fatal ataupun meningkatkan morbiditas, padahal dengan
menerapkan beberapa langkah sederhana dan terarah sebagian besar
kasus hipokalemia dapat ditegakkan dengan meyakinkan. Dipaparkan
dalam DiGiulio, Jackson, & Keogh (2014) beberapa tindakan yang
diperlukan dalam menangani hipokalemia adalah :
a. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Hentikan pemberian diuretik
c. Memberikan asupan kaya kalium/potassium
d. Hindari pemberian cairan yang mengandung glukosa
e. Monitor irama jantung
B. Hiperkalemia
1. Etiologi
a. Sebuah kondisi hiperkalemi dapat ditandai dengan meningkatnya
nilai kalium dalam darah melebihi nilai normal. Hal tersebut pada
umumnya disebabkan karena kelebihan penggunaan potassium
atau pengganti garam dalam proses pencernaan, pengobatan
dengan penggunaan ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker,
amiloride, spironolacton, NSAID, trimethoprim, pentamidine,
terjadinya hemolisis, asidosis, dan penurunan kadar insulin
(DiGiulio, Jackson, & Keogh, 2014).
b. Gagal ginjal ( terkait fungsi regulasi kalium pada ginjal), kalium
eksogen ( terlalu banyak potasium/kalium dalam pencernaan diluar
batas toleransi tubuh, bisa juga karena kelebihan kalium dari efek
pemberian kalium intravena untuk mengatasi hipokalemia),
penggunaan obat-obatan diuretik, ACE inhibitor, ARBs, dan obat-
obatan aminoglikosida), asidosis ion hidrogen (menyebabkan
asidosis pada sel yang mendorong keluarnya kalium dari sel),
Hemolysis, tumorlysis sindrom, kematian sel, dan rendahnya kadar
aldosteron (Reid, 2017).
c. Menurut Yaswir & Ferawati (2012) Hiperkalemia dapat
disebabkan oleh :
1) Keluarnya Kalium dari Intrasel ke Ekstrasel
Kalium keluar dari sel dapat terjadi pada keadaan asidosis
metabolik bukan oleh asidosis organik (ketoasidosis, asidosis
laktat), defisit insulin, katabolisme jaringan meningkat,
pemakaian obat penghambat-β adrenergik, dan
pseudohiperkalemia.
2) Berkurangnya Ekskresi Kalium melalui Ginjal
Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada
keadaan hiperaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume
sirkulasi efektif, pemakaian siklosporin atau akibat koreksi ion
kalium berlebihan dan pada kasus-kasus yang mendapat terapi
angiotensin-converting enzyme inhibitor dan potassium
sparing diuretics.

2. Manifestasi Klinis
a. Hasil laboratorium penanda kalium mengalami peningkatan dari
nilai normal > 5 mmol/L
b. Pada gambaran EKG terdapat T waves mencapai puncak,
kompleks QRS melebar, asistol ventrikel, cardiac arrest)
c. Kelemahan
d. Pusing
e. Pembesaran abdomen
f. Mual, muntah, diare akibat perubahan membran potensial
gastrointestinal
g. Aritmia bahkan cardiac arrest

3. Tindakan
Hiperkalemia dapat memprediksi terjadi penurunan fungsi ginjal
dan menjadi penyebab aritmia pada jantung hingga cardiac arrest. Oleh
karenanya diet rendah kalium baik untuk mencegah perburukan
kondisi hiperkalemia yang menjadi pilihan bagi penderitanya dan
sebaiknya selalu dievaluasi pelaksanaannya (Jackson, 2013).
Dipaparkan dalam DiGiulio, Jackson, & Keogh (2014) beberapa tindakan
yang diperlukan dalam menangani hipokalemia adalah :
a. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Pemberian diuretik
c. Memberikan diet rendah kalium/potassium
d. Pemberian cairan yang mengandung glukosa
e. Monitor irama jantung
Gambar 6. Gambaran EKG normal, hipokalemia, dan hiperkalemia
(Reid, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Bariid, B., Indri, N. P., Hadiningsih, T. (2015). Dasar-dasar Fisiologi Terapan :


panduan penting untuk mahasiswa keperawatan dan kesehatan ( Ed. 2).
Jakarta : Bumi Medika
DiGiulio, M., Jackson, D., & Keogh, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah:
Buku Wajib bagi Praktisi & Mahasiswa Keperawatan (Edisi 1).
Yogyakarta: Rapha Publishing.
Harvey, T.C. (2007). Addison's disease and the regulation of potassium: the role
of insulin and aldosterone. Med Hypotheses. 69(5):1120-6.
Malluche. (1999). Hyperkalemia, hypokalemia and metabolic alkalosis. In
Clinical Nephrology, Dialysis and Transplantation Ch.I-2 pp. 1-44.,
Lexington.
Jackson, H. (2013). Hyper (high), kalium (potassium), aemia (in blood):
hyperkalaemia. Journal of Renal Nursing, 5(1), 12–15.
Jongejan, J., Nijsten, M. W., & Hessels, L. (2016). The role of renal potassium
excretion in serum potassium derangements in two different patient groups.
Journal University Medical Center Groningen, (March), 1–21.
Greenlee, M., Wingo, C.S., McDonough, A. A., Youn, J.H., Kone, B.C. (2009).
Narrative review: evolving concepts in potassium homeostasis and
hypokalemia. Ann Intern Med. May 2009;150:619-625.
Pokneangge, R. J., Tiho, M., & Mewo, Y. M. (2015). PERBANDINGAN
KADAR KALIUM DARAH SEBELUM DAN SESUDAH AKTIVITAS
FISIK INTENSITAS BERAT. Jurnal E-Biomedik (EBm), 3(3), 845–849.
Reid, L. K. (2017). Potassium. Nursing Critical Care, 12(6), 6–14.
Rose, B.D., Post, T.W.(2001). Clinical Physiology of Acid-Base and Electrolyte
Disorders, 5th ed, pp. 836-856. New York : McGraw-Hill.
Silbenagl, S., & Lang, F. (2006). Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
EGC
Yaswir, R., & Ferawati, I. (2012). Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan
Natrium , Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal
Kesehatan Andalas, 1(2), 80–85.

You might also like