You are on page 1of 5

BAB 1.

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO), Penyakit kardiovaskular
merupakan penyebab kematian utama di dunia. Diperkirakan 17,5 juta orang
meninggal pada tahun 2012. Dari total angka kematian tersebut, 7,4 juta orang
mengalami penyakit jantung koroner. Pada kasus penyakit tidak menular, jumlah
kematian pada usia dibawah 70 tahun diestimasikan sebesar 16 juta. 37%
penyebab dari kematian ini terjadi karena penyakit kardiovaskular (WHO, 2012).
Berdasarkan diagnosis, estimasi jumlah penderita penyakit jantung
koroner terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 375.127 orang
(1,3%). Angka ini meningkat seiring bertambahnya umur dengan insidensi
tertinggi pada kelompok umur 65-74 tahun (Riskedas, 2013).
Sindroma koroner akut (SKA) merupakan sekumpulan gejala klinik yang
berhubungan dengan kondisi iskemia miokard akut. SKA terdiri dari Unstable
Angina (UA), ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) , dan Non ST-
Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) (Kumar et al., 2009). American Heart
Association (AHA) memperkirakan bahwa lebih dari 780.000 orang akan
menderita SKA di Amerika setiap tahunnya dengan rasio pada laki–laki dan
perempuan pada insidensi ini yaitu 3 : 2 (Amsterdam et al., 2014).
Nielsen et al. (2006) melaporkan SKA menyerang 234 orang/100.000
penduduk/tahun di Eropa pada kelompok umur 30-69 tahun dengan insidensi
lebih sering terjadi pada pria (50-75%) sedangkan, 10% diantaranya meninggal
setiap tahun (Nurulita et al., 2011).
SKA terjadi sebagian besar dimulai dari proses aterosklerosis. Proses
aterosklerosis akan merangsang proses inflamasi dan pembentukan trombus yang
akan menyebabkan oklusi pada pembuluh darah koroner. Adanya oklusi ini
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dan
pasokan oksigen yang diterima oleh miokard. Sebagai akibatnya terjadilah
kerusakan pada miokard. Kondisi berupa kematian atau nekrosis pada sel miokard
tersebut disebut dengan infark miokard. Infark miokard bisa terjadi secara
transmural (terjadi pada semua lapisan) dan juga nontransmural (hanya terjadi
pada sebagian lapisan) (Myrtha, 2012).
Adanya STEMI menggambarkan terjadinya oklusi total pada arteri
koroner sehingga menyebabkan nekrosis pada seluruh atau hampir seluruh lapisan
dinding jantung (O’Connor et al., 2010). STEMI adalah suatu sindroma klinik
yang didefinisikan sebagai gejala-gejala iskemia miokard yang diasosiasikan
dengan adanya ST-elevasi yang persisten pada ekokardiografi (EKG) dan ditandai
dengan pelepasan biomarker sebagai tanda nekrosis jantung.
Korelasi antara jumlah leukosit dalam sirkulasi dengan peningkatan risiko
kardiovaskuler telah diteliti dalam penelitian–penelitian terdahulu. Abbase et al.
(2010) mengatakan bahwa kenaikan jumlah leukosit berperan dalam kerusakan
vaskular, atherogenesis, ruptur plak dan kejadian trombosis. Kejadian trombosis
terjadi ketika leukosit berperan dalam pengekspresian sitokin seperti IL6 dan IL8
serta molekul adhesi (MAC-1) yang mengaktifkan aktivitas procoagulan monosit
dan pembentukan trombus sebagai respon dalam kejadian inflamasi sistemik
(Madjid et al., 2004). Ketika terjadi kerusakan endotel pada awal pembentukan
plak, leukosit ikut berperan dalam proses inflamasi melalui peran monosit
(Myrtha, 2012). Leukosit juga berperan melalui peran neutrofil melalui
pelepaskan ROS yang mengakibatkan kerusakan langsung pada jaringan (Carbone
et al., 2013).
Penelitian menunjukan adanya hubungan antara aktivitas SGOT dan
ukuran infark miokard. Kenaikan SGOT ditemukan pada kondisi kerusakan otot
jantung, otot skelet dan hepar. Perubahan nilai SGOT tidak terjadi pada angina
pektoris, insufisiensi koroner atau pada gagal jantung (Ladue et al., 1955).
Nekrosis yang terjadi pada infark miokard menyebabkan pelepasan enzim-enzim
dan protein serta petanda petanda lainnya seperti transaminase. Rata–rata terjadi
peningkatan 4 kali dalam infark miokard dan pada infark yang luas kadarnya bisa
meningkat hingga 15 kali.
Pemeriksaan yang menunjukan manifestasi non klinik yang tersedia lebih
luas, murah, dengan hasil yang akurat dan tepat diperlukan pada kasus Infark
miokard akut (IMA). Leukosit sebagai indikator terjadinya inflamasi dihubungkan
dengan SGOT sebagai tanda kerusakan organ pada IMA belum diteliti pada
penelitian sebelumnya.
Oleh karena itu, hal ini bisa menjadi salah satu alternatif dalam
perkembangan ilmu penegakan diagnosis sehingga bisa membantu mengurangi
kesalahan diagnosis dan didapatkan terapi yang lebih agresif diharapkan dapat
memperbaiki angka kematian dan prognosis yang buruk pada STEMI.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai
hubungan antara jumlah leukosit terhadap kadar SGOT pada pasien STEMI di
ICCU RSD dr. Soebandi Jember.

1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
yaitu bagaimana hubungan antara jumlah leukosit dan kadar SGOT pada pasien
STEMI di ICCU RSD dr. Soebandi Jember.

1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
jumlah leukosit dan kadar SGOT pada pasien STEMI di ICCU RSD dr. Soebandi
Jember.

1. 4 Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat
pada perkembangan ilmu pengetahuan dan dalam bidang pengabdian masyarakat,
diantaranya :
1. 4. 1. Manfaat praktis
Apabila penelitian ini terbukti terdapat hubungan antara jumlah leukosit
dengan SGOT diharapkan dapat menjadi manifestasi nonklinis yang membantu
penegakan diagnosis dan pertimbangan dalam penentu pengelolaan pasien STEMI
terutama pada fase akut dengan lebih agresif sehingga dapat menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas pada penyakit jantung.
1. 4. 2. Manfaat akademis
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi ilmiah mengenai
hubungan antara jumlah leukosit dan kadar SGOT pada pasien STEMI di ICCU
RSD dr. Soebandi Jember dan hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat
menjadi masukan bagi para dokter ataupun mahasiswa kedokteran, dalam
menjelaskan mekanisme patobiologi terjadinya IMA dengan melihat hubungan
antara jumlah leukosit dan SGOT pada penderita IMA sehingga diharapkan
penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut.
42

You might also like