Professional Documents
Culture Documents
Capsel PsyCap
Capsel PsyCap
LATAR BELAKANG
Pegawai Negeri merupakan unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945,
Negara dan Pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintah dan pembangunan.
Sehubungan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan sudah tentu di
samping kewajiban baginya juga diberikan apa-apa saja yang menjadi hak yang
didapat oleh seorang pegawai negeri.
Kinerja karyawan merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam
pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan
tertentu.Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan, baik itu
mempengaruhi secara positif ataupun sebaliknya. Kepuasan kerja karyawan
merupakan salah satunya, kepuasan kerja karyawan berhubungan dengan adanya
penempatan yang tidak sesuai dengan jabatan atau kemampuan kerjanya, kurangnya
penghargaan terhadap karyawan yang berkinerja baik dan uang jam lembur yang
terlalu sedikit. Keadaan seperti ini, yakni kurangnya kepuasan karyawan akan
mempengaruhi motivasi kerja mereka (Gusneti, 2014).
Motivasi kerja merupakan hal yang mendorong karyawan untuk bekerja lebih
baikdibandingkan yang sebelumnya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang
diberikan oleh perusahaan. Pada dasarnya motivasi dapat memicu karyawan untuk
bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan
produktivitas kerja karyawan sehingga berpengaruh pada pencapaian tujuan
perusahaan. Sumber motivasi ada tiga faktor, yakni kemungkinan untuk berkembang,
jenis pekerjaan, dan apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari
perusahaan tempat mereka bekerja. Disamping itu terdapat beberapa aspek yang
berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan, yakni : rasa aman dalam bekerja,
mendapatkan gaji yang adil dan kompetitif, lingkungan kerja yang menyenangkan,
penghargaan atas prestasi kerja dan perlakuan adil dari manajemen. Dengan
melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, pekerjaan yang menarik
menantang, kelompok dan rekan kerja yang menyenangkan serta kejelasan akan
standar keberhasilan.Jika motivasi menurun, kibatnya,dalam bekerjapun mereka
menjadi tidak optimal, seperti kurang bersemangat, malas, terlambat, bahkan bisa
melakukan kesalahan dan hal lain yang berfisat negatif (Masitahsari, 2015).
Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi tidak akan menuggu tugas yang
menantang yang biasa disebut “discrepancy reduction”. Sebaliknya, mereka akan
membuat diskrepansi bagi diri mereka sendiri dengan berulang kali memberikan
tantangan pada diri mereka sendiri melalui tujuan yang semakin tinggi dan mencari
dan meminta tugas yang sulit. Self doubt, skepticism, feedback yang negative, kritik
sosial, halangan dan kemunduran dan bahkan kegagalan yang berulang-ulang, yang
biasanya membuat orang dengan efikasi rendah mudah menyerah, hanya memiliki
dampak kecil pada individu dengan efikasi diri yang tinggi (bandura & Locke dalam
Luthans, Youssef-Morgan, & Avolio, 2015)).
2. Hope
3. Resilience
Faktor resiko di definisikan sebagai hal- hal yang dapat meningkatkan hasil
yang tidak diinginkan (Masten & Reed, dalam Luthans et all, 2007). Pada dimensi
resiliensi, asset dan faktor resiko tidak selalu memiliki hubungan yang linera. Dengan
kata lain, resiliensi tidak bisa dinilai sebagai total sumber daya dan kemampuan yang
dimiliki seseorang (asset) lalu dikurrangi faktor resiko, karena asset dan faktor resiko
secara alamiah bersifat kumulatif dan selalu berinteraksi satu sama lain. Faktor yang
ketiga yaitu nilai-nilai (value). Nilai –nilai yang dimiliki individu ini yang kemudian,
memandu, membentuk dan memberikan konsistensi dan arti akan kognisi, emosi, dan
tindakan orang tersebut. Nilai – nilai tersebut membantu individu untuk melewati
masa-masa sulit ataupun menghanyutkannya di masa sekarang, dan kemudian
mengaitkannya dengan masa depan yang lebih menyenangkan yang antinya dapat
diraih orang tersebut (Avolio & Luthans, 2015).
4. Optimism
Lebih lanjut, Seligmen (dalam Luthans et all, 2007) sebagai bapak psikologi
positive mengemukakan optimisme sebagai explanatory style yang di atribusikan
dengan kejadian positif dan negatif. Artinya, optimisme merupakan suatu cara
interpretasi yang dilakukan terhadap kejadian-kejadian positif dan negaif. Kejadian
positif dimaknai sebagai suatu kejadian yang terjadi karena diri sendiri, yang bersifat
menetap dan dapat terjdi dalam berbagai situasi. Sedangkan, kejadian negatif
diartikan sebagai suatu kejadian ang terjadi karena hal-hal yang berasal dari luar diri,
yang bersifat sementara, dan hanya terjadi pada situasi-situasi tertentu.
Meskipun begitu, sifat optimisme yang berlebihan juga merupakan hal yang
tidak baik. Hal ini dikarenakan, optimesme yang berlebihan bisa membahayakan diri
individu sendiri dan juga lingkungan individu tersebut. Optimisme yang berlebihan
dapat berbentuk khayalan, ilusi, atau hal yang tidak nyata dan tidak logis. Oleh
karenanya, Peterson (dalam Luthans et all, 2007) menekankan sifat optimisme yang
fleksibel. Optimisme yang fleksibel berarti, individu yang sedang mengalami
kegagalan perlu memiliki pandangan bahwa hal tersebut hanya bersifat sementaradan
dapat diubah. Sedangkan, Schneider (dalam Luthans et all, 2007) menekankan adanya
optimesme yang realistis, yang berarti pandangan-pandangan baik tersebut dapat
dicapai dnegan adnaya usaha yang optimal oleh indivdu tersebut.
III. PEMBAHASAN
Hope Self-
efficacy
Job Performance
Resilienc Optimis
e m
Psy-Cap
Pada dasarnya, Psychological Capital merupkan suatu keadaan psikologis positif
(positive psychological state) pada individu, yang dicirikan dengan adanya efikasi diri,
harapan (hope), resiliensi (resiliency), dan optimisme. Keadaan positif yang dimaksud
merupakan keterhubungan antar keempat karakteritik dalam mewujudkan keoptimalan kerja
individu. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kappagoda, dkk.
(2014) bahwa PsyCap berhubungan positif dengan job performance serta termanifestasikan
melalui work attitudes. Juga, penelitian Nafei (2014) yang menemukan bahwa PsyCap
berkorelasi positif dengan employee performance, yang kemudian mengarah pada job
satisfaction. Jadi, semakin baik PsyCap karyawan, maka semakin baik pula job performance
dan work attitudes yang ditunjukkan. Selain job performance dan work attitudes, PsyCap juga
berpengaruh terhadap work engagement. Levenne (2015) mengemukakan bahwa PsyCap dan
work engangement memiliki keterhubungan yang positif, dimana karyawan dnegan PsyCap
yang tinggi akan menunjukkan work engagement yang tinggi pula. Dalam perwujudannya,
karyawan tersebut akan memberikan kontribusi yang baik dan juga disertai dengan adanya
kesesuaian tujuan antara karyawan dan perusahaan tempat mereka bekerja. Murthy (2014)
juga mengemukakan hal yang sama terkait hubungan antara PsyCap dengan work
engagement, serta pengaruhnya terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB). Hal
tersebut juga dikemukakan oleh Rostiana dan Lihardja (2013) terkait keterkaitan antara
PsyCap, OCB,dan juga work engagement.Serta, hasil penelitian yang dilakukan oleh Simons
dan Buitendach (2013) yang mengemukakan adanya hubungan positif yang signifikan antara
PsyCap, Work Engagement, dan Organizational Commitment.
Lebih lanjut, PsyCap juga memiliki peran dalam regulasi emosi yang terjadi pada
karyawan, baik yang termanifestasi dalam ekspresi maupun yang terjadi dalam diri individu,
yang diistilahkan deeep acting. Intinya, PsyCap juga menunjukkan hubungan positif terhadap
kemampuan regulasi emosi karyawan. Sedangkan, regulasi emosi yang baik dapat mencegah
karyawan dalam mengalami situasi keleahan yang berlebihan (exhausted) (Yin, et.al, 2016).
PsyCap juga bisa menentukan coping strategy stress yang akan dipilih oleh karyawan, ketika
mengalami stress. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Rabenu, et.al.,
(2016) bahwa semakin tinggi PsyCap yang dimiliki oleh karyawan, maka karyawan tersebut
akan cenderung memilih coping strategy change atau accept dalam situasi stress di
lingkungan kerja. hal tersebut juga memberikan pengaruh lebih jauh terhadap keadaan well-
being dan performa kerja karyawan. Serupa pula dengan penelitian yang dilakukan oleh
Hansen, et.all (2014), menemukan bahwa variabel PsyCap memiliki hubungan yang
signifikan dengan subjective well-being.
Berdasarkan data yang diperoleh terkait masalah-masalah yang terjadi pada Pegawai
Negeri Sipil ditemukan adanya kinerja yang rendah pada PNS yang bekerja di instansi
pemerintah daerah. Hal ini dikemukakan oleh Lembaga OMBUDSMAN (2016), mengenai
keluhan-keluhan masyarakat terkait kinerja pegawai tersebut. Keluhan-keluhan tersebut
meliputi penundaan dan tidak pemberian pelayanan, penyalahgunaan wewenang, konflik
kepentingan, dsb. Keluhan-keluhan itu merupakan perwujudan dari work attitudes, yang juga
termanifestasi dari job performance pegawai negeri sipil yang rendah. Selain variabel-variabel
tersebut, laporan keluhan masyarakat itu juga menggambarkan minimnya work engagement
yang dimiliki. Serta variabel-variabel lain yang terkait, yaitu regulasi emosi, coping strategy
stress,burn out, kreativitas, dan kemampuan berinovasi. Kondisi rendahnya variabel-variabel
tersebut mengindikasikan PsyCap pegwai negeri sipil yang rendah. Oleh karenanya,
pengetahuan tentang PsyCap yang dimiliki oleh PNS dangat membantu, utamanya dalam hal
penentuan intervensi-intervensi yang sesuai dalam peningkatan kapasitas yang dimiliki oleh
PNS.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja pegawai negeri sipil
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, menunjukkan kualitas yang sangat rendah. PsyCap
sebagai variabel yang dikarakteristikkan dengan adanya Hope, Self-Efficacy, Resiliency, dan
Optimism, berpengaruh positif pada variabel-variabel yang berperan penting dalam menunjang
kapasitas yang dimiliki oleh pegawai negeri sipil, seperti work attitude, job performance, dan
sebagainya. Peranan penting dari PsyCap inilah yang kemudian dapat membantu pegawai negeri
sipil dalam mengoptimalkan tugas dan peranannya.
DAFTAR PUSTAKA
Gusnetti. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan Pada PT. Garuda
Indonesia Pekanbaru. Jurnal FISIP; (1), 2.
Hansen, A., Buitendach, J. H., & Kanengoni, H. (2015). Psychological capital, subjective
well-being, burnout and job satisfaction amongst educators in the Umlazi region in
South Africa . 1-9.
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945
Kappagoda, U. W., Othman, H. Z., & Alwis, G. D. (2014). sychological Capital and Job
Performance: The Mediating Role of Work Attitudes . 102-116.
Levene, R. A. (2016). Positive Psychology At Work: Psychological Capital and Thriving as
Pathways to Employee Engagement.
Luthans, F., Youssef, C.M., & Avolio, B.J. (2007). Psychological capital. New York: Oxford
University Press.
Luthans, F., Youssef, C.M., & Avolio, B.J. (2015). Psychological capital and Beyond. New
York: Oxford University Press.
Masitahsari, U. (2015). Analisis Kerja Pegawai di Puskesmas Jongaya Makassar.
Jurnal:Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar.
Murthy, K. R. (2014). Psychological Capital, Work Engagement, and Organizational
Behaviour. Sinhgad Institute of Management and Computer Application (SIMCA). 347 - 358
Nafei, W. (2014). The Effects of Psychological Capital on Employee Attitudes and Employee
Performance: A Study on Teaching Hospitals in Egypt. 249-270.
Rabenu, E., Yaniv, E., & Elizur, D. (2016). The Relationship between Psychological Capital,
Coping with Stress, Well-Being, and Performance.
Rostiana & Lihardja, N. (2013). The influence of psychological capital to work engagement
and organizational citizenship behaviour. International Conference of
Entrepreneurship and Business Management. 161 -171
Simons, J. C. & Buitendach, H.J. (2013). Psychologycal Capital, work engagement, and
organizational commitment amongs call centre employee in South Africa. SA Journal
of Industrial Psychology. 39 (2)
Slamet, S. (1993). Administrasi Kepegawaian. Yogyakarta: Liberty.
Yin, H., Wang, W., Huang, S., & Li, H. (2016). Psychological Capital, Emotional Labor and
Exhaustion: Examining Mediating and Moderating Models.
Ziyae, B., Mobaraki, M. H., & Saeediyoun, M. (2015). The Effect of Psychological Capital
on Innovation in Information Technology. 1-12.