You are on page 1of 12

I.

LATAR BELAKANG

Penjelasan Undang-undang Nomor 8/1974 dijelaskan kelancaran pemerintah


dan pelaksanaan pembangunan nasional terutama tergantung dari kesempurnaan
aparatur negara dan kesempurnaan aparatur negara pada pokoknya tergantung pada
kesempurnaan pegawai negeri. Dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional sebagai
tersebut diatas diperlukan adanya Pegawai Negeri yang penuh kesetiaan dan ketaatan
kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, negara dan pemerintah serta bersatu
padu, bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih,
berkualitas tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur paratur negara,
dan abdi masyarakat. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya pegawai negeri adalah :
1. Mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
2. Diangkat oleh pejabat yang berwenang.
3. Diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau tugas negara lainnya.
4. Diberi gaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya disebutkan jenis pegawai yaitu :
1. Pegawaai Negeri terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia dan
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
2. Pegawai negeri sipil terdiri dari :
a. Pegawai Negeri sipil Pusat
b. Pegawai Negeri Sipil daerah
3. Disamping Pegawai Negeri Sipil
Sebagaimana dimaksud diatas, pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai
tidak tetap Sedangkan dalam pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa pegawai negeri sipil
berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan.
Selain itu pengertian pegawai menurut Slamet Saksono ( 1993 : 25 ) adalah sebagai
berikut :
Kedudukan dan peranan pegawai negeri sipil menurut Undang-undang Pegawai
adalah orang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan
diserahi tugas negara dalam suatu jabatan serta digaji menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Selanjutnya dalam Undang-Undang No.43 tahun 1999 pasal 3 ayat (1)
menyebutkan bahwa :”Pegawai Negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara,
yang dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang- Undang Dasar
1945 negara dan pemerintah dalam menyelesaikan tugas pemerintahan dan
pembangunan”.

Tugas dan Fungsi PNS

Pegawai Negeri merupakan unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945,
Negara dan Pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintah dan pembangunan.
Sehubungan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan sudah tentu di
samping kewajiban baginya juga diberikan apa-apa saja yang menjadi hak yang
didapat oleh seorang pegawai negeri.

Pada pasal 4 undang-undang no. 43 tahun 1999 tentang perubahan atass


undang-undang no. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian dimana setiap
pegawai negeri wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan
Pemerintahan. Pada umumnya yang dimaksud dengan kesetiaan dan ketaatan adalah
suatu tekad dan kesanggupan dari seorang pegawai negeri untuk melaksanakan dan
mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Faktor Kinerja Pegawai

Kinerja karyawan merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam
pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan
tertentu.Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan, baik itu
mempengaruhi secara positif ataupun sebaliknya. Kepuasan kerja karyawan
merupakan salah satunya, kepuasan kerja karyawan berhubungan dengan adanya
penempatan yang tidak sesuai dengan jabatan atau kemampuan kerjanya, kurangnya
penghargaan terhadap karyawan yang berkinerja baik dan uang jam lembur yang
terlalu sedikit. Keadaan seperti ini, yakni kurangnya kepuasan karyawan akan
mempengaruhi motivasi kerja mereka (Gusneti, 2014).

Motivasi kerja merupakan hal yang mendorong karyawan untuk bekerja lebih
baikdibandingkan yang sebelumnya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang
diberikan oleh perusahaan. Pada dasarnya motivasi dapat memicu karyawan untuk
bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan
produktivitas kerja karyawan sehingga berpengaruh pada pencapaian tujuan
perusahaan. Sumber motivasi ada tiga faktor, yakni kemungkinan untuk berkembang,
jenis pekerjaan, dan apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari
perusahaan tempat mereka bekerja. Disamping itu terdapat beberapa aspek yang
berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan, yakni : rasa aman dalam bekerja,
mendapatkan gaji yang adil dan kompetitif, lingkungan kerja yang menyenangkan,
penghargaan atas prestasi kerja dan perlakuan adil dari manajemen. Dengan
melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, pekerjaan yang menarik
menantang, kelompok dan rekan kerja yang menyenangkan serta kejelasan akan
standar keberhasilan.Jika motivasi menurun, kibatnya,dalam bekerjapun mereka
menjadi tidak optimal, seperti kurang bersemangat, malas, terlambat, bahkan bisa
melakukan kesalahan dan hal lain yang berfisat negatif (Masitahsari, 2015).

Kinerja karyawan juga tergantung pada dukungan organisasi dalam bentuk


pengorganisasian serta kenyamanan lingkungan kerja. Pengorganisasian dimaksudkan
untuk memberi kejelasan bagi setiap orang mengenai sasaran yang harus dicapai dan
apa yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut. Setiap orang perlu
memahami uraian jabatan dan tugas dengan jelas. Kenyamanan lingkungan kerja
termasuk didalamnya bagaimana seorang karyawan merasa nyaman dengan kondisi
ataupun lingkungan tempatnya bekerja. Hal lainnya yang berpengaruh adalah
pengalaman kerja. Pengalaman kerja dapat memperdalam dan memperluas
kemampuan kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama,
semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan tersebut. Semakin
banyak macam pekerjaan yang dilakukan seseorang, pengalaman kerjanya semakin
kaya dan luas, dan memungkinkan peningkatan kinerja (Gusneti, 2014; Masitahsari,
2015).

Data Kinerja PNS

Beberapa pegawai negeri sipil tidak menunjukkan adanya kinerja yang


optimal. Seringkali pegawai menunjukkan perilaku membolos Perilaku tersebut
semakin sangat terlihat pada awal masuk kerja setelah liburan hari raya ataupun
liburan akhir tahun. Wali Kota Bekasi mengatakan bahwa ratusan PNS berbolos pada
hari awal kerja setelah libur akhir tahun. Jumlah PNS yang disebutkan dalam berita
tersebut berkisar 174 pegawai (sumber okezone.com, 2016). Hal yang serupa terjadi
pada PNS Karawang pascalibur panjang. Kepala Bidang Pengembangan Karir Badan
Kepegawaian dan Diklat Karawang menyatakan bahwa sekitar 20 % PNS dari jumlah
total 4000 pegawai atau sekitar 800 pegawai (sumber republika.com, 2015). Kabag
Humas Pemkot Mojekerto juga menemukan 1.122 PNS melakukan bolos dan 268
PNS terlambat kerja, bertepatan dengan hari pertama kerja setelah libur awal tahun
(detik.com, 2017). Pegawai tersebut bekerja untuk pemerintah dengan pemerolehan
gaji yang berasal dari pajak-pajak yang dikenakan untuk masyarakat (Sari &
Simangunson, 2005).
Menurut data Ombudsman 2016, bahwa terdapat sekitar 9.030 laporan
pengaduan tentang keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik dan sebanyak 40%
diantaranya adalah keluhan pada lembaga Pemerintah Daerah. Adapun jenis laporan
yang dikeluhkan oleh masyarakat antara lain adalah penundaan pelayanan, tidak
memberikan pelayanan, penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan,
diskriminasi, tidak kompeten, permintaan imbalan uang/jasa, penyimpangan prosedur,
perilaku yang tidak patut, dan keberpihakan. Hal ini kemudian menunjukkan bahwa
kinerja dari Pegawai Negeri Sipil, utamanya pada sektor Pemerintah Daerah, memiliki
kinerja yang kurang optimal. Padahal Pegawai Negeri Sipil seyogianya dapat
memberikan pelayanan yang optimal pada masyarakat, menerima banyak laporan
keluhan dari masyarakat.
Psychological Capital adalah salah konstrak baru dalam positive
organizational behavior yang dikarakteristikkan dengan adanya self-efficacy, hope,
optimism, dan resiliency.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Psychological Capital
Dimensi Psychological Capital
1. Self efficacy
Efikasi diri pada modal psikologis didefiniskan sebagai kepercayaan diri
seseorang mengenai kemampuannya untuk memaksimalkan motivasi, pengethuan dan
tingkah laku yang dibutuhkan untuk melakukan tugas yang spesifik dengan baik pada
konteks yang dibutuhkan (Stanjkovic & luthans dalam Luthans, Youssef-Morgan , &
Avolio, 2015). Menurut Luthans (dalam Luthans, Youssef-Morgan , & Avolio, 2015)
bahwa seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi ditandai dengan lima
karakteristik yang penting yaitu :
a. Mereka menentukan target yang tinggi untuk diri mereka sendiri dan memilih
untuk mengerjakan tugas yang berat.
b. Mereka menerima dan berkembang melalui tantangan.
c. Mereka memiliki self motivation yang tinggi
d. Mereka akan berusaha sebaik mungkin untuk mencapai tujuannya.
e. Mereka akan berusaha dengan gigih ketika menghadapi tantangan.

Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi tidak akan menuggu tugas yang
menantang yang biasa disebut “discrepancy reduction”. Sebaliknya, mereka akan
membuat diskrepansi bagi diri mereka sendiri dengan berulang kali memberikan
tantangan pada diri mereka sendiri melalui tujuan yang semakin tinggi dan mencari
dan meminta tugas yang sulit. Self doubt, skepticism, feedback yang negative, kritik
sosial, halangan dan kemunduran dan bahkan kegagalan yang berulang-ulang, yang
biasanya membuat orang dengan efikasi rendah mudah menyerah, hanya memiliki
dampak kecil pada individu dengan efikasi diri yang tinggi (bandura & Locke dalam
Luthans, Youssef-Morgan, & Avolio, 2015)).

2. Hope

Snyder (dalam Luthans, Youssef-Morgan , & Avolio, 2015) mendefinisikan


Hope sebagai keadaan motivasi yang positif (positive motivational state) yang
didasarkan pada rasa untuk mencapai kesuksesan. Hope terdiri dari 2 komponen yaitu
(1) agency (energy yang diarahkan pada tujuan) (2) pathaways (rencana untuk
mencapai tujuan) (Snyder, Irvirng & Anderson dalam Luthans, Youssef-Morgan , &
Avolio, 2015) .

Penelitian yang dilakukan oleh Snyder mendukung gagasan bahwa hope


termasuk kedalam thinking state yang mana merupakan kemampuan individu untuk
mampu menetapkan tujuan yang realistis yang menantang dan kemudian menjangkau
tujuan tersebut dengan determinasi dirinya (self directed-determination), energi dan
control internal yang dimiliknya. Komponen ini dinamkan agency atau will power
(kemauan). Komponen lain yang sama pentingnya yaitu pathaways atau waypower.
Dengan komponen ini individu dapat secara proaktif untuk menentukan jalur-jalur
alternative untuk meraih tujuan mereka (Luthans, Youssef-Morgan , & Avolio, 2015).

Komponen pathaways merupakan kompnen utama yang memisahkan konsep


Hope dengan penggunaan istilah dari Psycap lainnya seperti self efficacy, resilience
dan optimism. Jika will power dan tekad yang memotivasi individu untuk pencarian
jalur (pathaways) baru melibatkan kreativitas, inovasi dan sumberdaya di dalam
pengembangan jalur, maka pada gilirannya hal ini akan memicu energy dan sense of
control (kepekaan terharap control) individu yang ketika dilibatkan bersama-sama
akan menghasilan spiral menuju harapan (Snyder dalam Luthans, Youssef-Morgan , &
Avolio, 2015).

3. Resilience

Resiliensi berasal dari kata “resilience” yang berarti ketahanan. Luthans


mendefiniskan resiliensi atau resilience sebagai kemampuan individu untuk dapat
bangkit kembali (rebound or bounce back) dari keterpurukan, konflik, kegagalan dan
bahkan pada pengalaman positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab
(Luthans, Youssef-Morgan, & Avolio, 2015). Sementara Scholars & Millon (dalam
Luthans, Youssef-Morgan, & Avolio, 2015) mendefinisikan resiliensi dalam dunia
kerja sebagai sebuah lintasan perkembangan yang ditandai dengan ditunjukkanya
kompetensi yang dimiliki individu saat mengahdapi masalah dan peningkatan
profesionalitas setelah pengalamn keterpurukan dalam lingkungan kerja. Resilience
bukan hanya merupakan kemampuan untuk kembali ke keadaan normal setelah
keterpurukan tapi juga bagaimana individu memanfaatkan keterpurukan yang
dialaminya sebagai batu loncatan untuk dapat mengalami pertumbungan dan
perkembangan (Luthans, Youssef-Morgan, & Avolio, 2015).

Pendekatan di dalam konsep psychological capital memberikan definis


terhadap resilinesi sebagai bukan hanya kemampuan untuk bangkit kembali dari
keterpurukan atau kegagalan tapi juga bagaimana individu memantang dirinya pada
hal-hal atau peristiwa positif (misalnya bagaimana melampuai catatan penjualan
setiap bulannya) dan untuk melampaui titik equilibrium yang dimilikinya (Luthans,
Youssef-Morgan, & Avolio, 2015).
Resiliensi dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling berinteraksi yaitu asset,
faktor resiko, dan vilai nilai. Asset didefinisikan sebagai karakteristik yang antara lain
meliput kemampuan kognitif, tempramen, persepsi positif terhadap diri sendiri,
stabilitas emosi, regulasi diri, dan karakteristik-karakteristik lain yang memiliki
kontribusi terhadap resiliensi, yang dapat diukut dalam situasi yang memprediskikan
hasil di masa yang akan datang (Masten dalam Luthans et Al., 2007).

Faktor resiko di definisikan sebagai hal- hal yang dapat meningkatkan hasil
yang tidak diinginkan (Masten & Reed, dalam Luthans et all, 2007). Pada dimensi
resiliensi, asset dan faktor resiko tidak selalu memiliki hubungan yang linera. Dengan
kata lain, resiliensi tidak bisa dinilai sebagai total sumber daya dan kemampuan yang
dimiliki seseorang (asset) lalu dikurrangi faktor resiko, karena asset dan faktor resiko
secara alamiah bersifat kumulatif dan selalu berinteraksi satu sama lain. Faktor yang
ketiga yaitu nilai-nilai (value). Nilai –nilai yang dimiliki individu ini yang kemudian,
memandu, membentuk dan memberikan konsistensi dan arti akan kognisi, emosi, dan
tindakan orang tersebut. Nilai – nilai tersebut membantu individu untuk melewati
masa-masa sulit ataupun menghanyutkannya di masa sekarang, dan kemudian
mengaitkannya dengan masa depan yang lebih menyenangkan yang antinya dapat
diraih orang tersebut (Avolio & Luthans, 2015).

4. Optimism

Optimisme merupakan salah satu topik yang banyak dibicarakan sebagai


kekuatan psikologis. Sedangkan, optimisme dalam PsyCap tidak hanya diartikan
sebagai pandangan positif terhadap suatu hal yang akan terjadi, tetapi juga bergantung
pada alasan dan atribusi yang digunakan dalam menjelaskan mengapa sebuah
kejadian terjadi. Apakah hal itu terjadi secara positif atau negatif, ataupun terjadi
dalam dimensi waktu, yakni masa lalu, masa depan ataupun sekarang. Singkatnya,
optimisme dapat diistilahkan sebagai explanatory style (Luthans et all, 2007).

Lebih lanjut, Seligmen (dalam Luthans et all, 2007) sebagai bapak psikologi
positive mengemukakan optimisme sebagai explanatory style yang di atribusikan
dengan kejadian positif dan negatif. Artinya, optimisme merupakan suatu cara
interpretasi yang dilakukan terhadap kejadian-kejadian positif dan negaif. Kejadian
positif dimaknai sebagai suatu kejadian yang terjadi karena diri sendiri, yang bersifat
menetap dan dapat terjdi dalam berbagai situasi. Sedangkan, kejadian negatif
diartikan sebagai suatu kejadian ang terjadi karena hal-hal yang berasal dari luar diri,
yang bersifat sementara, dan hanya terjadi pada situasi-situasi tertentu.

Meskipun begitu, sifat optimisme yang berlebihan juga merupakan hal yang
tidak baik. Hal ini dikarenakan, optimesme yang berlebihan bisa membahayakan diri
individu sendiri dan juga lingkungan individu tersebut. Optimisme yang berlebihan
dapat berbentuk khayalan, ilusi, atau hal yang tidak nyata dan tidak logis. Oleh
karenanya, Peterson (dalam Luthans et all, 2007) menekankan sifat optimisme yang
fleksibel. Optimisme yang fleksibel berarti, individu yang sedang mengalami
kegagalan perlu memiliki pandangan bahwa hal tersebut hanya bersifat sementaradan
dapat diubah. Sedangkan, Schneider (dalam Luthans et all, 2007) menekankan adanya
optimesme yang realistis, yang berarti pandangan-pandangan baik tersebut dapat
dicapai dnegan adnaya usaha yang optimal oleh indivdu tersebut.

III. PEMBAHASAN

Hope Self-
efficacy

Job Performance
Resilienc Optimis
e m

Psy-Cap
Pada dasarnya, Psychological Capital merupkan suatu keadaan psikologis positif
(positive psychological state) pada individu, yang dicirikan dengan adanya efikasi diri,
harapan (hope), resiliensi (resiliency), dan optimisme. Keadaan positif yang dimaksud
merupakan keterhubungan antar keempat karakteritik dalam mewujudkan keoptimalan kerja
individu. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kappagoda, dkk.
(2014) bahwa PsyCap berhubungan positif dengan job performance serta termanifestasikan
melalui work attitudes. Juga, penelitian Nafei (2014) yang menemukan bahwa PsyCap
berkorelasi positif dengan employee performance, yang kemudian mengarah pada job
satisfaction. Jadi, semakin baik PsyCap karyawan, maka semakin baik pula job performance
dan work attitudes yang ditunjukkan. Selain job performance dan work attitudes, PsyCap juga
berpengaruh terhadap work engagement. Levenne (2015) mengemukakan bahwa PsyCap dan
work engangement memiliki keterhubungan yang positif, dimana karyawan dnegan PsyCap
yang tinggi akan menunjukkan work engagement yang tinggi pula. Dalam perwujudannya,
karyawan tersebut akan memberikan kontribusi yang baik dan juga disertai dengan adanya
kesesuaian tujuan antara karyawan dan perusahaan tempat mereka bekerja. Murthy (2014)
juga mengemukakan hal yang sama terkait hubungan antara PsyCap dengan work
engagement, serta pengaruhnya terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB). Hal
tersebut juga dikemukakan oleh Rostiana dan Lihardja (2013) terkait keterkaitan antara
PsyCap, OCB,dan juga work engagement.Serta, hasil penelitian yang dilakukan oleh Simons
dan Buitendach (2013) yang mengemukakan adanya hubungan positif yang signifikan antara
PsyCap, Work Engagement, dan Organizational Commitment.

Lebih lanjut, PsyCap juga memiliki peran dalam regulasi emosi yang terjadi pada
karyawan, baik yang termanifestasi dalam ekspresi maupun yang terjadi dalam diri individu,
yang diistilahkan deeep acting. Intinya, PsyCap juga menunjukkan hubungan positif terhadap
kemampuan regulasi emosi karyawan. Sedangkan, regulasi emosi yang baik dapat mencegah
karyawan dalam mengalami situasi keleahan yang berlebihan (exhausted) (Yin, et.al, 2016).
PsyCap juga bisa menentukan coping strategy stress yang akan dipilih oleh karyawan, ketika
mengalami stress. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Rabenu, et.al.,
(2016) bahwa semakin tinggi PsyCap yang dimiliki oleh karyawan, maka karyawan tersebut
akan cenderung memilih coping strategy change atau accept dalam situasi stress di
lingkungan kerja. hal tersebut juga memberikan pengaruh lebih jauh terhadap keadaan well-
being dan performa kerja karyawan. Serupa pula dengan penelitian yang dilakukan oleh
Hansen, et.all (2014), menemukan bahwa variabel PsyCap memiliki hubungan yang
signifikan dengan subjective well-being.

Penelitian yang dilakukan oleh Zyae (2015) pada pekerja di perusahaan IT


menunjukkan bahwa pekerja dengan PsyCap yang tinggi, memiliki daya kreativitas dan
kemampuan untuk berinovasi yang lebih baik. Lebih lanjut, penelitian tersebut menunjukkan
bahwa resiliensi merupakan dimensi dalam PsyCap yang memiliki pengaruh paling besar
terhadap kreativitas dan kemampuan inovasi karyawan tersebut. Hal ini bersesuaian dengan
definisi resiliensi yang dikemukakan oleh (Luthans, et.al, 2015)bahwa resiliensi tidak hanya
dimaknai sebagai kemampuan untuk bangkit dari titik kegagalan, tetapi juga meliputi
kemampuan untuk melampaui standar kemampuan yang dimiliki.

Berdasarkan data yang diperoleh terkait masalah-masalah yang terjadi pada Pegawai
Negeri Sipil ditemukan adanya kinerja yang rendah pada PNS yang bekerja di instansi
pemerintah daerah. Hal ini dikemukakan oleh Lembaga OMBUDSMAN (2016), mengenai
keluhan-keluhan masyarakat terkait kinerja pegawai tersebut. Keluhan-keluhan tersebut
meliputi penundaan dan tidak pemberian pelayanan, penyalahgunaan wewenang, konflik
kepentingan, dsb. Keluhan-keluhan itu merupakan perwujudan dari work attitudes, yang juga
termanifestasi dari job performance pegawai negeri sipil yang rendah. Selain variabel-variabel
tersebut, laporan keluhan masyarakat itu juga menggambarkan minimnya work engagement
yang dimiliki. Serta variabel-variabel lain yang terkait, yaitu regulasi emosi, coping strategy
stress,burn out, kreativitas, dan kemampuan berinovasi. Kondisi rendahnya variabel-variabel
tersebut mengindikasikan PsyCap pegwai negeri sipil yang rendah. Oleh karenanya,
pengetahuan tentang PsyCap yang dimiliki oleh PNS dangat membantu, utamanya dalam hal
penentuan intervensi-intervensi yang sesuai dalam peningkatan kapasitas yang dimiliki oleh
PNS.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja pegawai negeri sipil
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, menunjukkan kualitas yang sangat rendah. PsyCap
sebagai variabel yang dikarakteristikkan dengan adanya Hope, Self-Efficacy, Resiliency, dan
Optimism, berpengaruh positif pada variabel-variabel yang berperan penting dalam menunjang
kapasitas yang dimiliki oleh pegawai negeri sipil, seperti work attitude, job performance, dan
sebagainya. Peranan penting dari PsyCap inilah yang kemudian dapat membantu pegawai negeri
sipil dalam mengoptimalkan tugas dan peranannya.
DAFTAR PUSTAKA

Gusnetti. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan Pada PT. Garuda
Indonesia Pekanbaru. Jurnal FISIP; (1), 2.
Hansen, A., Buitendach, J. H., & Kanengoni, H. (2015). Psychological capital, subjective
well-being, burnout and job satisfaction amongst educators in the Umlazi region in
South Africa . 1-9.
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945

Kappagoda, U. W., Othman, H. Z., & Alwis, G. D. (2014). sychological Capital and Job
Performance: The Mediating Role of Work Attitudes . 102-116.
Levene, R. A. (2016). Positive Psychology At Work: Psychological Capital and Thriving as
Pathways to Employee Engagement.
Luthans, F., Youssef, C.M., & Avolio, B.J. (2007). Psychological capital. New York: Oxford
University Press.
Luthans, F., Youssef, C.M., & Avolio, B.J. (2015). Psychological capital and Beyond. New
York: Oxford University Press.
Masitahsari, U. (2015). Analisis Kerja Pegawai di Puskesmas Jongaya Makassar.
Jurnal:Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar.
Murthy, K. R. (2014). Psychological Capital, Work Engagement, and Organizational
Behaviour. Sinhgad Institute of Management and Computer Application (SIMCA). 347 - 358
Nafei, W. (2014). The Effects of Psychological Capital on Employee Attitudes and Employee
Performance: A Study on Teaching Hospitals in Egypt. 249-270.
Rabenu, E., Yaniv, E., & Elizur, D. (2016). The Relationship between Psychological Capital,
Coping with Stress, Well-Being, and Performance.
Rostiana & Lihardja, N. (2013). The influence of psychological capital to work engagement
and organizational citizenship behaviour. International Conference of
Entrepreneurship and Business Management. 161 -171
Simons, J. C. & Buitendach, H.J. (2013). Psychologycal Capital, work engagement, and
organizational commitment amongs call centre employee in South Africa. SA Journal
of Industrial Psychology. 39 (2)
Slamet, S. (1993). Administrasi Kepegawaian. Yogyakarta: Liberty.

Yin, H., Wang, W., Huang, S., & Li, H. (2016). Psychological Capital, Emotional Labor and
Exhaustion: Examining Mediating and Moderating Models.
Ziyae, B., Mobaraki, M. H., & Saeediyoun, M. (2015). The Effect of Psychological Capital
on Innovation in Information Technology. 1-12.

You might also like