You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung
dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien
ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapat pertolongan sehingga
terhindar dari kecacatan atau kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat.
Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat
sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan
oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga
memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan
menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan
kematian.
Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan dimana
kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru
akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut. Keenan dan Boyan
melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan
12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi mengalami mati jantung (cardiac arrest).
Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata
oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap
episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi
tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat
tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus
(18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan
dari studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari
15411 pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas
yang minimal. Menurut Cheney et al menyatakan beberapa hal yang menjadi
komplikasi dari tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas,
pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus. Berdasarkan
data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang baik sangat penting
bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah
1
berikut adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan
pemeriksaan fisik, terutama yang berhubungan dengan penyulit dalam sistem
pernapasan, (2) penggunaan ventilasi supraglotik ( seperti face mask, Laryngeal Mask
Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila
keadaan gawat darurat terjadi.
Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat penting
dilakukan secara efektif dan efisien dan penatalaksanaan jalan nafas (airway
management) perlu dilakukan..

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi jalan nafas?
2. Apakah yang dimaksud dengan airway management?
3. Apa saja macam-macam gangguan jalan nafas?
4. Bagaimana pengkajian jalan nafas?
5. Bagaimanakah teknik pengelolaan jalan nafas/manajemen airway?
6. Bagaimana algoritma airway management?
7. Bagaimana algoritma difficult airway?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi jalan nafas.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan airway management.
3. Untuk mengetahui macam-macam gangguan jalan nafas.
4. Untuk mengetahui pengkajian jalan nafas.
5. Untuk mengetahui teknik pengelolaan jalan nafas/manajemen airway.
6. Untuk mengetahui algoritma airway management.
7. Untuk mengetahui algoritma difficult airway.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Jalan Nafas


Keberhasilan pengelolaan jalan nafas diantaranya intubasi, ventilasi, krikotirotomi
dan anestesi regional untuk laring memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan
nafas.

Gambar 1. Anatomi jalan nafas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang
menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua
bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di
bagian posterior dalam faring (gambar 1). Faring berbentuk U dengan struktur
fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan
masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring,
nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari
orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional
epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah
terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring
adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9
kartilago (gambar 2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan
kuneiforme.

3
Gambar 2. Anatomi Kartilago

B. Pengertian Airway Management


Airway management ialah memastikan jalan napas terbuka. Tindakan paling
penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan
dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga
menjamin kecukupan oksigenasi jaringan (American Society of Anesthesiologists, 2013).
Menurut Bingham (2008), airway management adalah prosedur medis yang
dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur nafas terbuka
antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan dengan membuka jalan nafas
atau mencegah obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh lidah, saluran udara itu
sendiri, benda asing, atau bahan dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang
teraspirasi.

C. Macam-Macam Gangguan Jalan Nafas


Obstruksi jalan nafas dibagi menjadi 2 berdasarkan derajat sumbatan :
a. Obstruksi total
Keadaan dimana jalan nafas menuju paru-paru tersumbat total, sehingga tidak ada
udara yang masuk ke paru-paru. Terjadi perubahan yang akut berupa hipoksemia
yang menyebabkan terjadinya kegagalan pernafasan secara cepat. Sementara
kegagalan pernafasan sendiri menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi
kardiovaskuler dan menyebabkan pula terjadinya kegagalan SSP dimana penderita
kehilangan kesadaran secara cepat diikuti dengan kelemahan motorik bahkan
mungkin pula terdapat renjatan (seizure). Bila tidak dikoreksi dalam waktu 5 – 10

4
menit dapat mengakibatkan asfiksia (kombinasi antara hipoksemia dan
hipercarbi), henti nafas dan henti jantung.
b. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam keadaan ini udara masih
dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Bila tidak
dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak. Hal yang perlu diwaspadai pada
obstruksi parsial adalah Fenomena Check Valve yaitu udara dapat masuk, tetapi
tdk keluar.

Obstruksi jalan nafas berdasarkan penyebab:


Keadaan yang harus diwaspadai adalah :
a. Trauma
Trauma dapat disebabkan oleh karena kecelakaan, gantung diri, atau kasus
percobaan pembunuhan. Lokasi obstruksi biasanya terjadi di tulang rawan sekitar,
misalnya aritenoid, pita suara dll.
1. Trauma maksilofasial
Trauma pada wajah membutuhkan mekanisme pengelolaan airway yang
agresif. Contoh mekanisme penyebab cedera ini adalah penumpang/pngemudi
kendaraan yang tidak menggunakan sabuk pengaman dan kemudian terlempar
mengenai kaca depan dan dashboard. Trauma pada daerah tengah wajah dapat
menyebabkan fraktur-dislokasi dengan gangguan pada nasofaring dan
orofaring.
2. Trauma leher
Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat menyebabkan kerusakan pada
laring atau trakhea yang kemudian meyebabkan sumbatan airway atau
perdarahan hebat pada sistem trakheobronkial sehingga sebegra memerlukan
airway definitif. Cedera leher dapat menyebabkan sumbatan airway parsial
karena kerusakan laring dan trakea atau penekanan pada airway akibat
perdarahan ke dalam jaringan lunak di leher.

5
3. Trauma laringeal
Meskipun fraktur laring merupakan cedera yang jarang terjadi, tetapi hal ini
daat menyebabkan sumbatan airway akut.

b. Benda asing, dapat tersangkut pada:


 Laring
Terjadinya obstruksi pada laring dapat diketahui melalui tanda-tanda
sebagai berikut, yakni secara progresif terjadi stridor, dispneu, apneu,
disfagia, hemopsitis, pernafasan dengan otot-otot nafas tambahan, atau
dapat pula terjadi sianosis.
 Trakea
Benda asing di dalam trakea tidak dapat dikeluarkan, karena tersangkut di
dalam rima glotis dan akhirnya tersangkut dilaring dan menimbulkan
gejala obstruksi laring
 Bronkus
Biasanya akan tersangkut pada bronkus kanan, oleh karena diameternya
lebih besar dan formasinya dilapisi oleh sekresi bronkhus.

D. Pengkajian Jalan Nafas

LOOK:
Look untuk melihat apakah pasien agitasi/gelisah, mengalami penurunan kesadaran, atau
sianosis. Lihat juga apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Kaji
adanya deformitas maksilofasial, trauma leher trakea, dan debris jalan nafas seperti darah,
muntahan, dan gigi yang tanggal.
 Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway bebas,
namun tetap perlu evaluasi berkala. Penurunan kesadaran memberi kesan adanya
hiperkarbia
 Agitasi memberi kesan adanya hipoksia 
Nafas cuping hidung
 Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi
dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut
 Adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang merupakan bukti
adanya gangguan airway.
LISTEN:
Dengarkan suara nafas abnormal, seperti:

6
 Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
 Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas setinggi
larings (Stridor inspirasi) atau setinggi trakea (stridor ekspirasi)
 Hoarseness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang membutuhkan
napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal napas
FEEL:
 Aliran udara dari mulut/ hidung
 Posisi trakea terutama pada pasien trauma. Palpasi trakea untuk menentukan
apakah terjadi deviasi dari midline.
 Palpasi apakah ada krepitasi

E. Teknik Pengelolaan Jalan Nafas/Manajemen Airway (Dachlan MR. 2009).


Manajemen airway/jalan napas merupakan salah satu ketrampilan khusus yang harus
dimiliki oleh dokter atau petugas kesehatan yang bekerja di Unit Gawat Darurat.
Manajemen jalan napas memerlukan penilaian, mempertahankan dan melindungi jalan
napas dengan memberikan oksigenasi dan ventilasi yang efektif.

1. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Mengeluarkan benda asing dari jalan nafas
Teknik Mengeluarkan Benda Asing Pada Pasien Dewasa Sadar
a. Manuver Heimlich/Abdominal Thrust (hentakan pada perut), langkah – langkah
sebagai berikut:

1) Langkah 1
 Memastikan pasien/korban tersedak, tanyakan” apakah anda tersedak ?”
 Jika pasien/korban mengiyakan dengan bersuara dan masih dapat bernafas
serta dapat batuk, mintalah pasien/korban batuk sekeras mungkin agar
benda asing dapat keluar dari jalan napas
 Bila jalan napas pasien/korban tersumbat, dia tidak dapat berbicara,
bernapas, maupun batuk dan wajah pasien/korban kebiruan (sumbatan
total). Penolong harus segera melakukan langkah berikutnya.
2) Langkah 2
 Bila pasien/korban berdiri penolong berdiri di belakang pasien/korban, bila
pasien/korban duduk penolong berlutut dan berada di belakang
pasien/korban.

7
 Letakkan satu kaki di antara kedua tungkai pasien/korban

Gambar 3. Abdominal Thrust


3) Langkah 3
 Lingkarkan lengan anda pada perut pasien/korban dan cari pusar
 Letakkan 2 jari di atas pusar
 Kepalkan tangan yang lain
 Tempatkan sisi ibu jari kepalan tangan pada dinding abdomen di atas dua
jari tadi
 Minta pasien/korban membungkuk dan genggam kepalan tangan anda
dengan tangan yang lain
 Lakukan hentakan ke arah dalam dan atas (sebanyak 5 kali )
 Periksa bilamana benda asing keluar setiap 5 kali hentakan
 Ulangi abdominal thrust sampai benda asing keluar atau pasien/korban
tidak sadar.
b. Chest Thrust
(Hentakkan Dada)
Langkahnya sama dengan Manuver Heimlich bedanya pada peletakan sisi
ibu jari kepalan tangan pada pertengahan tulang dada pasien/korban dan hentakan
dilakukan hanya ke arah dalam serta posisi kepala pasien/korban menyandar di
bahu penolong.
Teknik Pertolongan Sumbatan Benda Asing Pada Pasien Dewasa Tidak Sadar
a. Langkah 1
Posisikan pasien/korban terlentang di alas yang datar dan keras.
b. Langkah 2
1) Buka jalan napas pasien/korban dengan head tilt-chin lift
2) Periksa mulut pasien/korban untuk melihat bilamana tampak benda asing.
3) Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik
Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang

8
disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. Kegagalan membuka nafas
dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di
daerah faring atau adanya henti nafas (apnea)

·
Gambar 4. Cross Finger

4) Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut
dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari (finger sweep).

Gambar 5. Finger Sweep

c. Langkah 3
 Evaluasi pernapasan pasien/korban dengan melihat, mendengar dan merasakan
 Bila tidak ada napas, lakukan ventilasi
 Bila jalan napas tersumbat, reposisi kepala dan lakukan ventilasi ulang
d. Langkah 4
Bila jalan napas tetap tersumbat, lakukan 30 kompresi dada (posisi tangan
untuk kompresi dada sama dengan RJP dewasa)
e. Langkah 5
Ulangi langkah 2-4 sampai ventilasi berhasil (ventilasi berhasil bila terjadi
pengembangan dinding dada)
f. Langkah 6
 Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi ketika jalan napas bebas

9
 Jika nadi tidak teraba, perlakukan sebagai henti jantung, lanjutkan RJP 30:2
 Jika nadi teraba, periksa pernapasan
 Jika tidak ada napas, lakukan bantuan napas 10-12x/menit (satu tiupan tiap 5-6
detik) dengan hitungan satu ribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu, tiup. Ulangi
sampai 12 kali.
 Jika nadi dan napas ada, letakkan pasien/korban pada posisi recovery
 Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan tiap beberapa menit

Teknik Pertolongan Sumbatan Benda Asing Pada Anak Dibawah 1 tahun.


Berikut langkah-langkah manuver tepukan punggung dan hentakan dada pada bayi:
a. Posisikan bayi pada posisi menengadah dengan telapak tangan yang berada di atas
paha menopang belakang kepala bayi dan tangan lainnya menekan dada bayi.
b. Lakukan manuver hentakkan (chest thrust) pada dada sebanyak lima kali dengan
menggunakan jari tengah dan telunjuk tangan sejajar dengan putting susu bayi.

Gambar 6. Chest thrust untuk Anak dibawah 1 tahun

c. Lalu, balikkan bayi sehingga bayi berada pada posisi menelungkup dan lakukan
tepukan di punggung (back blow) dengan menggunakan pangkal telapak tangan
sebanyak lima kali.

10
Gambar 7. Tepukan Punggung (back blow) Pada Anak dibawah 1 tahun

d. Kemudian, dari posisi menelungkup, telapak tangan penolong yang bebas


menopang bagian belakang kepala bayi sehingga bayi berada di antara kedua
tangan kita (tangan satu menopang bagian belakang kepala bayi, dan satunya
menopang mulut dan wajah bayi).
e. Lakukan tepukan pada punggung bayi sebanyak 5 kali, lalu kembali lakukan
manuver hentakan/dorongan pada dada bayi dengan posisi telungkup.

2. Pengelolaan Jalan Nafas Secara Manual (Dachlan MR. 2009).


Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas yang
terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam kasus ini lidah jatuh
ke belakang dan menyumbat jalan napas ada bagian faring. Letakkan pasien pada posisi
terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan kalau pasien diatas kasur. Jika tonus
otot menghilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglotis akan menyumbat laring.
Lidah dan epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar.
Untuk menghindari hal ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
a. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuver)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu
dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglotis
terbuka, sniffing position, posisi hitup.
b. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong kedepan pada
sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah melekat pada rahang
bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas terbuka.

Dalam melakukan teknik membebaskan jalan nafas agar selalu diingat untuk
melakukan proteksi Cervical-spine terutama pada pasien trauma/multipel trauma.

11
Gambar 8: Teknik Head Tilt-Chin Lift Gambar 8: Teknik Jaw Thrust

Gambar 9: Teknik Jaw Thrust

Gambar 10. Proteksi Cervical-Spine

3. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat Sederhana

12
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang tidak sadar atau
dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior
faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk
membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan
(artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan
adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 11).
Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada
saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih intact (Dachlan MR. 2009).

Gambar 11. Oropharyngeal Airway dan Nasopharyngeal Airway

a. Oropharyngeal Airway (OPA)


Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks
jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral
airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90
mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).
Alat bantu napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak sadar bila angkat
kepala-dagu tidak berhasil mempertahankan jalan napas atas terbuka. Alat ini tidak
boleh digunakan pada pasien sadar atau setengah sadar karena dapat menyebabkan
batuk dan muntah. Jadi pada pasien yang masih ada refleks batuk atau muntah tidak
diindikasikan untuk pemasangan OPA (Mary E. 2000)..

13
Gambar 12. Pemasangan OPA

Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien. Jagalah agar


kepala dan dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk menjaga patensi jalan
napas. Lakukan penyedotan berkala di dalam mulut dan faring bila ada sekret, darah
atau muntahan (Mary E. 2000)..

Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA :


o Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan menyebabkan
trauma pada struktur laring.
o Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat menekan
dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.
o Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma jaringan
lunak pada bibir dan lidah.

b. Nasopharyngeal Airway (NPA)


Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan
adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi
antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada
pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung
(nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway
lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan (Mary E.
2000).

14
Gambar 13: Pemasangan Nasofaringeal Airway
4. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat Lanjutan
a. Face Mask Design dan Teknik
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen dari sistem
breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat (gambar 15).
Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Face mask yang
transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang
rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan
reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya
kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi
dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas (Mary E. 2000).

Gambar 14. Face mask dewasa Gambar 15. Teknik memegang face mask
dengan satu tangan

15
Gambar 16. Difficult airway dapat diatasi dengan
teknik memegang dengan dua tangan

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust
yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk
memompa bag (gambar 16).

b. Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan
nafas. LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau
komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan
tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H 2O. Walaupun LMA tidak sebagai
penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada
pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi)
disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-
99%) (Morgan GE et al. 2006)..

16
Gambar 17. Pemasangan LMA

c. Intubasi dengan Endotrakeal Tube (ETT)


ETT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur, spiral,
wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi kepala dan
leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja menjadi kinking
akibat tekanan yang ekstrim (contoh pasien bangun dan menggigit pipa), lumen pipa
akan tetutup dan pipa TT harus diganti (Morgan GE et al. 2006)..

17
Gambar 18. Endotrakeal Tube
d. Combitube
Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa, masing-
masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Meskipun pipa kombinasi
masih rerdaftar sebagai pilihan untuk penanganan jalan nafas yang sulit dalam
algoritma Advanced Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter
anestesi yang lebih suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien
dengan jalan nafas yang sulit (Morgan GE et al. 2006).

Gambar 19. Pemasangan Combitude

5. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Pengisapan Benda Cair (suctioning)


Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan dilakukan dengan alat
bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin) (Ollerton, 2007).
6. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Tindakan Operasi
Metode bedah untuk manajemen jalan napas mengandalkan membuat sayatan
bedah dibuat di bawah glotis untuk mencapai akses langsung ke saluran pernapasan
bagian bawah, melewati saluran pernapasan bagian atas. Manajemen jalan napas
bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana Orotracheal dan
intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi. Manajemen jalan napas bedah

18
juga digunakan ketika seseorang akan membutuhkan ventilator mekanik untuk jangka
waktu lama (Wilson WC.2007).
Metode bedah untuk manajemen jalan napas termasuk cricothyrotomy dan
trakeostomi. Cricothyrotomy adalah sayatan dilakukan melalui kulit dan membran
krikotiroid untuk membangun jalan napas paten selama situasi yang mengancam jiwa
tertentu, seperti obstruksi jalan napas oleh benda asing, angioedema, atau trauma
wajah besar. Cricothyrotomy hampir selalu dilakukan sebagai jalan terakhir dalam
kasus di mana Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau
kontraindikasi. Cricothyrotomy lebih mudah dan lebih cepat untuk dilakukan daripada
tracheostomy, tidak memerlukan manipulasi tulang belakang leher dan berhubungan
dengan komplikasi yang lebih sedikit (Ollerton, 2007).
Tracheostomy adalah pembukaan operasi dibuat dari kulit leher ke trakea.
Sebuah tracheostomy di mana seseorang akan perlu berada di ventilator mekanik
untuk jangka waktu lama. Keuntungan dari tracheostomy termasuk risiko kurang dari
infeksi dan kerusakan trakea seperti trakea stenosis (Wilson WC.2007).

19
F. Algoritma Airway Management (Ollerton, 2007)

20
G. Algoritma Difficult Airway (Wilson WC.2007)

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengelolaan jalan nafas atau airway management adalah prosedur medis yang
dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur nafas
terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan dengan membuka
jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh lidah, saluran
udara itu sendiri, benda asing, atau bahan dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan
lambung yang teraspirasi.
Obstruksi jalan nafas terbagi menjadi 2 yaitu obstruksi total dan parsial. Ada
dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju
nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Hilangnya
tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot genioglosus) pada
pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah
dinding posterior faring. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan
spatel lidah.
Untuk menghilangkan sumbatan pada jalan nafas agar jalan nafas dapat
terbuka sehingga udara dapat masuk ke paru-paru dilakukan tatalaksana jalan nafas
yang terdiri dari pengeluaran benda asing/sumbatan dari saluran pernafasan
menggunakan teknik heimlich manuver dan abdominal thrust pada pasien sadar dan
cross finger dan finger sweep pada pasien tidak sadar; pengelolaan jalan nafas dengan
teknik manual yaitu head-tilt chin lift untuk pasien non trauma servikal dan jaw thrust
untuk pasien yang mengalami trauma servikal; pengelolaan jalan nafas dengan
bantuan alat sederhana yaitu Oropharyngeal airway (OPA) dan Nasopharyngeal
Airway; pengelolaan jalan nafas dengan alat lanjutan yaitu bag valve mask, Laryngeal
Mask Airway (LMA), combitube, intubasi dengan ETT. Lalu jika prosedur invasif
tersebut tidak berhasil, maka akan dilakukan tindakan pembedahan untuk membuka
jalan nafas, yaitu dengan krikotiroidektomi dan trakeostomi. Manajemen jalan napas
bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana Orotracheal dan
intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi.

22
B. Saran
Manajemen jalan nafas atau airway management merupakan tatalaksana pasien yang
sangat penting untuk diperhatikan dan dilakukan dengan tepat sehingga
penatalaksanaan pada pasien yang mengalami gangguan pada jalan nafas dapat
teratasi. Diperlukan keterampilan dari pemberi pertolongan dan pemberi pelayanan
primer terutama di ruang gawat darurat dan ruang intensif. Pelatihan mengenai
tatalaksana jalan nafas sangat dibutuhkan untuk meningkatkan keterampilan dalam
penanganan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

23
American Society of Anesthesiologists, 2013. Practice Guidelines for Management of the
Difficult Airway-An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists
Task Force on Management of the Difficult Airway. Jurnal American Society of
Anesthesiologists vol.118 no.2.

Bingham, Robert M.; Proctor, Lester T. 2008. Airway Management. Pediatric Clinics of
North America. 55 (4): 873–886.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta:
FKUI.

Manchini, Mary E. 2000. Prosedur Keperawatan Darurat.Jakarta: EGC

Morgan GE et al. 2006.Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical Book.

Ollerton, JE. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines, Emergency Airway
Management in the Trauma Patient.

Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat
Napas. Jakarta: FK UI.

Wilson WC, Grande CM, Heyt DB. 2007. Trauma Emergency Resuscitation Perioprative
Anesthesia Surgical Management Volume 1. New York: Informa Health Care.

24

You might also like