You are on page 1of 11

PATOFISIOLOGI

ENURESIS

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi

Disusun oleh:
Adwina Syafitri
030.11.008

Pembimbing:
dr. Mas Wisnuwardhana, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

2016
ENURESIS

1. Definisi
Kata enuresis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “euresis”, yang berarti “menghasilkan
air”. Enuresis adalah pengeluaran urin secara involunter dan berulang yang terjadi pada usia
yang diharapkan dapat mengontrol proses buang air kecil tanpa kelainan fisik yang
mendasari. Pada umumnya anak sudah mampu mengontrol buang air kecil pada usia diatas 5
tahun.1
Enuresis dapat dikelompokan menjadi enuresis primer yaitu bila terjadi sejak lahir dan
tidak pernah ada periode normal dalam pengontrolan buang air kecil, dan enuresis sekunder
yaitu bila terjadi setelah enam bulan sampai satu tahun dari periode dimana kontrol
pengosongan urin sudah normal. Berdasarkan waktu, enuresis dibagi menjadi nocturnal
enuresis (sleep wetting/bedwetting) yaitu enuresis yang terjadi pada malam hari, dan diurnal
enuresis (awake wetting) yaitu enuresis pada siang hari. Menurut ada tidaknya gejala
penyerta, enuresis dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu monosimtomatik (enuresis tanpa
gejala saluran kemih lain selain nokturia dan tidak ada riwayat disfungsi kandung kemih, dan
enuresis polisimtomatik (enuresis yang disertai oleh gejala gangguan saluran kemih seperti
frekuensi, urgensi, perasaan BAK yang tidak komplit (hesitancy), mengedan untuk
mengeluarkan urin (straining), pancaran urin lemah atau terputus-putus, serta konstipasi.2

2. Etiologi dan Faktor Resiko


Enuresis dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu gangguan fungsi kandung kemih,
instabilitas otot detrusor, faktor genetik, keterlambatan maturasi sistem saraf pusat, poliuri
nokturnal, faktor psikologis, dan gangguan tidur.3
Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan enuresis sekunder diantaranya yaitu
disfungsi kandung kemih, gagal ginjal kronis, konstipasi, diabetes insipidus, diabetes melitus,
hipertiroidisme, obstructive sleep apnea, stress psikologis, kejang, penyakit sickle cell, serta
infeksi traktus urinarius.4

3. Patofisiologi
A. Faktor Genetik
Menurut berbagai studi, riwayat enuresis pada orang tua meningkatkan resiko
untuk terjadinya enuresis pada anaknya. Bila salah satu atau kedua orang tua memiliki
riwatyat enuresis, insidensi pada anaknya yaitu 44% dan 77%, dibandingkan dengan
insidensi 15% pada anak yang orang tuanya tidak memiliki riwayat enuresis. Bila salah
satu dari anak kembar mengalami enuresis, biasanya saudara kembarnya juga
mengalaminya. Enuresis diturunkan secara autosomal dominan, dan beberapa lokasi
gen yang bertanggung jawab untuk terjadinya enuresis yang telah teridentifikasi
diantaranya yaitu kromosom 8, 12, 13, dan 22.1
B. Faktor Urodinamik
Kapasitas fungsional kandung kemih yang kecil berhubungan dengan urin output
di malam hari. Anak dengan enuresis diduga memiliki kapasitas kandung kemih
nokturnal yang rendah, dan menyebabkan otot detrusor berkontraksi pada volume yang
lebih sedikit.
Bloom et al dalam studinya mengatakan bahwa gangguan pada sfingter uretra
eksterna adalah penyebab dari kapasitas kandung kemih nokturnal yang rendah,
dimana kontrol berkemih terletak pada sfingter uretra eksterna yang aktivitas
konstannya adalah refleks untuk menjaga kontinensi. Diduga aktivitas sfingter uretra
eksterna jatuh dibawah level kritis saat tidur dan memicu kontraksi otot detrusor.1
C. Faktor Antidiuretik dan Poliuri Nokturnal
Walaupun poliuri nokturnal berperan penting dalam patofisiologi enuresis, namun
produksi urin berlebihan bukanlah faktor tunggal. Poliuri nokturnal tidak dapat
menjelaskan mengapa anak dengan enuresis tidak bangun dari tidur terhadap sensasi
kandung kemih yang penuh ataupun berkontraksi, atau enuresis yang terjadi saat tidur
siang.
Poliuri nokturnal pada anak dengan enuresis dapat disebabkan karena asupan
cairan yang meningkat saat anak pulang dari sekolah di sore hari hingga waktu tidur,
berkurangnya asupan cairan saat anak berada di sekolah, sekresi ADH yang rendah,
dan meningkatnya sekresi nokturnal zat terlarut. Kebanyakan anak yang mengalami
enuresis minum hanya sedikit saat sarapan dan selama di sekolah, dan ketika pulang ke
rumah dalam keadaan haus sehingga asupan cairan lebih sering terjadi saat pulang
hingga menjelang tidur, yang menyebabkan poliuri nokturnal.
Produksi urin sangat dipengaruhi oleh hormon vasopresin (ADH). Pada anak
normal tejadi penurunan produksi urin pada malam hari sebesar setengah dari produksi
urin siang hari akibat peningkatan sekresi vasopresin (ADH) pada malam hari. Pada
anak enuresis, pelepasan ADH/Vasopresin pada malam hari rendah sehingga terjadi
produksi urin yang tinggi melampaui kapasitas fungsional kandung kemih, sehingga
terjadi enuresis. Selain itu atrial natriuretic peptide (ANP) dan aldosteron juga
mengontrol ekskresi cairan dengan mengontrol zat terlarut seperti sodium dan
potasium, dimana pada anak enuresis ekskresinya meningkat.1
D. Faktor Kematangan Neurofisiologis
Enuresis juga terjadi kerena keterlambatan maturasi sistem saraf pusat. Terjadi
keterlambatan pengenalan dan respon terhadap sensasi penuh dari kandung kemih,
sehingga anak tidak mampu mengenali sensasi penuh pada kandung kemih. Akibatnya
anak tidak akan terbangun untuk mencari tempat untuk buang air kecil, sehingga
terjadilah enuressis. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, akan tercapai maturasi
sistem saraf pusat sehingga kejadian enuresis akan menurun.5
Rangsangan pada sensasi kandung kemih yang penuh atau berkontraksi meliputi
area anatomik yang berhubungan, yaitu korteks serebri, reticular activating system
(RAS), locus ceruleus (LC), hipotalamus, pontine micturition center (PMC), medula
spinalis, dan kandung kemih. RAS mengontrol kedalaman tidur, LC mengontrol
rangsangan, dan PMC menginisiasi komando untuk kontraksi detrusor. Berbagai
neurotransmitter juga terlibat, seperti norepinephrine, serotonin, dan ADH.1
E. Faktor Psikologis
Biasanya hal ini terjadi karena adanya faktor stres selama priode perkembangan
antara usia 2-4 tahun. Stres psikologis berhubungan dengan enuresis sehingga
mempengaruhi perkembangan anak, seperti kelahiran saudara, perceraian orang tua,
pemaksaan fisik dan seksual, kematian dalam keluarga, serta masalah disekolah. Hal
ini dipengaruhi oleh stres emosional, kecemasan, serta gangguan psikiatri. Dimana
nocturnal enuresis merupakan usaha untuk mendapatkan perhatian, seperti lahirnya
adik menyebabkan perhatian orang tua berkurang sehingga menyebabkan anak
menjadi cemas dan anak melakukan hal ini untuk mencari perhatian orang tuanya.
Selain itu proses belajar dan stress belajar dikemudian hari dapat menyebabkan
kembalinya enuresis. Akan tetapi kebanyakan anak mengalami nocturnal enuresis
tidak mengalami sakit psikologis.3
F. Faktor Tidur
Faktor lain yang berperanan pada terjadinya enuresis primer adalah gangguan
tidur dan bangun dari tidur. Sebuah penelitian menemukan bahwa enuresis terjadi pada
fase tidur non-REM (Rapid Eye Movement). Pada anak yang mengalami enuresis,
ditemukan adanya tidur delta atau tidur yang lebih dalam (tahap 3 atau 4) selama
episode basah. Pada saat terjadi episode kering, didapatkan anak mengalami fase tidur
yang lebih superfisial (tahap 1 dan 2). Pada anak enuresis, juga didapatkan adanya
kesulitan bangun dari tidur. Ketika dibangunkan, sebesar 8,5% anak enuresis bangun
sedangkan anak tanpa enuresis sebanyak 40%. Selain itu, dilaporkan anak yang
mengalami enuresis sering mengalami gangguan tidur lain, seperti parasomnia tidur
berjalan (sleepwalking), dan teror di malam hari (night terror). Terdapat
kecenderungan enuresis untuk anak – anak yang tidur dalam waktu yang lama setiap
harinya, akan tetapi temuan ini belum dapat dijelaskan secara pasti.5
Hubungan antara perasaan penuh pada kandung kemih dan sensasi pada otak baru
terjadi pada usia 5 tahun. Sementara itu pada usia ini terjadi perubahan pola tidur dari
tidur multifasik (beberapa siklus tidur sehari) menjadi periode tidur monofasik (sekali
siklus tidur dalam sehari). Kontrol buang air kecil biasanya muncul terlebih dulu, lalu
diikuti oleh belajar untuk terbangun saat muncul sensasi penuh kandung kencing. Pada
enuresis terjadi gangguan untuk terbangun karena tidak terjadi transisi dari tidur ringan
ke keadaan tidur lengkap. Sehingga anak tidak terbangun meskipun ada sensasi penuh
pada kandung kencing sehinga terjadi enuresis.6
G. Faktor Lain
Enuresis nokturnal dipengaruhi oleh saluran kemih abnormal seperti obstruksi
uretra maupun infeksi kandung kemih, ataupun kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan poliuria seperti diabetes atau insufisiensi ginjal.1

4. Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang komprehensif
diperlukan untuk menegakkan diagnosis enuresis dan menyingkirkan penyakit lain yang
memiliki manifestasi klinis yang serupa dengan enuresis. Pada anamnesis, perlu ditelusuri
riwayat keluhan saat ini, kapan mengompol biasanya terjadi, frekuensi mengompol dalam
seminggu, serta usia mulai timbulnya gejala pertama kali. Anamnesis terhadap adanya
gangguan pancaran urin dan ketidakmampuan menahan buang air kecil diperlukan untuk
mengetahui adanya gangguan pada saluran kemih. Selain itu, perlu ditelusuri kebiasaan
minum (jumlah dan jenis minuman), pola tidur (lama tidur, kesulitan membangunkan, atau
parasomnia dan mimpi buruk), gejala psikiatrik (rasa cemas, malu, kesulitan komunikasi)
serta keadaan lingkungan sekitar anak. Adanya riwayat keluarga dengan keluhan yang sama
perlu ditegaskan karena ada kecendrungan genetik pada keadaan ini. Perlu juga ditanyakan
beberapa faktor risiko, misalnya jumlah anak dalam keluarga, jumlah anggota keluarga yang
tidur dalam satu kamar, dan pendidikan orangtua. Sementara itu, untuk menyingkirkan
penyakit lain yang dapat menimbulkan gejala serupa, perlu ditanyakan adanya nyeri pada saat
buang air kecil, polidipsi, poliuri, trauma pada sistem saraf pusat, konstipasi, enkopresis,
alergi, dan riwayat asma.6
Pemeriksaan fisik dilakukan pada gangguan enuresis untuk menentukan ada tidaknya
kelainan fisik yang mendasari. Pemeriksaan fisik sebaiknya lebih difokuskan pada
pemeriksaan daerah abdomen, genital, kandung kemih (vesica urinaria/v.u.), anus, dan sistem
saraf pusat. Pada pemeriksaan abdomen, dapat ditemukan distensi kandung kemih atau
impaksi fekal, sedangkan pemeriksaan daerah lumbosakral ditujukan untuk mendapatkan
defek, tumor, atau jejas trauma pada daerah tersebut.
Pemeriksaan neurologis yang perlu dilakukan adalah cara anak jalan, tonus otot, reflek,
serta kekuatan ekstremitas bawah. Pemeriksaan genetalia eksterna dilakukan untuk
menemukan abnormalitas, seperti meatitis, vulvitis, atau bukti adanya pelecehan seksual.7
Pada pemeriksan urinalisis, bila tidak ditemukanya glukosuri dapat menyingkirkan
penyakit diabetes militus (DM), berat jenis urin 1,015 dapat menyingkirkan diabetes
insipidus (DI). Pemeriksaan kultur-urin dilakukan untuk menegakkan diagnosis infeksi
saluran kemih (ISK), apabila dicurigai adanya gejala yang mendukung ke arah ISK.5
Pemeriksaan radiografi dengan menggunakan kontras dapat digunakan untuk
menyingkirkan kelainan anatomis atau fisiologis yang menyebabkan terjadinya enuresis
seperti obstruksi saluran kemih, serta mengukur kapasitas kandung kemih dan ketebalan
dinding kandung kemih untuk menggambarkan perkiraan kemampuan fungsional dasar dari
buli– buli dengan menggunakan USG. Namun pemeriksaan ini jarang dilakukan karena
prosedurnya yang invasif dan cukup menyakitkan serta penegakan diagnosisnya yang cukup
rendah.8
Diagnosis tidak dibuat pada anak yang usia kronologis ataupun secara mental berusia
kurang dari 5 tahun. Hal ini didasari karena pada usia anak 5 tahun diharapkan telah terjadi
kontinensia urin seperti yang seharusnya. Diagnosis enuresis menurut Kriteria Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed, text revision (DSM-IV-TR) untuk anak-anak
dengan enuresis dapat kita lihat pada tabel 1, dan Kriteria diagnosis menurut ICD-10 pada
tabel 2.
Kriteria Diagnosis
A. Adanya pengeluaran urin yang berulang di tempat tidur atau pada
pakaian (involunter atau intensional)
B. Perilaku ini dianggap signifikan bila terjadi sekurang-kurangnya 2
kali dalam seminggu dalam kurun waktu 3 bulan berturutan atau ada gangguan klinis
yang signifikan pada fungsi sosial, akademik, atau area fungsi penting lainnya
C. Usia kronologis sekurang kurangnya 5 tahun
D. Perilaku ini bukan merupakan efek fisiologi langdung dari obat
(misalnya diuretik) atau kondisimedis umum (mis: diabetes, spina bifida, dan
kenjang)
Tabel 1. Kriteria diagnosis enuresis menurut DSM IV-TR9

Kriteria Diagnosis
A. Usia kronologis dan mental anak minimal berusia 5 tahun.
B. Berkemih tanpa disengaja atau disengaja ke tempat tidur atau pakaian
yang terjadi setidaknya dua kali dalam 1 bulan pada anak-anak dengan usia kurang
dari 7 tahun, setidaknya sebulan sekali pada anak-anak usia lebih dari 7 tahun.
C. Enuresis bukanlah konsekuensi dari serangan epilepsi atau
inkontinensia neurologis dan bukan merupakan akibat langsung darikelainan struktur
saluran kemih atau yang bukan kelainan psikiatrik lainnya.
D. Tidak ada bukti dari setiap gangguan kejiwaan lain yang memenuhi
kriteria untuk kategori ICD-10 lainnya.
E. Durasi dari gangguan minimal 3 bulan.
Tabel 2. Kriteria Diagnosis enuresis menurut ICD-109
Gambar 1. Algoritma diagnosis enuresis10

5. Penatalaksanaan
Non farmakoterapi
 Edukasi
Edukasi yang harus diberikan kepada orang tua adalah bahwa enuresis bukanlah suatu
penyakit, dan akan menghilang dengan sendirinya, 16% anak usia 5 tahun pernah mengalami
enuresis. Orang tua perlu memahami bahwa enuresis bukan merupakan kesalahan anak dan
tidak seharusnya anak dengan enuresis diberikan hukuman.1
 Perubahan kebiasaan
Asupan air diberikan lebih banyak diberikan pada pagi dan siang hari. Mengurangi
asupan air pada 2 jam sebelum tidur, mencegah konsumsi minuman berkafein dan tinggi gula.
Membangunkan anaknya pada malam hari untuk miksi, latihan menahan miksi untuk
memperbesar kapasitas kandung kemih agar waktu antar miksi menjadi lebih lama.1
 Terapi motivasi
Anak perlu diberikan motivasi untuk dapat menerima dan mengikuti program terapi
yang diberikan. Pemberian reward kepada anak yang telah menjalani program terapi dengan
baik dapat meningkatkan motivasi anak untuk terus mengikuti program terapi.1
 Alarm terapi
Alarm terapi dilakukan dengan alat sensor yang diletakkan dibawah bantal anak yang
sedang tidur. Apabila bantal basah akibat urin yang keluar,sirkuit listrik
menutup,menyebabkan bel berbunyi dan membangunkan anak yang masih tidur. Alarm terapi
lebih efektif dibandingkan dengan antidepresan trisiklik.1

Gambar 2. Terapi Alarm

Farmakoterapi
 Desmopresin acetate (DDAVP)
Antidiuretik desmopressin asetat sintetik (desamine-D-arginine vasopressin) adalah
analog sintetik dari hormon ADH. Desamine-d-arginine vasopressin dapat bekerja dengan
berikatan dengan V2 reseptor pada tubulus renal dan duktus koledoktus, meningkatkan
permeabilitas air, sehingga reabsorbsi air meningkat, mengurangi volume urine dan
meningkatkan konsentrasinya, sehingga menjadi dibawah dari jumlah yang memicu kontraksi
dari kandung kemih tersebut. DDAVP tersedia dalam dua sediaan berupa semprotan hidung
dan oral tablet. Dosis yang diberikan dimulai dengan 20mcg untuk sediaan semprot hidung (1
semprot untuk setiap hidung) pada malam hari atau 0,2mg untuk sediaan tablet.1

 Tricyclic Antidepresan
Tricyclic antidepresan (TCA) menstimulasi sekresi hormon ADH, dan relaksasi otot
detrusor.Tricyclic antidepresan (contohnya: imipramine,amitriptilin dan desipramin)
merupakan lini ketiga untuk terapi enuresis (anak yang gagal dengan alarm terapi dan
desmopresin). Imipramin merupakan TCA yang sering digunakan untuk pengobatan
enuresis,merupakan satu-satunya TCA yang direkomendasikan oleh the National Institute for
Health and Care Excellence guidelines. Imipramine diberikan satu jam sebelum tidur malam.
Dosis inisial 10-25 mg untuk anak 5 sampai 8 tahun dan 50 mg untuk anak yang lebih besar.
Respon terhadap pemberian imipramin harus dilihat setelah 1 bulan pemberian. Jika tidak ada
perbaikan dalam 3 bulan harus dihentikan secara bertahap. Jika terapi dengan imipramin
berhasil, dosis imipramin diturunkan sampai mencapai dosis terendah yang efektif.1
 Antikolinergik
Pengobatan dengan antikolinergik dapat membantu pada sebagian pasien, terutama
pada pasien dengan overaktif kandung kemih, gangguan fungsi ekskresi urin dan neurogenic
bladder. Obat ini memiliki efek antispasmodik pada otot polos, dan menginhibisi kontraksi
dari kandung kemih, sehingga dapat menaikkan kapasitas fungsional kandung kemih.Selain
itu obat ini juga memiliki efek analgetik. Oxybutrin cloride dan tolterodine merupakan
antikolinergik yang sering digunakan pada terapi enuresis. Oxybutynin diabsorbsi di usus dan
mencapai kadar maksimal dalam plasma kurang dari satu jam setelah pemberian. Penelitian
multisenter di italia mengemukakan pemberian kombinasi Oxybutynin dengan DDAVP lebih
efektif dari pemberian DDAVP tunggal. Oxybutynin diberikan dengan dosis 2,5-5 mg
sebelum tidur.1

DAFTAR PUSTAKA
1. Robson WLM. Enuresis. 2015. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1014762-overview#a1. Accessed on August 10th ,
2016
2. Tsang B, Mcalpine C, Brown J, Ball P, Dickens K, Graham D, et al. Best practice
evidence based guideline: nocturnal enuresis “bedwetting. New Zealand: The Paediatric
Society of New Zealand;2005.p.13
3. Ramakrishnan K. Evaluation and Treatment of Enuresis. Am Fam Physician
2008;78(4):489-496
4. Robson WL, Leung AK. Secondary nocturnal enuresis. Clin Pediatr (Phila)
2000;39(7):379-385.
5. Mast, R. C. & Smith, A. B. “Elimination Disorders: Enuresis and Encopresis”, in : Klyko,
W.M. & Kay, J., editors. Clinical Child Psychiatry, 3rd ed. Oxford, UK: Wiley
Blackwell;2012.p.305-324.
6. Nesa, M. & Ardjana, I.G.A.E. Enuresis. In Soetjiningsih. & Ranuh. IGNG. penyunting.
Tumbuh Kembang Anak. Ed 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2012.p.372-386.
7. Edwin J. Mikkelsen, E.J. Elimination Disorders: Enuresis and Encopresis. In : Andres, M
& Volkmar, F.R., Editors. Lewis's Child and Adolescent Psychiatry: A Comprehensive
Textbook, 4th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins;2007.p.656-669
8. Volkmar, F.R. & Martin, A. Elimination disorders: Enuresis and encopresis. In : Lewis’s
Child and adolescent Psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2011.p.231-238.
9. American Psychiatric Association. Elimination Disorders; In Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, 4th ed, text revision. Washington DC: American Psychiatric
Association;2000.p.116-121
10. Hurley, RM. Enuresis: The difference between night and day. Ped in rev. 2000.p.167-72.

You might also like