You are on page 1of 8

Lintasan MH69 – Pasien KJS meninggal yang tidak tertangani dengan baik

Pasien KJS Meninggal, Dinas Kesehatan Periksa 5 RS

TEMPO.CO, Jakarta – Meninggalnya pasien Kartu Jakarta Sehat, Ana Mudrika (14),
setelah kabarnya ditolak sejumlah rumah sakit di Jakarta Utara, membuat berang Dinas
Kesehatan DKI Jakarta. Dinas pun berencana akan memeriksa rumah-rumah sakit yang
terlibat kasus ini. Rumah sakit yang akan diperiksa adalah RS Islam Sukapura, RS
Firdaus, RSUD Koja, RS Mulyasari, dan RS Pelabuhan.

“Hari ini kami masih mencari informasi lagi dari rumah-rumah sakit itu dengan
melibatkan Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Bila mereka terbukti bersalah, sanksinya
mulai dari ringan seperti teguran hingga sanksi berat seperti penutupan izin rumah
sakit” ujar Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara Bambang Suheri kepada
wartawan, Senin, 11 Maret 2013.

Bambang mengatakan, sudah mendapatkan informasi dari Rumah Sakit Islam Sukapura,
Jakarta Utara. Di sana, kata Bambang, penanganan awal Ana sudah sesuai SOP.

“Saat dia (Ana) di sana dan dilakukan tindakan medis, saya lihat prosedurnya pada data
sementara sudah sesuai SOP hingga korban mau dioperasi,”ujar Bambang menjelaskan.

Bambang mengaku masih memeriksa laporan adanya permintaan Rp 2 Juta di RS


Firdaus, Sukapura, Jakarta Utara kepada pasien. “Kalau keluarga pada saat itu masuk
membawa KJS, seharusnya itu dibebaskan uang Rp 2 juta. Tapi kalau memang tidak
ada KJS saat itu, bisa diberlakukan sesuai kejadian,” tuturnya.

Bambang mengatakan, di Jakarta memang tidak semua rumah sakit terikat kerjasama
dengan Kartu Jakarta Sehat. Dari 19 rumah sakit di Jakarta Utara, hanya ada 17 rumah
sakit yang bekerjasama menggunakan KJS.

Bambang memperkirakan investigasi akan berlangsung seminggu.

http://www.tempo.co/read/news/2013/03/11/083466432/Pasien-KJS-Meninggal-Dinas-
Kesehatan-Periksa-5-RS
Lagi, Pasien KJS Terlunta-lunta Hingga Tewas

Sempat ditolak empat rumah sakit. Setelah lima hari, tewas.

VIVAnews – Kasus pasien Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang terlunta-lunta sampai
akhirnya meninggal dunia kembali terjadi. Kali ini menimpa Ana Mudrika (14 tahun),
seorang siswa sekolah, yang diduga keracunan makanan namun telat ditangani lebih
serius.

Warga Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, ini pulang dari sekolah di SMP Nusantara
mengeluh sakit di bagian perut pada Selasa 5 Maret 2013. Oleh ibunya, Royati, Ana
dibawa ke klinik dekat rumah, namun karena tak kunjung membaik, akhirnya dibawa ke
Rumah Sakit Firdaus masih di daerah Sukapura.

Menurut media milik Pemerintah Provinsi Jakarta, BeritaJakarta.com, dua hari di RS


Firdaus, Ana tak mendapat pelayanan kesehatan semestinya, hanya diinfus. Belakangan
RS Firdaus mengaku kekurangan alat ketika perut Ana sudah membengkak. Ana pun
baru bisa keluar setelah orang tuanya membayar Rp2 juta.

Ana lalu dibawa ke Rumah Sakit Islam Sukapura. RS menolak merawat Ana meski
sempat ditangani di Unit Gawat Darurat. Lalu Ana dibawa ke RS Mulyasari namun RS
ini menolak dengan alasan tidak melayani pasien KJS meski ada kamar perawatan yang
kosong.

Lalu Ana dibawa ke RS Koja namun RS pemerintah ini menjawab lagi penuh. Orang
tua tak putus asa, lalu membawa Ana ke RS Pelabuhan. Lagi-lagi ditolak dengan alasan
penuh.

“Saya bingung, setiap rumah sakit menyatakan kamar penuh. Selama ditolak rumah
sakit, kondisi Ana juga terus menurun. Setelah ditolak 4 rumah sakit sebelumnya,
akhirnya RS Islam Sukapura memberi kabar jika ada kamar kosong dan akhirnya Ana
pun menjalani perawatan di rumah sakit itu,” kata Royati.

Dari hasil ronsen, Ana seharusnya dioperasi pada Jumat 8 Maret siang. Namun, karena
Ana mengeluarkan darah dari air seninya, RS Islam Sukapura menunda proses operasi
tersebut dan meminta keluarga Ana untuk mencari ruangan ICU.
Setelah mendapatkan perawatan di ruang ICU RS Islam Sukapura, kondisi Ana semakin
menurun. Kondisi perutnya juga semakin tampak membesar. Pihak keluarga pun
akhirnya mengungkapkan, jika Ana memang menderita penyakit paru-paru selama
enam bulan. Akhirnya Sabtu ini, pukul 09.00, Ana menghembuskan nafas terakhir di
ruang ICU RS Islam Sukapura.

Sementara Manajer Pelayanan RS Islam Sukapura, Vivi Madriva, membantah rumah


sakit menolak Ana Mudrika karena alasan kamar penuh. RS memberikan waktu selama
empat jam kepada keluarga korban untuk mendapatkan kamar di rumah sakit lainnya.
Bahkan, saat korban masuk ke rumah sakit, pihaknya langsung menangani korban di
ruang UGD dan selanjutnya di kamar kelas III. Namun, kondisi korban semakin lama
menurun, sehingga dirujuk ke ruang ICU rumah sakit lain.

Seperti diketahui Program Jakarta Sehat memberikan kesempatan bagi warga miskin
maupun yang kaya untuk berobat secara gratis. Akibatnya, pasien di berbagai rumah
sakit di Jakarta membludak.

Belum terintegrasinya sistem manajemen antar rumah sakit ikut menambah


persoalan. Kisah tragis bayi Dera Nur Anggraini, yang meninggal akibat tidak
tertampung di rumah sakit karena ruang intensif khusus bayi atau Neonatal Intensive
Care Unit (NICU) di rumah sakit-rumah sakit DKI Jakarta penuh. Tidak hanya ruang
NICU yang penuh, ruang perawatan Intensive Care Unit (ICU) juga ikut penuh.
Penuhnya kamar perawatan ICU mengakibatkan pasien-pasien yang sudah menjalani
rawat inap juga kesulitan mendapatkan kamar perawatan ICU ketika dibutuhkan. “Saya
sudah mencari kamar perawatan ICU tapi hampir semua RS di Jakarta yang dihubungi
menyatakan penuh. Padahal kerabat kami harus segera masuk ICU,” ujarnya, Rabu, 20
Februari 2013/

Menurut Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, banyak kamar di RS penuh karena
dampak dari Kartu Jakarta Sehat. “Pasien di RS membludak karena masyarakat kini
sedikit sakit langsung datang ke RS dan puskesmas,” kata dia.

Ia mengakui, sistem manajemen antar-RS belum terintegrasi dengan baik.?“Kami harus


bicara apa adanya. Kalau memang kurang ya kurang, tidak usah ditutup-tutupi,” ujar
Jokowi.??Saat mengunjungi Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jokowi mengatakan,
telah meminta Dinas Kesehatan menambah fasilitas rumah sakit untuk mengantisipasi
membludaknya pasien. “Ruangan kamar harus diperbanyak, ruang ICU dan NICU harus
lebih diperbanyak,” kata Jokowi.

Ikatan Dokter Indonesia juga sudah mengkritik Jokowi soal hal tersebut. Namun,
Gubernur DKI Jakarta menanggapi sinis kritikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) soal
membludaknya pasien di RSUD kelas III dan puskesmas setelah ada Kartu Jakarta
Sehat (KJS) yang membuat dokter kewalahan. “Kalau begitu tidak usah ada KJS, biar
sakit semuanya di rumah. Mau seperti itu?,” kata Jokowi di Balai Kota, Jakarta, Jumat 8
Maret 2012

Jokowi menuturkan, membludaknya pasien yang berobat ke rumah sakit menandakan


bahwa ada antusiasme dari masyarakat untuk berobat. Jokowi mengaku dengan KJS
tersebut permintaan berobat ke RSUD dan puskemas naik dua kali lipat. Menurutnya
hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi.

“Semua masyarakat ke rumah sakit ke puskesmas akhirnya memang kalau dibilang


hampir dua kali lipat kan kapasitas dari yang sebelumnya. Itu memang konsekuensi dari
sebuah program,” ujarnya. (eh)

http://metro.news.viva.co.id/news/read/396449-lagi–pasien-kjs-terlunta-lunta-hingga-
tewas

***

Ini kronologis pasien KJS meninggal


Sindonews.com – Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, dalam
menerapkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) nampaknya harus mendapatkan pengawasan
yang ketat. Pasalnya, untuk kesekian kalinya, pasien KJS kembali meninggal dunia
akibat ditolak empat rumah sakit.

Kali ini menimpa Ana Mudrika (14) warga di Jl Inspeksi Kali Cakung Lama, RT 02/10,
Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara. Anak ketiga pasangan suami istri (pasutri), Endang
Rukmana (48) dan Royati (38) ini tewas setelahnya ditolak oleh empat rumah sakit.
Peristiwa ini bermula ketika Ana yang baru pulang dari sekolahnya di SMP Nusantara
mengeluh sakit dibagian perutnya. Melihat kondisi anaknya yang kesakitan, sang ibu,
Royati langsung membawa Ana ke klinik dekat rumahnya.

Namun, karena tak kunjung membaik, Ana akhirnya dilarikan ke RS Firdaus Sukapura
untuk menjalani rawat inap. Menurut Royati, selama dua hari menjalani rawat inap di
RS Firdaus, pihak rumah sakit hanya memberikan alat infus.

Pihak rumah sakit sendiri mengaku, kata Royati, kekurangan alat medis sehingga perut
Ana terlihat membengkak. Dengan kondisi itu, akhirnya pihak keluarga memutuskan
untuk membawa pulang Ana.

“Saya ingin membawa Ana pulang, untuk mendapatkan perawatan di tempat lain. Tapi,
saya boleh keluar Rumah Sakit, jika membayar Rp2 juta,” ujar Royati, ditemui di
rumahnya, Sabtu (9/3/2013) malam.

Setelah membayar Rp2 juta kepada RS Firdaus, lanjutnya, Ana kemudian dibawa
berobat ke RS Islam Sukapura. Namun, sambutan yang diterima kurang menyenangkan
keluarga. Pasalnya rumah sakit menolak dengan alasan kamar penuh. Meski begitu
pihak rumah sakit sempat merawat Ana di ruang UGD.

Setelah disarankan mencari ruang rawat inap di rumah sakit lain, akhirnya pihak
keluarga membawa Ana ke RS Mulyasari. Saat itu sebetulnya tersedia kamar kosong.
Hanya saja, pihak rumah sakit mengklaim tidak bekerjasama dengan pemerintah
sehingga tidak menerima pasien KJS.

Mendapati kondisi demikian, pihak keluarga akhirnya membawa Ana ke RSUD Koja.
Namun, jawaban rumah sakit menyatakan jika kamar penuh sehingga Ana tidak bisa
dirawat di rumah sakit tersebut. Oleh keluarga, Ana akhirnya dibawa ke RS Pelabuhan.
Namun, lagi-lagi dengan alasan kamar penuh, rumah sakit itu tidak bisa merawat Ana.

“Saat itu saya bingung, karena semua rumah sakit menolak dengan alasan kamar penuh.
Sedangkan, kondisi Ana terus menurun. Setelah ditolak 4 rumah sakit, akhirnya RS
Islam Sukapura yang mau merawat Ana,” akunya.
Dari hasil rontgen menyatakan jika Ana harus dioperasi pada Jumat (8/3) siang. Namun,
karena Ana mengeluarkan darah dari air seninya, pihak RS Islam Sukapura akhirnya
menunda proses operasi tersebut dan meminta keluarga Ana untuk mencari ruangan
ICU.

Setelah mendapatkan perawatan di ruang ICU RS Islam Sukapura, kondisi Ana semakin
menurun. Kondisi perutnya juga semakin tampak membesar. Akhirnya kemarin pagi,
Ana menghembuskan nafas terakhir di ruang ICU RS Islam Sukapura.

***

Kronologi Kematian Pasien KJS Versi Dinkes DKI

TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dien Emmawati, meminta
seluruh rumah sakit yang ada di Ibu Kota memperbaiki komunikasi dengan pasien atau
keluarga pasien.

Himbauan ini terkait dengan peristiwa yang belum lama menimpa Ana Mudrika, 15
tahun, yang meregang nyawa setelah sejumlah rumah sakit tidak dapat menampungnya.
“Kesimpulan saya, komunikasi dengan keluarga pasien tidak baik,” ujar Dien dalam
konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin 11 Maret 2013.

Dien pun menceritakan kronologis kejadian. Ana yang telah menderita penyakit usus
kronis setahun belakangan ini dibawa ke Rumah Sakit Firdaus. Dia pun dirawat selama
dua hari di rumah sakit tersebut. Karena tidak memiliki kompetensi untuk perawatan
yang diperlukan pasien yakni melakukan perawatan jepitan usus, rumah sakit pun
akhirnya memberikan rujukan ke keluarga pasien untuk mencari rumah sakit lainnya.

Akhirnya, Ana dilarikan ke Rumah Sakit Islam Sukapura. Kondisinya, ujar Dien, enam
Intensive Care Unit (ICU) yang ada di rumah sakit tersebut sudah terisi penuh. Karena
kondisi Ana yang semakin parah, akhirnya tim dokter kembali mengevaluasi enam
pasien yang ada di ICU. Akhirnya, satu ruang dapat diisi oleh Ana Mudrika setelah
mengetahui satu pasien lainnya dapat dipindah ke ruangan lainnya.

Dalam hal ini, ujar Dien, tidak ada Standard Operating Procedure (SOP) yang dilanggar
oleh rumah sakit. Pelaksanaan operasi pun tidak memungkinkan karena kondisi pasien
sudah sangat memburuk.

Namun dia menyayangkan komunikasi yang terjadi antara rumah sakit dengan keluarga
pasien. Semestinya, rumah sakit tidak lagi memberikan rujukan ke pasien, melainkan
rumah sakit itulah yang mencari ruang ICU untuk si pasien. “Berdasarkan keputusan
Kementerian Kesehatan, yang mencari rujukan itu rumah sakit,” kata dia.

Untuk itu, kata Dien, upaya Dinas Kesehatan membuat call center 119 kelak akan
berguna untuk mencari rumah sakit yang kosong untuk pasien. Karenanya, dia akan
berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan agar dapat memberikan teguran pada
rumah sakit yang dinilai lalai menjalankan komunikasi dengan baik kepada keluarga
pasien terkait kasus ini. “Saya akan koordinasi kepada Kementerian Kesehatan untuk
memberikan teguran,” ujarnya.

Saat ditanya ihwal penggunaan call center 119, Direktur Spesialis Paru-paru, dr.
Bachtiar, mengaku sudah mengetahui hal tersebut. Rumah sakit pun mengklaim sudah
memberikan sosialisasi tersebut ke staf-staf. Namun ternyata pesan itu tidak
tersampaikan.

“Ada oknum yang tidak meneruskan. Kami sudah sosialisasi, tetapi mereka belum
menangkapnya,” ujar Bachtiar dalam pertemuan pers.
Sementara Direktur Medis RS Islam Sukapura, dr. Henny Hanna, mengatakan, pihaknya
sudah memberikan klarifikasi terkait kasus Ana Mudrika. Dia mengatakan bahwa tidak
menjalin komunikasi dengan keluarga pasien ketika tengah mencari ruangan untuknya.
“Kami memang tidak komunikasikan ke keluarga pasien waktu itu. Tapi perlu diketahui
kalau kami di dalam sibuk mencari ruangan untuk pasien,” ujar Henny.

Untuk itu, dia mengatakan, rumah sakit akan menerapkan permintaan Kepala Dinas
Kesehatan untuk meningkatkan komunikasi kepada pasien maupun keluarga pasien.
“Soal sanksi, kami tidak tahu. Tetapi ke depannya kami ingin meningkatkan komunikasi
saja,” dia menjelaskan.

http://www.tempo.co/read/news/2013/03/11/083466442/p-Kronologi-Kematian-
PasienKJS-Versi-Dinkes-DKI

You might also like