You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menurut hasan (2007), Negara yang sedang berkembang, termauk
Indonesia terdapat 2 faktor yaitu gizi dan infeksi yang mempunyai
pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan anak.
Kejang merupakan suatu gangguan neurologis yang lazim terjadi
pada anak dengan frekuensi kejadian 4-6 kasus/1.000 anak. Kejang dapat
bersifat epileptik yaitu kejang berulang tanpa adanya pemicu yang jelas
(demam, serangan otak akut) dan kejang nonepileptik. (Sara Fadila dkk,
2014).
Berdasarkan hasil survey demografi kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2007, di Indonesia tahun 2005 kejang demam termasuk sebaga 5
penyakkt anak terpenting, yaitu sebesar 17,4%, meningkat pada tahun
2007 dengan kejadian kejang sebesar 22,2% (Hasan, 2007).
Kejang demam anak perlu diwaspadai, karena kejang yang lama
(lebih dari 15 menit) dapat menyebabkan kecacatan otak bahkan kematian.
Dalam 24 jam pertama walaupun belum bisa dipastikan terjadi kejang, bila
anak mengalami demam, hal yang terpenting dilakukan adalah
menurunkan suhu tubuh. (Candra, 2009).
Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan
pertolongan segera, pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk
menghindari cacat yang lebih parah, yang diakibatkan kebangkitan kejang
yang sering. Sehingga pertolongnan pertama untuk menangani korban
segera dilakukan untuk mencegah cedera dan komplikasi yang lebih parah.
(Candra, 2009).
Diagnosis kejang demam pada dasarnya berdasarkan temuan klinis
dan deskripsi yang diberikan oleh orangtua. Meskipun sebagian besar
kejang demam adalah ringan dan terkait dengan penyakit virus yang

1
ringan, sangat penting bahwa anak segera dievaluasi untuk mengurangi
kecemasan orangtua dan untuk mengidentifikasi penyebab demam.

B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu memahami konsep dasar dan asuhan
keperawatan yang diberikan kepada klien dengan masalah kejang
demam.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mengetahui tentang definisi dari kejang demam.
b. Mahasiswa mengetahui klasifikasi dari dari kejang demam.
c. Mahasiswa mengetahui etiologi dari kejang demam.
d. Mahasiswa mengetahui patofisiologi dari kejang demam.
e. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang dari kejang
demam.
f. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan dari kejang demam.
g. Mahasiswa mengetahui konsep asuhan keperawatan dari kejang
demam.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang
demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan,
yang berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi
sistem saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan
dengan kejang simptomatik lainnya. Definisi berdasarkan konsensus
tatalaksana kejang demam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia/IDAI,
kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. (Arief, 2015).
Kejang demam adalah penyebab kejang paling umum pada anak
dan sering menjadi penyebab rawat inap di rumah sakit secara darurat.
Kejang demam didefinisikan sebagai kejang pada anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun disertai demam, tanpa bukti infeksi sistem saraf pusat yang
mendasari. Puncak kejang demam terjadi pada usia 18 bulan. (Dewi
Nurindah, 2014).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kejang demam adalah kejang yang
terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dan disertai dengan
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 380C).

B. KLASIFIKASI
Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks.
1. Kejang demam sederhana berlangsung singkat (kurang dari 15 menit),
tonik-klonik, dan terjadi kurang dari 24 jam, tanpa gambaran fokal dan
pulih dengan spontan. Kejang demam sederhana merupakan 80% di
antara seluruh kejang demam.

3
2. Kejang demam kompleks biasanya menunjukkan gambaran kejang
fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului kejang
parsial. Durasinya lebih dari 15 menit dan berulang atau lebih dari 1
kali kejang selama 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang
berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali,
dan di antara bangkitan kejang kondisi anak tidak sadarkan diri.
Kejang lama terjadi pada sekitar 8% kejang demam. Kejang fokal
adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam
1 hari, di antara 2 bangkitan anak sadar. Kejang berulang terjadi pada
16% kejang demam. (Arief, 2015).

C. ETIOLOGI
Faktor genetika diduga berperanan dalam meningkatkan kepekaan
seorang anak mendapat serangan kejang. Meskipun cara penurunannya
belum jelas, diduga secara autosomal dominan. Adanya kecenderungan
kejang demam terjadi dalam keluarga, kemungkinan sebagai akibat
diturunkannya sifat genetika, yaitu berupa menurunnya ambang rangsang
terhadap kejang pada kenaikan suhu tubuh. Selain faktor genetika, faktor
suhu, infeksi dan umur secara bersamaan juga memegang peranan penting.
Demam pada kejang demam umumnya disebabkan oleh infeksi, yang
sering terjadi pada anak-anak seperti, infeksi traktus respiratorius dan
gastroenteritis. Perlu diketahui pada anak yang mengalami infeksi dan
disertai demam, bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah
maka anak tersebut akan mudah mendapatkan kejang. (Nyoman Sunarka,
2009).

D. PATOFISIOLOGIS
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap
perubahan letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut
menghasilkan sitokin yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin
akan meningkat seiring kejadian demam dan respons inflamasi akut.

4
Respons terhadap demam biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-
1) yang merupakan pirogen endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding
bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag
yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-1ra), dan
prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2
(COX-2) yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2
yang kemudian menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga
terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis
sitokin di hipokampus. Pirogen endogen, yakni interleukin 1ß, akan
meningkatkan eksitabilitas neuronal (glutamatergic) dan menghambat
GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal ini yang menimbulkan
kejang. (Arief, 2015).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang menurut Rifqi Fadly Arief (2015)
pemeriksaan penunjang untuk pasien kejang deman yaitu:
1. Pemeriksaan Laboratorium

5
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam,
dapat untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah perifer,
elektrolit, dan gula darah.
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis
bakterialis adalah 0,6–6,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak
jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan
b. Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan
c. Bayi >18 bulan – tidak rutin
Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.
3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EE
G) tidak direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan epilepsi pada
pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
4. Pencitraan
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
tinggi dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit
gawat darurat. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal
yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal
sekunder. Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti Computed
Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
a. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

6
b. Paresis nervus VI
c. Papiledema

F. PENATALAKSANAAN
Menurut Rifqi Fadly Arief (2015) penatalaksanaan untuk pasien
kejang deman yaitu:
1. Penatalaksanaan Saat Kejang
Pada kebanyakan kasus, biasanya kejang demam berlangsung
singkat dan saat pasien datang kejang sudah berhenti. Bila datang
dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat menghentikan kejang
adalah diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, dengan cara pemberian
secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam 3-5 menit,
dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau jika
kejang terjadi di rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB,
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari
10 kg dan diazepam rektal 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg.
Jika anak di bawah usia 3 tahun dapat diberi diazepam rektal 5 mg dan
untuk anak di atas usia 3 tahun diberi diazepam rektal 7,5 mg. Jika
kejang belum berhenti, dapat diulang dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih tetap kejang, dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka
diberikan phenytoin intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali
dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Jika kejang berhenti, maka dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika dengan phenytoin kejang
belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Jika
kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung apakah
kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
2. Pemberian Obat pada Saat Demam
a. Antipiretik
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam,
namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat

7
diberikan. Dosis paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak boleh lebih dari 5 kali. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang,
acetylsalicylic acid dapat menyebabkan sindrom Reye, terutama
pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga tidak dianjurkan.
b. Antikonvulsan
Diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, juga
dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada suhu
>38,50 C. Dosis tersebut dapat menyebabkan ataksia, iritabel, dan
sedasi cukup berat pada 25-39% kasus. Phenobarbital,
carbamazepine, dan phenytoin saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam.
3. Pemberian Obat Rumatan
Obat rumatan diberikan hanya jika kejang demam
menunjukkan salah satu ciri sebagai berikut:
a. Kejang lama dengan durasi >15 menit.
b. Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi
mental, dan hidrosefalus.
c. Kejang fokal.

Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:


a. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24 jam.
b. Kejang demam terjadi pada bayi usia kurang dari 12 bulan.
c. Kejang demam dengan frekuensi >4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit
merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak
nyata, misalnya keterlambatan perkembangan ringan, bukan
merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal
menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.
4. Pengobatan Rumat
Phenobarbital atau valproic acid efektif menurunkan risiko
berulangnya kejang. Obat pilihan saat ini adalah valproic acid.
Berdasarkan bukti ilmiah, kejang demam tidak berbahaya dan

8
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, oleh karena itu
pengobatan rumat hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam
jangka pendek. Phenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40–50% kasus. Pada sebagian kecil kasus,
terutama pada usia kurang dari 2 tahun, valproic acid dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis valproic acid 15-40
mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari
dalam 1-2 dosis.
5. Edukasi pada Orang Tua
Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang
tua dan tak jarang orang tua menganggap anaknya akan meninggal.
Pertama, orang tua perlu diyakinkan dan diberi penjelasan tentang
risiko rekurensi serta petunjuk dalam keadaan akut. Lembaran tertulis
dapat membantu komunikasi antara orang tua dan keluarga; penjelasan
terutama pada:
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberi informasi mengenai risiko berulang.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif, tetapi harus
diingat risiko efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan saat kejang:
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
lidah mungkin tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam
mulut.
d. Ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Jangan diberikan bila kejang telah
berhenti.
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5
menit atau lebih.

9
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KEJANG DEMAM

A. PENGAKAJIAN
I. Identitas
a. Nama Pasien (inisial), umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa
dan alamat

b. Nama Ayah (inisial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku


dan bangsa
c. Nama Ibu (inisial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan
bangsa.
II. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama (keluhan yang paling dirasakan pada saat
pengkajian)
2. Riwayat kesehatan saat ini
3. Riwayat kesehatan lalu
a. Riwayat prenatal
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, tempat
pemeriksaan kehamilan, keluhan ibu saat hamil, apakah ibu

10
pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil.
Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil,
penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil.
b. Riwayat kelahiran
Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan
atau dengan tindakan (forcep/vakum), perdarahan ante partum,
asfiksi atau premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir,
panjang badan, ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.
c. Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi
Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit
apa, pernahkah menderita penyakit yang gawat. Riwayat
kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada
keluarga yang pernah menderita kejang.

d. Tumbuh kembang
Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan
anak sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan
sosial.

e. Imunisasi
Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur
pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa
alasannya.

4. Riwayat kesehatan keluarga


a. Anggota keluarga menderita kejang
b. Anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf
c. Anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare
atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan
terjadinya kejang demam.
5. Genogram
6. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
a. Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan
dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi
dengan lingkungannya.

11
b. Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan
anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang
melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan
otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat,
misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.
c. Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan
sikap tubuh.
d. Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara,
mengikuti perintah dan berbicara spontan.
III. Pengkajian pola fungsional
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan
tentang kesehatan, pencegahan serta kepatuhan pada setiap
perawatan dan tindakan medis.
2. Pola nutrisi
Asupan kebutuhan gizi anak, kualitas dan kuantitas
makanan, makanan yang disukai, selera makan, dan pemasukan
cairan.
3. Pola Eliminasi
a. BAK : frekuensi, jumlah, warna, bau, dan nyeri
b. BAB : frekuensi, konsistensi, dan keteraturan
4. Pola aktivitas dan latihan
Kesenangan anak dalam bermain, aktivitas yang disukai,
dan lama berkumpul dengan keluarga.
5. Pola tidur atau istirahat
Lama jam tidur, kebiasaan tidur, dan kebiasaan tidur siang.
6. Pemeriksaat fisik
a. Pemeriksaan kepala
Keadaan ubun-ubun dan tanda kenaikan intrakranial.
b. Pemeriksaan rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta katakteristik
lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein
mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut
jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada
pasien.
c. Pemeriksaan wajah
Paralisis fasialis menyebabkan asimetris wajah, sisi
yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa

12
sehingga wajah tertarik ke sisi sehat, tanda rhesus sardonicus,
opistotonus, dan trimus, serta gangguan nervus cranial.
d. Pemeriksaan mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu
periksa pupil dan ketajaman penglihatan.
e. Pemeriksaan telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-
tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah
belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya
pendengaran.
f. Pemeriksaan hidung
Pernapasan cuping hidung, polip yang menyumbat
jalan nafas, serta secret yang keluar dan konsistensinya.
g. Pemeriksaan mulut
Tanda-tanda cyanosis, keadaan lidah, stomatitis, gigi
yang tumbuh, dan karies gigi.
h. Pemeriksaan tenggorokan
Tanda peradangan tonsil, tanda infeksi faring, cairan
eksudat.
i. Pemeriksaan leher
Tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid,
pembesaran vena jugularis.
j. Pemeriksaan Thorax
Amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi, adakah
intercostale pada auskultasi, adakah suara tambahan.
k. Pemeriksaan Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung, serta irama
jantung, adakah bunyi tambahan, adakah bradicardi atau
tachycardia.

l. Pemeriksaan Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada
abdomen, bagaimana turgor kulit, peristaltik usus, adakah tanda
meteorismus, adakah pembesaran lien dan hepar.
m. Pemeriksaan Kulit

13
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun
warnanya, apakah terdapat oedema, hemangioma, bagaimana
keadaan turgor kulit.
n. Pemeriksaan Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise, terutama setelah
terjadi kejang. Bagaimana suhu pada daerah akral.
o. Pemeriksaan Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar
dari vagina, adakah tanda-tanda infeksi pada daerah genetalia
IV. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi :
1. Darah
a. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi
kejang (N < 200 mq/dl)
b. BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi
kejang dan merupakan indikasin nepro toksik akibat dari
pemberian obat.
c. Elektrolit : K, Na Ketidakseimbangan elektrolit
merupakan predisposisi kejang, Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl)
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS
tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
3. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses
desak ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi
dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap
dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
5. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak
melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas
kejang, hasil biasanya normal.
6. CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik
hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau
tanpa kontras.

B. Diagnosa keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan sepsis.

14
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan neurologis
(gangguan kejang).
3. Ketidakseibangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurang asupan makanan.
4. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak.

15
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA NANDA NOC NIC

1 Hipertermia berhubungan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Demam 3740


dengan sepsis. keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan dengan kriteria hasil: 1. Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
2. Monitor warna kulit dan suhu
Termoregulasi (0800) 3. Jangan beri aspirin untuk anak-anak
4. Berikan oksigen yang sesuai
1. berkeringat saat panas 5. Pantau komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan
(dipertahankan dalam demam serta tanda dan gejala kondisi penyebab demam
skala 2 atau ditingkatkan (misalnya, kejang, penurunan tingkat kesadaran, status elektrolit
menjadi skala 4) abnormal)
2. tingkat pernafasan Pengaturan Suhu 3900
(dipertahankan dalam

16
skala 3 atau ditingkatkan 1. Monitor suhu paling tidak setiap 2 jam, sesuai kebutuhan
2. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi adekuat
dalam skala 4)
3. Diskusikan pentingnya termoregulasi dan kemungkinan efek
3. Peningkatan suhu kulit
negative dari demam yang berlebih, sesuai klebutuhan.
(dipertahankan dalam
skala 2 ditingkatkan
menjadi skala 4).
4. 4. Hipertermia
(dipertahankan dalam
skala 2 ditingkatkan
menjadi skala 4).
2 Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan nafas 3140
nafas berhubungan keperawatan selama 3x24 jam 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
dengan gangguan diharapkan dengan kriteria 2. Gunakan teknik yang menyenangkan untuk memotifasi bernafas
neurologis (gangguan hasil : dalam kepada anak-anak
kejang). 3. Posisikan untuk meringankan jalan nafas
Status pernafasan 0415 4. Monitor status pernafasan dan oksugenasi sebagaimana mestinya

1. frekuensi pernafasan
(dipertahankan dalam sekala
3 atau ditingkatkan menjadi
sekala 4).

17
2. irama pernafasan
(dipertahankan dalam skala
3 atau ditingkatkan menjadi
skala 4).

3. kepatenan jalan nafas


(dipertahankan dalam sekala
3 atau ditingkatkan menjadi
skala 4).
3 Ketidakseibangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi (1100)
kurang dari kebutuhan keperawatan selama 3x24 jam 1. Tentukan status gizi pasien dan kemapuan untuk memenuhi
tubuh berhubungan diharapkan dengan kriteria hasil: kebutuhan gizi
dengan kurang asupan 2. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk
makanan. Status nutrisi (1004)
memenuhi peryarafan gizi
1. asupan gizi (dipertahankan 3. Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan makanan tertentu
dalam skala 3 atau berdasarkan perkembangan atau usia
4. Monitor asupan kalori dan asupan makanan
ditingkatkan menjadi skala
4).
2. asupan makanan
(dipertahankan dalam skala

18
3atau ditingkatkan menjadi
skala 4)
3. asupan cairan (dipertahankan
dalam skala 3 atau
ditingkatkan menjadi skala 4)
4. rasio berat badan / tinggi
badan (dipertahankan dalam
skala 3 atau ditingkatkan
menjadi skala 4)
4 Risiko ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Monitor tekanan intra cranial (2590)
perfusi jaringan otak. keperawatan selama 3x24 jam 1. Bantu menyiapkan perangkat pemantauan TIK
diharapkan dengan kriteria hasil: 2. Beri informasi kepada pasien dan keluarga/orang penting
Perfusi jaringan : sereral (0406) lainnyamonitor tekanan aliran darah ke otak
1. demam (dipertahankan 3. Monitoe status neurologis
dalam skala 2 atau 4. Letakkan kepala dan leher pasien dalam posisi netral, hindari fleksi

ditingkatkan menjadi skala pinggang yang berlebihan


5. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk mengoptimalkan perfusi serebral
4)
2. penurunan tingkat kesadaran
(dipertahankan dalam skala
3 atau diingkatkan menjadi
skala 4)

19
20
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kejang demam merupakan jenis kejang yang sering terjadi, terbagi
atas kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang
demam merupakan suatu kondisi yang patut diperhatikan, dan tatalaksana
yang tepat dapat mengatasi kondisi kejang dan mengatasi kausanya.
Sebagian besar kejang demam tidak menyebabkan penurunan IQ, epilepsi,
ataupun kematian. Kejang demam dapat berulang yang kadang
menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada keluarga. Diperlukan
pemeriksaan sesuai indikasi dan tatalaksana menyeluruh. Edukasi orang
tua penting karena merupakan pilar pertama penanganan kejang demam
sebelum dirujuk ke rumah sakit.

21
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Rifqi Fadly. 2015. “Penatalaksanaan Kejang Demam”, CDK-232/ vol. 42


no. 9.

Nurindah, Dewi. Dkk. 2014. “Hubungan antara Kadar Tumor Necrosis Factor-
Alpha (TNF-α) Plasma dengan Kejang Demam Sederhana pada Anak”.
Jurnal kedokteran Brawijaya, Vol. 28, No. 2.

Fadila, Sara. Dkk. 2014. “Hubungan Pemakaian Fenobarbital Rutin dan Tidak
Rutin Pada Anak Kejang Demam dengan Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD)”. Artikel penelitian Jurnal penelitian Fk
Universitas Andalas.

Nyoman, Sunarka. 2007. “Karakteristik Kejang Demam Yang Di Rawat SMF Anak RSU
Bangli Bali Tahun 2007”. Scientific journal of pharmauceutical development
and medical application. Vol 22, no. 3.

Labir, Ketut dkk. “pertolongan pertama dengan kejadian kejang demam pada anak”.

22

You might also like